Kamis, 14 Mei 2015

WANITA DALAM BUDAYA JAWA

WANITA DALAM BUDAYA JAWA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Naili Anafah, M.Ag
Description: http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg
Oleh:
Siti Umi Nurus Saadah           (132111129)
Shofiyani Novi N                    (132111078)

FAKULTAS SYARI`AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG

2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Menjadi perempuan (wanita) di bumi manusia ini secara umum cukup menggemaskan. Padahal menjadi laki-laki atau perempuan bukanlah sebuah pilihan, melainkan dinistakan oleh Tuhan tanpa campur tangan umatnya. Tuhan menciptakan manusia (perempuan dan laki-laki) hakekatnya memiliki kuasa yang berbeda. Wanita serba dinista, dan laki-laki menista. Dalam konteks jawa wanita sering disebut kanca wingking (teman di dapur) oleh suaminya dan nasibnya sepenuhnya tergantung pada suami. Swarga nunut neraka katut, (ke surge ikut, ke neraka pun terbawa), kata salah satu pepatah jawa. Namun kenyataan membuktikan bahwa melalui posisinya sebagai sosok yang selalu dibuat tidak berdaya itu, justru wanita membuat sejarah, baik di era Majapahit, Mataram maupun di masa Orde Baru dan Orde Reformasi ini. Tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti, Srikandi, Larasati dan Sumbadra (semua adalah istri Raden Arjuna) merupakan salah satu bukti bahwa orang jawa mempunyai citranya sendiri tentang psikologi wanita yang bisa lemah lembut dan sekaligus bisa berperang-tanding.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian  wanita dalam Jawa?
2.      Bagaimana wanita dalam perspektif Islam?
3.      Bagaimanakah wanita Jawa sebelum Islam datang?
4.      Bagaimanakah Wanita Jawa setelah Masuknya Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Wanita Jawa
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata wanita diartikan sebagai perempuan dewasa. Dan kewanitaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan wanita.[1] Sedangkan dalam bahasa Jawa sendiri Kata wanita berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur), artinya adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat jawa, wanita adalah sesosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Damardjati supardjar mengungkapkan bahwa kata wanita berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Artinya wanita adalah sesosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain.[2]
Dalam istilah jawa kata Wanita memilki beberapa istilah panggilan seperti wadon, wanita, estri atau putri. Istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri bahkan membawa konsekuensi ideologi tersendiri. Penjelasannya sebagai berikut:
1.      Kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu” yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa perempuan ditakdirkan menjadi “abdi” (nelayan) sang guru laki (suami).
2.      Wanita, kata wanita sama seperti keterangan diatas bahwa kata wanita tersusun dari dua kata yaitu wani (berani) dan ditata (diatur), artinya adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat jawa, wanita adalah sesosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata.
3.      Estri, kata tersebut berasal dari bahasa Kawi yakni “estren”, yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata “estren lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri harus mampu memberi dorongan kepada suami, lebih-lebih suami dalam keadaan sangat melemah.
4.      Putri, yang berarti anak perempuan. Dalam tradisonal jawa, kata inisering dikatakan sebagai singkatan putus tri perkawis (gugurnya tiga perkara), yakni seorangperempuan dalam kedudukan putri dituuntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita mapun istri.[3]

B.   Wanita dalam perspektif Islam
Bilamana kita meneliti beberapa ayat Al-Quran, yang memberikan informasi kepada kita bahwa, kaum wanita dan pria itu berasal dari satu jenis, Adam. Dan manusia tidak akan berkembang tanpa adanya dua jenis mahluk Allah tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an diantaranya:[4]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS An-Nisa :1)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, sesungguhnya alloh maha mengetahui lagi maha mengena”(QS Al-Hujurat : 13)
Hal ini juga didukung dengan Firman Allah dalam surat Thaha ayat 55 yang menyebutkan bahwa secara biologis wanita adalah sama dalam unsur penciptaannya, yaitu tanah. Al-Qur'an telah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap posisi dan peran wanita dan mengangkat martabat wanita dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat yang memberikan kebebasan dan peluang terhadap wanita untuk sejajar dengan laki-laki, baik dalam memperoleh pendidikan, memperoleh kesehatan, berpolitik, dan memperoleh penghidupan yang layak (ekonomi), namun harus memperhatikan batas-batas kewanitaanya atau memperhatikan kodrat kewanitaannya.[5]
Kalau ada orang atau agama yang beranggapan bahwa wanita itu dijadikan  dari tulang (rusuk) laki-laki lebih-lebih untuk membenarkan aturan-aturan formal yang merugikan wanita, Al-Quran tidak membenarkan anggapan itu. Laki-laki dan wanita dijadikan tuhan dari satu dzat hingga dengan demikian kedudukan wanita sederajat dengan laki-laki.[6] Banyak ayat Al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki adalah memiliki martabat yang sama sebagai manusia, terutama secara spiritual.[7] Kehormatan manusia dan banyak lagi statement yang sifatnya (meyudutkan) terhadap islam. Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman mereka terhadap hakekat ajaran islam akan tetapi dengan sengaja mereka mencampur adukan antara kebenaran dan kebatinan.
Islam menempatkan wanita pada posisi yang mulia, dan agama ini menyapa kaum wanita dengan kelembutan. Kelembutan islam dan pandanganya yang positif  terhadap wanita dapat dilihat bagaimana ia memandang wanita dari sudut spiritual, sosial ekonomi dan politik.
Tuhan memandang kedudukan, peranan wanita sama dengan pria dalam hak dan tanggung jawab. Islam memandang peranan wanita di masyarakat yang paling suci dan esensial adalah sebagai seorang istri dan seorang ibu tidak dapat digantikan oleh siapapun namun Islam tidak melarang wanita mencari nafkah sendiri, jika dibutuhkan, asal yang sesuai dengan harkat kewanitaanya.
Petunjuk Islam menyangkut wanita diatas seakan-akan mempersilahkan wanita untuk menjadi modern dengan melakukan aktifitas-aktifitas sebagaimana manusia lain pada umumnya. Namun kepada mereka diandalkan harus menjaga harga dirinya, akhlaknya, martabat kewanitaanya, dan yang paling fundamental adalah kehambaanya kepada Allah.[8]
Kebudayaan jawa menempatkan perempuan sebagai the scond sex, kehendak suami jangan ditolak dan setiap permintaan suami harus dilayani. Dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlaku dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat jawa bahwa istri adalah konco wingking. [9] Namun dalam islam, semua dipandang sama dimata Allah. Mereka dipandang dari iman dan taqwanya. Tidak ada yang membedakan kecuali hal yang bersifat kodrati. Sehinga disini terjadi perbedaan kedudukan budaya islam dan jawa dalam aspek wanita.

C.   Wanita Jawa sebelum Islam datang
Keadaan wanita sebelum Islam datang sangat dipandang rendah. Hal ini berdasarkan munculnya perbedaan pandangan tentang kedudukan wanita. Seperti halnya laki-laki digambarkan dengan makhluk yang lebih kuat dibanding perempuan.
Dalam konsep peternalistik yang secara formal hadir dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan wanita, memilki beberapa konsepsi yang berkembang didalam masyarakat jawa bahwa seorang istri adalah konco wingking..
Gambaran tentang kondisi wanita tersebut juga mempengaruhi konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepkan pekerja di luar rumah (wilayah publik), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja di dalam rumah tangga (wilayah domestik). Konsep seperti ini sudah melekat di masyarakat khususnya di Jawa, yang kemudian terisolasi dalam masyarakat dan akhirnya dikenal dengan istilah “jender”.[10]
Namun konco wingking yang dapat diartikan menjadi orang yang berada dibelakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan. Seperti seorang sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri, tetapi ia yang menentukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya film tersebut. Salah satu peran wanita pada masa pra-Islam di Arab adalah memberi semangat kaum pria selama perang hingga berakhir, agar tidak mudah menyerah dan berani mati dimedan pertempuran. Peran ini jelaslah bukan citra wanita perawat yang bertugas membalut orang terluka atau merawat mereka yang tewas.[11] Gambaran tersebut sudah jelas bahwa wanita dalam kultur jawa walaupun dikonsepkan sebagai pekerja didalam rumah tangga (wilayah domestik) dan selalu menjadi orang yang berada di belakang bukan berarti ia tidak mempunyai kekuasaan dan selalu lebih rendah. Wanita Jawa untuk berperan dalam kekuasaan mereka tidak terjun secara langsung seperti halnya seorang laki-laki, namun seorang Wanita Jawa berperan dari dalam (wilayah domestik) seperti halnya dalam keluarga. Seperti yang telah di sebutkan sebelumnya, Tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti, Srikandi, Larasati dan Sumbadra (semua adalah istri Raden Arjuna) merupakan salah satu bukti bahwa orang jawa mempunyai citranya sendiri tentang psikologi wanita yang bisa lemah lembut dan sekaligus bisa berperang-tanding.
Salah satu orang Jawa mengatakan “Asal mula wanita menjadi konco wingking tertera dalam kitab suci. Ketika tuhan menciptakan manusia pertama, yang diciptakan dahulu adalah laki-laki, setelah itu baru wanita yang diambil dari tulang rusuk adam sebelah kiri. Wanita terbuat dari tulang rusuk laki-laki sebelah kiri, yang intinya derajat wanita lebih rendah dari laki-laki.”
Secara tidak langsung kita bisa menangkap bahwa konsep tersebut diambil dari kitab suci agama Islam maupun Kristen. Hal ini seperti penegasan penjelasan Ester Boserup bahwa wanita melayu secara tradisional aktif, namun kedatangan Islam bersama pengaruh Inggris dan Belanda membantu menciptakan pola peran serta wanita yang lebih rendah dari pada laki-laki. Ikatan dan konsepsi nilai tersebut hanya berlaku sebagai kondisi sakaprayoginipun yang sangat ideal bagi budaya Jawa, dan hanya berkembang di arena public saja. Dari segi publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki maupun wanita derajat wanita dipandang lebih rendah dari pada laki-laki. Kata sakaprayoginipun berarti semua tindakan dilakukan dengan melihat keadaan.
Selain menjadi konco wingking (sigarning nyawa/belahan jiwa), wanita jawa memiliki beberapa cirri karakter pada wanita jawa, yaitu sabar, sumeleh, dan sumarah.[12] Seorang wanita jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan dan pintar pula memaknainya. Mereka kuat dan tahan menderita.[13] Sifat pasrah, sumarah bukan sebuah ekspresi kepasifan karena pasrah berarti mengerti dan terbuka, namun tidak menolak. Jadi, dibalik penampilan wanita jawa yang kalem, patuh, dan sabar, tidak berarati ia bisa diperlakukan sekehendak hati laki-laki/suami. Seorang istri mengerti kelemahan dan mengagumi kekuatan suami. Kemampuan istri jawa untuk menjadi pelindung atau bahkan menjadi kekayaan suami terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam kesulitan. Yang dimaksud cancut tali wanda adalah suatu konsepsi jawa yang menggambarkan sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taksis untuk menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh.[14]
Ada lagi istilah yang lebih merendahkan bagi para perempuan atau  istri bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak yaitu seorang wanita harus bisa memberikan keturunan, bisa berdandan termasuk buat suami dan harus bisa memasak untuk  suaminya. istilah lain pun yang melekat pada diri perempuan atau istri yaitu dapur, pupur, kasur, sumur dan mugkin masih ada akhiran “ur ur” lainnya yang bisa diletakan pada diri perempuan.[15]
Pandangan terhadap kedudukan perempuan akhirnya sedikit-demi sedikit berubah setelah R.A. Kartini memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh pendidikan. Dikarenakan, keterbelakangan kaum perempuan disebabkan tidak adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Misalnya, pada masa R.A. Kartini yang bisa memperoleh pendidikan hanyalah anak seorang bupati atau wedana. Dalam perjuangannya untuk memperoleh pendidikan bagi perempuan, mendapat dukungan dari J.H. Abendanon. Dalam suratnya yang ditulis kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 9 Januari 1981. Dalam surat itu disebutkan:
“ Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa kemajuan para perempuan merupakan faktor penting untuk membudayakan bangsa itu. Kecerdasan Bumiputera tidak akan terjadi secara cepat, jika perempuan ketinggalan dalam bidang itu. Perempuan adalah pendukung peradaban. ”
Pendidikan yang dicita-citakan R.A. Kartini tidak hanya menyangkut kecerdasan otak, tetapi juga pembinaan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, tugas perempuan tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga membina budi pekerti yang luhur.
Sejak masa Kartini, perempuan Jawa mulai melangkah ke depan. Walaupun membutuhkan proses yang panjang, perjuangan Kartini itu membuahkan hasil, diantaranya adalah makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengenyam pendidikan dan menyadarkan sebagian masyarakat bahwa perempuan memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Karena dengan bekal pendidikan itu sebagian perempuan Jawa memperoleh pekerjaan di luar rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula hanya di wilayah domestik meluas ke wilayah publik.[16]
Dalam kultur jawa terdapat beberapa adat kebiasaan yang bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal, diantaranya adalah:
1.      Aturan tentang pembagian harta perolehan bersama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam pembagian harta gono-gini diatur bahwa laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan istri hanya mendapatkan satu bagian.
2.      Aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masing-masing akan mendapatkan dua bagian, sedangkan anak wanita mendapatkan satu bagian. Namun dalam prakteknya pembagian harta warisan menurut aturan dua-lawan-satu hampir sepenuhnya terbatas dan berlaku dikalangan keluarga santri Islam yang kuat.
3.      Adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak.[17]
Pembagian lain yang sering digunakan dalam pembagian warisan adalah orang tua tidak boleh ban cinde ban siladan (satu anak digendong dengna selendang, sedangkan anak yang lain digendong dengan belah kulit bambu) dengan kata lain orang tua tersebut tidak adil dalam memperlakukan anak-anaknya dan seharusnya berlaku secara adil.[18]

D.   Wanita Jawa setelah masuknya Islam
Wanita di kawasan Asia Tenggara secara tradisional mereka aktif. Mereka diizinkan untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan berjualan dipasar atau bekerja disawah sebagaimana kaum laki-laki. Dalam hal ini wanita mempunyai kekuatan dan posisi tawar yang baik dan kebebasan yang relatif sama dengan laki-laki.[19]
Banyak tulisan-tulisan yang menyangkut hak-hak asasi wanita di dalam Islam. Akan tetapi setelah melihat kedudukan wanita dalam ranah politik, tidak ditemukan perhatian yang memadai dalam hal itu. Sebagian orang beranggapan bahwa wanita tidak tidak mempunyai keahlian untuk ikut serta dalam bidang politik. Dan ada sebagian yang mengatakan kalau wanita memiliki keahlian dalam bidang politik.[20]
Sebuah buku karangan Muhammad ‘Arafah berjudul Then Rights of Women in Islam tidak saja mengatakan bahwa seorang wanita tidak punya hak, tapi juga bahwa dia tidaklah eksis dalam sejarah politik. Pada awal islam, kaum wanita muslim tidak memainkan peran dalam urusan-urusan masyarakat, meskipun dengan adanya semua hak yang telah diberikan Islam kepada mereka, yang seringkali sama dengan yang diberikan kepada kaum lelaki.
Dalam konsep pembagian sosial di dalam kerja, sesungguhnya bidang yang patut diterjuni oleh wanita adalah keluarga, dan pada saat yang sama laki-laki dapat memikul tanggung jawab ekonomi dan politik. Banyak ketetapan yang menuliskan bahwa wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki yang pada dasarnya merupakan pandangan Islam, sesungguhnya kecenderungan yang berlaku adalah pengutamaan terhadap konsep yang tidak melibatkan wanita didalam kegiatan politik. Bahkan ada yang mengatakan bahwa politik bagi seorang wanita haram, demi menjaga agar masyarakat tidak turun martabatnya kemudian jatuh. [21]
Penjelasan wanita jawa sebelum Islam datang dijelaskan bahwa wanita dipandang rendah dan bisa bekerja hanya dalam lingkup dalam rumah tangga dan laki-laki diluar rumah. Namun setelah Islam datang para pihak yang menentang kepemimpinan akhirnya menang setelah mendapat fatwa dari makah yang menyatakan bahwa wanita menurut hukum Islam tidak boleh tampil dalam kepemimpinan. Dan setelah itu pembagian warisan pada keluarga jawa lebih condong ke arah Islam. Anak laki-laki memperoleh dua pertiga dari warisan, sedangkan anak wanita sepertiga. Dan kemudian wanita boleh dikatakan disisihkan dari kehidupan politik yang sebelumnya menjadi ajang mereka berkiprah. Kesetaraan wanita dan laki-laki dimunculkan oleh ideologi politik Indonesia dimana argumentnya berasal dari persepektif fungsional yang mengungkapkan bahwa pria dan wanita memainkan peran yang berbeda dalam lingkup berbeda, namun peran ini saling melengkapi dan sejajar.[22] Ada beberapa kedudukan wanita / perempuan dalam kultur sastra jawa, dintaranya adalah[23]:
a.    Sebagai hamba Tuhan
Perempuan jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik, protestan, hindu dan budha. Adupun agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat termasuk  perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur dengan unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama  islam dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
b.    Sebagai anak atau menantu
Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti (mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada mertua. Selanjutnya dijelaskan  pula alasan mengapa masing-masing perlu mendapatkan penhormatan dari anak . Disebutkan bahwa bapak/ibu adalah sebagai perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga mempunyai andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
c.    Sebagai istri
Dalam sastra jawa banyak ditemukan ajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam posisi yang lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus memperlakukan suami  seperti dewa yang dipuji, ditakuti, dan dihormati.
d.   Sebagai ibu
Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak ibu, termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.[24]





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.      Dalam istilah jawa kata wanita mempunyaibebrapa istilah yang memilki makana beda-beda. Diantaranya adalah wadon,anita, putri dan estri.
2.      Penciptaan wanita dalam al-Qur'an dapat dilihat dalam Firman Allah SWT. surat an-Nisa' ayat 1. Hal ini juga didukung dengan Firman Allah dalam surat Thaha ayat 55 yang menyebutkan bahwa secara biologis wanita adalah sama dalam unsur penciptaannya, yaitu tanah. Al-Qur'an telah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap posisi dan peran wanita dan mengangkat martabat wanita dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat yang memberikan kebebasan dan peluang terhadap wanita untuk sejajar dengan laki-laki, baik dalam memperoleh pendidikan, memperoleh kesehata, berpolitik, dan memperoleh penghidupan yang layak (ekonomi), namun harus memperhatikan batas-batas kewanitaanya atau memperhatian kodrat kewanitaannya.
3.      Kebudayaan jawa menempatkan perempuan sebagai the scond sex. Dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlalu dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat jawa bahwa istri adalah konco wingking. Namun dalam islam., semua dipandang sama dimata allah. Mereka dipandang dari iman dan taqwanya. Tidak ada yang membedakan kecuali hal yang bersifat kodrati. Sehinga disini terjadi perbedaan kedudukan budaya islam dan jawa dalam aspek wanita.

  1. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. Oleh karena itu kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah-makalah dan karya-karya kami selanjutnya. Semoga bermanfaat.Amiin.


[1] Umi Chulsum, Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya : Khasiko, 2006), hlm. 694
[2] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa, (Yogyakarta : LKIS,  2004), hlm 24
[3] http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html diakses pukul 22.15 pada tanggal 20 juni 2014
[4] Muhammad Rasyid Ridha, jawaban islam terhadap berbagai keraguan  seputar keberadaan wanita, Surabaya : Pustaka progresif, 1992, hlm 1
[6] Hardjito Notopuro, SH, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, (Jakarta : Bina Cipta, 1977), hlm 3
[7] Fatima Mernissi, wanita didalam Islam, (Bandung : Pustaka, 1994), hlm 12
[8] Syahrin Harahap,Islam Dinamis, (Yogyakarta :  Tiara Wacana, 1997), hlm 147
[9] Anasom dkk, membangun negara bermoral, (semarang : Pustaka Rizki Putra, 2004), hlm 155-156.
[10] http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html diakses pukul 22.15 pada tanggal 20 juni 2014
[11] Fatima Mernissi, wanita didalam Islam, hlm. 147
[12] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.26
[13] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm. 131
[14] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm. 139
[16] http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html diakses pukul 22.15 pada tanggal 20 juni 2014
[17] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm. 119
[18] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.121
[19] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm. 29
[20] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.79
[21] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, hlm. 80
[22] Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, kuasa wanita jawa,hlm. 35-36
[23] Sri Suhandjati sukri dan Ridin sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Gama Media, 2001. Hal. 63


DAFTAR PUSTAKA

Anasom dkk, membangun negara bermoral, semarang : Pustaka Rizki Putra, 2004.
Fatima Mernissi, wanita didalam Islam, Bandung : Pustaka, 1994.
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis, Yogyakarta :  Tiara Wacana, 1997
http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html diakses pukul         22.15 pada      tanggal 20 juni 2014
Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, Bandung : Remaja         Rosdakarya, 2007.
Notopuro, Hardjito, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, Jakarta : Bina    Cipta, 1977
Novia, Umi Chulsum, Windy, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya : Khasiko,          2006
Novianto,Cristina S. Handayani, Andrian, kuasa wanita jawa, Yogyakarta : LKIS,            2004.
Ridha, Muhammad Rasyid, jawaban islam terhadap berbagai keraguan  seputar   keberadaan wanita, Surabaya : Pustaka progresif, 1992.
Scribd.com/doc/23130284/Peran-Wanita-Dalam-Islamisasi-Jawa diakses pukul 22.22         pada tanggal 20           juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar