Selasa, 10 Mei 2016

PENGAKUAN DALAM PEMBUNUHAN



PENGAKUAN DALAM PEMBUNUHAN
MAKALAH
Dibuat guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Hadits Ahkam Pidana dan Politik
Dosen Pengampu : A. Fatah Idris

Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: gh

Disusun oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)


FAKULTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2016
 

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pembunuhan adalah tindakan yang dilakukan manusia untuk menghilang kan nyawa, atau hilangnya nyawa manusia akibat tindakan manusia lainnya, baik disengaja atau tidak, baik menggunakan alat atau tidak. Dalam islam perilaku pembunuhan diharamkan dalam agama, dan mendapat sanksi yang sesuai dengan pembunuhannya. Dalam islam ada tiga jenis pembunuhan yaitu Pembunuhan yang dilakukan  dengan sengaja, yaitu merencanakan pembunuhan dalam keadaan jiwa sehat dan penuh kesadaran; pembunuhan yang terjadi tanpa sengaja dengan alat yang tidak mematikan; pembunuhan karena kesalahan atau kekhilafan semata-mata tanpa direncanakan dan tidak ada maksud sama sekali, misalnya kecelekaan. Setiap jenis pembunuhan mempunyai  sanksi masing-masing, baik dia pembunuhan sengaja, tidak sengaja, ataupun tersalah.
Islam turun dengan menyiapkan paket-paket hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan pembunuhan. Walaupun relitanya kejahatan ini tidak dapat sepenuhnya hilang dari muka bumi, minimal hukum islam mengurangi kejahatan yang merebak. Mengenai pembunuhan sendiri ada tiga jenis yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan tanpa sengaja dan pembunuhan karena kesalahan. Dalil tentang pembunuhan dapat dilihat dalam firman Allah  yang artinya “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa yang membunh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada pembunuhnya yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (siterbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (sipembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana” (Qs. An-Nisa : 92-93).
Akan tetapi tidak semua pelaku pembunuhan mengakui perbuatannya. Berikut penulis akan memaparkan mengenai pelaku pembunuhan yang mengakui perbuatannya serta sanksi yang dapat dijatuhkan.

B.     Rumusan masalah
  1. Sebutkan hadits tentang pengakuan dalam pembunuhan!
  2. Bagaimana isi kandungan hadits tentang pengakuan dalam pembunuhan?
C.     Tujuan
Mengetahui hadits tentang pengakuan dalam pembunuhan, serta mengetahui isi kandungan hadits agar dapat menentukan hukuman yang dijatuhkan untuk seseorang yang mengaku sebagai pembunuh.

II.                PEMBAHASAN
A.    Hadits tentang pengakuan dalam pembunuhan
Wail ibn Hujur ra. Menerangkan :
اِنِّي لَقَاعِدٌ مَعَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذْ جَاءَ رَجُلٌ يَقُوْدُاَخَرَبِنِسْعَةَ, فَقَالَ يَارَسُوْلُ اللهِ , هَذَاقَتَلَ أَخِيْ , فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَتَلْتَهُ ؟ فَقَالَ : اِنَّهُ لَوْلَمْ يَعْتَرِفْ اَقُمْتُ عَلَيْهِ اْلبَيّنَةَ. قَالَ: نَعَمْ , قَتَلْتُهُ ؟  قَالَ كُنْتُ اَنَا وَهُوَيَحْتَطِبُ مِنْ شَجَرَةٍ فَسَبَّنِى , فَأَغْضَبَنِى فَضَرَبْتُهُ  بِالْفَأٌسِ عَلَى قَرْنِهِ, قَتَلْتُهُ.  فَقَالَ لَهُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ لَكَ مِنْ شَيْءٍ تُؤَدِّيْهِ عَنْ نَفْسِكَ ؟ قَالَ : مَلِى مَالٌ, إِلاَّ كِسَا نِي وَفأْسِى قَالَ فَنَرَى قَوْمَكَ يَشْتَرُوْنَكَ ؟ قَالَ : أَنَا اَهْوَنُ عَلَى قَوْمِى مِنْ ذَلِكَ. فَرَمَى اِلَيْهِ بِنِسْعَتِهِ, وَ قَالَ : دُوْنَكَ صَا حِبَكَ قَالَ : فَانْطَلَقَ بِهِ الرَّجُلُ, فَلَمَّاوَلِىَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْ قَتَلَهُ فَهُوَمِثْلُهُ فَرَجَعَ, فَقَالَ  : يَارَسُوْلُ اللهِ, بَلَغَنِى أَنَّكَ قُلْتَ : اِنْ قَتَلَهُ فَهُوَمِثْلُهَ وَاَخَذْ تُهُ بِاَمْرِكَ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَمَاتُرِيْدُاِنْ يِبُوْءَ بِاثْمِكَ وَإِثْم
  صَا حِبَكَ ؟ فَقَالَ : يَانَبِىَّ اللهِ, لَعَلَّهُ, قَالَ : بَلَى, قَالَ فَاِنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ قَالَ : فَرَمَى بِنِسْعَتِهِ, وَخَلَّى سَبِيْلَهُ.
“Dikala saya sedang duduk dimajlis Nabi SAW datang seorang laki-laki dengan menghela seorang laki-laki lain, yang diikatnya dengan tali kulit. Orang itu berkata : ya Rasulullah, orang ini telah membunuh saudara saya. Nabi bertanya :apakah benar engkau telah membunuhnya? Laki-laki yang menuduh menjawab :jika ia tidak mengaku saya akan menghadirkan saksi. Si tertuduh menjawab : benar saya telah membunuh. Nabi bertanya :bagaimana cara engkau membunuh? si tertuduh menjawab : saya dan si korban tengah mengumpulkan kayu bakar dari sebatang pohon. Dia memaki saya yang menimbulkan amarah saya, dan saya pukul dia dengan kampak dibatang lehernya, dan dia tewas. Nabi bertanya : apa engkau mempunyai sesuatu sebagai diat? Dia menjawab : saya tak memiliki apa-apa selain sehelai kain dan kampak ini. Nabi bertanya : apa kaum engkau mau (membeli engkau) membayar diat? Dia menjawab : saya tidak berharga dimata mereka. Maka Nabi pun melemparkan tali kulit kepada si penuduh dengan mengatakan : bawalah temanmu ini . orang itupun dibawanya. Dikala dia telah pergi Rosulullah : jika dia membunuhnya maka dia sama seperti sipembunuh. Mendengar itu sipenuduh kembali kepada Nabi dan berkata : ya Rasulullah saya mendengar anda mengatakan jika dia membunuhnya maka dia sama seperti si pembunuh. Padahal aku membawanya atas perintah anda ya Rasulullah. Nabi bersabda :apakah engkau tidak menginginkan dia kembali membawa dosa engkau dan dosa teman engkau. Orang itu menjawab : mudah-mudahan demikian. Maka orang itu melemparkan tali kulit dan membebaskan si tertuduh.[1]
وَحَدَّ ثَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّ ثَنَاسَعِيْدُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّ ثَنَاهُشَيْمٌ أَخْبَرَنَاإِسْمَاعِيْلُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ اُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجٌلٍ قَتَلَ رَجُلاً فَأَقَدَ وَلِيَّ اْلمَقْتُوْلِ مِنْهُ فَانْطَلَقَ بِهِ وَفِي عُنُقِهِ نِسْعَةٌ يَجُرُّهَا فَلَمَّاأَدْبَرَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلقَتِلُ وَاْلمَقْتُوْلُ فِي النَّارِفَأَتَى رَجُلٌالرَّجُلَ فَقَالَ لَهُ مَقَالَةَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَلَّى عَنْهُ. قَالَ إِسْمَاعِيْلُ بْنُ سَالِمٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِحَبِيْبِ بْنِ أَبِيْ ثَابِتٍ فَقَالَ حَدَّثَنِيْ ابْنُ أَشْوَعَ اَنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا سَأَلَهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ فَأَبَى.
“Dan Muhammad bin Hatim telah memberitahukan kepadaku, Sa’id bin Sulaiman telah memberitahukan kepada kami, Husyaim telah memberitahukan kepada kami, Isma’il bin Salim telah mengabarkan kepada kami, dari Alqamah bin Wail, dari ayahnya (Wail)berkata, seorang laki-laki yang telah membunuh orang lain dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Pihak ahli waris bersikukuh untuk mengqishashnya, maka iapun diseret dengan tambang yang diikatkan dilehernya. Ketika ia menjauh maka Rasulullah SAW bersabda, “pembunuh dan orang yang dibunuh akan mesuk neraka.” Seorang laki-laki bergegas menemui pihak ahli waris tdi dan menyampaikan sabda Rasulullah SAW kepadanya. Maka iapun membebaskannya. Isma’il bin Salim berkata “aku menuturkan hadits ini kepada Habib bin Tsabit. Dan iapun berkata Ibnu Sywa telah memberitahukan kepadaku saat itu Nabi Muhammad SAW meminta kepadanya (ahli waris) agar memaafkannya, tetapi ia menolak”[2]
B.     Isi kandungan hadits
Dalam hadits yang pertama terdapat hadits yang semakna dengan hadits ini yang  diriwayatkan oleh Abu Dawud. Al-Mundziry menyandarkan riwayat Abu Dawud itu kepada Muslim dan An-Nasaiy, berdasarkan maknanya yang mirip. Pernyataan ikrar (pengakuan) yang diberikan oleh sipelaku, sudah cukup untuk membebaskannya dari hukuman qishash. Tak ada perbedaan pendapat diantara pendapat ulama tentang masalah ikrar (pengakuan) ini. Ikrar dipandang cukup dilakukan oleh si tertuduh, apabila pengakuan itu dianggap benar dan tak ada halangan apapun dalam dia memberikan pengakuan.[3]
Perkataannya “datang seorang laki-laki dengan menghela seorang laki-laki lain, yang diikatnya dengan tali kulit. Orang itu berkata : ya Rasulullah, orang ini telah membunuh saudara saya. Nabi bertanya :apakah benar engkau telah membunuhnya? Laki-laki yang menuduh menjawab :jika ia tidak mengaku saya akan menghadirkan saksi. Si tertuduh menjawab : benar saya telah membunuh. Nabi bertanya :bagaimana cara engkau membunuh?si tertuduh menjawab : saya dan si korban tengah mengumpulkan kayu bakar dari sebatang pohon. Dia memaki saya yang menimbulkan amarah saya, dan saya pukul dia dengan kampak dibatang lehernya, dan dia tewas.”
Dalam hadits ini terdapat beberapa faidah diantaranya :
1.      Kecaman yang keras diantara para pelaku tindak kriminal
2.      Bolehnya memborgol para pelaku tindak kriminal dan menghadapkan mereka pada hakim
3.      Menginterogasi terdakwa agar mengakui perbuatannya, sehingga pendakwa dan hakim tidak bersusah payah mendatangkan saksi. Alasan lainnya karena ketetapan hukum berdasarkan pengakuan pihak terdakwa itu menghukumi dengan dasar yang bersifat pasti, sedangkan yang bersifat saksi itu hukum dengan persangkaan kuat saja.
4.      Hakim boleh meminta ahli waris korban agar memaafkan pihak terdakwa.
5.      Boleh memaafkan pelaku tindak kriminal meskipun perkaranya sudah dilimpahkan kepada hakim.
6.      Boleh meminta diyat  dalam kasus yang dilakukan dengan sengaja dan terencana. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW didalam hadits ini “apakah kamu memiliki sesuatu yang dapat kamu serahkan sebagai tebus dirimu?”
7.      Menerima pengakuan pelaku dalam kasus disengaja dan terencana.
Perkataanya “lelaki itupun mengikutinya. Ketika itu Raulullah SAW bersabda “jika lelaki itu membunuhnya maka ia juga pembunuh sepertinya. Sementara aku membunuhnya atas perintahmu” Rasulullah SAW bersabda “maukah dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh itu gugur?” lelaki itu berkata “wahai Nabiyullah” barangkali ia mengatakan “tentu” beliau bersabda “begitulah seharusnya” perawi berkata “kemudian lelaki membuang tambang yang melilit leher sipembunuh dan membebaskannya”. Dalam riwayat lain disebutkan,” maka iapun diseret dengan tambang yang diikatkan dilehernya. Ketika iamenjauh maka Rasulullah SAW bersabda, “ pembunuh dan orang yang dibunuh akan masuk neraka”.
Rasulullah SAW bersabda “jika lelaki itu membunuhnya maka ia juga pembunuh sepertinya”. Takwil yang benar adalah bahwa ahli waris tidak berbeda dengan orang yang membunuh saudaranya itu, keduanya tidak ada kesamaan dalam hal kebaikan, jika membalasnya dengan membunuh pelaku. Berbeda jika ahli waris itu memberinya ampunan, maka ia akan mendapatkan kebaikan, pahala yang banyak diakhirat kelak dan pujian atas kebaikannya didunia. Ada yang mengatakan bahwa keduanya sama-sama sebagai pembunuh, meskipun berbeda dalam segi hukumnya (pembuhuhan yang pertama hukumnya haram, sedangkan pembunuhan yang kedua hukumnya boleh karena merupakan bentuk qishash), tetapi keduanya sama dalam hal menuruti amarah dan hawa nafsunya, apalagi sebelumnya Rasulullah SAW memintakan ampunan kepadanya. Rasulullah SAW mengatakan perkataan ini secara jujur dan benar dengan menyelipkan tujuan yang baik, yaitu agar ahli waris bersedia memberi ampunan, karena hal itu memberi manfaat bagi hali waris sendiri dan saudaranya yang terbunuh, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “maukah dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh itu gugur?” dan juga bermanfaat bagi pembunuh karena ia selamat dari hukuman mati. Sebab, pemberian ampunan ini hanya dapat dicapai dengan cara ta’ridh (sindiran), maka beliaupun menggunakan cara ini.  Adh-Dhamri dan ulama lainnya dari madzhab kami menyatakan, bahwa sangat dianjurkan bagi seorang mufti (pemberi fatwa) untuk menggunakan cara sindiran yang benar dan jujur jika ia memang melihat kemaslahatan bagi sipeminta fatwa. Seperti seseorang yang bertanya tentang nasib seorang pembunuh, apakah ada kesempatan taubat baginya? Sementara mufti memahami gelagat kurang baik dalam diri sipenannya, jika si mufti menjawab “ ia memiliki kesempatan untuk bertaubat” maka akan terjadi pembunuhan berikutnya. Artinya ia telah membuka lebar pintu pembunuhan, karena setiap pembunuh akan menemukan jalan keluar dari perbuatan kejinya. Dalam kondisi seperti ini seorang mufti harus mengutip pernyataan Ibnu Abbas tiada kata taubat bagi seorang pembunuh. Ia berkata jujur dan benar bahwa itu adalah ucapan Ibnu Abbas, meskipun mufti tidak sejalan dan juga tidak sependapat dengan Ibnu Abbas dalam masalah ini. Tetapi saat mendengar jawaban itu pihak penannya akan memahami bahwa mufti sejalan dengan Ibnu Abbas, sehingga iapun mengurungkan niatnya untuk membunuh.
Dalam hadits kedua, Rasulullah SAW bersabda “pembunuh dengan orang yang dibunuh akan masuk neraka”. Pernyataan ini tidak ditujukan kepada mereka berdua yang disebutkan dalam hadits. Bagaimana mugkin pernyataan ini menyinggung mereka berdua, padahal lelaki tersebut mengikuti pelaku untuk membunuhnya atas perintah Rasulullah SAW? Tetapi pernyataan ini ditujukan untuk selain mereka berdua, yaitu jika dua orang muslim bersenjata berkelahi dalam peperangan yang haram seperti tawuran dan yang lainnya, maka orang yang membunuh dan terbunuh akan masuk neraka. Berarti, perkataan ini adalah sindiran sebagaimana penjelasan diatas. Faktor yang mendorong beliau SAW menggunakan pernyataan ini sudah saya sebutkan disana. Yaitu agar sang ahli waris memahami bahwa dirinya masuk dalam pernyataan itu, sehingga ia mengurungkan niat untuk membunuhnya dan itulah yang diharapkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersabda “maukah dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh itu gugur?”ada beberapa kemungkinan tentang arti pernyataan ini, salah satunya bahwa orang yang membunuh menanggung dosa-dosa orang yang ia bunuh, karena ia telah menghilangkan nyawanya, dan ia juga menanggung dosa-dosa ahli warisnya, sebab ia telah kehilangan saudaranya. Dalam hal ini pernyataan Rasululah SAW ini berdasarkan wahyu yang telah ia terima. Kemungkinan lain, artinya ialah bahwa ampunanmu kepada orang yang telah membunuh saudaramu adalah penyebab dosa saudaramu dan dosamu diampuni oleh Allah. Dosa-dosa teesebut adalah dosa-dosa yang lalu sebab kemaksiatan yang mereka kerjakan, bukan yang berhubungan  dengan pembunuhan. Al- Qadhi berkata, “hadits ini menunjukkan bahwa hukuman mati sesorang tidak dapat menghapus semua dosa-dosanya, meskipun Allah telah menjamin dosa orang itu dihapus sebagaimana dalam hadits lain, tetapi masih tetap ada dosa yang berhubungan dengan orang yang dibunuh.[4]
Pemberian maaf dari ahli waris terbunuh tidak lantas membebaskan pembunuh dari sanksi. Apabila ahli waris tidak menuntut hukuman Qishash ataupun ta’zir kepada pembunuh maka hakim yang menentukan hukuman bagi pelaku pembunuhan. Hal ini dilakukan untuk melindungi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[5]


III.             PENUTUP
A.    Simpulan
Menetapkan hukuman Pengakuan dalam pembunuhan merupakan menghukumi seseorang  dengan dasar yang bersifat pasti. Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa sebaiknya keluarga korban memaafkan pembunuh dan tidak mengqisasnya. Selain itu, hadit tersebut juga mengandung makna bahwa bolehnya memborgol para pelaku tindak kriminal dan menghadapkan mereka pada hakim, menginterogasi terdakwa agar mengakui perbuatannya, hakim boleh meminta ahli waris korban agar memaafkan pihak terdakwa, boleh memaafkan pelaku tindak kriminal meskipun perkaranya sudah dilimpahkan kepada hakim, boleh meminta diyat  dalam kasus yang dilakukan dengan sengaja dan terencana, menerima pengakuan pelaku dalam kasus disengaja dan terencana.
B.     Kritik dan saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai pengakuan dalam pembunuhan, penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat di harapkan sebagai referensi kami dalam penulisan makalah kedepan. Harapan penulis, semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan pembaca.


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy. Koleksi Hadits-Hadits Hukum jilid 4. ( Semarang : Pustaka Riski Putra, 2002). Hal. 312
Imam An-Nawawi. Syarah Shahih Muslim jilid 8.( Jakarta : Darus Sunnah Press, 2013). Hal. 319-320. 
[2] Imam An-Nawawi. Ibid. Hal. 322
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy. Ibid. Hal. 313
[4] Imam An-Nawawi. Ibid. Hal. 322-325.
[5] Masukan presentasi makalah pengakuan dalam pembunuhan oleh Bapak A. Fatah idris pada Selasa, 3 Mei 2016.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, 2002, Koleksi Hadits-Hadits Hukum jilid 4, Semarang : Pustaka Riski Putra.
Imam An-Nawawi, 2013, Syarah Shahih Muslim jilid 8, Jakarta : Darus Sunnah Press, 2013).