BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pada era globalisasi saat sekarang ini kita berada,
menurut ramalan futurolog John Naisbit, yang kami kutip dari buku Merumuskan
Kembali Interelasi Islam-Jawa bahwa era globalisasi dicirikan oleh kembalinya
nilai-nilai lama yang ditafsirkan kembali untuk kehidupan saat ini. Maksudnya ada
kecenderungan masyarakat merevitalisasi nilai-nilai tradisi yang pernah
mewarnai bangsanya. Dengan demikian, ada kebutuhan vital bagi bangsa Indonesia
untuk sedikit menengok nilai-nilai yang pernah memandu sejarah perjalanan
panjang bangsa kita.[1]
Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus berpijak pada akar budaya,
kemanapun bangsa tersebut berkembang. Apalah arti nilai-nilai adiluhung yang
terkandung dalam budaya tersebut apabila kelak akan terhenti pada suatu
generasi. Seberapa erat sang penerus menjaga akar kebudayaan pun akhirnya menjadi suatu faktor tertentu kebesaran sebuah
bangsa. Budaya Jawa sebagai salah
satu
dari sekian ragam budaya yang dimiliki bangsa kita tengah berdiri menghadapi
tantangan yang juga menjadi
tantangan setiap budaya di dunia modernisasi.
Kita patut bersyukur bahwa sejak dahulu budaya Jawa
tumbuh sebagai budaya yang memiliki sansibilitas dan fleksibilitas yang tinggi
terhadap
perubahan-perubahan di sekitarnya. Nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran yang
terkandung didalamnya tak pernah langka oleh waktu, menjadikannya sebagai budaya yang kokoh menghadapi perkembangan zaman. Namun, tentu itu semua tak lantas
kita terbebas dari kewajiban kita dalam menjaga kebudayaan dalam budaya Jawa. Disinilah tantangan dimana masyarakat Jawa dituntut
untuk dapat mempertahankan kebudayaannya namun juga harus bisa mengimbangi
perkembangan teknologi yang ada sehingga tidak ketinggalan zaman. Masa modern
ini kebudayaan Islam Jawa senantiasa berkembang sesuai seiring perkembangan
ilmu teknologi. Tentu saja bukan hal mudah untuk merubah tradisi-tradisi
tersebut namun setidaknya bisa disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi
saat ini.
Dalam
makalah ini, kami akan menguraikan penjelasan tentang Dinamika Islam dan budaya Jawa dalam menghadapi
modernitas
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami
menyajikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Kebudayaan
Jawa dan globalisasi
2. Modernisasi
dalam budaya Jawa
3. Dinamika Islam
dan budaya Jawa dalam menghadapi modernitas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebudayaan Jawa
Dan Globalisasi
Kebudayaan
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi tingkah lakunya.[2]
Kebudayaan juga merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan
membentuknya satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di
dalam lingkungan hidupnya. Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia
kepada lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidupnya sesuai dengan
kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik.[3]
Pertemuan
antara individu atau komunitas yang satu dengan yang lain akan melahirkan
sebuah kontak pemikiran dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing pihak
sehingga terjadi proses dialektika pemikiran dan budaya secara kontinu. Respon
yang berbeda terhadap kontak dan interaksi yang terjadi sesuai dengan dasar
potensi dan persepsi yang ada menimbulkan heterogenitas hasil pemikiran dan
budaya yang terbentuk.
Budaya
merupakan kombinasi dan konvergensi dari budaya yang sebelumnya telah ada.[4]
Budaya yang berkembang di Jawa yang sebelumnya telah berakulturasi dengan
budaya Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha yang selanjutnya disusul dengan
kedatangan agama Islam telah meniscayakan akulturasi budaya yang menghasilkan
budaya baru. Jadi kebudayaan Jawa adalah akulturasi budaya sebelum Islam tersebar di
Jawa, yakni budaya yang bersumberkan dari ajaran-ajaran agama Hindu dan agama
Budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme dan dengan
agama Islam.
Faktor yang menyebabkan
terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dengan Islam adalah budaya Jawa memiliki
ciri yang lentur dan terbuka sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan
ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam
yang sinkretis itu.[5]
Sedikit demi
sedikit budaya Jawa yang begitu mengakar kuat sejak zaman dahulu kala hingga
kini tak dapat ditampik akan terkena juga dampak globalisasi. Globalisasi
adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia.[6]
Berbagai
bentuk perubahan sosial yang menyertai era globalisasi tersebut pada gilirannya mempengaruhi cara pandang manusia
terhadap kehidupan. Pada era global nilai, norma, dan cara hidup berganti
begitu cepat menjadi tatanan baru yang semakin menjauhkan manusia dari
kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang teguh sebelumnya. Adanya kecenderungan globalisasi di bidang
budaya yang hendak mengikis jati diri budaya bangsa, dan mengganti
dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu mengancam
identitas suatu bangsa.
Sikap
masyarakat yang mulai menganggap remeh dan kuno budaya Jawa saat ini berdampak
terhadap keterpurukan budaya Jawa. Keengganan tersebut dipicu perasaan
masyarakat yang merasa bahwa budaya Jawa memiliki pola hidup dan sikap yang
kurang tepat untuk dijunjung di era
globalisasi pada saat ini, ketidakpedulian inilah yang melatarbelakangi semakin
pudarnya kebudayaan Jawa, mengalirnya
budaya asing di tengah
masyarakat terhadap
perkembangan budaya Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran.[7]
Maka masyarakat harus mengadakan enkulturasi
(pembudayaan) budaya Jawa yang secara terus menerus dilakukan melalui tradisi
lisan maupun tertulis. Maka sejak kecil, seseorang telah diperkenalkan dengan
unsur-unsur budaya yang hidup di tengah keluarga maupun masyarakat. Hal ini
membawa pada proses internalisasi nilai budaya dalam kehidupan setiap individu
sehingga tertanam secara mantap dalam pribadinya. Kuatnya adat istiadat yang
melekat dalam sanubari seseorang menyebabkan sulitnya merubah adat yang telah
mengakar di masyarakat. Selain itu, perlunya ditingkatkan tameng diri agar
tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan kita menggunakan filsafat Jawa. Sehingga
orang Jawa tidak kehilangan
kepribadiannya.
Adapun
potensi falasafah Jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri adalah sebagai
berikut:
1. ajining diri saka lathi, ajining seliro soko busana
artinya nilai diri seseorang terletak pada gerakan lidahnya, nilai badaniah seseorang
terletak pada pakaiannya,
harga diri seseorang terletak pada
ucapannya.
2. aja dhumuko, aja gumun, aja kagetan,
artinya jangan sombong,
jangan mudah terkagum-kagum,
jangan mudah terkejut.
3. aja dhumeh, tepo seliro, ngerti kuwalat
artinya jangan merasa hebat, tergantung rasa, tahu karma. Dimanapun kita
berada, jangan merasa hebat, berbuat semaunya.
4. sugih tanpa bandha, digdoyo tanpa aji, ngalurung
tanpa bala, menang tanpa ngasarake artinya kaya tanpa harta,
sakit tanpa azimat, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan.[8]
- Modernisasi Dalam Budaya Jawa
Sesuai dengan tuntutan masyarakat
modern, unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memang memerlukan
reinterprestasi agar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Misalnya ungkapan-ungkapan
yang selama ini ditangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan
rasional. Seperti selogan alon-alon waton kelakon. Ungkapan ini sering
dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang Jawa yang terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang
hal ini tentu tidak cocok lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya
efisiensi waktu sehingga pekerjaan perlu dilakukan secara cepat dan tepat.
Selain
itu perlu dilakukan rekontruksi agar kesan feodalisme yang melekat pada
budaya Jawa, seperti tata karma yang menerapkan hierarki bahasa, dapat diubah dalam
bentuk yang egaliter. Karena di era modern orang tidak lagi dibatasi oleh
sekat-sekat budaya sehingga menginginkan penggunaan bahasa yang berlaku
nasional atau internasional. Oleh karena itu, penggunaan bahasa karma inggil
yang mencerminkan setrata sosial masyarakat tidak perlu dipaksakan
pemakaiannya. Secara subtansial nilai sopan santun berbicara dan bertingkah
laku yang terdapat dalam budaya Jawa Islam tetap dilestarikan, walaupun dalam
format bahasa nasional atau internasional.
Tekanan
jumlah penduduk yang sudah mulai naik dengan laju yang cepat sejak satu abad di
daerah pedesaan di Jawa, tetapi yang terasa secara nyata sesudah zaman perang
dunia kedua. Masalah merupakan salah satu masalah besar penghambat pembangunan.
Dengan tanah yang terpecah-pecah kecil, dan kemudian masih juga harus dipecah-pecah
lagi untuk dapat dibagikan kepada orang-orang desa dengan cara adol ayodan,
adol sende, bagi hasil, dan sebagainya. Maka sukar orang dapat menghasilkan
surplus, yang dapat ditanam sebagai modal untuk pembangunan. Tiap-tiap produksi
seolah-olah menghilang lagi dalam
sekejap mata, karena harus dibagi rata antara puluhan orang tetangga di desa
yang ikut membantu pada panen, atau dalam aktivitas-aktivitas gotong-royong
lainnya. Demikian agar sampai dapat terbentuk surplus untuk disisihkan dan ditanam
sebagai modal, orang desa Jawa tidak perlu hanya melipatgandakan produksinya
dua kali saja, tetapi tiga empat kali lebih. Hal ini hanya
mungkin kalo cara-cara bercocok tanam yang lama ditinggalkan dan intensifikasi
produksi dicapai dengan pemakaian bibit unggul yang baru, dengan pemupukan atau hidroponik.
Adapun pemakaian teknik-teknik baru tidak hanya dalam pertanian,
melainkan dalam seluruh kehidupan
masyarakat desa, yang seperti terurai di atas
bersikap terlampau pasif terhadap hidup. Pokoknya rakyat harus di gerakan untuk
pembangunan, tetapi usaha menggerakan rakyat memerlukan kepemimpinan aktif yang
tidak hanya harus mempunyai pengetahuan dan pendidikan cukup banyak, tetapi
juga harus memiliki daya aktivitas dan inisiatif untuk membuat inovasi-inovasi.
Struktur masyarakat di Jawa yang
asli, sudah terlanjur dirusak oleh struktur administratif yang ditumpangkan di atasnya oleh pemerintah kolonial, sejak
lebih dari satu abat lamanya. Demikian sebagai akibat dari itu, masyarakat desa di Jawa tidak mengenal
kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi adaptasi yang sudah mantap, yang dapat berbuat
kreatif sendiri. Hal ini berbeda misalnya dengan organisasi-organisasi seperti Banjar atau Subak di Bali, suatu daerah yang baru dikuasasi
oleh pemerintah kolonial sejak permulaan abad ke-20 ini, sehingga masih dapat
mempertahankan bentuk-bentuk
organisasi asli yang sudah mantap itu. Organisasi administratif yang ditumpangkan dari atas biasanya dikepalai
orang-orang yang berjiwa pegawai, yang sering tak suka memikul tanggung jawab sendiri, dan hanya biasa menunggu perintah dari atasan.
Sesudah uraian tersebut di atas,
teranglah bahwa masih ada banyak penghambat dalam hal melaksanakan pembangunan
masyarakat desa di Jawa. Di antaranya masalah-masalah penghambat yang paling
penting adalah:
1.
mentaliter orang
Jawa yang terlalu menerima dan bersifat pasif terhadap
hidup
2.
tekanan penduduk
yang telah menyebabkan rakyat pedesaan di Jawa itu menjadi keliwat miskin
3.
tak adanya
organisasi-organsasi asli yang telah mantap yang jika di mordernisasi dapat
menjadi organisasi mayrakat yang aktif dan kreatif
4.
tak adanya kepemimpinan desa yang aktif kreatif dapat
memimpin aktifitas produksi yang bias memberi hasil tiga empat kali lebih dari
pada sekarang tiap-tiap tahun. Semua masalah tersebut memang kita
dapat mengerti, tetapi amat sukur untuk diatasi dalam waktu yang singkat.[9]
- Dinamika Islam dan Budaya Jawa Dalam Menghadapi Modernitas
Dinamika
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tenaga yang menggerakkan, semangat, dan
gerak dari dalam.[10]
Jadi dinamika Islam adalah gerak yang penuh semangat dalam Islam.
Sebagai
pandangan dan sikap hidup, sama juga dengan suku-suku bangsa yang ada di
Indonesia, kebudayaan pun
bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Persentuhan itu menimbulkan
akulturasi budaya.
Modernisasi diartikan sebagai
perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau
dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Perubahan-perubahan
tersebut menyeluruh di setiap lini kehidupan, namun lebih terlihat modernisasi
dalam bidang tekhnologi. Contoh modernisasi;
- Dalam bidang pertanian, yang semula membajak memakai tenaga kerbau sekarang memakai traktor, perubahan yang sangat membantu ini terutama bagi petani timbul karna adanya penemuan tekhnologi terbaru yang lebih efektif dan efisien.
- Dalam bidang fashion, bidang fashion ini selalu mengalami perkembangan dari zaman ke zaman selalu berubah dan memiliki ciri khas tersendiri. Namun dalam perkembanganya tidak selalu positif akibat pengaruh barat dan juga teknologi yang semakin maju.
- Dalam bidang ekonomi, kegiatan jual beli di pasar yang semula hanya tukar menukar barang sekarang berubah bukan hanya tukar barang namun dengan lebih banyak cara. Yang lebih terlihat yaitu perubahan pasar tradisional yang mulai menjadi pasar swalayan, yang bisa dilakukan dengan cara yang sangat mudah dan nyaman.
- Dalam bidang sosial, hubungan antar tetangga yang semula erat dan saling tolong menolong, berubah tertutup dan indvidualis, perubahan dalam bidang ini menyebabkan kemerosotan moral masyarakat jawa, hubungan yang sangat luas membuat kebudayaan luar cepat masuk ke jawa. masyarakat jawa yang memiliki sifat ramah dan terbuka menyebabkan mudahnya budaya luar masuk dan di terima.
Wujud budaya tidak lepas dari
situasi tempat dan waktu dihasilkannya unsur budaya tersebut. Oleh karenanya dalam
kebudayaan dikenal adanya perubahan.
Dengan terjadinya globalisasi di era
modern ini ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal dan ditemukan
pada bangsa-bangsa yang ada di belahan
dunia lainnya.[11]
Dalam proses perubahan kebudayaan
ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah. Berkaitan dengan hal ini, Linthon membagi kebudayaan menjadi inti
kebudayaan (covert culture) dan perwujudan kebudayaan (overt culture).
Bagian inti terdiri dari sistem budaya
keyakinan keagamaan yang dianggap keramat,
beberapa adat yang
telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat. Bagian inti kebudayaan sulit
berubah seperti keyakinan agama, adat istiadat, maupun sistem nilai
budaya. Sementara itu wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar atau fisik dari
kebudayaan seperti alat-alat atau benda hasil seni budaya mudah untuk berubah.
Dengan menggunakan kerangka teori
tersebut maka nilai budaya Jawa Islam sulit berubah di masa modern ini karena berkaitan dengan
keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks terjadinya perubahan ke arah modernisasi
yang berciri nasionalistis, matrealistis, egaliter maka nilai budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan yang pluralistik.
Di antara nilai keuniversalan budaya Jawa itu terletak pada nilai
spiritual yang relegius magis. Nilai yang relegius
magis
pada era modern ini juga ditemukan pada budaya-budaya bangsa di negeri lain, tidak terbatas pada budaya Jawa.
Maka nilai ini tampaknya masih
akan hidup di masyarakat penganutnya
karena adanya berbagi faktor penyebab
antara lain nilai spiritual Jawa yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak mudah hilang dengan munculnya
rasionalisasi di berbagi
segi kehidupan karena diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup yang
muncul di abad
modern. Jadi, penganut
budaya Jawa Islam, tidak dapat meningglkan tradisi spiritualnya seperti selametan,
mitoni, dan sebagainya. Namun, dalam kenyataannya, ada adat istiadat Jawa
yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis
lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya, rangkaian
upacara dalam perkawinan,
seperti tarub, siraman, dan sebagainya yang di masa sekarang lebih
dikenal hanya memiliki nilai seni.
Kehidupan spiritual di era modern
ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan
masyarakat Jawa. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar orang merasakan pengaruh negatif dari budaya modern
hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual. Mereka
cenderung mengutamakan hal yang bersifat materi dan rasional, tetapi melupakan
nilai sosial dan batiniah. Sejalan dengan hal itu, maka banyak orang memerlukan ketenangan batin. Dengan demikian,
mereka
menuju ke ajaran agama dan kehidupan
spiritual termasuk spiritualitas Jawa Islam, yang mulai banyak dilirik kembali
oleh masyarakat modern. Tidak
mengherankan jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di
masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dilakukan lagi, seperti ruwatan untuk membuang sial. [12]
Sejumlah
permasalahan yang terkait dengan berbagai situasi serta tuntutan aktual di masa
kini, dengan segala dampak positif atau negatifnya, antara lain:[13]
1.
Penyempitan arena penggunaan bahasa Jawa
2.
Persaingan dengan sastra Indonesia
3.
Perluasan jangkauan pemirsa seni populer, seperti dalam
kasus kethoprak humor, campur sari dan lain sebagainya
4.
Advokasi dan daya bertahan wayang
5.
Perkembangan seni kontemporer berbasis tradisi seni
Jawa yang kuat
Islam
adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta seperti Hindu-Budha. Namun
pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu golongan santri, abangan dan
priyayi.[14] Golongan ini bukan untuk membedakan status
sosial seseorang, tapi untuk mengetahui mana yang lebih pemahamannya tentang
agama. Dengan demikian, di Jawa belum bisa dijadikan Islam murni karena
terhalang oleh penjajahan. Umat diarahkan untuk berjuang dan berjuang melawan
orang-orang Barat sehingga umat Islam Indonesia dan Jawa khususnya belum sempat
menciptakan peradaban, belum sempat membenahi ke dalam.[15] Sebagaimana pada masa
sekarang, di Jawa masih terdapat tiga golongan Islam.
Dengan
sifat budaya Jawa yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang
luhur masih dapat bertahan, sewaktu harus berhadapan dengan unsur budaya modern
yang global. Dalam komunikasi antar budaya yang pernah terjadi antara budaya
Jawa dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam, ternyata tidak menyebabkan budaya
Jawa luntur, tetapi justru diperkaya dan diperhalus, melalui proses asimilasi
maupun akulturasi.[16]
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Dari
seluruh uraian pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut sebagai jawaban atas rumusan permasalahan, yakni:
1.
Kebudayaan Jawa adalah akulturasi budaya sebelum Islam tersebar
di Jawa, yakni ajaran-ajaran agama Hindu, Budha yang bercampur aduk dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme dan dengan agama Islam. Dengan adanya
globalisasi mempengaruhi cara
pandang manusia terhadap kehidupan khususnya di bidang budaya yang hendak mengikis jati diri budaya
bangsa dan mengganti dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban
tertentu mengancam identitas suatu bangsa.
2.
Budaya Islam supaya dapat memodernisasi maka unsur budaya
Jawa Islam dalam beberapa bidang memerlukan reinterprestasi agar sesuai dengan
perubahan yang terjadi pada masyarakat dan dilakukan rekontruksi agar
kesan feodalisme yang melekat pada budaya Jawa.
3.
Dinamika Islam pada masa sekarang masih terdiri dari tiga
kelompok yaitu priyayi, santri, dan abangan. Budaya Jawa dalam menghadapi
modernitas sulit berubah karena berkaitan dengan keyakinan keagamaan dan adat
istiadat. Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum
memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat Jawa. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar orang merasakan pengaruh negatif dari budaya modern
hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual.
II.
Penutup
Demikian makalah
ini kami
buat, penulis sadar dalam makalah ini banyak kesalahan dalam penulisan maupun
penyampaian. Untuk itu,
kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
butuhkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga dapat bermanfaat
dan menambah wawasan kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogjakarta: Gama Media, 2000
Anasom, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media,2004
Chulsum, Umi
& Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Yoshiko, 2006
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2008
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002
Roqib, Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi Dan Keadilan
Gender), Yogyakarta:
STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar, 2007
Sedyawati, Edi, Budaya
Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006
Sofwan,
Ridin, dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa,
Yogyakarta: Gama
Media
Susanto, Astri S., Pengantar Sosiologi dan Perubahan
Sosial, Bandung:
Bina Cipta, 1979
Beatty, Andrew, Variasi Agama di Jawa; Suatu
Pendekatan Antropologi, Penerjemah Achmad Fedyani Saefuddin, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001
[2]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT
Gramedia, 2008, hlm. 214
[3]
Astri S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung:
Bina Cipta, 1979, hlm. 148
[4]
Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi Dan Keadilan Gender),
Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar, 2007, hlm 79
[6] Umi Chulsum & Windy Novia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Yoshiko, 2006, hlm. 259
[10] Umi Chulsum & Windy Novia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,hlm. 129
[13] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia; Kajian
Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm.
432
[14]
Andrew Beatty, Variasi Agama di
Jawa; Suatu Pendekatan Antropologi, Penerjemah Achmad Fedyani Saefuddin,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.
219