Rabu, 01 Juli 2015

DINAMIKA ISLAM BUDAYA JAWA DALAM MODERNITAS




BAB I
PENDAHULUAN
1.           Latar Belakang
Pada era globalisasi saat sekarang ini kita berada, menurut ramalan futurolog John Naisbit, yang kami kutip dari buku Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa bahwa era globalisasi dicirikan oleh kembalinya nilai-nilai lama yang ditafsirkan kembali untuk kehidupan saat ini. Maksudnya ada kecenderungan masyarakat merevitalisasi nilai-nilai tradisi yang pernah mewarnai bangsanya. Dengan demikian, ada kebutuhan vital bagi bangsa Indonesia untuk sedikit menengok nilai-nilai yang pernah memandu sejarah perjalanan panjang bangsa kita.[1] Bangsa yang besar adalah bangsa yang  terus berpijak pada akar budaya, kemanapun bangsa tersebut berkembang. Apalah arti nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam budaya tersebut apabila kelak akan terhenti pada suatu generasi. Seberapa erat sang penerus menjaga akar kebudayaan pun akhirnya menjadi suatu faktor tertentu kebesaran sebuah bangsa. Budaya Jawa sebagai salah satu dari sekian ragam budaya yang dimiliki bangsa kita tengah berdiri menghadapi tantangan yang juga menjadi tantangan setiap budaya di dunia modernisasi.
Kita patut bersyukur bahwa sejak dahulu budaya Jawa tumbuh sebagai budaya yang memiliki sansibilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya. Nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran yang terkandung didalamnya tak pernah langka oleh waktu, menjadikannya sebagai budaya yang kokoh menghadapi perkembangan zaman. Namun, tentu itu semua tak lantas kita terbebas dari kewajiban kita dalam menjaga kebudayaan dalam budaya Jawa.  Disinilah tantangan dimana masyarakat Jawa dituntut untuk dapat mempertahankan kebudayaannya namun juga harus bisa mengimbangi perkembangan teknologi yang ada sehingga tidak ketinggalan zaman. Masa modern ini kebudayaan Islam Jawa senantiasa berkembang sesuai seiring perkembangan ilmu teknologi. Tentu saja bukan hal mudah untuk merubah tradisi-tradisi tersebut namun setidaknya bisa disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi saat ini.
Dalam makalah ini, kami akan menguraikan penjelasan tentang Dinamika Islam dan budaya Jawa dalam menghadapi modernitas

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami menyajikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Kebudayaan Jawa dan globalisasi
2.      Modernisasi dalam budaya Jawa
3.      Dinamika Islam dan budaya Jawa dalam menghadapi modernitas









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kebudayaan Jawa Dan Globalisasi
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi tingkah lakunya.[2] Kebudayaan juga merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan membentuknya satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya. Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik.[3]
Pertemuan antara individu atau komunitas yang satu dengan yang lain akan melahirkan sebuah kontak pemikiran dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing pihak sehingga terjadi proses dialektika pemikiran dan budaya secara kontinu. Respon yang berbeda terhadap kontak dan interaksi yang terjadi sesuai dengan dasar potensi dan persepsi yang ada menimbulkan heterogenitas hasil pemikiran dan budaya yang terbentuk.
Budaya merupakan kombinasi dan konvergensi dari budaya yang sebelumnya telah ada.[4] Budaya yang berkembang di Jawa yang sebelumnya telah berakulturasi dengan budaya Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha yang selanjutnya disusul dengan kedatangan agama Islam telah meniscayakan akulturasi budaya yang menghasilkan budaya baru. Jadi kebudayaan Jawa adalah akulturasi budaya sebelum Islam tersebar di Jawa, yakni budaya yang bersumberkan dari ajaran-ajaran agama Hindu dan agama Budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme dan dengan agama Islam.
Faktor yang menyebabkan terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dengan Islam adalah budaya Jawa memiliki ciri yang lentur dan terbuka sikap toleran para walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis itu.[5]
Sedikit  demi sedikit budaya Jawa yang begitu mengakar kuat sejak zaman dahulu kala hingga kini tak dapat ditampik akan terkena juga dampak globalisasi. Globalisasi adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia.[6] Berbagai bentuk perubahan sosial yang menyertai era globalisasi tersebut pada gilirannya mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kehidupan. Pada era global nilai, norma, dan cara hidup berganti begitu cepat menjadi tatanan baru yang semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang teguh sebelumnya. Adanya kecenderungan globalisasi di bidang  budaya yang hendak mengikis jati diri budaya bangsa, dan mengganti dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu mengancam identitas suatu bangsa.
Sikap masyarakat yang mulai menganggap remeh dan kuno budaya Jawa saat ini berdampak terhadap keterpurukan budaya Jawa. Keengganan tersebut dipicu perasaan masyarakat yang merasa bahwa budaya Jawa memiliki pola hidup dan sikap yang kurang tepat untuk dijunjung di era globalisasi pada saat ini, ketidakpedulian inilah yang melatarbelakangi semakin pudarnya kebudayaan Jawa, mengalirnya budaya asing di tengah masyarakat terhadap perkembangan budaya Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran.[7]
Maka masyarakat harus mengadakan enkulturasi (pembudayaan) budaya Jawa yang secara terus menerus dilakukan melalui tradisi lisan maupun tertulis. Maka sejak kecil, seseorang telah diperkenalkan dengan unsur-unsur budaya yang hidup di tengah keluarga maupun masyarakat. Hal ini membawa pada proses internalisasi nilai budaya dalam kehidupan setiap individu sehingga tertanam secara mantap dalam pribadinya. Kuatnya adat istiadat yang melekat dalam sanubari seseorang menyebabkan sulitnya merubah adat yang telah mengakar di masyarakat. Selain itu, perlunya ditingkatkan tameng diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan kita menggunakan filsafat Jawa. Sehingga orang Jawa tidak kehilangan kepribadiannya.
Adapun potensi falasafah Jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri adalah sebagai berikut:
1.      ajining diri saka lathi, ajining seliro soko busana artinya nilai diri seseorang terletak pada gerakan lidahnya, nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya, harga diri seseorang terletak pada ucapannya.
2.      aja dhumuko, aja gumun, aja kagetan, artinya jangan sombong, jangan mudah terkagum-kagum, jangan mudah terkejut.
3.      aja dhumeh, tepo seliro, ngerti kuwalat artinya jangan merasa hebat, tergantung rasa, tahu karma. Dimanapun kita berada, jangan merasa hebat, berbuat semaunya.
4.      sugih tanpa bandha, digdoyo tanpa aji, ngalurung tanpa bala, menang tanpa ngasarake artinya kaya tanpa harta, sakit tanpa azimat, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan.[8]
  1. Modernisasi Dalam Budaya Jawa
Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memang memerlukan reinterprestasi agar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Misalnya ungkapan-ungkapan yang selama ini ditangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu diberi pemaknaan rasional. Seperti selogan alon-alon waton kelakon. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang Jawa yang  terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang hal ini tentu tidak cocok lagi karena dalam kehidupan modern dituntut adanya efisiensi waktu sehingga pekerjaan perlu dilakukan secara cepat dan tepat.
Selain itu perlu dilakukan rekontruksi agar kesan feodalisme yang melekat pada budaya Jawa, seperti tata karma yang menerapkan hierarki bahasa, dapat diubah dalam bentuk yang egaliter. Karena di era modern orang tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat budaya sehingga menginginkan penggunaan bahasa yang berlaku nasional atau internasional. Oleh karena itu, penggunaan bahasa karma inggil yang mencerminkan setrata sosial masyarakat tidak perlu dipaksakan pemakaiannya. Secara subtansial nilai sopan santun berbicara dan bertingkah laku yang terdapat dalam budaya Jawa Islam tetap dilestarikan, walaupun dalam format bahasa nasional atau internasional.
Tekanan jumlah penduduk yang sudah mulai naik dengan laju yang cepat sejak satu abad di daerah pedesaan di Jawa, tetapi yang terasa secara nyata sesudah zaman perang dunia kedua. Masalah merupakan salah satu masalah besar penghambat pembangunan. Dengan tanah yang terpecah-pecah kecil, dan kemudian masih juga harus dipecah-pecah lagi untuk dapat dibagikan kepada orang-orang desa dengan cara adol ayodan, adol sende, bagi hasil, dan sebagainya. Maka sukar orang dapat menghasilkan surplus, yang dapat ditanam sebagai modal untuk pembangunan. Tiap-tiap produksi  seolah-olah menghilang lagi dalam sekejap mata, karena harus dibagi rata antara puluhan orang tetangga di desa yang ikut membantu pada panen, atau dalam aktivitas-aktivitas gotong-royong lainnya. Demikian agar sampai dapat terbentuk surplus untuk disisihkan dan ditanam sebagai modal, orang desa Jawa tidak perlu hanya melipatgandakan produksinya dua kali saja, tetapi tiga empat kali lebih. Hal ini hanya mungkin kalo cara-cara bercocok tanam yang lama ditinggalkan dan intensifikasi produksi dicapai dengan pemakaian bibit unggul yang baru, dengan pemupukan atau hidroponik.  
Adapun pemakaian teknik-teknik baru tidak hanya dalam pertanian, melainkan dalam seluruh kehidupan masyarakat desa, yang seperti terurai di atas bersikap terlampau pasif terhadap hidup. Pokoknya rakyat harus di gerakan untuk pembangunan, tetapi usaha menggerakan rakyat memerlukan kepemimpinan aktif yang tidak hanya harus mempunyai pengetahuan dan pendidikan cukup banyak, tetapi juga harus memiliki daya aktivitas dan inisiatif untuk membuat inovasi-inovasi.
Struktur masyarakat di Jawa yang asli, sudah terlanjur dirusak oleh struktur administratif yang ditumpangkan di atasnya oleh pemerintah kolonial, sejak lebih dari satu abat lamanya. Demikian sebagai akibat dari itu, masyarakat desa di Jawa tidak mengenal kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi adaptasi yang sudah mantap, yang dapat berbuat kreatif sendiri. Hal ini berbeda misalnya dengan organisasi-organisasi seperti Banjar atau Subak di Bali, suatu daerah yang baru dikuasasi oleh pemerintah kolonial sejak permulaan abad ke-20 ini, sehingga masih dapat mempertahankan bentuk-bentuk organisasi asli yang sudah mantap itu. Organisasi administratif yang ditumpangkan dari atas biasanya dikepalai orang-orang yang berjiwa pegawai, yang sering tak suka memikul tanggung jawab sendiri, dan hanya biasa menunggu perintah dari atasan.
Sesudah uraian tersebut di atas, teranglah bahwa masih ada banyak penghambat dalam hal melaksanakan pembangunan masyarakat desa di Jawa. Di antaranya masalah-masalah penghambat yang paling penting adalah:
1.         mentaliter orang Jawa yang terlalu menerima dan bersifat pasif terhadap hidup
2.         tekanan penduduk yang telah menyebabkan rakyat pedesaan di Jawa itu menjadi keliwat miskin
3.         tak adanya organisasi-organsasi asli yang telah mantap yang jika di mordernisasi dapat menjadi organisasi mayrakat yang aktif dan kreatif
4.         tak adanya kepemimpinan desa yang aktif kreatif dapat memimpin aktifitas produksi yang bias memberi hasil tiga empat kali lebih dari pada sekarang tiap-tiap tahun. Semua masalah tersebut memang kita dapat mengerti, tetapi amat sukur untuk diatasi dalam waktu yang singkat.[9]
  1. Dinamika Islam dan Budaya Jawa Dalam Menghadapi Modernitas
Dinamika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tenaga yang menggerakkan, semangat, dan gerak dari dalam.[10] Jadi dinamika Islam adalah gerak yang penuh semangat dalam Islam. Sebagai pandangan dan sikap hidup, sama juga dengan suku-suku bangsa yang ada di Indonesia, kebudayaan pun bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Persentuhan itu menimbulkan akulturasi budaya.
 Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Perubahan-perubahan tersebut menyeluruh di setiap lini kehidupan, namun lebih terlihat modernisasi dalam bidang tekhnologi. Contoh modernisasi;
    1. Dalam bidang pertanian, yang semula membajak memakai tenaga kerbau sekarang memakai traktor, perubahan yang sangat membantu ini terutama bagi petani timbul karna adanya penemuan tekhnologi terbaru yang lebih efektif dan efisien.
    2. Dalam bidang fashion, bidang fashion ini selalu mengalami perkembangan dari zaman ke zaman selalu berubah dan memiliki ciri khas tersendiri. Namun dalam perkembanganya tidak selalu positif akibat pengaruh barat dan juga teknologi yang semakin maju.
    3. Dalam bidang ekonomi, kegiatan jual beli di pasar  yang semula hanya tukar menukar barang sekarang berubah bukan hanya tukar barang namun dengan lebih banyak cara. Yang lebih terlihat yaitu perubahan pasar tradisional yang mulai menjadi pasar swalayan, yang bisa dilakukan dengan cara yang sangat mudah dan nyaman.
    4. Dalam bidang sosial, hubungan antar tetangga yang semula erat dan saling tolong menolong, berubah tertutup dan indvidualis, perubahan dalam bidang ini menyebabkan kemerosotan moral masyarakat jawa, hubungan yang sangat luas membuat kebudayaan luar cepat masuk ke jawa. masyarakat jawa yang memiliki sifat ramah dan terbuka menyebabkan mudahnya budaya luar masuk dan di terima.

Wujud budaya tidak lepas dari situasi tempat dan waktu dihasilkannya unsur budaya tersebut. Oleh karenanya dalam kebudayaan dikenal adanya perubahan. Dengan terjadinya globalisasi di era modern ini ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai universal dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada di belahan dunia lainnya.[11]
Dalam proses perubahan kebudayaan ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah. Berkaitan dengan hal ini, Linthon membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan (covert culture) dan perwujudan kebudayaan (overt culture). Bagian inti terdiri dari sistem budaya keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat. Bagian inti kebudayaan sulit berubah seperti keyakinan agama, adat istiadat, maupun sistem nilai budaya. Sementara itu wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar atau fisik dari kebudayaan seperti alat-alat atau benda hasil seni budaya mudah untuk berubah.
Dengan menggunakan kerangka teori tersebut maka nilai budaya Jawa Islam sulit berubah di masa modern ini karena berkaitan dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks terjadinya perubahan ke arah modernisasi yang berciri nasionalistis, matrealistis, egaliter maka nilai budaya Jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan perwujudan yang pluralistik. Di antara nilai keuniversalan budaya Jawa itu terletak pada nilai spiritual yang relegius magis. Nilai yang relegius magis pada era modern ini juga ditemukan pada budaya-budaya bangsa di negeri lain, tidak terbatas pada budaya Jawa. Maka nilai ini tampaknya masih akan hidup di masyarakat penganutnya karena adanya berbagi faktor  penyebab antara lain nilai spiritual Jawa yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak mudah hilang dengan munculnya rasionalisasi di berbagi segi kehidupan karena diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup yang muncul di abad modern. Jadi, penganut budaya Jawa Islam, tidak dapat meningglkan tradisi spiritualnya seperti selametan, mitoni, dan sebagainya. Namun, dalam kenyataannya, ada adat istiadat Jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya, rangkaian upacara dalam perkawinan, seperti tarub, siraman, dan sebagainya yang di masa sekarang lebih dikenal hanya memiliki nilai seni.
Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar orang merasakan pengaruh negatif dari budaya modern hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual. Mereka cenderung mengutamakan hal yang bersifat materi dan rasional, tetapi melupakan nilai sosial dan batiniah. Sejalan dengan hal itu, maka banyak orang memerlukan ketenangan batin. Dengan demikian,  mereka menuju ke ajaran agama dan kehidupan spiritual termasuk spiritualitas Jawa Islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh masyarakat modern. Tidak mengherankan jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dilakukan lagi, seperti ruwatan untuk membuang sial. [12]
Sejumlah permasalahan yang terkait dengan berbagai situasi serta tuntutan aktual di masa kini, dengan segala dampak positif atau negatifnya, antara lain:[13]
1.      Penyempitan arena penggunaan bahasa Jawa
2.      Persaingan dengan sastra Indonesia
3.      Perluasan jangkauan pemirsa seni populer, seperti dalam kasus kethoprak humor, campur sari dan lain sebagainya
4.      Advokasi dan daya bertahan wayang
5.      Perkembangan seni kontemporer berbasis tradisi seni Jawa  yang kuat
Islam adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta seperti Hindu-Budha. Namun pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu golongan santri, abangan dan priyayi.[14] Golongan ini bukan untuk membedakan status sosial seseorang, tapi untuk mengetahui mana yang lebih pemahamannya tentang agama. Dengan demikian, di Jawa belum bisa dijadikan Islam murni karena terhalang oleh penjajahan. Umat diarahkan untuk berjuang dan berjuang melawan orang-orang Barat sehingga umat Islam Indonesia dan Jawa khususnya belum sempat menciptakan peradaban, belum sempat membenahi ke dalam.[15] Sebagaimana pada masa sekarang, di Jawa masih terdapat tiga golongan Islam.
Dengan sifat budaya Jawa yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang luhur masih dapat bertahan, sewaktu harus berhadapan dengan unsur budaya modern yang global. Dalam komunikasi antar budaya yang pernah terjadi antara budaya Jawa dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam, ternyata tidak menyebabkan budaya Jawa luntur, tetapi justru diperkaya dan diperhalus, melalui proses asimilasi maupun akulturasi.[16]



BAB III
PENUTUP
I.                   Kesimpulan
Dari seluruh uraian pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut sebagai jawaban atas rumusan permasalahan, yakni:
1.      Kebudayaan Jawa adalah akulturasi budaya sebelum Islam tersebar di Jawa, yakni ajaran-ajaran agama Hindu, Budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme dan dengan agama Islam. Dengan adanya globalisasi mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kehidupan khususnya di bidang  budaya yang hendak mengikis jati diri budaya bangsa dan mengganti dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu mengancam identitas suatu bangsa.
2.      Budaya Islam supaya dapat memodernisasi maka unsur budaya Jawa Islam dalam beberapa bidang memerlukan reinterprestasi agar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat dan dilakukan rekontruksi agar kesan feodalisme yang melekat pada budaya Jawa.
3.      Dinamika Islam pada masa sekarang masih terdiri dari tiga kelompok yaitu priyayi, santri, dan abangan. Budaya Jawa dalam menghadapi modernitas sulit berubah karena berkaitan dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang merasakan pengaruh negatif dari budaya modern hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual.


II.                Penutup
Demikian makalah ini kami buat, penulis sadar dalam makalah ini banyak kesalahan dalam penulisan maupun penyampaian. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogjakarta: Gama Media, 2000
Anasom, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media,2004
Chulsum, Umi & Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Yoshiko, 2006
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2008
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002
Roqib, Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi Dan Keadilan Gender), Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar, 2007
Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Sofwan, Ridin, dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media
Susanto, Astri S., Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Bina Cipta, 1979
Beatty, Andrew, Variasi Agama di Jawa; Suatu Pendekatan Antropologi, Penerjemah Achmad Fedyani Saefuddin, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
 


[1] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, hlm. VI

[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 2008, hlm. 214
[3] Astri S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Bina Cipta, 1979, hlm. 148
[4] Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi Dan Keadilan Gender), Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar, 2007, hlm 79
[5] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, hlm. 50
[6] Umi Chulsum & Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Yoshiko, 2006, hlm. 259
[7] Anasom, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media,2004, hlm. 216
[8] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002, hlm. 329
[9] Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogjakarta: Gama Media, 2000, hlm. 285
[10] Umi Chulsum & Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,hlm. 129
[11] Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, hlm. 285
[12] Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, hlm. 288
[13] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 432
[14] Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa; Suatu Pendekatan Antropologi, Penerjemah Achmad Fedyani Saefuddin, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.  219
[15] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, hlm. 10
[16] Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, hlm. 290