I.
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Sekali banjir,
sekali berpindah tepian, demikian ”hadits maja” kita. Tiap pergantian pimpinan
pemerintahan terjadi pula perubahan-perubahan kebijaksanaan politik dalam
negara, sedikit atau banyak.[1]
Demikianlah, yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW yang dilanjutkan
dengan masa khulafaur rasyidin.
Dengan wafatnya
Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni
kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan
temporal (duniawi) dan berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan
situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam,
Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau
tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang
harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Masa khulafaur rasyidin atau
masa khibarus sahabat (sahabat kabir) bisa dibilang sebagai masa yang penuh
dengan kekuatan sekaligus perpecahan Kaum muslimin, karena banyaknya
permasalahan yang terjadi pada masa ini, politik Islam semakin berkembang dari
sebelumnya. Untuk mengetahui pemikiran politik masa khulafaur rasyidin lebih
lanjut, Berikut akan kami paparkan tentang pemikiran politik pada masa
khulafaur rasyidin.
2. Rumusan
masalah
a. Bagaimana
pemikiran politik masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq?
b. Bagaimana
pemikiran politik masa Khalifah Umar bin Khattab?
c. Bagaimana
pemikiran politik masa Khalifah Utsman bin Affan?
d. Bagaimana
pemikiran politik masa Khalifah Ali bin Abi Thalib?
e. Bagaimana
sistem pemilihan khalifah masa Khulafaur Rasyidin?
f. Apa
saja kelemahan pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
g. Apa
saja kelebihan pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
3. Tujuan
Mengetahui
bagaimana proses perkembangan pemikiran politik selepas Rosulullah SAW wafat
yaitu pada masa Khulafaur Rasyidin.
II.
PEMBAHASAN
1. Politik masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq
Namanya Abdullah ibnu Abi Quhafah at Tamimi. Dimasa
jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah Kuniyah
Abu Bakar. Gelarnya As-Shidiq (yang amat membenarkan).[2]
Sesudah kaum Anshar wafat, kaum Anshar menghendaki
agar orang yang akan menjadi Khalifah dipilih diantara mereka, Ali bin Abi
Thalib pun mengingini agar beliaulah yang diangkat menjadi Khalifah, tetapi
bagian terbanyak dari kaum muslimin menghendaki Abu Bakar, maka dipilihlah
beliau menjadi khalifah.[3]
Orang-orang yang tadinya ragu untuk memberikan
bai’ah kepada Abu Bakar dikala golongan terbanyak dari kaum muslimin
membai’ahnya segera pula memberikan bai’ahnya. Sesudah Abu Bakar diangkat
menjadi khalifah, beliau berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan siasat
pemerintahan yang akan beliau jalankan, berikut bunyi pidatonya :
“wahai manusia! Saya telah diangkat untuk
mengendalikan pesanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka
jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik maka ikutilah aku, tetapi jika aku
berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang mengambil hak dari padanya, sedang
orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan
haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasulnya kamu tak perlu
menaatiku. Dirikanlah shalat semoga Allah merahmati kalian”[4]
Dari fakta historis bai’at yang di Tsaqifah
tergambar bahwa pertemuan politik atau forum musyawarah itu berlangsung hangat,
terbuka dan demokratis. [5]Pidato
yang diucapkan setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan
komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan strategi menilai keberhasilan
tertinggi bagi umat sepeninggal Nabi Muhammad
SAW. Pidato itu juga menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan
abu bakar dalam pemerintahan. jika disimpulkan terdapat prinsip kebebasan
berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, mendorong
masyarakat berjihad, serta shalat sebagai intisari ketakwaan umat Islam.[6]
Pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah merupakan
bukti bahwa Abu Bakar menjadi khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi
hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi
khalifah, maka mulailah Abu Bakar menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai
pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan, dan juga disinilah prinsip
demokrasi tertanam sejak awal perkembangan Islam.[7]
Berikut kebijakan dan kebijaksanaan yang dilakukan
oleh Abu Bakar ketika menjadi khalifah :
·
Dalam bidang
politik
Dalam menjalankan kekuasaan Islam Abu bakar bersifat
sentral. Dalam hal ini kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif,
sepenuhnya berada ditangan khalifah. Meskipun demikian dalam menentukan dan
memutuskan suatu masalah abu bakar selalu mengajak sahabat untuk bermusyawarah.[8]
Apabila terjadi suatu perkara Abu Bakar selalu
mencari hukumnya dalam Al-Qur’an. Apabila dalam kitab suci tidak dijumpai
pemecahannya, maka beliau mempelajari cara Rosulullah SAW dalam menyelesaikan
suatu perkara. Dan jika tidak ditemukannya dalam hadits Nabi, maka beliau
mengumpulkan tokoh-tokoh terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang
diputuskan mereka setelah pembahasan, diskusi, dan penelitian, beliau
menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.[9]
Sebagaimana dinyatakan dalam pidato yang disampaikan
setelah dibai’at, politik dalam pemerintahan Abu Bakar adalah pemerintahan yang
demokratis, beliau menyadari kelemahannya sebagai manusia biasa. Oleh karena
itu beliau meminta kepada segenap kaum muslimin agar mengikutinya jika yeng
dilakukannya adalah benar. Akan tetapi jika salah beliau meminta untuk
dikritisi.[10]
Menurut suyuti pulungan ada beberapa kebijaksanaan
Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan sebgaimana berikut :
ü Bidang
eksekutif
Pendelegasian terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah
maupun daerah. Misalnya, untuk pemerintahan pusat abu bakar menunjuk ali bin
Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekertaris dan abu
ubaidah sebagai bendaharawan. Sedangkan Umar bin Khattab menjadi hakim agung.
Adapun urusan pemerintahan diluar kota Madinah
Khalifah Abu Bakar membagi wilayah hukum kekuasaan negara Madinah menjadi
beberapa provinsi. Dan setiap provinsi ia menugaskan Amir atau wali.[11]
ü Pertahanan
dan keamanan
Mengorganisasikan pasukan-pasukan yang ada untuk
mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan. pasukan itu disebarkan
untuk memelihara stabilitas didalam maupun diluar negri. Diantara panglima yang
ditunjuk adalah khalid bin Walid, Musanna bin Harisah, Amru bin Ash, Zaid bin
Sufyan, dan lain-lain.
Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usaman bin Zaid
yang berjumlah 700 orang, untuk memerangi kaum romawi sebagai realisasi dari
rencana Rasulullah ketika Masih hidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk
Umar bin Khattab banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan khalifah ini.
Alasan mereka karena dalam negri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan
dan kemurtadan yang menambah untuk menghancurkan Islam dari dalam. Tetapi Abu Bakar
tetap mengirim pasukan Usamah ke Romawi Syam. Pada saat itu merupakan langkah
strategis dan membawa dampak positif bagi pemerintahan Islam, yaitu meskipun
negara Islam sedang dalam keadaan tegang akan tetapi muncul interpestasi
dipihak lawan, bahwa kekuatan Islam cukup tangguh. Para pemberontak menjadi
gentar, disamping itu juga dapat mengalihkan perhatian umat Islam dari
perselisihan yang bersifat intern.[12]
ü Yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin Khattab
dan selama masa pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu permasalahan yang
berarti untuk dipecahkan. Hal ini karena kemampuan dan sifat umar sendiri, dan
masyarakat dikala itu dikenal cukup taat terhadap hukum. Meskipun ada
penyimpangan jumlahnya tidak terlalu banyak.[13]
·
Bidang ekonomi
Raktek kekhalifahan Abu Bakar di bidang pranata
sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat.
Mengenai Dalam bidang ekonomi ada beberapa kebijakan yang dilakukan oleh
khalifah Abu Bakar diantaranya, ialah sebagai berikut :
ü Kebijakan
umum dibidang ekonomi abu bakar menerapkan praktik akad-akad perdagangan yang
sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam Islam. Selama masa khalifahnya
beliau menerapkan beberapa kebijakan umum, antara lain adalah :
Ø Menegakkan
hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat.
Ø Tidak
menjadikan ahli badar (orang-orang yang berjihad pada perang badar) sebagai
pejabat negara.
Ø Tidak
mengistimewakan ahli badar dalam pembagian kekayaan negara
Ø Mengelola
barang tambang (rikaz) yang terdiri atas emas, perak, perunggu, besi, dan baja
sehingga menjadi sumber pendapatan Negara
Ø Menetapkan
gaji pegawai berdasarkan karakteristik daerah kekuasaan masing-masing, dan
Ø Tidak
mengubah kebijakan Nabi Muhammad SAW dalam masalah jizyah
ü Penerapan
prinsip persamaan dalam distribusi kekayaan negara
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
khalifah Abu Bakar melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW
beliau memperhatikan akurasi perhitungan zakat. Hal penghitungan ini dijadikan
sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam baetul mal dan langsung
didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin.
ü Amanat
baetul mal
Para sahabat Nabi beranggapan baitul mal adalah
amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan
pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu kedalamnya dan pengeluaran
sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul mal untuk
mencapai tujuan-tujuan pribadi.
ü Pendistribusian
zakat
Selain mendirikan baetul mal khalifah Abu Bakar juga
sangat memperhatikan pemerataan pendistribusian zakat kepada masyarakatnya,
karena beliau merasa zakat merupakan salah satu instrument terpenting dalam
menyejahterakan rakyatnya. Dalam mendistribusikan baitul mal, Abu Bakar
menerapkan prinsip kesamarataaan. Menurut Abu Bakar dalam hal keutamaan beriman
Allah SWT yang akan memberikan ganjarannya sedangkan dalam masalah kebutuhan
hidup prinsip kesamarataan lebih baik dari pada prinsip keutamaan.[14]
·
Bidang keagamaan
ü Peperangan
dengan kaum riddat
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga
tokoh yang mengaku dirinya Nabi Muhammad SAW, yaitu musailamah, Thulhah, Aswad
Al-Insa. Mereka berupaya meluaskan pengikutnya dan membelakangi agama Islam.
Para nabi palsu ini berusaha menarik hati orang-orang Islam dengan membebaskan
prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan. Melihat aksi itu khalifah Abu
Bakar tidak tinggal diam, beliau membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan
Al-Liwak (panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Selain itu, setiap
pasukan dibekali Al-Mansyurat (pengumuman) yang harus disampaikan pada
suku-suku arab, isinya memanggil kembali kepada jalan yang benar. Jika mereka
tetap keras kepala maka barulah dihadapi dengan kekerasan.
ü Pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an
Abu bakar berhasil memadamkan kerusuhan yang
ditimbulkan oleh kaum riddah. Serta memulihkan kembali ketertiban dan kemanan
di semnanjung Arabia, tetapi akibat perang riddat ini banyak penghafal
Al-Qur’an yang terbunuh. Umar bin Khattab khawatir akan bertambahnya angka
kematian itu, yang berarti beberapa bagian lagi Al-Qur’an akan musnah. Oleh
karena itu Umar mengusulkan Abu Bakar untuk membuat suatu kumpulan “Al-Qur’an”.[15]
Khalifah Abu Bakar menyetujuinya sekaligus
menugaskan Zaid bin Tsabit karena Zaid paling bagus hafalannya. Abu Bakar
memerintahkan pengumpulan naskah-naskah setiap ayat-ayat Al-Qur’an dari
simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah ditunjuk oleh
Nabi Muhmmad SAW. Pada masa hidupnya serta menyimpan keseluruhan naskah dirumah
janda Nabi Muhammad SAW, yakni Siti Hafsah. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa
pengumpulan Al-Qur’an ini merupakan salah satu jasa besar Abu Bakar.[16]
Sebelum wafat khalifah abu bakar berwasiat sebagai
penggantinya kelak, beliau menunjuk Umar bin Khattab, Penunjukkan ini dilakukan
setelah beliau bermusyawarah dan meminta pendapat dari sahabat senior.[17]
Dari penunjukkan itu ada beberapa hal yang harus dicatat bahwa Abu Bakar dalam
menunjuk Umar tidak meninggalkan asas musyawarah, ia lebih dahulu mengadakan
konsultasi untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin,
Abu bakar tidak menunjuk salah seorang putranya atau kerabatnya melainkan
memilih orang yang mempunyai nama di hati masyarakat serta disegani oleh rakyat
karena sifat-sifat yang dimilikinya, pengukuhan Umar menjadi khalifah
sepeninggal Abu Bakar berjalan dengan baik dalam satu bai’at umum dan terbuka
tanpa ada pertentangan dikalangan kaum muslimin sehingga obsesi Abu Bakar untuk
menjaga keutuhan umat Islam dengan cara penunjukkan itu terjamin.[18]
2. Politik masa Khalifah Umar bin Khattab
Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi dan
khalifah kedua setelah wafatnya Abu Bakar As-Shidiq. Jasa dan pengaruhnya
terhadap penyebaran Islam sangat besar hingga Michael H. Heart menempatkannya
sebaga orang paling berpengaruh 51 di dunia sepanjang masa.[19]
Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun Quraisy dengan nama
lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong
keluarga kelas menengah, Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia
juara gulat di Mekah. Begitu di bai’at dan dilantik menjadi Khalifah
menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabi dihadapan kaum
muslimin. Bagian dari pidatonya adalah :
“aku telah dipilih jadi Khalifah. Kerendahan hati
Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat
terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang
penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan in tidaklah sama dengan beliau.
Andaikata aku tahu ada orang yang lebih kuat dari padaku untuk memikul jabatan
ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul
jabatan ini. Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan saya. Dan menguji saya
dengan kamu dan membiarkan saya memimpin kamu sesudah sahabat saya maka
janganlah sesuatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepada seseorang selain
saya; dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari saya, sehingga saya tidak
dapat memilih orang-orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat
baik tentu saya akan berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat,
maka tentu saya akan menghukum mereka”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa
jabatan Khalifah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian, antara pemimpin dan
terpinpin harus ada hubungan timbal balik yang seimbang, setiap urusan harus
diselesaikan oleh khalifah dengan baik, khalifah harus memilih orang-orang yang
benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan
terhadap pelaku tindak kejahatan.[20]
Mengenai garis politik dan kebijakan Umar dalam
memerintah tergambar dalam ucapan-ucapan dan pidato-pidatonya, yang pada
intinya :
·
Orang yang
berhak menjadi kepala negara apabila ia mempunyai kemampuan lebih dari orang
kebanyakan untuk berbuat baik, dapat bertindak tegas dan berkemampuan untuk
memikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Karena baiknya urusan
Negara, menurut pada tiga hal : menunaikan amanah, bertindak tegas, dan
menghukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah.
·
Tanggung jawab
kepala Negara atas kesalahan yang dilakukan para pejabat yang diangkatnya.
·
Seorang Gubernur
harus melayani rakyatnya agar mereka mengajarkan Agama, memutuskan urusan
rakyatnya dengan benar dan adil dan dilaporkan kepada Umar apabila mereka
melakukan kesalahan.
·
Kebebasan
berpendapat
·
Seorang hakim
dalam memutuskan perkara pertama kali harus mengambil dalam Al-Qur’an, jika
tidak ada maka dari sunnah Nabi, jika tidak ada maka dengan berijtihad.
·
Pejabat
pengadilan apabila memutuskan perkara maka harus memutuskannya berdasarkan kesaksian
yang adil atau sumpah, mendekatkan pada orang kecil, memelihara hak orang
perantau, membina kerukunan setiap waktu, dan mendamaikan mereka apabila cukup
bukti untuk menetapkan suatu keputusan.
a. Sistem
pemerintahan
Sistem pemerintahan Umar bin Khattab, administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi : Mekah, Madinah, Syiria,
Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Pada masanya mulai diatur dan
ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.[21]
Khalifah umar menerapkan prinsip demokratis dalam kekuasaan, yaitu dengan
menjamin hak-hak setiap warga
negara.[22]
Umar
bin Khattab telah membentuk sebuah lembaga yang bernama Ahlul hall wal aqdi
atau lembaga penengah dan pemberi fatwa. Lembaga ini terdiri atas wakil-wakil
rakyat yang duduk sebagai anggota majlis syura’, yang terdiri dari kaum ulama
dan kaum cendekiawan yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas
mereka. Secara umum lembaga ini terdiri atas beberapa bagian diantaranya
sebagai berikut :
·
Majlis syura’
(dewan penasihat), ada tiga bentuk :
Ø Dewan
penasihat tinggi, yang terdiri atas pemuka sahabat yang terkenal antara lain
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin tsabbit, Thalhah, dan Zubair.
Ø Dewan
penasihat umum, terdiri atas banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) serta pemuka
berbagai suku, yang bertugas dari masalah-masalah yang menyangkut kepentingan
umum.
Ø Dewan
antara penasihat tinggi dan umum. Beranggotakan para sahabat (Muhajirin dan
Anshar) yang dipilih hanya untuk masalah-masalah khusus.
·
Al-Katib
(sekretaris negara) diantaranya adalah Abdullah bin Arqam.
·
Nidzamul Maly (departemen
keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah,
jizyah, fa’I dll.
·
Nidzamul idary
(departemen administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada
masyarakat, diantaranya adalah diwannul
al jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
·
Departemen
kepolisian dan penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
·
Departemen
pendidikan dll.
Pada
masa pemerintahan khalifah-khalifah Umar lembaga-lembaga tersebut belumlah
terbentuk tetapi secata de facto telah dijalankan tugas-tugas badan
tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar
senantiasa mengedepankan musyawarah dengan para sahabat.[23]
b. Perluasan
wilayah
Ekspansi Umar yang berhasil antara lain dilancarkan
ke ibu kota Syiria, Damaskus, Ardan, dan Hims yang berhasil dikuasai pada 14 H/
635 M dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah. Setahun kemudian setelah
tentara Byzantium dikalahkan dalam perang Yarmuk. Seluruh Syiria ini dapat
dikuasai. Melalui Syiria ini penguasaan mesir dilakukan dengan pimpinan Amr bin
Al Ash. Sedangkan ke Irak dipimpin oleh Syurahbil Ibnu Hasanah dan Sa’ad Ibnu
Al-Waqash. Selanjutnya Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Irak dikuasai.
Pada tahun 673 M berhasil menjatuhkan Al-Madain. Dan pada tahun 641 M Mosul
dapat ditaklukan pula dengan demikian, pada masa pemerintahan Umar wilayah
kekuasaan Islam meliputi seluruh semenanjung Arabia, sebagian besar wilayah
Persia, dan sebagian wilayah Romawi.[24]
c. Pengembangan
Islam sebagai kekuatan politik
Periode kekhalifahan Umar Tidak dapat diragukan lagi
merupakan abad emas Islam dalam segala zaman.[25]
Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan-perubahannya.
Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap
kemampuannya terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin
biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah
pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum
Illahiyah (syari’at) sebagai kode (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam
yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Umarlah
pendiri bani Islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa khalifah sebelumnya).
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan
perluasan wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum
muslim. Disitulah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya pasukan kaum
muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk
mengurusi masalah ini, telah dibentuk diwannul jund. Sedangkan untuk
pegawai biasa, disamping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima
tunjangan (Al-Itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sekitar
200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Amr bin Yasr,
diberi 60 dinar disamping tunjangan (Al-Jizyat) karena hanya sebagai
kepala daerah (Al-Amil). Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin
pemerintahan pusat tetap dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di
provinsi, ditunjuk Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu khalifah untuk
menjalankan roda pemerintahan. dalam pemerintahannya terdapat majlis syura’,
bagi Umar tanpa musyawarah, maka pemerintahannya tidak dapat berjalan.[26]
Selain itu membentuk departemen dan membagi daerah
kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi, membentuk kepala distrik yang disebut
‘amil, pada masanya juga terdapat kebijakan yang fenomenal dalam
kebijakan ekonomi di Sawad (daerah subur), ia mengeluarkan dekrit bahwa
orang arab termasuk tentara dilarang transaksi jual beli tanah diluar arab
dengan alasan; mutu tentara arab menurun, produksi menurun negri rugi 80% dari
pendapatan, dan rakyat akan kehilangan mata pencaharian yang menyebabkan mereka
mudah memberontak terhadap negara. Kebijakan yang lain adalah menerapkan pajak
perdagangan (bea cukai), dan lain-lain.
Pada akhir kepemimpinannya Umar dibunuh oleh Abu
Lu’lu (orang Persia). Hal ini dilatar belakangi oleh pemecatan Umar terhadap
Mughirah ibnu Syu’ba sebagai gubernur kuffah, karena mughirah melakukan
pembocoran rahasia negara dan penghianatan. Menjelang wafat Umar membentuk tim
formatur untuk musyawarah menentukan penggantinya, tim formatur terdiri dari
enam orang sahabat yaitu Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Saad ibnu Waqas.[27]
Khalifah Umar memberi petunjuk mengenai tatacara
pemilihan yaitu (1) jika lima orang sepekat untuk memilih seorang dari mereka
sedangkan serang menolak maka hendaklah ia dipenggal kepalanya; (2) jika empat
orang setuju memilih seorang diantara mereka tapi dua orang menolaknya, maka
hendaklah dipenggal kepala keduanya; (3) jika mereka berenam pecah kedalam dua
kelompom maka mereka meminta keputusan kepada Abdullah bin Umar bin Khattab
untuk memilih satu kelompok dari dua kelompok itu kemudian ia memilih salah
seorang dari mereka bertiga. Jika mereka tetap menolak pilihan dan keputusan
Abdullah Bin Umar maka yang dipilih adalah anggota kelompok yang didalamnya
terdapat Abdurrahman bin Auf, sedangkan yang lainnya dibunuh jika mereka
menghendaki atas persetujuan rakyat. Hal ini adalah cara untuk
mempertahankankeutuhan dan kesatuan suara team formatur dan memelihara
persatuan dan kesatuan umat Islam.[28]
3. Politik masa Khalifah Utsman bin Affan
Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana
cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa
penikaman dirinya oleh fairuz, seorang majusi Persia, Umar mempertimbangkan
untuk tidak memilih pengganti sebagaimana yang dilakukan oleh Rosulullah. Namun
Umar juga berfikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar.
Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang sahabat sebagai dewan formatur
yang bertugas memilih khalifah baru. Ke enam orang itu adalah Abdurrahman bin
Auf, Thalhah, Zubair, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Saad ibnu
Waqas.[29]
Setelah mengalami perdebatan yang cukup lama, pada akhirnya Utsman bin Affan
lah yang menjadi Khalifah. Setelah Utsman bin Affan dilantik menjadi khalifah
ketiga negara Madinah, ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya
sebagai sufi dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik
belaka sebagai dominan. Dalam pidatonya Utsman mengingatkan beberapa hal yang
penting:
a. Agar
umat Islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
b. Agar
umat Islam tidak terperdaya kemewahan hidup didunia yang penuh kepalsuan
c. Agar
umat Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.
d. Sebagai
khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan sunnah rasul
e. Disamping
ia akan meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulunya juga akan membuat hal
baru yang akan membawa kepada kebajikan.[30]
f. Umat
islam boleh mengkritiknya apabila ia menyimpang dari ketentuan hukum
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan
didaerah, khalifah Utsman mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap
wilayah atau provinsi pada masanya kekuasaan wilayah membagi menjadi sepuluh
provinsi :
a. Nafi’
bin Al-Haris Al-Khuza’I, amir wilayah mekah
b. Sufyan
bin Abdullah Al-Tsaqfi, Amar (wilayah bani naufi
c. Ya’la
bin Munabbih Halif bani Nauful (NA) bin Abdul Manaf diwilayah shan’a.
d. Abdullah
bin Abi Rabi’ah, Amir wilayah a-janad
e. Utsman
bin Abi Al-Ashal-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain
f. Al-Mughirah
bin Syu’bah Al-Tsaqi, Amir wilayah Kuffah
g. Abu
Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari, Amir wilayah Basrah
h. Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus
i.
Umar bin Sa’ad,
Amir wilayah Hims, dan
j.
Amr bin Al-Ash
Al-Sahami, Amir wilayah Mesir.[31]
Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh dewan
penasehat syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat
terkemuka. Prestasi tertinggi masa pemerintahan Utsman sebagai hasil majlis
syura’ adalah menyusun Al-Qur’an standar, yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan
Al-Qur’an, seperti yang dikenal sekarang. Naskah salinan Al-Qur’an tersebut
disimpan dirumah istri Rasulullah.
Para sahabat dikirim kebeberapa daerah. Dimasa
pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisia
dari Persia. Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam
pertama berhenti sampai disini. Untuk mengisi baetul mal diperoleh dari Alfarz,
Usyri, Usyur, Zakat, dan Jizyah if’i. umar melengkapinya dengan beberapa
jawatan. Pemerintahan Utsman Radiallahu Anhu berlangsung selama 12 tahun, pada
paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa
dikalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman RadiallahuAnhu memang
sangat berbeda dengan kehalifahan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari
Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk
Islam. Ibnu Saba ini berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lainnya
untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa ke Islamannya.
Akhirnya pada tahun 35 H/1665 M, Uts. [32]
Tahun-tahun berikutnya, pemerintahannya Utsman mulai
goyah. Rakyat dibeberapa daerah terutama Kuffah, Bashrah, dan mesir mulai
memprotes kepemimpinannya yang dinilai tidak adil. Salah satu factor yang
menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radiallahuanhu
adalah kebijakannya mengangkat keluarganya dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting adalah Marwan ibnu Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Utsman hanya menyandang khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk
dalam jabatan-jabatan penting ia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
Harta kekayaan negara oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh
Utsman sendiri. itu semua akibat fitnah yang disebarkan oleh Abdullah bin
Saba’. Padahal utsman paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus
banjir yang besar dan mengatur pembagian air kekota-kota. Dia juga membangun
jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.[33]
4. Politik masa Khalifah Ali bin Abi.
Umat yang tidak mempunyai pemimpin pada saat
wafatnya Utsman, membai’at Ali bin Abi thalib sebagai khalifah baru. Pengukuhan
Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya.
Ia di baiat ditengah kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan kebingungan
umat Islam Madinah. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali
supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah.[34]
Setelah Ali bin Abi Thalib di bai’at menjadi Khalifah dimasjid Nabawi , ia
menyampaikan pidato penerimaan jabatannya sebagai berikut :
”sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci
Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan padanya yang baik dan yang jahat,
maka hendaklah kamu ambil yang baik dan tinggalkan yang jahat.
Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke Surga.
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan apa yang haram dan memuliakan kehormatan
seorang muslim berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan memuliakan
keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim berarti memuliakan kegormatan
seluruhnya, dan memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklah
seorang muslim memuliakan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak
boleh menyakiti seorang muslim kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu
melaksanakan urusan kepentingan umum. Sesungguhnya urusan manusia menanti
didepan kamu dan orang dibelakang kamu sekarang bisa membatasi, meringankan
urusan kamu . Bertaqwalah kepada Allah
sebagai hamba Allah kepada hamba-Nya dan negri-Nya. Sesungguhnya kamu
bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah dan binatang
(lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan janganlah kamu mendurhakainya.
Apabila kamu melihant yang baik maka ambillah dan jika kamu melihat yang jahat
maka tinggalkanlah. Dan ingat ketika kamu berjumlah sedikit dan tertindas
dimuka bumi. Wahai manusia kamu telah membai’at saya. sebgagaimana kamu telah
lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu dari pada saya. Saya hanya boleh
menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi jika pemilihan telah jatuh, maka
penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat teguh dan rakyat harus tunduk
patuh. Bai’at terhadap diriku ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang
siapa yang mungkir dari oadanya maka terpisahlah dari agama Islaml.”
Dalam
pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam :
a. Tetap
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul.
b. Taat
dan taqwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara dan sesame manusia.
c. Saling
memelihara kehormatan diantara sesame muslim dan umat lain
d. Terpanggil
untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum dan
e. Taat
dan patuh kepada pemerintah[35]
Tak lama sesudah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah yang
telah ditumpahkan secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut
ditolak, akhirnya pertempuranpun berkobar. Perang ini dinamakan perang jamal
(onta), karena Aisyah dalm pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil
mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Asyah ditawan dan
dikirim kembali ke Madinah.[36]
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui
masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari
pembunuhan Utsman. Namun ameer ali menyatakan “ia berhasil memecat gubernur yang
korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan
dokumen-dokumen khalifah dan kantor Shahib Ushurthah, serta mengordinir polisi
dan menetapkan tugas-tugas mereka.[37]
Kebijaksanaan-kebijaksanaaan Ali juga mengakibatkan
timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung
oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan kedudukan
dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan
Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara.
Pasukannya bertemu dengan pasukan
Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi disini yang dikenal dengan nama
perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim
ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan golongan ketiga
Al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, diujung masa
pemerinthan Ali umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaiutu
Mu’awiyah, Syi’ah, (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) yang menyusup pada
barisan tentara Ali, dan Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan
Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Al-Khawarij menyebabkan
tenteranya semakin lemah, sementara posisi mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal
20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang khawarij yaitu
Abdullah bin Muljam.
5. Sistem pemilihan pemeritahan Khulafaur Rasyidin
Beberapa hal mengenai pengangkatan empat orang sahabat
nabi terkemuka menjadi khalifah dipilih dan diangkat dengan cara yang berbeda
yaitu :
a. Pemilihan
bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya,
karena Rosulullah tidak pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi
pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar dibalai pertemuan Tsaqifah Bani Syaidah.
b. Pemilihan
dengan cara pencalonan atau penunjukkan oleh khalifah sebelumnya dengn terlebih
dahulu mengadakan konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan kemudian
memberitahukan kepada umat Islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukkan itu
tidak karena ada hubungan keluarga antara khalifah yang mencalonkan dan calon
yang ditunjuk. Cata ini terjadi pada penunjukkan Umar oleh khalifah Abu Bakar.
c. Pemilihan
team atau majlis syura’ yang dibentuk khalifah. Anggota team bertugas memilih
salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Cara ini terjadi pada Utsman
melalui majlis syura’ yang dibentuk oleh khalifah Umar yang beranggotakan enam
orang.
d. Pengangkatan
spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok
masyarakat muslim yang membunuh Utsman. Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih
oleh kaum pemberontak dan umat Islam Madinah.
6. Kelemahan pemerintahan Khulafaur Rasyidin
a. Pemerintahan
Khulafaurrasyidin tidak mempunyai konstitusi yang dibuat secara khusus sebagai
dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan. undang-undangnya adalah
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul ditambah dengan ijtihad khalifah dan keputusan
majlis syura’ dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul tidak ada
penjelasannya dalam nash syari’at.
b. Pemerintahan
khulafaurrasyidin tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap
khalifah. Mereka tetap memegang jabatan itu selama berpegang pada syri’at
Islam.
7. Kelebihan pemerintahan Khulafaur Rasyidin
Dalam penyelenggaraan pemerintah negara Madinah
khulafaur rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaan
bagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan
berpendapat, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan
negara Madinah adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul, hasil ijtihad penguasa, dan
hasil keputusan majlis syura. Karena corak negara Madinah pada periode
Khulafaurrasyidin tidak jauh berbeda dari pada zaman Rosulullah.[38]
III.
SIMPULAN
Dari
uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa pemikiran pilitik
selepas wafatnya Nabi Muhammad semakin berkembang, hal ini terbukti dengan
terbentuknya lembaga-lembaga pada masa pemerintahan Khuafaurrasyidin,
pemikiran-pemikiran poilitik mereka melalui pidato mereka selepas di bai’at,
peraturan-peraturan yang mereka buat untuk para pejabat negara dan sistem
pemerintahan yang semakin berkembang
.
IV.
PENUTUP
Demikianlah
makalah tentang pemikiran politik Khulafaur Rasyidin yang telah penulis
paparkan guna memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari makalah jauh
dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
[1] A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan
Islam. ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973) Hal. 117
[2] A. Hasjmy. Ibid. Hal. 226
[3] A. Hasjmy. Ibid. Hal. 226-227
[4] A. Hasjmy. Ibid. Hal. 227
[5] Suyuti pulungan. Fiqih
Siyasah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 106
[6] Abdul Syukur Al-Azizi. Kitab
sejarah Peradaban Islam. (Jogjakarta : Saufa). Hal. 67
[7] Abdul karim. Sejarah
Pemikiran dan Perkembangan Islam. (Yogyakarta : Bagaskara, 2012). Hal. 78
[8] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.
Hal. 68
[9] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.
Hal. 68
[10] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.
Hal. 68-69
[11] Suyuti pulungan. Ibid. Hal. 114
[12] Yusuf Su’aib. Sejarah Daulat
Khulafaurrasyidin. (Jakarta : Bulan Bintang, 1979) cet. Ke VII Hal. 36
[13] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.
Hal. 69-70
[14] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.Hal.
70-73
[15] Choirun Niswah. Sejarah
pendidikan Islam. (Tanpa kota : Rafah Press, 2010). Hal. 34
[16] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. 76
[17] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. 78-79
[18]
Suyuti pulungan. Ibid. Hal. 117-118
[19]
Philip K.Hitti. History Of The Arabs. (Jakarata : Serambi, 2005). Hal.
222
[20]
Suyuti pulungan. Ibid. Hal, 118-119
[21] Badri Yatim. Ibid. Hal. 38
[22] Badri Yatim. Ibid. Hal. 37
[23] Abdul Syukur Al-Azizi. Kitab
sejarah Peradaban Islam. (Jogjakarta : Saufa, 2014). Hal. 89-83
[24] Ahmad Khoirul Rofiq, M. Fil. 1. Sejarah
Peradaban Islam (dari masa klasik hingga modern).(Yogyakarta : Nadi Offset,
2009). Hal. 92
[25] Abdul Karim. Ibid.. Hal. 81
[26]
Abdul Karim. Ibid. Hal. 86
[27] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid..
Hal. 93
[28] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 130
[29] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.
Hal. 94
[30] Suyuti pulungan.Ibid. 142
[31] Suyuti pulungan. Ibid. Hal. 144
[32] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.
Hal. 101-102
[33] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid..
Hal. 102
[34] Suyuti pulungan. ibid. Hal.
151-152
[35] Suyuti pulungan. ibid. Hal.
153-154
[36] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 157
[37] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 158
[38]
Suyuti pulungan. ibid. Hal. 159-162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar