Rabu, 01 Juli 2015

PEMIKIRAN POLITIK MASA KHULAFAUR RASYIDIN

I.                   PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Sekali banjir, sekali berpindah tepian, demikian ”hadits maja” kita. Tiap pergantian pimpinan pemerintahan terjadi pula perubahan-perubahan kebijaksanaan politik dalam negara, sedikit atau banyak.[1] Demikianlah, yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW yang dilanjutkan dengan masa khulafaur rasyidin.
Dengan wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) dan berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Masa khulafaur rasyidin atau masa khibarus sahabat (sahabat kabir) bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan Kaum muslimin, karena banyaknya permasalahan yang terjadi pada masa ini, politik Islam semakin berkembang dari sebelumnya. Untuk mengetahui pemikiran politik masa khulafaur rasyidin lebih lanjut, Berikut akan kami paparkan tentang pemikiran politik pada masa khulafaur rasyidin.
2.      Rumusan masalah
a.       Bagaimana pemikiran politik masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq?
b.      Bagaimana pemikiran politik masa Khalifah Umar bin Khattab?
c.       Bagaimana pemikiran politik masa Khalifah Utsman bin Affan?
d.      Bagaimana pemikiran politik masa Khalifah Ali bin Abi Thalib?
e.       Bagaimana sistem pemilihan khalifah masa Khulafaur Rasyidin?
f.       Apa saja kelemahan pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
g.      Apa saja kelebihan pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
3.      Tujuan
Mengetahui bagaimana proses perkembangan pemikiran politik selepas Rosulullah SAW wafat yaitu pada masa Khulafaur Rasyidin.
II.                PEMBAHASAN

1.      Politik masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq

Namanya Abdullah ibnu Abi Quhafah at Tamimi. Dimasa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah Kuniyah Abu Bakar. Gelarnya As-Shidiq (yang amat membenarkan).[2]
Sesudah kaum Anshar wafat, kaum Anshar menghendaki agar orang yang akan menjadi Khalifah dipilih diantara mereka, Ali bin Abi Thalib pun mengingini agar beliaulah yang diangkat menjadi Khalifah, tetapi bagian terbanyak dari kaum muslimin menghendaki Abu Bakar, maka dipilihlah beliau menjadi khalifah.[3]
Orang-orang yang tadinya ragu untuk memberikan bai’ah kepada Abu Bakar dikala golongan terbanyak dari kaum muslimin membai’ahnya segera pula memberikan bai’ahnya. Sesudah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, beliau berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan siasat pemerintahan yang akan beliau jalankan, berikut bunyi pidatonya :
wahai manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan pesanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik maka ikutilah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang mengambil hak dari padanya, sedang orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasulnya kamu tak perlu menaatiku. Dirikanlah shalat semoga Allah merahmati kalian”[4]
Dari fakta historis bai’at yang di Tsaqifah tergambar bahwa pertemuan politik atau forum musyawarah itu berlangsung hangat, terbuka dan demokratis. [5]Pidato yang diucapkan setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan strategi menilai keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Nabi Muhammad  SAW. Pidato itu juga menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan abu bakar dalam pemerintahan. jika disimpulkan terdapat prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, mendorong masyarakat berjihad, serta shalat sebagai intisari ketakwaan umat Islam.[6]
Pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah, maka mulailah Abu Bakar menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan, dan juga disinilah prinsip demokrasi tertanam sejak awal perkembangan Islam.[7]
Berikut kebijakan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh Abu Bakar ketika menjadi khalifah :
·         Dalam bidang politik
Dalam menjalankan kekuasaan Islam Abu bakar bersifat sentral. Dalam hal ini kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif, sepenuhnya berada ditangan khalifah. Meskipun demikian dalam menentukan dan memutuskan suatu masalah abu bakar selalu mengajak sahabat untuk bermusyawarah.[8]
Apabila terjadi suatu perkara Abu Bakar selalu mencari hukumnya dalam Al-Qur’an. Apabila dalam kitab suci tidak dijumpai pemecahannya, maka beliau mempelajari cara Rosulullah SAW dalam menyelesaikan suatu perkara. Dan jika tidak ditemukannya dalam hadits Nabi, maka beliau mengumpulkan tokoh-tokoh terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang diputuskan mereka setelah pembahasan, diskusi, dan penelitian, beliau menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.[9]
Sebagaimana dinyatakan dalam pidato yang disampaikan setelah dibai’at, politik dalam pemerintahan Abu Bakar adalah pemerintahan yang demokratis, beliau menyadari kelemahannya sebagai manusia biasa. Oleh karena itu beliau meminta kepada segenap kaum muslimin agar mengikutinya jika yeng dilakukannya adalah benar. Akan tetapi jika salah beliau meminta untuk dikritisi.[10]
Menurut suyuti pulungan ada beberapa kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan sebgaimana berikut :
ü  Bidang eksekutif
Pendelegasian terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun daerah. Misalnya, untuk pemerintahan pusat abu bakar menunjuk ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekertaris dan abu ubaidah sebagai bendaharawan. Sedangkan Umar bin Khattab menjadi hakim agung.
Adapun urusan pemerintahan diluar kota Madinah Khalifah Abu Bakar membagi wilayah hukum kekuasaan negara Madinah menjadi beberapa provinsi. Dan setiap provinsi ia menugaskan Amir atau wali.[11]
ü  Pertahanan dan keamanan
Mengorganisasikan pasukan-pasukan yang ada untuk mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan. pasukan itu disebarkan untuk memelihara stabilitas didalam maupun diluar negri. Diantara panglima yang ditunjuk adalah khalid bin Walid, Musanna bin Harisah, Amru bin Ash, Zaid bin Sufyan, dan lain-lain.
Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usaman bin Zaid yang berjumlah 700 orang, untuk memerangi kaum romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah ketika Masih hidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khattab banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan khalifah ini. Alasan mereka karena dalam negri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang menambah untuk menghancurkan Islam dari dalam. Tetapi Abu Bakar tetap mengirim pasukan Usamah ke Romawi Syam. Pada saat itu merupakan langkah strategis dan membawa dampak positif bagi pemerintahan Islam, yaitu meskipun negara Islam sedang dalam keadaan tegang akan tetapi muncul interpestasi dipihak lawan, bahwa kekuatan Islam cukup tangguh. Para pemberontak menjadi gentar, disamping itu juga dapat mengalihkan perhatian umat Islam dari perselisihan yang bersifat intern.[12]
ü  Yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin Khattab dan selama masa pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu permasalahan yang berarti untuk dipecahkan. Hal ini karena kemampuan dan sifat umar sendiri, dan masyarakat dikala itu dikenal cukup taat terhadap hukum. Meskipun ada penyimpangan jumlahnya tidak terlalu banyak.[13]
·         Bidang ekonomi
Raktek kekhalifahan Abu Bakar di bidang pranata sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat. Mengenai Dalam bidang ekonomi ada beberapa kebijakan yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar diantaranya, ialah sebagai berikut :
ü  Kebijakan umum dibidang ekonomi abu bakar menerapkan praktik akad-akad perdagangan yang sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam Islam. Selama masa khalifahnya beliau menerapkan beberapa kebijakan umum, antara lain adalah :
Ø  Menegakkan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat.
Ø  Tidak menjadikan ahli badar (orang-orang yang berjihad pada perang badar) sebagai pejabat negara.
Ø  Tidak mengistimewakan ahli badar dalam pembagian kekayaan negara
Ø  Mengelola barang tambang (rikaz) yang terdiri atas emas, perak, perunggu, besi, dan baja sehingga menjadi sumber pendapatan Negara
Ø  Menetapkan gaji pegawai berdasarkan karakteristik daerah kekuasaan masing-masing, dan
Ø  Tidak mengubah kebijakan Nabi Muhammad SAW dalam masalah jizyah
ü  Penerapan prinsip persamaan dalam distribusi kekayaan negara
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khalifah Abu Bakar melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW beliau memperhatikan akurasi perhitungan zakat. Hal penghitungan ini dijadikan sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam baetul mal dan langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin.
ü  Amanat baetul mal
Para sahabat Nabi beranggapan baitul mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul mal untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.
ü  Pendistribusian zakat
Selain mendirikan baetul mal khalifah Abu Bakar juga sangat memperhatikan pemerataan pendistribusian zakat kepada masyarakatnya, karena beliau merasa zakat merupakan salah satu instrument terpenting dalam menyejahterakan rakyatnya. Dalam mendistribusikan baitul mal, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataaan. Menurut Abu Bakar dalam hal keutamaan beriman Allah SWT yang akan memberikan ganjarannya sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup prinsip kesamarataan lebih baik dari pada prinsip keutamaan.[14]
·         Bidang keagamaan
ü  Peperangan dengan kaum riddat
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi Muhammad SAW, yaitu musailamah, Thulhah, Aswad Al-Insa. Mereka berupaya meluaskan pengikutnya dan membelakangi agama Islam. Para nabi palsu ini berusaha menarik hati orang-orang Islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan. Melihat aksi itu khalifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-Liwak (panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Selain itu, setiap pasukan dibekali Al-Mansyurat (pengumuman) yang harus disampaikan pada suku-suku arab, isinya memanggil kembali kepada jalan yang benar. Jika mereka tetap keras kepala maka barulah dihadapi dengan kekerasan.
ü  Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an
Abu bakar berhasil memadamkan kerusuhan yang ditimbulkan oleh kaum riddah. Serta memulihkan kembali ketertiban dan kemanan di semnanjung Arabia, tetapi akibat perang riddat ini banyak penghafal Al-Qur’an yang terbunuh. Umar bin Khattab khawatir akan bertambahnya angka kematian itu, yang berarti beberapa bagian lagi Al-Qur’an akan musnah. Oleh karena itu Umar mengusulkan Abu Bakar untuk membuat suatu kumpulan “Al-Qur’an”.[15]
Khalifah Abu Bakar menyetujuinya sekaligus menugaskan Zaid bin Tsabit karena Zaid paling bagus hafalannya. Abu Bakar memerintahkan pengumpulan naskah-naskah setiap ayat-ayat Al-Qur’an dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah ditunjuk oleh Nabi Muhmmad SAW. Pada masa hidupnya serta menyimpan keseluruhan naskah dirumah janda Nabi Muhammad SAW, yakni Siti Hafsah. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa pengumpulan Al-Qur’an ini merupakan salah satu jasa besar Abu Bakar.[16]
Sebelum wafat khalifah abu bakar berwasiat sebagai penggantinya kelak, beliau menunjuk Umar bin Khattab, Penunjukkan ini dilakukan setelah beliau bermusyawarah dan meminta pendapat dari sahabat senior.[17] Dari penunjukkan itu ada beberapa hal yang harus dicatat bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar tidak meninggalkan asas musyawarah, ia lebih dahulu mengadakan konsultasi untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin, Abu bakar tidak menunjuk salah seorang putranya atau kerabatnya melainkan memilih orang yang mempunyai nama di hati masyarakat serta disegani oleh rakyat karena sifat-sifat yang dimilikinya, pengukuhan Umar menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar berjalan dengan baik dalam satu bai’at umum dan terbuka tanpa ada pertentangan dikalangan kaum muslimin sehingga obsesi Abu Bakar untuk menjaga keutuhan umat Islam dengan cara penunjukkan itu terjamin.[18]

2.      Politik masa Khalifah Umar bin Khattab

Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi dan khalifah kedua setelah wafatnya Abu Bakar As-Shidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar hingga Michael H. Heart menempatkannya sebaga orang paling berpengaruh 51 di dunia sepanjang masa.[19] Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia juara gulat di Mekah. Begitu di bai’at dan dilantik menjadi Khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabi dihadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah :
“aku telah dipilih jadi Khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan in tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu ada orang yang lebih kuat dari padaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini. Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan saya. Dan menguji saya dengan kamu dan membiarkan saya memimpin kamu sesudah sahabat saya maka janganlah sesuatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepada seseorang selain saya; dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari saya, sehingga saya tidak dapat memilih orang-orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik tentu saya akan berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu saya akan menghukum mereka”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan Khalifah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian, antara pemimpin dan terpinpin harus ada hubungan timbal balik yang seimbang, setiap urusan harus diselesaikan oleh khalifah dengan baik, khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tindak kejahatan.[20]
Mengenai garis politik dan kebijakan Umar dalam memerintah tergambar dalam ucapan-ucapan dan pidato-pidatonya, yang pada intinya :
·         Orang yang berhak menjadi kepala negara apabila ia mempunyai kemampuan lebih dari orang kebanyakan untuk berbuat baik, dapat bertindak tegas dan berkemampuan untuk memikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Karena baiknya urusan Negara, menurut pada tiga hal : menunaikan amanah, bertindak tegas, dan menghukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah.
·         Tanggung jawab kepala Negara atas kesalahan yang dilakukan para pejabat yang diangkatnya.
·         Seorang Gubernur harus melayani rakyatnya agar mereka mengajarkan Agama, memutuskan urusan rakyatnya dengan benar dan adil dan dilaporkan kepada Umar apabila mereka melakukan kesalahan.
·         Kebebasan berpendapat
·         Seorang hakim dalam memutuskan perkara pertama kali harus mengambil dalam Al-Qur’an, jika tidak ada maka dari sunnah Nabi, jika tidak ada maka dengan berijtihad.
·         Pejabat pengadilan apabila memutuskan perkara maka harus memutuskannya berdasarkan kesaksian yang adil atau sumpah, mendekatkan pada orang kecil, memelihara hak orang perantau, membina kerukunan setiap waktu, dan mendamaikan mereka apabila cukup bukti untuk menetapkan suatu keputusan.
a.       Sistem pemerintahan
Sistem pemerintahan Umar bin Khattab, administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi : Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.[21] Khalifah umar menerapkan prinsip demokratis dalam kekuasaan, yaitu dengan menjamin hak-hak setiap        warga negara.[22]
Umar bin Khattab telah membentuk sebuah lembaga yang bernama Ahlul hall wal aqdi atau lembaga penengah dan pemberi fatwa. Lembaga ini terdiri atas wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota majlis syura’, yang terdiri dari kaum ulama dan kaum cendekiawan yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka. Secara umum lembaga ini terdiri atas beberapa bagian diantaranya sebagai berikut :
·         Majlis syura’ (dewan penasihat), ada tiga bentuk :
Ø  Dewan penasihat tinggi, yang terdiri atas pemuka sahabat yang terkenal antara lain Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin tsabbit, Thalhah, dan Zubair.
Ø  Dewan penasihat umum, terdiri atas banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) serta pemuka berbagai suku, yang bertugas dari masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
Ø  Dewan antara penasihat tinggi dan umum. Beranggotakan para sahabat (Muhajirin dan Anshar) yang dipilih hanya untuk masalah-masalah khusus.
·         Al-Katib (sekretaris negara) diantaranya adalah Abdullah bin Arqam.
·         Nidzamul Maly (departemen keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fa’I dll.
·         Nidzamul idary (departemen administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat,  diantaranya adalah diwannul al jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
·         Departemen kepolisian dan penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
·         Departemen pendidikan dll.
Pada masa pemerintahan khalifah-khalifah Umar lembaga-lembaga tersebut belumlah terbentuk tetapi secata de facto telah dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengedepankan musyawarah dengan para sahabat.[23]
b.      Perluasan wilayah
Ekspansi Umar yang berhasil antara lain dilancarkan ke ibu kota Syiria, Damaskus, Ardan, dan Hims yang berhasil dikuasai pada 14 H/ 635 M dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah. Setahun kemudian setelah tentara Byzantium dikalahkan dalam perang Yarmuk. Seluruh Syiria ini dapat dikuasai. Melalui Syiria ini penguasaan mesir dilakukan dengan pimpinan Amr bin Al Ash. Sedangkan ke Irak dipimpin oleh Syurahbil Ibnu Hasanah dan Sa’ad Ibnu Al-Waqash. Selanjutnya Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Irak dikuasai. Pada tahun 673 M berhasil menjatuhkan Al-Madain. Dan pada tahun 641 M Mosul dapat ditaklukan pula dengan demikian, pada masa pemerintahan Umar wilayah kekuasaan Islam meliputi seluruh semenanjung Arabia, sebagian besar wilayah Persia, dan sebagian wilayah Romawi.[24]
c.       Pengembangan Islam sebagai kekuatan politik
Periode kekhalifahan Umar Tidak dapat diragukan lagi merupakan abad emas Islam dalam segala zaman.[25] Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan-perubahannya. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Illahiyah (syari’at) sebagai kode (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Umarlah pendiri bani Islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa khalifah sebelumnya).
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum muslim. Disitulah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya pasukan kaum muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk diwannul jund. Sedangkan untuk pegawai biasa, disamping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (Al-Itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sekitar 200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Amr bin Yasr, diberi 60 dinar disamping tunjangan (Al-Jizyat) karena hanya sebagai kepala daerah (Al-Amil). Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di provinsi, ditunjuk Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. dalam pemerintahannya terdapat majlis syura’, bagi Umar tanpa musyawarah, maka pemerintahannya tidak dapat berjalan.[26]
Selain itu membentuk departemen dan membagi daerah kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi, membentuk kepala distrik yang disebut ‘amil, pada masanya juga terdapat kebijakan yang fenomenal dalam kebijakan ekonomi di Sawad (daerah subur), ia mengeluarkan dekrit bahwa orang arab termasuk tentara dilarang transaksi jual beli tanah diluar arab dengan alasan; mutu tentara arab menurun, produksi menurun negri rugi 80% dari pendapatan, dan rakyat akan kehilangan mata pencaharian yang menyebabkan mereka mudah memberontak terhadap negara. Kebijakan yang lain adalah menerapkan pajak perdagangan (bea cukai), dan lain-lain.
Pada akhir kepemimpinannya Umar dibunuh oleh Abu Lu’lu (orang Persia). Hal ini dilatar belakangi oleh pemecatan Umar terhadap Mughirah ibnu Syu’ba sebagai gubernur kuffah, karena mughirah melakukan pembocoran rahasia negara dan penghianatan. Menjelang wafat Umar membentuk tim formatur untuk musyawarah menentukan penggantinya, tim formatur terdiri dari enam orang sahabat yaitu Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Saad ibnu Waqas.[27]
Khalifah Umar memberi petunjuk mengenai tatacara pemilihan yaitu (1) jika lima orang sepekat untuk memilih seorang dari mereka sedangkan serang menolak maka hendaklah ia dipenggal kepalanya; (2) jika empat orang setuju memilih seorang diantara mereka tapi dua orang menolaknya, maka hendaklah dipenggal kepala keduanya; (3) jika mereka berenam pecah kedalam dua kelompom maka mereka meminta keputusan kepada Abdullah bin Umar bin Khattab untuk memilih satu kelompok dari dua kelompok itu kemudian ia memilih salah seorang dari mereka bertiga. Jika mereka tetap menolak pilihan dan keputusan Abdullah Bin Umar maka yang dipilih adalah anggota kelompok yang didalamnya terdapat Abdurrahman bin Auf, sedangkan yang lainnya dibunuh jika mereka menghendaki atas persetujuan rakyat. Hal ini adalah cara untuk mempertahankankeutuhan dan kesatuan suara team formatur dan memelihara persatuan dan kesatuan umat Islam.[28]

3.      Politik masa Khalifah Utsman bin Affan

Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh fairuz, seorang majusi Persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana yang dilakukan oleh Rosulullah. Namun Umar juga berfikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang sahabat sebagai dewan formatur yang bertugas memilih khalifah baru. Ke enam orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Saad ibnu Waqas.[29] Setelah mengalami perdebatan yang cukup lama, pada akhirnya Utsman bin Affan lah yang menjadi Khalifah. Setelah Utsman bin Affan dilantik menjadi khalifah ketiga negara Madinah, ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidatonya Utsman mengingatkan beberapa hal yang penting:
a.       Agar umat Islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
b.      Agar umat Islam tidak terperdaya kemewahan hidup didunia yang penuh kepalsuan
c.       Agar umat Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.
d.      Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan sunnah rasul
e.       Disamping ia akan meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulunya juga akan membuat hal baru yang akan membawa kepada kebajikan.[30]
f.       Umat islam boleh mengkritiknya apabila ia menyimpang dari ketentuan hukum
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah Utsman mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi pada masanya kekuasaan wilayah membagi menjadi sepuluh provinsi :
a.       Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’I, amir wilayah mekah
b.      Sufyan bin Abdullah Al-Tsaqfi, Amar (wilayah bani naufi
c.       Ya’la bin Munabbih Halif bani Nauful (NA) bin Abdul Manaf diwilayah shan’a.
d.      Abdullah bin Abi Rabi’ah, Amir wilayah a-janad
e.       Utsman bin Abi Al-Ashal-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain
f.       Al-Mughirah bin Syu’bah Al-Tsaqi, Amir wilayah Kuffah
g.      Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari, Amir wilayah Basrah
h.      Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus
i.        Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Hims, dan
j.        Amr bin Al-Ash Al-Sahami, Amir wilayah Mesir.[31]
Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh dewan penasehat syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka. Prestasi tertinggi masa pemerintahan Utsman sebagai hasil majlis syura’ adalah menyusun Al-Qur’an standar, yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan Al-Qur’an, seperti yang dikenal sekarang. Naskah salinan Al-Qur’an tersebut disimpan dirumah istri Rasulullah.
Para sahabat dikirim kebeberapa daerah. Dimasa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisia dari Persia. Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini. Untuk mengisi baetul mal diperoleh dari Alfarz, Usyri, Usyur, Zakat, dan Jizyah if’i. umar melengkapinya dengan beberapa jawatan. Pemerintahan Utsman Radiallahu Anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman RadiallahuAnhu memang sangat berbeda dengan kehalifahan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Ibnu Saba ini berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa ke Islamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1665 M, Uts. [32]
Tahun-tahun berikutnya, pemerintahannya Utsman mulai goyah. Rakyat dibeberapa daerah terutama Kuffah, Bashrah, dan mesir mulai memprotes kepemimpinannya yang dinilai tidak adil. Salah satu factor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radiallahuanhu adalah kebijakannya mengangkat keluarganya dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting adalah Marwan ibnu Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting ia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. itu semua akibat fitnah yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’. Padahal utsman paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air kekota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.[33]

4.      Politik masa Khalifah Ali bin Abi.

Umat yang tidak mempunyai pemimpin pada saat wafatnya Utsman, membai’at Ali bin Abi thalib sebagai khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia di baiat ditengah kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah.[34] Setelah Ali bin Abi Thalib di bai’at menjadi Khalifah dimasjid Nabawi , ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya sebagai berikut :
”sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan padanya yang baik dan yang jahat, maka hendaklah kamu ambil yang baik dan tinggalkan yang jahat. Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke Surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan apa yang haram dan memuliakan kehormatan seorang muslim berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim berarti memuliakan kegormatan seluruhnya, dan memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklah seorang muslim memuliakan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang muslim kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan kepentingan umum. Sesungguhnya urusan manusia menanti didepan kamu dan orang dibelakang kamu sekarang bisa membatasi, meringankan urusan kamu     . Bertaqwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-Nya dan negri-Nya. Sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah dan binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan janganlah kamu mendurhakainya. Apabila kamu melihant yang baik maka ambillah dan jika kamu melihat yang jahat maka tinggalkanlah. Dan ingat ketika kamu berjumlah sedikit dan tertindas dimuka bumi. Wahai manusia kamu telah membai’at saya. sebgagaimana kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu dari pada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi jika pemilihan telah jatuh, maka penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat teguh dan rakyat harus tunduk patuh. Bai’at terhadap diriku ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir dari oadanya maka terpisahlah dari agama Islaml.”
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam :
a.       Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul.
b.      Taat dan taqwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara dan sesame manusia.
c.       Saling memelihara kehormatan diantara sesame muslim dan umat lain
d.      Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum dan
e.       Taat dan patuh kepada pemerintah[35]
Tak lama sesudah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah yang telah ditumpahkan secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak, akhirnya pertempuranpun berkobar. Perang ini dinamakan perang jamal (onta), karena Aisyah dalm pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Asyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[36]
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Utsman. Namun ameer ali menyatakan “ia berhasil memecat gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor Shahib Ushurthah, serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.[37]
Kebijaksanaan-kebijaksanaaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya  bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi disini yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan golongan ketiga Al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, diujung masa pemerinthan Ali umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaiutu Mu’awiyah, Syi’ah, (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Al-Khawarij menyebabkan tenteranya semakin lemah, sementara posisi mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.

5.      Sistem pemilihan pemeritahan Khulafaur Rasyidin

Beberapa hal mengenai pengangkatan empat orang sahabat nabi terkemuka menjadi khalifah dipilih dan diangkat dengan cara yang berbeda yaitu :
a.       Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya, karena Rosulullah tidak pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar dibalai pertemuan Tsaqifah Bani Syaidah.
b.      Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukkan oleh khalifah sebelumnya dengn terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan kemudian memberitahukan kepada umat Islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukkan itu tidak karena ada hubungan keluarga antara khalifah yang mencalonkan dan calon yang ditunjuk. Cata ini terjadi pada penunjukkan Umar oleh khalifah Abu Bakar.
c.       Pemilihan team atau majlis syura’ yang dibentuk khalifah. Anggota team bertugas memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Cara ini terjadi pada Utsman melalui majlis syura’ yang dibentuk oleh khalifah Umar yang beranggotakan enam orang.
d.      Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang membunuh Utsman. Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih oleh kaum pemberontak dan umat Islam Madinah.

6.      Kelemahan pemerintahan Khulafaur Rasyidin

a.       Pemerintahan Khulafaurrasyidin tidak mempunyai konstitusi yang dibuat secara khusus sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan. undang-undangnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul ditambah dengan ijtihad khalifah dan keputusan majlis syura’ dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul tidak ada penjelasannya dalam nash syari’at.
b.      Pemerintahan khulafaurrasyidin tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap khalifah. Mereka tetap memegang jabatan itu selama berpegang pada syri’at Islam.

7.      Kelebihan pemerintahan Khulafaur Rasyidin

Dalam penyelenggaraan pemerintah negara Madinah khulafaur rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaan bagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan negara Madinah adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul, hasil ijtihad penguasa, dan hasil keputusan majlis syura. Karena corak negara Madinah pada periode Khulafaurrasyidin tidak jauh berbeda dari pada zaman Rosulullah.[38]


III.             SIMPULAN
Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa pemikiran pilitik selepas wafatnya Nabi Muhammad semakin berkembang, hal ini terbukti dengan terbentuknya lembaga-lembaga pada masa pemerintahan Khuafaurrasyidin, pemikiran-pemikiran poilitik mereka melalui pidato mereka selepas di bai’at, peraturan-peraturan yang mereka buat untuk para pejabat negara dan sistem pemerintahan yang semakin berkembang
.
IV.             PENUTUP
Demikianlah makalah tentang pemikiran politik Khulafaur Rasyidin yang telah penulis paparkan guna memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.



[1] A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973) Hal. 117
[2] A. Hasjmy. Ibid. Hal. 226
[3] A. Hasjmy. Ibid. Hal. 226-227
[4] A. Hasjmy. Ibid. Hal. 227
[5] Suyuti pulungan. Fiqih Siyasah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 106
[6] Abdul Syukur Al-Azizi. Kitab sejarah Peradaban Islam. (Jogjakarta : Saufa). Hal. 67
[7] Abdul karim. Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Islam. (Yogyakarta : Bagaskara, 2012). Hal. 78
[8] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. Hal. 68
[9] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. Hal. 68
[10] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. Hal. 68-69
[11] Suyuti pulungan. Ibid. Hal. 114
[12] Yusuf Su’aib. Sejarah Daulat Khulafaurrasyidin. (Jakarta : Bulan Bintang, 1979) cet. Ke VII Hal. 36
[13] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. Hal. 69-70
[14] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.Hal. 70-73

[15] Choirun Niswah. Sejarah pendidikan Islam. (Tanpa kota : Rafah Press, 2010). Hal. 34
[16] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. 76
[17] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. 78-79
[18] Suyuti pulungan. Ibid. Hal. 117-118
[19] Philip K.Hitti. History Of The Arabs. (Jakarata : Serambi, 2005). Hal. 222
[20] Suyuti pulungan. Ibid. Hal, 118-119
[21] Badri Yatim. Ibid. Hal. 38
[22] Badri Yatim. Ibid. Hal. 37
[23] Abdul Syukur Al-Azizi. Kitab sejarah Peradaban Islam. (Jogjakarta : Saufa, 2014). Hal. 89-83
[24] Ahmad Khoirul Rofiq, M. Fil. 1. Sejarah Peradaban Islam (dari masa klasik hingga modern).(Yogyakarta : Nadi Offset, 2009). Hal. 92
[25] Abdul Karim. Ibid.. Hal. 81
[26] Abdul Karim. Ibid. Hal. 86
[27] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.. Hal. 93
[28] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 130
[29] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. Hal. 94
[30] Suyuti pulungan.Ibid. 142
[31] Suyuti pulungan. Ibid.  Hal. 144
[32] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid. Hal. 101-102
[33] Abdul Syukur Al-Azizi. Ibid.. Hal. 102
[34] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 151-152
[35] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 153-154
[36] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 157
[37] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 158
[38] Suyuti pulungan. ibid. Hal. 159-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar