Rabu, 01 Juli 2015

'URF



URF
Dibuat guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Ahmad Munif

Description: Description: Description: gh
Disusun oleh:
Ahmad Haidar  (132211076)
Amin Mukhlisin (132211077)
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
Safar Utomo (132211079)
FAKULTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                   PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
Islam merupakan agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S.Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushul Fiqh untuk meng-Istinbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini. Berikut dalam makalah ini penulis akan memaparkan salah satu dari metode Ushul Fiqih untuk mengistinbathkan hukum yaitu ‘Urf.

2.      Rumusan masalah
1.      Apa pengertian ‘Urf ?
2.       Bagaimana dasar hukum ‘Urf ?
3.      Apa saja syarat-syarat ‘Urf ?
4.      Bagaimana  kedudukan ‘Urf dalam hukum Islam?
5.      Sebutkan macam-macam ‘Urf dan bagaimana penjelasannya?
6.      Apa saja permasalahan ‘Urf ?

3.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui pengertian ‘Urf
2.      Mengetahui dasar hukum ‘Urf
3.      Mengetahui syarat-syarat ‘Urf
4.      Mengetahui kedudukan ‘Urf
5.      Mengetahui macam-macam ‘Urf beserta penjelasannya
6.      Mengetahui permasalahan ‘Urf

II.                PEMBAHASAN

1.      Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, diterima oleh pikiran yang sehat.[1]
pengertian ‘urf menurut ahli fiqih ialah
مَا تَعَارَفَهُ النَّاسُ وَسَارُواعَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْتَرْكٍ وَيُسَمَّى اْلعَا دَةُ
 “sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun sikap meninggalkan sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan”.[2]
 ‘Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqih, ‘Urf disebut adat (adat kebiasaan).[3] Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nasafi dari kalangan Khanafi, Ibnu Abidin, Al-Rahawi dalam Syarh Kitab Al-Manar dan Ibnu Nujaim dalam kitab Al-Asyibah Wa Al-Nazhair berpendapat bahwa ‘Urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya, namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan Al-Bazdawi membedakan antara adat dengan ‘Urf dalam kedudukannya sebagai suatu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘Urf adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan aaupun perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas dibandingkan ‘Urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘Urf, tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut ‘Urf. Tetapi dari sisi yang lain ‘Urf lebih umum disbanding adat, sebab, adat hanya mencakup perbuatan, sedangkan ‘Urf mencakup perbuatan dan ucapan sekaligus.[4]
Seperti dalam salam (jual-beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli adalah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual-beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan.[5]

2.      Dasar hukum ‘Urf
Para ulama memandang ‘Urf sebagai salah satu dalil untuk mengistinbathkan hukum Islam hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan ulama. Ada juga sebagian ulama yang memperkuat kehujjahan ‘Urf dengan dalil Al-Qur’an dan Hadits. Mereka mengemukakan ayat 199 surat Al-A’raf sebagai dalilnya :
خذ العفو امر بالعرف واعرض عن الجاهلين
jadilah enkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Diantara hadits yang dijadikan kehujjahan ‘urf adalah hadits yang diriwayatkan jama’ah selain Tirmidzi yang menceritakan kisah pengaduan hindun perihal sifat bakhil suaminya, Abu Sufyan dalam pemberian nafkah, beliau bersabda :
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambillah (ambillah dari harta suamimu) kadar yang cukup untukmu dan anakmu menurut ukuran yang cukup”
Nafkah yang ma’ruf dari hadits ini adalah kadar nafkah yang biasa berlaku pada masyarakat arab pada saat itu. Dan juga hadits mauquf dari Ibnu Abbas :
ماراه المسلمون حسنا فهوعندالله حسن
 “apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dipandang baik pula disisi Allah”[6]
Abdul karim Zaidan mengkritik penggunaan ayat dan hadits diatas bagi kehujjahan ‘Urf, dan mengatakan sebagai dalil yang lemah. Sebab kata Al-‘Urf dalam ayat diatas berarti kebaikan yang diperintahkan oleh syara’ dan wajib mengamalkannya. Sementara hadits diatas adalah hadits mauquf, dan hanya berhenti pada Ibnu Mas’ud yang lebih tepat dijadikan sebagai argument kehujjahan ijma’ bukan kehujjahan ‘Urf. Disamping dalil-dalil tersebut, para ulama menggunakan ‘Urf sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan ‘Urf :
a.       Kita mendapati Allah dan meresipir ‘Urf-‘Urf orang arab yang dipandang baik.
b.      ‘Urf pada dasarnya disandarkan pada salah satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah.
c.       Para ulama dari masa kemasa telah menggunakan ijma’ sebagai dalil atau hujjah hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama mengakuinya sebagai dalil.[7]
3.      Syarat-syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf  baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
a.       ‘Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan mayarakat.
b.      ‘Urf tersebut masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut ditetapkan. Jika ‘Urf telah berubah, maka hukum tidak dapat dibangun diatas ‘Urf tersebut.
c.       Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
d.       Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.[8]

4.      Kedudukan ‘Urf
Disamping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum ‘Urf juga memiliki kedudukan penting dalam penerapan suatu hukum, sebagaimana diketahui hukum Islam memiliki dua sisi yaitu, sisi penetapan (istinbath) dan sisi penerapan (tathbiq). Keduanya bisa berjalan parallel bisa juga tidak. Artinya suatu produk hukum adakalanya dapat diterapkan secara langsung tanpa mempertimbangkan kemaslahatan lokus dimana hukum terebut diterapkan, dan ada kalanya tidak dapat diterapkan, karena tidak sesuai dengan kemaslahatan masyarakat ditempat dimana hukum Islam tersebut akan diterapkan. Dalam kaitan ini’Urf menjadi dasar bagi penerapan suatu hukum.
Segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah tidak menjelaskan kadarnya, maka ukurannya dikembalikan kepada ‘Urf, seperti ukuran besarnya mahar, besarnya mut’ah bagi istri yang dicerai suaminya, upah bagi buruh atau pembantu rumah tangga disuatu tempat dan lain-lain.[9]

5.      Macam-macam ‘Urf
Para ulama fiqih membagi ‘Urf menjadi tiga macam :
a.       Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada: Al ‘Urf Al-Lafzhi (kebiasaaan yang menyangkut ungkapan dan Al ‘Urf Al- Amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan)
·         Al-‘Urf Al-Lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pemikiran masyarakat. Misalnya ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata-kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual itu memiliki berbagai macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya membeli daging satu kilogram,” pedagang itu langsung membelikan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaaan kata daging pada daging sapi.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indicator lain, maka tidak dinamakan ‘urf. Misalnya seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini.” Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti ini menurut Abdul Aziz Al-Khayyath (guru besar fiqih dari Universitas Aman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf, tetapi termasuk dalam Majaz (metafora).
·         Al-‘Urf Al-‘Amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain seperti kebiasaan libur  kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata ialah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu dilantarkan pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar  seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku dipasar-pasar swalayan. jual beli seperti ini dalam fiqih Islam disebut dengan bay’u al-mu’athah.
b.      Dari segi cakupannya, ‘Urf dibagi dua yaitu Al-‘Urf Al-Am (kebiasan yang bersifat umum) dan Al-‘Urf Al-Khash (kebiasaan yang bersifat khusus)
·         Al-Urf Al-Am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang digunakan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
·         Al-‘Urf Al-Khash adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya  dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku dikalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya. ‘urf khas seperti ini menurut Musthafa Ahmad Al-Zarqa, tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
c.       Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi menjadi dua yatu Al-Urf Al-Shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan Al-‘Urf Al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)
·         Al-Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula memberikan mudlarat kepada mereka. Misalnya dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagi mas kawin.
·         Al-‘Urf Al-Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjamam uang antara sesama pedagang. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan (H.R Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibnu Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku dizaman jahiliayah yang dikenal dengan sebutan Riba’ Al-Nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam kategori Al-‘Urf Al-Fasid.[10]


6.      Permasalahan ‘Urf
Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut:
a.    Pertentangan ‘Urf dengan nash yang bersifat khusus.
Apabila pertentangan ‘Urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘Urf  tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
b.    Pertentangan ‘Urf dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila ‘Urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘Urf al-lafzhi dengan ‘Urf al-‘amali, apabila ‘Urf tersebut adalah ‘Urf al-lafzhi, maka’Urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘Urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan oleh ‘Urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘Urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
c.    ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘Urf tersebut.
Apabila suatu ‘Urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan ‘Urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat amali (praktik), sekalipun ‘Urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘Urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.[11]
III.             SIMPULAN
‘Urf adalah salah satu metode Ushul Fiqih untuk mengistinbathkan hukum, dan merupakan sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia yang mana mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pun sikap meninggalkan sesuatu. ada yang mengatakan bahwa ‘Urf adalah adat dan ada pula yang membedakannya dalam hal penerapan hukum. Suatu ‘Urf dapat dijadikan hukum apabila ia memenuhi beberapa syarat yaitu Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan mayarakat, ‘Urf tersebut masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut ditetapkan, Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya, ‘Urf tidak bertentang dengan nash.
Urf dibagi menjadi beberapa macam yaitu dari segi objeknya : Al ‘Urf Al-Lafzhi (kebiasaaan yang menyangkut ungkapan dan Al ‘Urf Al- Amalil (kebiasaan yang berbentuk perbuatan), Dari segi cakupannya : ‘Urf dibagi dua yaitu Al-‘Urf Al-Am (kebiasan yang bersifat umum) dan Al-‘Urf Al-Khash (kebiasaan yang bersifat khusus), dan dari segi keabsahannya dari pandangan syara’‘urf dibagi menajadi dua yaitu Al-Urf Al-Shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan Al-‘Urf Al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)

IV.             PENUTUP
Demikianlah makalah tentang ‘Urf yang telah penulis paparkan. Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
A Hanafi, Ahmad, 1970,  Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Abdul Salam, Zarkasji, Oman Fathurohman SW, 1994, pengantar Ilmu Fiqih Usul Fiqih 1, Yogyakarta : Lembaga Studi Filasafat Islam.
umar, Mu’in Dkk. Ushul Fiqih 1, 1986, Jakarta : Direktorat Jendral Pembianaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.
Suwarjin, 2012, Ushul Fiqih, Yogyakarta : Penerbit Teras.
Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqih 1, Jakarta :Logos Wacana Ilmu.
Khalaf, Abdul Wahab, 1996, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Gema Risalah Press.
Khalaf, Abdul Wahab, 1972,  Kaidah-kaidah Hukum islam, Bandung : Risalah.




[1] A Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1970). Hal. 77
[2] Zarkasji Abdul Salam, Oman Fathurohman SW. pengantar Ilmu Fiqih Usul Fiqih 1. ( Yogyakarta : Lembaga Studi Filasafat Islam, 1994). Hal.  118-119
[3] Mu’in umar Dkk. Ushul Fiqih 1. ( Jakarta : Direktorat Jendral Pembianaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986 ). Hal. 150
[4] Suwarjin. Ushul Fiqih. (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2012) Hal. 148-149
[5] Mu’in umar Dkk. Op. Cit. Hal. 150
[6] Suwarjin. Op. Cit. Hal. 151-152
[7] Suwarjin. Ushul Fiqih. (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2012) Hal. 152-153
[8] Suwarjin. Ibid. Hal. 154
[9] Suwarjin. Ibid. Hal. 154-155
[10] Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1. (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 1997). Hal. 139-141.
Zakarsji Abdussalam, Oman Fathurrahman. Op. Cit.  Hal. 119
Mu’in umar Dkk. Op. Cit. Hal. 151-152
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqih. ( Bandung : Gema Risalah Press, 1996). Hal. 149-150
Abdul wahab khalaf. Kaidah-kaidah Hukum islam. ( Bandung : Risalah, 1972). Hal. 132-133
Suwarjin. Op. Cit. Hal. 149-151
[11] http://rasyidakbarsuryawan.blogspot.com/2012/11/hukum-urf.html. Diakses tanggal 20 April 2015 pukul 11.50
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar