I.
PENDAHULUAN
Bentuk-bentuk
akad jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam
fiqh muamalah terbilang sangat beragama, jumlahnya bisa mencapai belasan
jika tidak puluhan. Namun demikian, diantara beragam bentuk akad jual beli tersebut dapat
dikategorikan dengan spesifikasi tertentu.
Penentuan
tersebuat dapat dilihat dalam segi objek transaksi, penentuan harga, dan masih
banyak penentuan-penentuan dalam akad jual beli di fiqh muamalah. Yang akad di
bahas di pertemuan berikutnya. Semua akad tersebut intinya menghindari adaya
permainan riba. Banyak sekali sekarang akad jual beli yang melandasi riba.
Padahal, riba didalam Islam itu jelas-jelas haram hukumnya.
Ada beberapa
bermuamalah yang telah mengamalkan mekanisme-mekanisme yang dapat menghindari
riba sepenuhnya. Mekanisme yang digunakan ialah pembiayaan Murabahah, Bai’
Bitsman Ajil, Bai’ Salam, Bai’ Istisna, Mudharabah. Yang akan dibahas di
makalah kelompok kami.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Al-Murabahah
2.
Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Bai’
Bitsman Ajil
3.
Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Bai’ Al-Salam
4.
Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Bai’ Istisna’
5.
Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Mudharabah
III.
PEMBAHASAN
A.
Al-Murabahah
a.
Pengertian Murabahah
Secara bahasa, murabahah berasal
dari kata ribh : tumbuh dan berkembang dalam perniagaan.
Secara istilah, menurut Ibnu Rusyd
al Maliki; murabahah adalah jual beli komoditas dimana penjual memberikan
informasi kepada pembeli tentang harga pokok pembelian barang dan tingkat keuntungan
yang diinginkan.
Menurut Al-Mawardi Asy-Syafi;
murabahah adalah seorang penjual mengatakan “saya menjual pakaian ini
secara murabahah, dan saya menginginkan keuntungan sebesar 1 dirham atas setiap
10 dirham harga beli”.
Murabahah adalah jual beli dengan dasar adanya informasi dari pihak penjual terkait
dengan harga pokok pembelian dan tingkat keuntungan yang diinginkan.
b.
Landasan hukum
Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan. Lebih
rincinya terdapat dalam Al-Quran atau hadist.
QS.
An-Nisa (4) ayat
29:
يَأَيٌّهَا الَّذِينَءَامَنُوْالَا تَأ
كُلُوْا أَمْوَا لَكُم بَيْنَكُم بِا لْبَطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَرَةً عَن
تَرَا ضٍ مِّنْكُمْ ج
“Hai orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”
QS.
Al-Baqarah (2) ayat 275:
وَأَ حَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّ بَوا ج
“…dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Dari
Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”
c.
Rukun dan Syarat
Rukun
mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafad/shighat. [1]
Syarat murabahah dikatakan sah menurut Al-Kasani, yakni:
1)
Mengetahui harga pokok (harga beli)
2)
Adanya kejelasan margin (keuntungan)
3)
Modal yang digunakan untuk membeli objek transaksi harus merupakan
barang mitsli, dalam arti terdapat padanannya di pasaran, alangkah
baiknya jika menggunakan uang.
4)
Objek transaksi dan alat pembayaran yang digunakan tidak boleh
berupa barang ribawi
5)
Akad jual beli pertama harus sah
B. Bai’
Bitsaman Ajil
a.
Pengertian
Secara bahasa Bai’ maknanya
adalah jual beli dan transaksi. Tsaman maknanya harga, Ajil
maknanya bertempo atau tidak tunai. Tsaman Ajil maknanya adalah harga belakangan/
uangnya diberikan kemudian (ditanggukan). Maksudnya harga barang itu berbeda
jika dilakukan pembayaran dengan tunai.
Bai’ Muajjal / Bai’ Bitsaman Ajil adalah jual beli dimana pembayaran atas harga jual barang dilakukan
dengan tempo/waktu (ditangguhkan) tertentu di waktu mendatang atas kesepakatan
bersama.
Bai’ Muajjal akan sah jika waktu pembayaran
ditentukan secara pasti, seperti dengan menyebut periode waktu secara spesifik,
contoh: pembayaran dilakukan 2/3 bulan mendatang. Jika pembayaran tidak ditentukan
secara spesifik, maka akad jual beli batal adanya.
b.
Landasan Hukum
Dalam dasar hukum Bai’ Bitsman Ajil sama
dengan hukum dalam Murabahah, yang terdapat pada QS. An-Nisa ayat 29 dan
QS.Al-Baqarah ayat 275.
Dan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah:
“Sesungguhnya Nabi SAW telah mengambil makanan
daripada seoang yahudi dengan menangguhkan pembayaran kepada jangka waktu yang
ditentukan dan menggadakan baju besinya sebagai jaminan.” (HR.Imam Bukhari)
c.
Rukun dan Syarat
Rukun dalam akad ini yaitu:
1)
Penjual
2)
Pembeli
3)
Barang yang diperjualkan
4)
Harga
5)
Ijab qabul
Syaratnya:
1)
Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2)
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang
ditetapkan
3)
Kontrak harus bebas dari riba
4)
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi
cacat atas barang sesudah pembelian
5)
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan
dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara utang
6)
Jika syarat dalam (1), (4) atau (5) tidak
dipenuhi,pembeli memiliki pilihan:
· Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
· Membatalkan kontrak Bai Batsman Ajil
tersebut
C. Bai’
Al-Salam
a.
Pengertian Bai’ Salam
Akad salam/pesanan erat kaitannya dengan
akad jual beli. Bahkan menurut Iman ‘Alauddin
Al-Kasani, “Salam itu adalah jual beli”.[2]
Salam dan salaf mempunyai pengertian yang sama. Di dalam kamus
Al-Mu’ajam Al-Wasithdi disebutkan: “As-Salaf” diartikan dengan بَيْعُ السَّلَمِyang artinya: jual
beli salam.[3]
Pengertian salaf atau istalafa : iqtaradha yang artinya: “berutang”.
Pengertian salam menurut istilah
dikemukakan oleh:
1) Kamaluddin bin Al-Hammam dari mazhab Hanafi
sebagai berikut:
أَنَّ مَعْنَاهُ الشَّرْ عِيِّ بَيْعُ أَجِلٍ
بِعَا جِل
Sesungguhnya pengertian salam menurut syara’ adalah
jual beli tempo dengan tunai.
Jadi, salam
adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang harga barang dibayarkan secara
tunai, sedangkan barang yang di beli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya
sudah disebutkan pada waktu perjanjian tersebut.
b. Landasan Hukum
Salam merupakan akad yang dibolehkan, meskipun objeknya tidak ada dimajlis akad,
sebagai pengecualian dari persyaratan jual beli yang berkaitan dengan objeknya.
Dasar hukumnya dibolehkannya salam ini
adalah:
Dalam Al-Qura’an, QS.Al-Baqarah (2) ayat 282:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا
تَدَا يَنْتُمْ بِدَ يْنٍ إِلَى أَ جَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوهُج
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Hadist Nabi SAW riwayat Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ الْمَدِ يْنَةَ وَ هُمْ
يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَارِالسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَف فِي
تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ
مَعْلُوْمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Ibnu Abbas RA ia berkata:Nabi SAW telah datang ke Madinah
dan mereka (penduduk Madinah) memesan buah-buahan selama satu tahun dan dua
tahun, maka Nabi bersabda: Barangsipa yang memesan buah kurma maka hendaklah ia
memesannya dalam takaran tertentu, dan timbangan tertentu serta waktu tertentu. (HR.Muttafaq ‘alaih).[4]
Menurut Ibnu Abbas dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’I, Thabrani,
Al-Hakim dan Baihaqi, dan dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan:
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ
إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِيْ كِتَا بِهِ وَأَذِنَ فِيْهِ,
ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْأَيَةَ.
Saya bersaksi (menyakini) bahwa sesusngguhnya salaf (salam) yang ditanggungkan
(dijanjikan ) untuk masa tertentu, sesungguhnya telah dihalalkan oleh Allah di
dalam kitabnya dan diizinkan untuk dilakukan, kemudian beliau membaca ayat ini.
c.
Rukun dan Syarat
Rukun akad salam menurut Hanafiyah adalah ijab
dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, seperti halnya jual beli,
Akad salam itu meliputi:
1. ‘Aqid, yaitu pembeli atau al-muslim atau rabbussalam,
dan penjual atau al-muslam ilaih
2. Ma’qud alaih, yaitu muslam fih (barang yang
dipesan), dan harga atau modal salam (ra’s al-mal as-salam)
Syarat-syarat akad
salam ini ada yang berkaitan dengan ra’s al-mal (modal atau harga), dan yang
berkaitan dengan muslamfih (objek akad
atau barang yang dipesan). Secara umum ulama-ulama mahzhab sepakat bahwa ada enam
syarat harus dipenuhi agar akad salam menjadi sah, yaitu:
1. Jenis muslam fih harus diketahui
2. Sifatnya diketahui
3. Ukuran atau kadarya diketahui
4. Masa tertentu (diketahui)
5. Menganai kadar (ukuran) ra’s al-mal
(modal/harga)
6. Menyebut tempat pemesanan/penyerahan.
D. Bai’
Istisna’
a. Pengertian
Istishna berasal dari kata shana’a ( صَنَعَ
) ditambah alif, sin, dan ta' menjadi istashna’a ( اِسْتَصْنَعَ ), artinya: “meminta untuk dibuatkan
sesuatu”.[6]
Menurut Ali Fikri, defini istisna’
adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara
tertentu yang materinya (bahannya) dari pihak pembuat (tukang).[7]
Akad istisna adalah suatu akad antara dua pihak dimana pihak pertama (orang
yang memesan/konsumen) meminta kepada pihak kedua
(orang yang membuat/produsen ) untuk di buatkan suatu barang,
seperti sepatu, yang
bahannya dari pihak kedua
(orang yang membuat/produsen).
b. Landasan Hukum
Landasan hukum akad istisna secara tekstual memang tidak ada. Bahkan menurut logika,
istisna tidak diperbolehkan,
karena objek akadnya tidak ada. Namun menurut Hanafiyah,
akad ini di bolehkan berdasarkan istihsan, karena sudah sejak
lama istihna ini dilakukan oleh masyarakat tanpa ada
yang mengingkarinya, sehingga dengan demikian hukum kebolehannya itu bisa digolongkan kepada ijma. Mengenai ijma ini Anas
bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda :
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعْ عَلَى ضَلَا
لَةٍ , فَإِذَا يْتُمُ اِخْتِلَا فًا فَعَلَيْكُمْ بِا لسَّوَادِ الْأَ عْظَمْ
Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat untuk kesesatan, apabila kamu melihat adanya perselisihan,
maka ikutilah kelompok yang bayak (HR. Riwayat Ibnu Majas).[8]
c. Rukun dan Syarat
Rukun akad istisna
menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi jumhul ulama,
rukun istisna ada tiga, yaitu sebagai berikut:
a.
‘Aqid, yaitu shani’ (orang yang
membuat/produsen ) atau penjual, dan mustashni’ (orang yang memesan/konsumen) atau pembeli.
b.
Ma’qud ‘alaih, yaitu ‘amal (pekerjaan),
barang yang dipesan,
dan harga atau alat pembayaran.
Syarat-syarat istishna’ adalah sebagai berikut:
a) Menjelaskan tentang jenis barang yang
dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang yang
dijual (objek akad).
b) Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku
muamalat diantara manusia, seperti sepatu ,dan lain-lain.
c) Tidak ada ketentuan menganai waktu tempo
penyerahan barang yang dipesan.
E. Mudharabah
a. Pengertian
Mudharabah/Qiradh diambil dari
kata: الضَرْبُ فِي الاَ رْضِyang
artinya : melakukan perjalanan untuk berdagang.[10] Dalam Al-Quran Surat
Al-Muzammil
(73) ayat
20 disebutkan:
...وَءَاخْرُونَ يَضْرِبُونَ
فِى الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللهِ...
"Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah."
Mudharabah adalah suatu akad atau perjajanjian antara dua orang
atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain
menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi antara
mereka sesuai dengan kesepakatan bersama.
Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa mudharabah adalah kerjasama
antara modal dengan tenaga atau keahlian.
b. Landasan Hukum
Dasar hukum mudharabah terdapat dalam
Surat
Al-Muzammil (73) ayat 20. Dan dalam hadist
diriwayatkan shuhaib, yang artinya;
“Dari suhaib RA bahwa Nabi SAW bersabda: ada tiga perkara yang
didalamnya terdapat keberkahan: (1) jual beli tempo, (2) muqarahah, (3)
mencapur gandum dengan jagung untuk makanan dirumah bukan untuk dijual.” (HR
Ibnu Majah)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّ حْمَنِ
عَنْ أَبِيْه عَنْ جَدِّهِ : أّنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانْ أّعْطَاهُ مَالَا
قِرَا ضًا يَعْمَلُ فِيْهِ عَلَى أّنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا
“Dari
‘Ala bin Abdurrahan dari ayahnya dari kakeknya bahwa ‘Utsman bin ‘Affan
memberikan hartanya dengan cara qiradh yng dikelolanya, degan ketentuan
keuntungan dibagi diantara mereka berdua.” (HR Imam Malik)
c. Rukun dan Syarat
Rukun mudharabah yaitu ijab dan qabul. Menurut Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah ada enam,
yaitu:
1) Pemilik barang yang menyerahkan
barang-barangnya
2) Orang yang bekerja, yang mengelola barang
3) Akad mudharabah
4) Mal, harta pokok atau modal
5) Amal, pekerja pengelola harta
6) Keuntungan
Dan menurut jumhur ulama rukun mudharabah ada tiga, yaitu:
a)
Aqid, yaitu pemilik modal
dan pengelola (‘amil/mudharib)
b)
Ma’qud Alaih, yaitu modal, tenaga
(pekerjaan) dan keuntungan
Menurut Sayyid Sabiq, Syarat-syarat sah mudharabah
adalah sebagai berikut:
1)
Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang
tunai, jika berbentuk emas, perak, atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah
tersebut batal
2)
Bagi yang melakukan akad, disyaratkan mampu melakukan tasharruf,
maka batal jika yang melakukan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan
orang-orang di bawah pengampunan.
3)
Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara
modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan yang
hasilnya akan dibagi kepada kedua belah pihak.
4)
Keuntungan yanng akan didapat harus jelas
presentasenya
5)
Melafazkan ijab dari pemilik modal
6)
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengola
harta untuk berdagang di negara tertentu, barang-barang tertentu, dan
waktu-waktu tertentu. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-peryaratan,
maka mudharabah menjadi rusak menurut pendapat Safi’i dan Malik.
Sedangkan menurut Hanafi dan Hambali, mudharabah tersebut sah.
IV.
KESIMPULAN
Pembiayaan Bai Bitsaman Ajil adalah pembiayaan untuk membeli barang
dengan cicilan. Syarat-syarat dasarnya hampir sama dengan pembiayaan Murabahah.
Perbedaan diantara keduanya terletak ada cara pembiayaan, dimana pada
pembiayaan Murabahah dilakukan dengan cara tunai setelah berlangsungnya akad,
sedangkan pada Bai Bitsaman Aji dilakukan cicilan baru setelah nasabah penerima
barang mampu memerlihatka hasil usahanya.
V.
PENUTUP
Tentunya dalam penulisan makalah ini,
dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari kekurangan,kami telah berusaha
semaksimal mungkin untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh
karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian demi
kesempurnaan makalah kami ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Subul
As-Salam, Juz 3, Maktabah Mushthafa
Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, cet.IV, 1960
Al-Kasani, Alauddin, Badai’ Asy-Syanai
fi Tartib Asy-Syarai’, juz 5, Dar Al-Fikr, Bairut, cet.I, 1996
Anis, Ibrahim, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz
1, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabiy, Kairo, cet.II, 1992
Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Juz 2,
Nomor Hadis, 3950, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nnafi’,
Seri 4, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalah,
Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010
………………………., Fiqih Muamalat, Jakarta:
Amzah, 2010
Sabiq, Sayid, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar
Al-Fikr, Beirut, cet.III, 1981
……………, Fiqih Sunnah, Jilid4: Pena
Pundi aksara, 2006
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamiy wa
Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet.III, 1989
[1]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid4: Pena Pundi Aksara, 2006. hal,
218-220
[2]Alauddin Al-Kasani, Badai’Asy-syanai fi tartibAsy-Syarai’, juz 5, Dar
Al-Fikr,Bairut,1996,hlm 298.
[3] Ibrahim Anis, et.al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 1, Dar Ihya’ At-Turats
Al-‘Arabiy, Kairo, 1992, hlm. 444
[4] Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah
Mushthafa Al-Babiy Al Halabiy, Mesir, 1960, hlm. 49
[5]Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta:Sinar Grafika
Offset, 2010, hlm.241-246
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Nomor hadis,
3950, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, Seri 4, Al-Ishdar
Al-Awwal, 1426, hlm. 1302.
[9]Ahmad WardiMuslich,FIQIHMUAMALAH,Jakarta:SinarGrafika
Offset,2010,hlm 253-255
[10] Sayid Sabiq, Fiqh
As-Sunnah, Juz 3, DarAl-Fikr, Beirut, 1981,hlm.212
[11] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010,
hlm.365-371