Selasa, 14 Maret 2017

MURABAHAH, BAI’ BITSAMAN AJIL, BAI’ SALAM, BAI’ ISTISNA’, MUDHARABAH



       I.            PENDAHULUAN
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah terbilang sangat beragama, jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Namun demikian, diantara beragam bentuk akad jual beli tersebut dapat dikategorikan dengan spesifikasi tertentu.
Penentuan tersebuat dapat dilihat dalam segi objek transaksi, penentuan harga, dan masih banyak penentuan-penentuan dalam akad jual beli di fiqh muamalah. Yang akad di bahas di pertemuan berikutnya. Semua akad tersebut intinya menghindari adaya permainan riba. Banyak sekali sekarang akad jual beli yang melandasi riba. Padahal, riba didalam Islam itu jelas-jelas haram hukumnya.
Ada beberapa bermuamalah yang telah mengamalkan mekanisme-mekanisme yang dapat menghindari riba sepenuhnya. Mekanisme yang digunakan ialah pembiayaan Murabahah, Bai’ Bitsman Ajil, Bai’ Salam, Bai’ Istisna, Mudharabah. Yang akan dibahas di makalah kelompok kami.

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Al-Murabahah
2.      Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Bai’ Bitsman Ajil
3.      Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Bai’ Al-Salam
4.      Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Bai’ Istisna
5.      Pengertian, landasan hukumnya, rukun dan syarat Mudharabah






 III.            PEMBAHASAN
A.  Al-Murabahah
a.    Pengertian Murabahah
Secara bahasa, murabahah berasal dari kata ribh : tumbuh dan berkembang dalam perniagaan.
Secara istilah, menurut Ibnu Rusyd al Maliki; murabahah adalah jual beli komoditas dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang harga pokok pembelian barang dan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Menurut Al-Mawardi Asy-Syafi; murabahah adalah seorang penjual mengatakan “saya menjual pakaian ini secara murabahah, dan saya menginginkan keuntungan sebesar 1 dirham atas setiap 10 dirham harga beli”.
Murabahah adalah jual beli dengan dasar adanya informasi dari pihak penjual terkait dengan harga pokok pembelian dan tingkat keuntungan yang diinginkan.

b.    Landasan hukum
Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan. Lebih rincinya terdapat dalam Al-Quran atau hadist.

QS. An-Nisa (4) ayat 29:
يَأَيٌّهَا الَّذِينَءَامَنُوْالَا تَأ كُلُوْا أَمْوَا لَكُم بَيْنَكُم بِا لْبَطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَرَةً عَن تَرَا ضٍ مِّنْكُمْ ج
“Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”

QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
وَأَ حَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّ بَوا ج
“…dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”


Dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”

c.    Rukun dan Syarat
Rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafad/shighat. [1]
Syarat murabahah dikatakan sah menurut Al-Kasani, yakni:
1)        Mengetahui harga pokok (harga beli)
2)        Adanya kejelasan margin (keuntungan)
3)        Modal yang digunakan untuk membeli objek transaksi harus merupakan barang mitsli, dalam arti terdapat padanannya di pasaran, alangkah baiknya jika menggunakan uang.
4)        Objek transaksi dan alat pembayaran yang digunakan tidak boleh berupa barang ribawi
5)        Akad jual beli pertama harus sah

B.  Bai’ Bitsaman Ajil
a.    Pengertian
Secara bahasa Bai’ maknanya adalah jual beli dan transaksi. Tsaman maknanya harga, Ajil maknanya bertempo atau tidak tunai. Tsaman Ajil maknanya adalah harga belakangan/ uangnya diberikan kemudian (ditanggukan). Maksudnya harga barang itu berbeda jika dilakukan pembayaran dengan tunai.
Bai’ Muajjal / Bai’ Bitsaman Ajil adalah jual beli dimana pembayaran atas harga jual barang dilakukan dengan tempo/waktu (ditangguhkan) tertentu di waktu mendatang atas kesepakatan bersama.
Bai’ Muajjal akan sah jika waktu pembayaran ditentukan secara pasti, seperti dengan menyebut periode waktu secara spesifik, contoh: pembayaran dilakukan 2/3 bulan mendatang. Jika pembayaran tidak ditentukan secara spesifik, maka akad jual beli batal adanya.

b.      Landasan Hukum
Dalam dasar hukum Bai’ Bitsman Ajil sama dengan hukum dalam Murabahah, yang terdapat pada QS. An-Nisa ayat 29 dan QS.Al-Baqarah ayat 275.

Dan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah:
“Sesungguhnya Nabi SAW telah mengambil makanan daripada seoang yahudi dengan menangguhkan pembayaran kepada jangka waktu yang ditentukan dan menggadakan baju besinya sebagai jaminan.” (HR.Imam Bukhari)

c.       Rukun dan Syarat
Rukun dalam akad ini yaitu:

1)   Penjual
2)   Pembeli
3)   Barang yang diperjualkan
4)   Harga
5)   Ijab qabul



Syaratnya:
1)   Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2)   Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3)   Kontrak harus bebas dari riba
4)   Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5)   Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara utang
6)   Jika syarat dalam (1), (4) atau (5) tidak dipenuhi,pembeli memiliki pilihan:
·      Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
·      Membatalkan kontrak Bai Batsman Ajil tersebut

C.  Bai’ Al-Salam
a.    Pengertian Bai’ Salam
Akad salam/pesanan erat kaitannya dengan akad jual beli.  Bahkan menurut Iman ‘Alauddin Al-Kasani, “Salam itu adalah jual beli”.[2]
Salam dan salaf  mempunyai pengertian yang sama. Di dalam kamus Al-Mu’ajam Al-Wasithdi disebutkan: “As-Salaf” diartikan dengan  بَيْعُ السَّلَمِyang artinya: jual beli salam.[3] Pengertian salaf atau istalafa : iqtaradha yang artinya: “berutang”.

Pengertian salam menurut istilah dikemukakan oleh:
1)   Kamaluddin bin Al-Hammam dari mazhab Hanafi sebagai berikut:
أَنَّ مَعْنَاهُ الشَّرْ عِيِّ بَيْعُ أَجِلٍ بِعَا جِل
Sesungguhnya pengertian salam menurut syara’ adalah jual beli tempo dengan tunai.

Jadi, salam adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang harga barang dibayarkan secara tunai, sedangkan barang yang di beli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan pada waktu perjanjian tersebut.

b.    Landasan Hukum
Salam merupakan akad yang dibolehkan, meskipun objeknya tidak ada dimajlis akad, sebagai pengecualian dari persyaratan jual beli yang berkaitan dengan objeknya. Dasar hukumnya dibolehkannya salam ini adalah:

Dalam Al-Qura’an, QS.Al-Baqarah (2) ayat 282:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا تَدَا يَنْتُمْ بِدَ يْنٍ إِلَى أَ جَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوهُج
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Hadist Nabi SAW riwayat Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ الْمَدِ يْنَةَ وَ هُمْ يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَارِالسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَف فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Ibnu Abbas RA ia berkata:Nabi SAW telah datang ke Madinah dan mereka (penduduk Madinah) memesan buah-buahan selama satu tahun dan dua tahun, maka Nabi bersabda: Barangsipa yang memesan buah kurma maka hendaklah ia memesannya dalam takaran tertentu, dan timbangan tertentu serta waktu tertentu. (HR.Muttafaq ‘alaih).[4]

Menurut Ibnu Abbas dalam atsar  yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’I, Thabrani, Al-Hakim dan Baihaqi, dan dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan:
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِيْ كِتَا بِهِ وَأَذِنَ فِيْهِ, ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْأَيَةَ.
Saya bersaksi (menyakini) bahwa sesusngguhnya salaf (salam) yang ditanggungkan (dijanjikan ) untuk masa tertentu, sesungguhnya telah dihalalkan oleh Allah di dalam kitabnya dan diizinkan untuk dilakukan, kemudian beliau membaca ayat ini.

c.    Rukun dan Syarat
Rukun akad salam menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, seperti halnya jual beli, Akad salam itu meliputi:
1.    ‘Aqid, yaitu pembeli atau al-muslim atau rabbussalam, dan penjual atau al-muslam ilaih
2.    Ma’qud alaih, yaitu muslam fih (barang yang dipesan), dan harga atau modal salam (ra’s al-mal as-salam)
3.    Shighat yaitu ijab dan qabul.[5]

Syarat-syarat akad salam ini ada yang berkaitan dengan ra’s al-mal (modal atau harga), dan yang berkaitan dengan muslamfih (objek akad atau barang yang dipesan). Secara umum ulama-ulama mahzhab sepakat bahwa ada enam syarat harus dipenuhi agar akad salam menjadi sah, yaitu:
1.    Jenis muslam fih harus diketahui
2.    Sifatnya diketahui
3.    Ukuran atau kadarya diketahui
4.    Masa tertentu (diketahui)
5.    Menganai kadar (ukuran) ra’s al-mal (modal/harga)
6.    Menyebut tempat pemesanan/penyerahan.

D.  Bai’ Istisna’
a.    Pengertian
Istishna berasal dari kata shana’a ( صَنَعَ ) ditambah alif, sin, dan ta' menjadi istashna’a ( اِسْتَصْنَعَ ), artinya: “meminta untuk dibuatkan sesuatu”.[6]
Menurut Ali Fikri, defini istisna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahannya) dari pihak pembuat (tukang).[7]
Akad istisna adalah suatu akad antara dua pihak dimana pihak pertama (orang yang memesan/konsumen) meminta kepada pihak kedua (orang yang membuat/produsen ) untuk di buatkan suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua (orang yang membuat/produsen).

b.    Landasan Hukum
Landasan hukum akad istisna secara tekstual memang tidak ada. Bahkan menurut logika, istisna tidak diperbolehkan, karena objek akadnya tidak ada. Namun menurut Hanafiyah, akad ini di bolehkan berdasarkan istihsan, karena sudah sejak lama istihna ini dilakukan oleh masyarakat tanpa ada yang mengingkarinya, sehingga dengan demikian hukum kebolehannya itu bisa digolongkan kepada ijma. Mengenai ijma ini Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعْ عَلَى ضَلَا لَةٍ , فَإِذَا يْتُمُ اِخْتِلَا فًا فَعَلَيْكُمْ بِا لسَّوَادِ الْأَ عْظَمْ
Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat untuk kesesatan, apabila kamu melihat adanya perselisihan, maka ikutilah kelompok yang bayak (HR. Riwayat Ibnu Majas).[8]

c.    Rukun dan Syarat
Rukun akad istisna menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi jumhul ulama, rukun istisna ada tiga, yaitu sebagai berikut:
a.       Aqid, yaitu shani (orang yang membuat/produsen ) atau penjual, dan mustashni’  (orang yang memesan/konsumen) atau pembeli.
b.      Maqud ‘alaih, yaitu amal (pekerjaan), barang yang dipesan, dan harga atau alat pembayaran.
c.       Shighat atau ijab dan qabul.[9]

Syarat-syarat istishna adalah sebagai berikut:
a)    Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang yang dijual (objek akad).
b)   Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku muamalat diantara manusia, seperti sepatu ,dan lain-lain.
c)    Tidak ada ketentuan menganai waktu tempo penyerahan barang yang dipesan.

E.  Mudharabah
a.    Pengertian
Mudharabah/Qiradh diambil dari kata:  الضَرْبُ فِي الاَ رْضِyang artinya : melakukan perjalanan untuk berdagang.[10] Dalam Al-Quran Surat Al-Muzammil (73) ayat 20 disebutkan:
...وَءَاخْرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللهِ...
"Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah."

Mudharabah adalah suatu akad atau perjajanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan kesepakatan bersama. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa mudharabah adalah kerjasama antara modal dengan tenaga atau keahlian.

b.    Landasan Hukum
Dasar hukum mudharabah terdapat dalam Surat Al-Muzammil (73) ayat 20. Dan dalam hadist diriwayatkan shuhaib, yang artinya;
Dari suhaib RA bahwa Nabi SAW bersabda: ada tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: (1) jual beli tempo, (2) muqarahah, (3) mencapur gandum dengan jagung untuk makanan dirumah bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّ حْمَنِ عَنْ أَبِيْه عَنْ جَدِّهِ : أّنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانْ أّعْطَاهُ مَالَا قِرَا ضًا يَعْمَلُ فِيْهِ عَلَى أّنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا
“Dari ‘Ala bin Abdurrahan dari ayahnya dari kakeknya bahwa ‘Utsman bin ‘Affan memberikan hartanya dengan cara qiradh yng dikelolanya, degan ketentuan keuntungan dibagi diantara mereka berdua.” (HR Imam Malik)

c.    Rukun dan Syarat
Rukun mudharabah yaitu ijab dan qabul. Menurut Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah ada enam, yaitu:
1)      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
2)      Orang yang bekerja, yang mengelola barang
3)      Akad mudharabah
4)      Mal, harta pokok atau modal
5)      Amal, pekerja pengelola harta
6)      Keuntungan

Dan menurut jumhur ulama rukun mudharabah ada tiga, yaitu:
a)    Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (‘amil/mudharib)
b)   Ma’qud Alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan
c)    Shinghat, yaitu ijab dan qabul[11]

Menurut Sayyid Sabiq, Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
1)        Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai, jika berbentuk emas, perak, atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah tersebut batal
2)        Bagi yang melakukan akad, disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka batal jika yang melakukan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang di bawah pengampunan.
3)        Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan yang hasilnya akan dibagi kepada kedua belah pihak.
4)        Keuntungan yanng akan didapat harus jelas presentasenya
5)        Melafazkan ijab dari pemilik modal
6)        Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengola harta untuk berdagang di negara tertentu, barang-barang tertentu, dan waktu-waktu tertentu. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-peryaratan, maka mudharabah menjadi rusak menurut pendapat Safi’i dan Malik. Sedangkan menurut Hanafi dan Hambali, mudharabah tersebut sah.




















                  IV.          KESIMPULAN
Pembiayaan Bai Bitsaman Ajil adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan cicilan. Syarat-syarat dasarnya hampir sama dengan pembiayaan Murabahah. Perbedaan diantara keduanya terletak ada cara pembiayaan, dimana pada pembiayaan Murabahah dilakukan dengan cara tunai setelah berlangsungnya akad, sedangkan pada Bai Bitsaman Aji dilakukan cicilan baru setelah nasabah penerima barang mampu memerlihatka hasil usahanya.

                     V.          PENUTUP
Tentunya dalam penulisan makalah ini, dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari kekurangan,kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian demi kesempurnaan makalah kami ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
















DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Subul As-Salam,  Juz 3, Maktabah Mushthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, cet.IV, 1960
Al-Kasani, Alauddin, Badai’ Asy-Syanai fi Tartib Asy-Syarai’, juz 5, Dar Al-Fikr, Bairut, cet.I, 1996
Anis, Ibrahim, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 1, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabiy, Kairo, cet.II,  1992
Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Nomor Hadis, 3950, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nnafi’, Seri 4, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010
………………………., Fiqih Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010
Sabiq, Sayid, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet.III, 1981
……………, Fiqih Sunnah, Jilid4: Pena Pundi aksara, 2006
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet.III, 1989


[1]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid4: Pena Pundi Aksara, 2006. hal, 218-220
[2]Alauddin Al-Kasani, Badai’Asy-syanai fi tartibAsy-Syarai’, juz 5, Dar Al-Fikr,Bairut,1996,hlm 298.
[3] Ibrahim Anis, et.al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 1, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabiy, Kairo, 1992, hlm. 444
[4] Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah Mushthafa Al-Babiy Al Halabiy, Mesir, 1960, hlm. 49
[5]Ahmad  Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2010, hlm.241-246
[6] Ibrahim Anis, loc.cit, Juz 1, hlm. 525
[7] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 631.
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Nomor hadis, 3950, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, Seri 4, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426, hlm. 1302.
[9]Ahmad WardiMuslich,FIQIHMUAMALAH,Jakarta:SinarGrafika Offset,2010,hlm 253-255
[10] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, DarAl-Fikr, Beirut, 1981,hlm.212
[11] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010, hlm.365-371