Kamis, 14 Mei 2015

MAHKAMAH KONSTITUSI

I.                   PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita Negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi. Kiprah MK sejak kehadirannya banyak dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan tentang mahkamah konstitusi.
2.      Rumusan masalah
a.       Apa pengertian dari Mahkamah konstitusi ?
b.      Bagaimana Latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi ?
c.       Apa saja Tugas dan fungsi mahkamah konstitusi ?
d.      Bagaimana analisa dari mahkamah konstitusi dan mahkamah agung ?
3.      Tujuan
a.       Mengetahui apa itu mahkamah konstitusi
b.      Mengetahui latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi
c.       Mengetahui tugas dan fungsi mahkamah konstitusi
d.      Mengetahui analisa dari mahkamah konstitusi dan mahkamah agung




II.                PEMBAHASAN
a.       Pengertian Mahkamah konstitusi
Mahkamah konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24 C yang berbunyi :
(1)    Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)    Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3)    Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4)   Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5)   Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6)   Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga konstitusi yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU No.24 tahun 2003.
Lembaga ini mempunyai Sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan mahkamah konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh orang hakim konstitusi[1], hal ini disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.24 tahun 2003.
b.      Latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di amerika serikat melalui putusan supreme court amerika serikat dalam perkara merbury vs madison pada 1803. Meskipun undang-undang Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, supreme court membuat putusan yang mengejutkan chief justice john marsal didukung empat hakim agung lainya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang dengan konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden dalam sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh supreme court.[2]
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar hukum public dan administrasi unifersity of  Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ jika selain badan legislative diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di australia yang berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.[3] Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI, Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dibidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang, Yamin mengusulkan perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding undang-undang namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan bahwa konsep dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain itu, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam UUD 1945.[4]
Gagasan Yamin muncul kembali dalam proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk mahkamah konstitusi mengemuka pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) pada maret-april tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam lingkungan MA , dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Usulan lainnya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan atas  persengketaan antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara serta dengan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak, terutama para pakar hukum tatanegara, rumusan mengenai pembentukan mahkamah konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga undang-undang dasar 1945. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat 2, pasal 24C dan pasal 7B pada 7 November 2001.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi  dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945  menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi  didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
c.       Tugas dan fungsi mahkamah konstitusi
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusionalitas yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi
Didalam penjelasan umum undang-undang Mahkamah Konstitusi  dijelaskan bahwa tugas dan fungsinya adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara tanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan.
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat keberadaan Mahkamah Konstitusi  dan dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam pasal 24 C  UUD 1945 pada ayat (1) dan (2), yaitu :
1.)    Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara
2.)    Sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
3.)    Pembubaran Partai Politik
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU Nomor 24 Tahun 2003 telah mengatur tentang kewenangan ini.
4.)    Perselisihan hasil Pemilu
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi:
a.       Terpilihnya anggota DPD,
b.      Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden
c.       Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
5.)    Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.[5]
d.      Analisa mahkamah konstitusi dan mahkamah agung[6]
Mengenai keberadaan kekuasaan kehakiman dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Semula kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas MA.
Sebelum dilakukan perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diatur dalam BAB IX yang terdiri dari pasal 24 dan 25 UUD 1945. Berdasarkan pasal 24, kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht, judicial power), hanya dilakukan oleh sebuah MA, dengan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya.
Pasal 24 berbunyi :
1.)    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.)    Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Jadi semula berdasarkan UUD 1945, sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat (1), kekuasaan kehakiman hanya dipegang dan dilaksanakan oleh MA saja. Pasal 24 ayat (1) yang lama, tidak mengenal kekuasaan kehakiman yang lain diluar MA. Bertitik tolak dari ketentuan paal 24 UUD 1945 teersebut,dilahirkan UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pembentukan badan-badan peradilan. Memang mendahului UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman pada masa orde lama (era presiden soekarno). Akan tetapi UU ini dianggap tidak merupakan pelaksanaan murni pasal 24 UUD 1945, karena memuat ketentuan yang bertentangan dengan prinsip kekuasaaan kehakiman yang merdeka yang digariskan pasal 24 ayat (1), sebab memberi kewenangan bagi presiden untuk mencampuri pelaksanaan peradilan.
Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada MA, pelaksanaanya dilakukan oleh pengadilan yang terdiri dari beberapa lingkungan :
a.       Peradilan Umum;
b.      Peradilan Agama;
c.       Peradilan Militer;
d.      Peradilan Tata Usaha Negara.
pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, Tempat kedudukannya ditempatkan pada pasal 10 ayat (2) yang berbunyi :
“ Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi “
Dalam kedudukan yang demikian, MA bertindak sebagai peradilan kasasi terhadap putusan-putusan yang dijatuhkan terakhir oleh pengadilan-pengadilan yang lain. Serta juga melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan lain.
mengenai kedudukan MA terhadap semua lingkungan peradilan yang disebut pada pasal 10 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, dipertegas kemudian pada pasal 2 UU No. 14 Tahun 1985, yang berbunyi :
“mahkamah agung adalah Peradilan Negara tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”
Berdasarkan ketentuan ini MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman :
·         Merupakan Pengadilan Negara tertinggi (Highest State Court)
·         Kedudukannnya sebagai Pengadilan Negara tertinggi meliputi semua lingkungan peradilan yang disebut pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
2.      Sesudah perubahan ketiga UUD 1945, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua buah mahkamah.
Pada perubahan ketiga (amandemen ketiga) UUD 1945, BAB IX yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, mengalami perombakan dan perluasan. Kalau semula BAB IX hanya memuat Pasal 24 dan Pasal 25 (hanya dua pasal saja), sekarang terdiri dari Pasal 24, pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 (terdiri dari lima pasal dan beberapa ayat).
Mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman diatur pada pasal 24 ayat (2), yang berbunyi :
“kekuaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”
Apa yang dirumuskan pasal 24 ayat (2) diatas, dipertegas ulang kembali pada pasal 2 dan pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 sebagai langkah penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Dengan demikian bertitik tolak pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 2 dan pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004, pelaksanaan kekuasaan kehakiman setelah era reformasi, dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Mahkamah Agung (MA)
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004, masih tetap mempertahankan MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya.
Baik Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 2 jo. Pasal 10 UU No. 4 2004, tetap mengikuti pola dan sistem MA yang digariskan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 yakni dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, pelaksanaanya dilakukan oleh MA beserta badan lingkungan peradilan yang ada dibawahnya. Pola dan sistem MA dengan lingkungan peradilan yang sudah ada sebelumnya tidak mengalami perubahan.
Keberadaan MA bukan lagi satu-satunya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, ditegaskan juga pada pasal 1 UU No. 14 Tahun 1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 (UU MA) yang berbunyi :
“Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Jadi menurut pasal 1 UU MA ini pun :
1.)    MA bukan lagi satu-satunya pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
2.)    Akan tetapi, MA hanya salah satu dari pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945.
b.      Mahkamah Konstitusi (MK)
Pelaku dan pelaksana kekuasaan kehakiman, selain dari MA adalah MK. Keberadaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, selain ditegaskan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, juga disebut Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi :
“penyelelenggara kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”
Seperti yang pernah disinggung, rumusan Pasal 2 uu No. 4 Tahun 2004 tersebut, persis sama dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. bertitik tolak dari ketentuan pasal-pasal diatas, keberadaaan dan kedudukan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi (UU MK) yang berbunyi :
“mahkamah konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Selanjutnya pasal 2 UU MK memperjelas lagi apa yang disebut pasal 1 angka 1 diatas sebagai berikut :
1.)    MK merupakan salah satu lembaga Negara;
2.)    Fungsinya melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
3.)    Dalam melaksanakan penyelenggaraan peradilan, MK sebagai kekuasaan kehakiman adalah merdeka;
4.)    Menurut Pasal 3 UU MK, MK sebagai salah satu pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman, berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Salah satu perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman :
1.)    Pada MA terdapat dibawahnya badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara,
2.)    Sebaliknya pada MK dibawahnya tidak terdapat badan peradilan lain, karena keberadaannya oleh UUD 1945 maupun UU No. 4 Tahun 2004 adalah berdiri sendiri, sehingga MK dalam melaksanakan penyelenggaraan peradilan adalah berdiri sendiri serta manunggal.
Memang demikian, baik pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maupun pasal 10 ayat (1) UU MK telah mendesain MK sebagai :
1.)    Penyelenggara peradilan yang berdiri sendiri, oleh karena itu tidak perlu dibawahnya dilettakan badan peradilan lain,
2.)    Sehubungan dengan itu, kewenangan peradilan yang diberikan konstitusi kepada MK adalah bersifat tingkat pertama dan terakhir (first and last instance),
3.)    Dengan demikian putusan yang dijatuhkan MK langsung final (final judgement) atau res judicata, oleh karena itu terhadapnya ditutup segala bentuk upaya hukum apapun.
Desain itu pula yang digariskan pasal 10 ayat (1) UU MK, yurisdiksi MK telah ditentukan secara limitatif atau enumeratif dalam batas bidang hukum maupun peristiwa tertentu.
Perlu dijelaskan, meskipun MA dan MK sama-sama pelaku penyelenggara kekuasaan kehakiman, antara keduanya tidak terdapat kaitan hubungan dalam bentuk apapun. Baik MA maupun MK, masing-masing berdiri sendiri. Antara yang satu dengan yang lain terpisah dalam segala hal. Bukan hanya terpisah dan berbeda dari segi yuridiksi saja. Antara yang satu dengan yang lain, tidak saling subordinasi, susunan organisasinya juga terpisah dan berdiri sendiri :
1.)    Kedudukan dan susunan organisasi MA diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 (UU MA),
2.)    Adapun kedudukan dan susunan organisasi MK diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 (UU MK).
III.             PENUTUP
a.       Kesimpulan
Mahkamah konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24 C. latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi tidak lepas dari Empat momen jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. terdapat lima fungsi yang melekat keberadaan Mahkamah Konstitusi  dan dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi. Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sendiri telah ditentukan dalam pasal 24 C  UUD 1945 pada ayat (1) dan (2).
Semula kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas MA. Sesudah perubahan ketiga UUD 1945, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua buah mahkamah. Salah satu perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada MA terdapat dibawahnya badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara, sebaliknya pada MK dibawahnya tidak terdapat badan peradilan lain,
b.      Kritik dan saran
Demikianlah makalah tentang Mahkamah Konstitusi yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
















DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. 2007. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan kembali Perkara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika.
Abduh, Hery dan  martitah. Hukum Tata Negara. Semarang : Pusat penjamin mutu UNNES.
Fauzan, Achmad. 2005. tentang peradilan umum dan peradilan khusus dan mahkamah konstitusi. Jakarta : kencana.
Huda, Ni’matul, 2005, hukum tata negara Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Safa’at, Muchamad Ali dkk. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi.
UUD 1945
UU No. 24 Tahun 2003



[1] Dra martitah M.Hum dan Hery Abduh S,S.H, Hukum Tata Negara, Semarang : Pusat penjamin mutu UNNES
[2] Muchamad Ali Safa,at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010. Hlm 1-2
[3] Muchamad Ali Safa,at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010. Hlm 3
[4] Ibid, hlm 5
[5]  Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
[6] M Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan kembali Perkara Perdata, Jakarta :Sinar Grafika, 2007, Hal 11-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar