I.
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Paradigma
susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi
konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan,
lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga lembaga yang
dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang
Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK
berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita Negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai
amanat konstitusi. Kiprah MK sejak kehadirannya banyak dinilai cukup signifikan
terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Tulisan
ini bermaksud untuk memaparkan tentang mahkamah konstitusi.
2. Rumusan
masalah
a. Apa
pengertian dari Mahkamah konstitusi ?
b. Bagaimana
Latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi ?
c. Apa
saja Tugas dan fungsi mahkamah konstitusi ?
d. Bagaimana
analisa dari mahkamah konstitusi dan mahkamah agung ?
3. Tujuan
a. Mengetahui
apa itu mahkamah konstitusi
b. Mengetahui
latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi
c. Mengetahui
tugas dan fungsi mahkamah konstitusi
d. Mengetahui
analisa dari mahkamah konstitusi dan mahkamah agung
II.
PEMBAHASAN
a. Pengertian
Mahkamah konstitusi
Mahkamah
konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945 pasal 24 C yang berbunyi :
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
(2) Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih
dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan
undang-undang.
Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga konstitusi yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
keadilan hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU No.24 tahun 2003.
Lembaga
ini mempunyai Sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan
presiden. Susunan mahkamah konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh orang hakim konstitusi[1],
hal ini disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.24 tahun 2003.
b. Latar
belakang berdirinya mahkamah konstitusi
Membicarakan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis
dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan
kewenangan paling utama lembaga Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah
historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika
Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang
BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD
1945.
Sejarah
judicial review muncul pertama kali di amerika serikat melalui putusan supreme
court amerika serikat dalam perkara merbury vs madison pada 1803. Meskipun
undang-undang Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, supreme court
membuat putusan yang mengejutkan chief justice john marsal didukung empat hakim
agung lainya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang
yang berwenang dengan konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu
menjadikan preseden dalam sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas
terhadap pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak
undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh supreme court.[2]
Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen
(1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar hukum public dan administrasi
unifersity of Vienna. Kelsen menyatakan
bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif
dijamin hanya jika suatu organ jika selain badan legislative diberikan tugas
untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan
tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut
tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ
pengadilan khusus berupa constitutional court atau pengawasan
konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan
biasa. Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di australia yang
berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.[3]
Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI,
Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dibidang
pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau
constitutional disputes gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya
diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang, Yamin mengusulkan
perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding undang-undang namun
usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan bahwa konsep dasar yang
dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun bukan konsep pemisahan
kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain itu, tugas hakim adalah
menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang, kewenangan hakim untuk
melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi majelis
permusyawaratan rakyat dan sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki yang
ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review.
Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam UUD 1945.[4]
Gagasan
Yamin muncul kembali dalam proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk
mahkamah konstitusi mengemuka pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR RI (PAH I BP MPR) pada maret-april tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi
akan ditempatkan dalam lingkungan MA , dengan kewenangan melakukan uji materil
atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang
serta kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Usulan lainnya
Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas
persengketaan kewenangan atas
persengketaan antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dengan
pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati
perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara serta dengan
mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak, terutama para pakar hukum
tatanegara, rumusan mengenai pembentukan mahkamah konstitusi diakomodir dalam
perubahan ketiga undang-undang dasar 1945. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu
merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi
dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah Mahkamah
Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah
disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat 2, pasal 24C dan
pasal 7B pada 7 November 2001.
Ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran
hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di
negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju
demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi diskursus penting.
Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi,
dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat
konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip
kedaulatan rakyat.
Dalam
perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya serius memberikan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat
penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala
peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan
dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan
kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara,
melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-
haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga.
Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan
hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan
kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui
berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde
Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh
hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit
konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu
undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan
hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada
Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945
akhirnya menyepakati organ baru bernama Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelaah
lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi
didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu.
Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan
negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu
keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan
UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga
yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan
Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip
checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang
membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu,
perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada
lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment)
Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001,
mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses
pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata
didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum
yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan
mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di
berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar
hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada
Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan
ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24
Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
c. Tugas
dan fungsi mahkamah konstitusi
Sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusionalitas yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar belakang
pembentukannya yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi
Didalam
penjelasan umum undang-undang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa tugas dan fungsinya adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam
rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara tanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu keberadaan Mahkamah
Konstitusi juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan.
Fungsi
tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional.
Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat
keberadaan Mahkamah Konstitusi dan
dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir
final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung hak konstitusional
warga negara, dan pelindung demokrasi.
Tugas
dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam
pasal 24 C UUD 1945 pada ayat (1) dan
(2), yaitu :
1.) Pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945
Undang-undang
adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan
politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung
kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip
hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah
bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah
suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang
disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya
itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu
dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah
Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat
ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Mengenai pengujian UU,
diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai
dengan Pasal 60sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara
2.) Sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara
Sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang
disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem
relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and
balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain.
Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan
masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan
amanat UUD. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil
untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61
sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
3.) Pembubaran
Partai Politik
Kewenangan
ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada
otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian
kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya
diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik
dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi jika terbukti ideologi, asas, tujuan,
program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 68 sampai dengan
Pasal 73 UU Nomor 24 Tahun 2003 telah mengatur tentang kewenangan ini.
4.) Perselisihan
hasil Pemilu
Perselisihan
hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai
penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil
pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi:
a. Terpilihnya
anggota DPD,
b. Penetapan
pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil
presiden serta terpilihnya pasangan presiden
c. Perolehan
kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah
ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
5.)
Pendapat DPR
mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan
ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak
dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan
presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law
dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi
proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang
presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud
dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini hanya DPR yang dapat
mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya
pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu
melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam
sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota
DPR.[5]
d. Analisa
mahkamah konstitusi dan mahkamah agung[6]
Mengenai
keberadaan kekuasaan kehakiman dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Semula
kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas MA.
Sebelum
dilakukan perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diatur dalam BAB IX
yang terdiri dari pasal 24 dan 25 UUD 1945. Berdasarkan pasal 24, kekuasaan
kehakiman (rechterlijke macht, judicial power), hanya dilakukan oleh sebuah MA,
dengan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya.
Pasal 24 berbunyi :
1.) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu
diatur dengan undang-undang.
Jadi
semula berdasarkan UUD 1945, sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat (1),
kekuasaan kehakiman hanya dipegang dan dilaksanakan oleh MA saja. Pasal 24 ayat
(1) yang lama, tidak mengenal kekuasaan kehakiman yang lain diluar MA. Bertitik
tolak dari ketentuan paal 24 UUD 1945 teersebut,dilahirkan UU No. 14 tahun 1970
tentang kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pembentukan badan-badan
peradilan. Memang mendahului UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman
pada masa orde lama (era presiden soekarno). Akan tetapi UU ini dianggap tidak
merupakan pelaksanaan murni pasal 24 UUD 1945, karena memuat ketentuan yang
bertentangan dengan prinsip kekuasaaan kehakiman yang merdeka yang digariskan
pasal 24 ayat (1), sebab memberi kewenangan bagi presiden untuk mencampuri
pelaksanaan peradilan.
Pasal
10 UU No. 14 tahun 1970, kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada MA,
pelaksanaanya dilakukan oleh pengadilan yang terdiri dari beberapa lingkungan :
a. Peradilan
Umum;
b. Peradilan
Agama;
c. Peradilan
Militer;
d. Peradilan
Tata Usaha Negara.
pasal
10 UU No. 14 tahun 1970, Tempat kedudukannya ditempatkan pada pasal 10 ayat (2)
yang berbunyi :
“ Mahkamah Agung adalah
peradilan tertinggi “
Dalam
kedudukan yang demikian, MA bertindak sebagai peradilan kasasi terhadap
putusan-putusan yang dijatuhkan terakhir oleh pengadilan-pengadilan yang lain.
Serta juga melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan lain.
mengenai
kedudukan MA terhadap semua lingkungan peradilan yang disebut pada pasal 10
ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, dipertegas kemudian pada pasal 2 UU No. 14 Tahun
1985, yang berbunyi :
“mahkamah agung adalah
Peradilan Negara tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan yang dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain”
Berdasarkan
ketentuan ini MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman :
·
Merupakan
Pengadilan Negara tertinggi (Highest State Court)
·
Kedudukannnya
sebagai Pengadilan Negara tertinggi meliputi semua lingkungan peradilan yang
disebut pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
2. Sesudah
perubahan ketiga UUD 1945, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua
buah mahkamah.
Pada
perubahan ketiga (amandemen ketiga) UUD 1945, BAB IX yang mengatur
tentang kekuasaan kehakiman, mengalami perombakan dan perluasan. Kalau semula
BAB IX hanya memuat Pasal 24 dan Pasal 25 (hanya dua pasal saja), sekarang
terdiri dari Pasal 24, pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 (terdiri
dari lima pasal dan beberapa ayat).
Mengenai
pelaksanaan kekuasaan kehakiman diatur pada pasal 24 ayat (2), yang berbunyi :
“kekuaaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”
Apa
yang dirumuskan pasal 24 ayat (2) diatas, dipertegas ulang kembali pada pasal 2
dan pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 sebagai langkah penyesuaian terhadap perubahan
tersebut. Dengan demikian bertitik tolak pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo.
Pasal 2 dan pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004, pelaksanaan kekuasaan kehakiman
setelah era reformasi, dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Mahkamah Agung (MA)
Pasal
24 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004, masih tetap
mempertahankan MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan
badan peradilan yang ada dibawahnya.
Baik Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945 maupun Pasal 2 jo. Pasal 10 UU No. 4 2004, tetap mengikuti pola dan
sistem MA yang digariskan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 yakni dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, pelaksanaanya dilakukan oleh MA beserta
badan lingkungan peradilan yang ada dibawahnya. Pola dan sistem MA dengan
lingkungan peradilan yang sudah ada sebelumnya tidak mengalami perubahan.
Keberadaan
MA bukan lagi satu-satunya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, ditegaskan juga
pada pasal 1 UU No. 14 Tahun 1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun
2004 (UU MA) yang berbunyi :
“Mahkamah Agung adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Jadi
menurut pasal 1 UU MA ini pun :
1.) MA
bukan lagi satu-satunya pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
2.) Akan
tetapi, MA hanya salah satu dari pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman
menurut UUD 1945.
b. Mahkamah Konstitusi (MK)
Pelaku
dan pelaksana kekuasaan kehakiman, selain dari MA adalah MK. Keberadaan MK
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, selain ditegaskan pada Pasal 24
ayat (2) UUD 1945, juga disebut Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi :
“penyelelenggara
kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”
Seperti
yang pernah disinggung, rumusan Pasal 2 uu No. 4 Tahun 2004 tersebut, persis
sama dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. bertitik tolak dari ketentuan
pasal-pasal diatas, keberadaaan dan kedudukan MK sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2003
tentang mahkamah konstitusi (UU MK) yang berbunyi :
“mahkamah konstitusi
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Selanjutnya
pasal 2 UU MK memperjelas lagi apa yang disebut pasal 1 angka 1 diatas sebagai
berikut :
1.) MK
merupakan salah satu lembaga Negara;
2.) Fungsinya
melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan;
3.) Dalam
melaksanakan penyelenggaraan peradilan, MK sebagai kekuasaan kehakiman adalah
merdeka;
4.) Menurut
Pasal 3 UU MK, MK sebagai salah satu pelaku dan penyelenggara kekuasaan
kehakiman, berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Salah
satu perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman :
1.) Pada
MA terdapat dibawahnya badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, agama,
militer, dan tata usaha negara,
2.) Sebaliknya
pada MK dibawahnya tidak terdapat badan peradilan lain, karena keberadaannya
oleh UUD 1945 maupun UU No. 4 Tahun 2004 adalah berdiri sendiri, sehingga MK
dalam melaksanakan penyelenggaraan peradilan adalah berdiri sendiri serta
manunggal.
Memang demikian, baik
pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maupun pasal 10 ayat (1) UU MK telah mendesain MK
sebagai :
1.) Penyelenggara
peradilan yang berdiri sendiri, oleh karena itu tidak perlu dibawahnya
dilettakan badan peradilan lain,
2.) Sehubungan
dengan itu, kewenangan peradilan yang diberikan konstitusi kepada MK adalah
bersifat tingkat pertama dan terakhir (first and last instance),
3.) Dengan
demikian putusan yang dijatuhkan MK langsung final (final judgement)
atau res judicata, oleh karena itu terhadapnya ditutup segala bentuk upaya
hukum apapun.
Desain
itu pula yang digariskan pasal 10 ayat (1) UU MK, yurisdiksi MK telah
ditentukan secara limitatif atau enumeratif dalam batas bidang hukum maupun
peristiwa tertentu.
Perlu
dijelaskan, meskipun MA dan MK sama-sama pelaku penyelenggara kekuasaan
kehakiman, antara keduanya tidak terdapat kaitan hubungan dalam bentuk apapun.
Baik MA maupun MK, masing-masing berdiri sendiri. Antara yang satu dengan yang
lain terpisah dalam segala hal. Bukan hanya terpisah dan berbeda dari segi
yuridiksi saja. Antara yang satu dengan yang lain, tidak saling subordinasi,
susunan organisasinya juga terpisah dan berdiri sendiri :
1.) Kedudukan
dan susunan organisasi MA diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985, sebagaimana diubah
dengan UU No. 5 tahun 2004 (UU MA),
2.) Adapun
kedudukan dan susunan organisasi MK diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 (UU MK).
III.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Mahkamah
konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945 pasal 24 C. latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi tidak
lepas dari Empat momen jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus
madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan
Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam
sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. terdapat lima fungsi yang
melekat keberadaan Mahkamah Konstitusi
dan dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi,
penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung hak
konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi. Tugas dan wewenang yang
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sendiri telah ditentukan dalam pasal 24
C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2).
Semula
kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas MA. Sesudah perubahan ketiga UUD 1945,
pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua buah mahkamah. Salah satu
perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada MA
terdapat dibawahnya badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, agama,
militer, dan tata usaha negara, sebaliknya pada MK dibawahnya tidak terdapat
badan peradilan lain,
b. Kritik
dan saran
Demikianlah
makalah tentang Mahkamah Konstitusi yang telah kami paparkan. Kami menyadari
makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah
ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. 2007. Kekuasaan
Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan kembali Perkara Perdata,
Jakarta : Sinar Grafika.
Abduh, Hery dan martitah. Hukum Tata Negara. Semarang
: Pusat penjamin mutu UNNES.
Fauzan, Achmad. 2005. tentang
peradilan umum dan peradilan khusus dan mahkamah konstitusi. Jakarta :
kencana.
Huda, Ni’matul, 2005, hukum
tata negara Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Safa’at, Muchamad Ali
dkk. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi.
UUD 1945
UU No. 24 Tahun 2003
[1]
Dra martitah M.Hum dan Hery Abduh S,S.H, Hukum Tata Negara, Semarang :
Pusat penjamin mutu UNNES
[2]
Muchamad Ali Safa,at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010. Hlm 1-2
[3]
Muchamad Ali Safa,at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010. Hlm 3
[4]
Ibid, hlm 5
[5]
Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
[6]
M Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
kembali Perkara Perdata, Jakarta :Sinar Grafika, 2007, Hal 11-17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar