Kamis, 14 Mei 2015

DELIK HUKUM ADAT

DELIK HUKUM ADAT
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Adat
Dosen Pengampu : Moh. Shoim

Description: Description: Description: http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg
Oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)



FAKULTAS SYARI`AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG

2014
  1. Pendahuluan
1.      Latar belakang
Negara Indonesia adalah Negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa, penduduk yang berdiam di Pulau itu bermacam ragam adat budaya dan hukum adatnya. Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Ketentuan Delik adat antara masyarakat adat yang satu berbeda dengan masyarakat adat yang lain. Jika terjadi konflik maka dalam mencari jalan penyelesaianya bukanlah di tangani Pengadilan Agama atau Pengadilan Negri, tetapi ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang bersendikan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian.
2.      Rumusan masalah
a.       Apa pengertian dari delik adat ?
b.      Kapan lahirnya delik adat?
c.       Dimana delik adat dapat berlaku ?
d.      Sebutkan macam-macam delik adat beserta pidananya!
3.      Tujuan
a.       Mengetahiu definisi dari delik adat
b.      Mengetahui bagaimana munculnya delik adat
c.       Mengetahui macam-macam dari delik adat
  1. pembahasan
I.                   Pengertian delik adat
Teer haar mengartikan suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan dari barang-barang materiil dan immaterial milik hidup seorang atau kesatuan (persatuan) orang-orang, yang menyebabkan timbulnya reaksi adat, keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Macam serta besarnya reaksi ditentukan oleh hukum adat yang bersangkutan, lazimnya wujud reaksi tersebut adalah suatu pembayaran delik dalam uang atau barang.
Jadi menurut pengertian Teer Haar untuk dapat disebut sebagai delik perbuatan harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.
Van Vollen Haven mengartikan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Prof. Soepomo mengemukakan bahwa juga didalam sistem hukum adat, segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum apabila hukum itu diperkosa.
Apabila diikuti para pendapat sarjana-sarjana tersebut diatas, kiranya ditarik sebagai kesimpulan, bahwa pada dasarnya suatu adat delik merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehigga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu maka terjadi reaksi-reaksi adat. Dan reaksi-reaksi adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat demikian kata Lesquillier.[1]
II.                Lahirnya delik adat
Lahirnya delik adat itu tidak berbeda dengan lahirnya tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum, apabila pada suatu ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu, atau pada suatu ketika petugas hukum yang bersangkutan bertindak untuk pelanggaran itu bersamaan dengan saat peraturan itu memperoleh sifat hukum, maka pelanggaranya menjadi pelanggaran hukum adat serta pencegahannya menjadi pencegahan pelanggaran hukum adat itu, lahirlah sekaligus juga delik adat, sehingga pencegahannya menjadi pencegahan delik adat.
Hukum adat tidak mengenal sistem pengaturan statis, ini artinya suatu delik adat itu tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru, sedang peraturan yang baru sendiri berkembang juga, dan kemudian akan lenyap juga dengan adanya perubahan perasaan keadilan rakyat yang dahulu melahirkan peraturan itu. Dan proses ini berjalan terus.
Begitu pula dengan delik adat, lahir, berkembang, dan kemudian lenyap. Ini berarti bahwa perbuatan-perbuatan yang semula merupakan pelanggaran hukum, lambat laun tidak lagi menjadi melanggar hukum oleh karena hukum yang dilanggar itu berjalan sesuai dengan jalannya perubahan perasaan keadilan rakyat. Dan perasaan keadilan rakyat ini bergerak maju terus berhubung dengan pertumbuhan hidup masyarakat yang selalu dipenuhi oleh segala faktor lahir dan batin.[2]
Delik adat dapat terjadi apabila :
a.       Tata tertib adat dilanggar
Tata tertib adat adalah ketentuan-ketentuan adat yang bersifat tradisionil yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat.  Apabila semua ketentuan adat itu ada yang dilanggar, maka terjadilah delik adat yang berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hukum adat dan masyarakat. Apabila reaksi dan koreksi itu tidak ada lagi, dan pihak yang melanggar itu sendiri tidak pula merasakan bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran, maka menurut ketentuan yang berlaku peristiwa atau perbuatan itu bersifat pelanggaran. Ia tidak lagi merupakan delik, oleh karena tidak ada lagi reaksi dan koreksi terhadapnya.
Terjadinya delik adat tidak selamanya dikarenakan melanggar ketentuan adat yang dipertahankan oleh petugas hukum adat. Dapat saja terjadi dikarenakan yang bersangkutan sendiri merasa dirugikan. Sebagai contoh di lampung dimana sebidang tanah digugat oleh penduduk asli atas dasar hak kerabat, sedangkan tanah tersebut sudah dikerjakan dan dimiliki oleh transmigran berdasarkan ketentuan pembagian dari kepala kampung. Masalahnya tidak lain adalah dikarenakan pemuka-pemuka adat bersangkutan melakukan reaksi dan koreksi terhadap penguasa yang tidak mengikut sertakan mereka dalam penyelesaian masalah tanah. Oleh karena menurut hukum adat setiap bidang tanah yang pernah dibuka seorang warga adat, maka untuk selamanya hak kekerabatannya tetap melekat.
Dengan demikian delik adat itu akan selalu dapat timbul dikarenakan masyarakat adat atau warga adatnya, merasa diperlakukan tidak adil, baik oleh sesama warga adat mauun pihak luar.
b.      Keseimbangan masyarakat terganggu
Keseimbangan dalam kehidupan masyarakat dapat terganggu dikarenakan peristiwa yang terjadi bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat menurut waktu, tempat, dan keadaanya. Keseimbangan itu dapat dibedakan antara keseimbangan umum, keseimbangan masyarakat pada umumnya dan keseimbangan masyarakat kelompok, keseimbangan kerabat atau keluarga.
Dalam tatahukum masyarakat hukum kecil harus dianggap sebagai suatu delik adalah setiap adanya gangguan keseimbangan sepihak setiap pelanggaran sepihak terhadap kebendaan dalam hidup yang berwujud atau tidak berwujud dari orang seorang, dalam bentuk kesatuan atau dari sejumlah orang (sekelompok).[3]
III.              Lapangan berlakunya
Lapangan berlakunya hukum pidana adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak ada hukum pidana adat yang berlaku diseluruh masyarakat Indonesia. Hukum pidana adat setempat masih dapat berlaku, selama masyarakat itu ada, maka selama itu ia akan tetap berlaku, hanya sejauh mana kekuatan berlakunya tergantung pada keadaan waktu dan tempat.
Mengapa ia dapat berlaku walaupun ia tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan tidak ada penguasa yang mempertahankannya, karena masyarakat mempertahankannya, oleh karena sifat dan sanksi hukum serta cara penyelesaiannya sesuai dengan keadaan masyakat dan perkembangan zaman.
Terhadap siapa berlakunya hukum pidana adat, ia berlaku terhadap anggota-anggota masyarakat adat dan orang-orang didalamnya yang terkait akibat hukumnya. Walaupun pengadilan adat (inheemsche rechtspraak) sudah tidak ada lagi, tetapi peradilan adat atau peradilan perdamaian desa tetap hidup dan diakui oleh undang-undang darurat No.1 Tahun 1951. Sebenarnya sekalipun tidak ada undang-undang yang mengakuinya, namun didalam pergaulan masyarakat sehari-hari peradilan perdamaian itu tetap berjalan sesuai dengan kesadaran hukum rakyat dan rasa yang dihayati rakyat.
Memang benar bahwa terhadap perbuatan kejahatan seperti pembunuhan, penganiayaan, dan delik-delik harta benda, rakyat pada umumnya menerima KUHPidana, tetapi oleh karena kemampuan hukum pidana umum itu terbatas dimeja pengadilan negri dan tidak akan melayani setiap kepentingan rasa keadilan masyarakat, maka masih dibutuhkan adanya upaya-upaya adat untuk dapat memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.
Sebenarnya jika hakim resmi dapat memeriksa dan memutuskan kasus-kasus perkara pidana adat berdasarkan hukum adat dihadapan pengadilan negri, masyarakat mungkin akan menyambutnya dengan baik. Tetapi dalam kondisinya yang sekarang tentu belum mungkin. Oleh karena itu walaupun hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara, tetapi jika hakim masih tetap terikat pada aturan-aturan yang prae –existent, begitu pula dalam cara pemeriksaan dan peradilannya didasarkan pada hukum acara barat (RIB), maka hasilnya akan berarti hanya menelorkan keputusan bukan penyelesaian.
Hakim peradilan adat bekerja tanpa pamrih, tanpa upah atau balas jasa, tetapi bekerja atas dasar sukarela dengan penuh kejujuran dan kebijaksanaan yang penuh pengabdian guna dapat mewujudkan kerukunan dan keadilan guna keseimbangan hidup masyarakat. Suatu keadaan yang jauh berbeda dari kepribadian dan peranan hakim yang berdasarkan jiwa alam fikiran barat.
Dengan demikian lapangan berlakunya hukum pidana adat mempunyai tempat tersendiri yang jauh berbeda dari lapangan berlakunya hukum pidana barat. Hukum pidana adat berlaku dilapangan hidup kemasyarakatan yang bertautan dengan keseimbangan duniawi dan rokhani.[4]
IV.             Macam-macam delik adat dan pidananya
Delik dalam lapangan hukum adat beserta pidananya :
a.       Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib serta segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Misalnya : berkhianat, bersekongakol dengan musuh, membuka rahasia masyarakat, hukumannya sangat berat  dapat di bunuh atau dibuang seumur hidup dalam lingkungan masyarakatnya.
b.      Delik terhadap kepala persekutuan adat, dianggap sebagai delik terhadap masyarakat seluruhnya, karena kepala adat adalah penjelmaan dari masyarakat. Ancaman hukumannya atau reaksi adatnya tergantung berat ringannya perbuatan, yang paling ringan adalah minta maaf dengan melakukan upacara tertentu.
c.       Perbuatan sihir atau tenung yang dalam KUHP tidak termasuk delik, Karena ada kepercayaan bahwa dengan tenung dan sihir ini keseimbangan magis akan terganggu karenanya. Orang yang terkenal sebagai ahli sihir yang biasanya menggunakan magis hitam ( black magic ) mengganggu dapat di bunuh.
d.      Perbuatan yang dianggap mencemarkan suasana batin masyarakat, yang menentang kesucian masyarakat, dapat dianggap delik yang mencemarkan masyarakat seluruhnya. Misalnya, orang yang mencemarkan tempat ibadah  atau tempat lainya, orang yang melakukan hubungan seks di kuburan, dsb. Reaksi adat terhadap pelanggaran semacam ini berupa kewajiban untuk mengadakan upacara adat, upacara pembersihan agar kesucian dalam suasana batin masyarakat dapat dipulihkan kembali.
e.       Hubungan kelamin atau juga perkawinan antara orang-orang yang menurut adat tidak dibenarkan, merupakan delik yang cukup berat. Larangan semacam ini (yang biasanya disebut incest)  mungkin belasan berlalu dekatnya hubungan darah ( misalnya perkawinan anak dengan ibunya, kakak dengan adiknya ), atau karena adanya larangan kawin dengan orang dari satu clan/satu marga yang patrilineal, yang dianggap dapat mendatangkan malaetaka atau menimbulkan kehidupan yang tidak sehat. Dapat disamakan dengan perbuatan terlarang ini ialah antara perempuan bangsawan dengan laki-laki dari golongan rakyat biasa atau dari kasta yang lebih rendah  yang dianggap mengganggu keseimbagan batin dalam masyarakat ( misalnya pada masyarakat bugis dan Makassar, di Sulawesi selatan, masyarakat hindu dibali dan sebagainya )
Mengenai reaksi adat dalam hal semacam ini, ditiraja mendapatkan pidana yang berat yaitu dicekik sampai mati, seperti yang pernah terjadi dibugis, Makassar, dan juga ambon.
f.       Hamil diluar nikah, juga merupakan delik pidana yang berat dan dianggap sebagai menentang kepentingan hukum masyarakat setempat. Dibugis dan Makassar, gadis yang hamil diluar nikah ini dapat dibunuh atau diasingkan selamanya dari masyarakat.
g.      Melarikan wanita, juga dianggap delik yang cukup berat. Keluarga gadis yang mendapat malu ( pada zaman dahulu ) berhak membunuh orang yang melarikan gadis tersebut kecuali kalau mereka berdua kemudian mencari perlindungan kepada kepada adat atau keistana raja atau kepada kepala/pemuka agama yang mendamaikan kedua belah pihak. Jika tercapai perdamaian, fihak laki-laki harus membayar uang antaran ( sunrong ) dan denda ( pappasala ) kepada fihak gadis, sebelum mereka dikawinkan.
h.      Perzinahan juga merupakan pelanggaran terhadap kehormatan keluarga dan melanggar kepentingan hukum seseorang sebagai suami serta merupakan perbuatan yang menodai kesucian masyarakat. Dibatak orang yang diketahui berzina dengan istri orang lain harus menyelenggarakan upacara pembersihan masyarakat yang disebut pengurasion.
i.        Pembunuhan yang merupakan perbuatan yang memperkosa jiwa seseorang, dalam hukum adat tidak selamanya merupakan perbuatan pidana yang dapat dihukum, seperti pembunuhan terhadap orang yang berzina, pada suku bangsa dayak budak belian dapat dikorbankan untuk keperluan upacara kematian, juga didaerah ini dulu pernah terkenal dengan kebiasaan mengayau (memenggal kepala orang dari lain suku) untuk menambah kekuatan ghaib pada masyarakat dan keluarga yang bersangkutan, sehingga pembunuhan semacam ini tidak akan mendapatkan hukuman.
j.        Melukai orang, tidak merupakan perbuatan yang langsung memperkosa kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya memperkosa kepentingan hukum orang yang dilukai atau keluarganya. Reaksi adat yang biasanya dilakukan adalah timbulnya kewajiban membayar denda oleh orang yang melukai kepada orang yang dilukai atau keluarganya. Didaerah aceh ada pepatah yang berbunyi : darah ditimbang, luka di ukur, cacad dibela, mati dibalas. Di minangkabau ada pepatah salah cangcang mambari pampeh (melukai orang membawa denda)
k.      Pencurian dan perampokan merupakan delik yang tidak langsung memperkosa kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan kepentingan hukum orang seorang, yaitu fihak orang yang mempunyai barang. berat ringannya reaksi adat terhadap pencurian ini tergantung dari sifat barang yang dicuri. Biasanya orang yang mencuri menurut hukum adat akan dihukum untuk mengembalikan atau membayar kembali harga barang yang dicuri ditambah sejumlah denda kepada orang yang kecurian. Tetapi perampokan yang telah berkali-kali dilakukan dapat menyebabkan seorang perampok diasingkan dari masyarakat yang bersangkutan, bahkan dapat pula dibunuh.
l.        Pengrusakan barang atau tanaman oleh ternak yang lepas, dapat mengakibatkan ternak itu dibunuh, atau orang yang menderita kerugian karena ternak itu dapat menuntut ganti rugi kepada sipemilik ternak tersebut.[5]
C.     Penutup
a.       Kesimpulan
Adat delik merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehigga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu maka terjadi reaksi-reaksi adat. Hukum adat lahir berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain dan hanya berlaku untuk masyarakat yang ada dalam daerah tersebut, hukum adat tidak bersifat statis, namun selalu mengalami perubahan. Hukum adat terjadi apabila adanya pelanggaran delik adat dan terganggunya keseimbangan masyarakat.
b.      penutup
Demikianlah makalah tentang delik hukum adat yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.














DAFTAR PUSTAKA
wigirjodipuho, Surojo.1983. Pengantar Asas-asas Hukum Adat.  Jakarta : PT. Gunung Agung,
Efendi. 1985. Pokok-pokok Hukum Adat. Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Hadikusuma, Hilman.1989. Hukum Pidana Adat. Bandung : PT alumni



[1] Surojo wigirjodipuho. Pengantar Asas-asas Hukum Adat. ( Jakarta : PT. Gunung Agung, 1983 ) Hal. 228-229
[2] Surojo wigirjodipuho. Pengantar Asas-asas Hukum Adat. ( Jakarta : PT. Gunung Agung, 1983 ) Hal. 230-231
[3] Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. Hukum Pidana Adat. ( Bandung : PT alumni, 1989) Hal. 15-18
[4] Ibid. Hal. 18-20
[5] H.A.M. Efendi,SH. Pokok-pokok Hukum Adat. ( Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1985 ) Hal. 257-267

Tidak ada komentar:

Posting Komentar