Kamis, 14 Mei 2015

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN DAN PEMERIKSAAN PERSIDANGAN DI MAHKAMAH KONSTITUSI

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN DAN PEMERIKSAAN PERSIDNGAN
Dibuat guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Hukum Konstitusi dan Acara Konstitusi
Dosen Pengampu : Muhammad Harun

Disusun oleh:
Aprilia Ambarwati (132211075)
Ahmad Haidar (132211076)
Amin Mukhlisin (132211077)
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)

FAKULTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG

2015

I.                   PENDAHULUAN

a.      Latar belakang
Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru dibidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat (2), yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”.[1] Dan merupakan salah satu lembaga konstitusi yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan. hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU No.24 tahun 2003.
Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban, wewenang tersebut meliputi: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.[2] Untuk Menyelesaikan perkara-perkara tersebut maka dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi terdapat empat jenis tahapan persidangan suatu perkara yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan Pengucapan Putusan, namun dalam perkara- perkara tertentu dapat terjadi tidak semua jenis persidangan itu dibutuhkan.[3]
Dari penjelasan diatas, makalah ini akan memaparkan dua tahapan persidangan perkara Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK) yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan.
b.      Rumusan masalah
a.)    Bagaimana tahap pemeriksaan pendahuluan dalam beracara di MK?
b.)    Bagaimana tahap pemeriksaan persidangan di MK?
c.       Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas maka tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui tahap pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan dalam beracara di MK.

II.                  PEMBAHASAN

1.      Pemeriksaan pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan merupakan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara.[4] dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, pemeriksaan pendahuluan ini diatur dalam bagian kelima bab V tentang hukum acara. Ketentuan bagian kelima tentang pemeriksaan pendahuluan ini berisi satu pasal yaitu pasal 39 yang terdiri atas dua ayat yaitu :
(1)   Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, mahkamah konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
(2)   Dalam pemeriksaan sebgaimana dimaksud pada ayat (1), mahkamah konstitusi wajib memberi nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan tau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.[5]
Dalam hukum acara SKLN, pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh panel hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim atau oleh pleno hakim sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Pemeriksaan pendahuluan dihadiri oleh pemohon dan atau kuasanya kecuali dalam hal adanya permohonan putusan sela, dihadiri oleh pemohon dan atau kuasanya.[6]
Dalam pemeriksaan pendahuluan majelis hakim memiliki kewajiban untuk :
a.       Memeriksa kelengkapan permohonan;
b.      Meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang mencakup kewenangan mahkamah, kedudukan hukum (legal stranding) pemohon, dan pokok permohonan;
c.       Memberi nasehat kepada pemohon, baik mengenai kelengkapan administrasi, materi permohonan maupun pelaksanaan tertib persidangan;
d.      Mendengar keterangan pemohon dalam hal adanya permohonan untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan;
e.       Memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan oleh pemohon.[7]
Hal itu sangat diperlukan agar pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan efektif dan fokus pada persoalan yang dimohonkan. Pemeriksaan pendahuluan biasanya dilakukan oleh majelis hakim panel. Namun dalam perkara-perkara tertentu yang dipandang penting dan harus segera diputus, pemeriksaan pendahuluan dapat juga langsung dilakukan oleh majelis hakim pleno. Apabila dalam pemeriksaan pendahuluan, permohonan belum lengkap dan atau belum jelas, majelis hakim memberi kesempatan kepada pemohon untuk melengkapi dan atau dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari..[8] Dalam praktiknya, perbaikan tersebut dapat dilakukan kurang dari 14 (empat belas) hari, bahkan dapat dilakukan sesaat setelah persidangan atau bahkan pada saat persidangan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, apalagi untuk perkara tertentu yang telah ditentukan batas waktunya. Untuk perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden serta PHPU Pemilukada misalnya, tidak mungkin diberi batas waktu selama 14 (empat belas) hari karena MK sendiri ditentukan oleh undang-undang harus memutus paling lama 14 (empat belas) hari sejak perkara diregistrasi.[9]
Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan lebih dari satu kali apabila diperlukan untuk memperbaiki atau melengkapi dan memperjelas permohonan serta memeriksa perbaikan permohonan yang telah dilakukan oleh pemohon. Hasil sidang pemeriksaan pendahuluan akan dilaporkan oleh panel hakim kepada pleno hakim MK, dalam hal pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh panel hakim. Dalam laporan tersebut disertai dengan rekomendasi dari panel hakim apakah perkara tersebut dapat dilanjutkan ke pemeriksaan persidangan karena terpenuhinya syarat legal standing dan masuk wewenang MK, atau diputus tidak dapat diterima tanpa memasuki pokok perkara karena tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat legal standing dan wewenang MK. Selain kedua alternatif tersebut, dapat pula terjadi suatu perkara belum dapat ditentukan apakah pemohon memiliki legal standing atau tidak atau perkara dimaksud menjadi wewenang MK atau tidak sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara. Oleh karena itu pemeriksaan kedua hal itu dilakukan bersamaan dan menjadi bagian dari pemeriksaan pokok perkara.[10]
Pleno hakim dapat memutuskan menerima rekomendasi panel hakim, atau memutuskan lain berbeda dengan rekomendasi itu. Oleh karena itu, walaupun dalam pemeriksaan pendahuluan yang mengikuti sidang adalah panel hakim, namun putusan tetap diambil oleh pleno hakim, yaitu 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, atau setidak-tidaknya 7 (tujuh) hakim konstitusi.[11]
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, pemeriksaan pendahuluan sebernarnya bertujuan untuk :
a.       Memastikan kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon seuai dengan ketentuan UU dan PMK.
b.      Memastikan kejelasan materi permohonan yang diajukan oleh pemohon, baik posita-nya, amar yang diminta dan apa saja alat bukti yang sudah dan akan diajukan untuk mendukung dalil-dalil yang diajukan.
c.       Memastikan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon memang termasuk kewenangan MK untuk memeriksa dan mengadilinya, termasuk mengenai kejelasan apakah perkara tersebut berkenaaan dengan pengujian undang-undang secara materiil atau secara formil.
d.      Memastikan kualitas kedudukan hukum atau legal standing pemohon yang mengajukan permohonan memang memenuhi syarat menurut ketentuan undang-undang.
e.       Memastikan bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon itu memang sudah sesuai dengan ketentuan UU No. 24 Tahun 2003.[12]

2.      Pemeriksaan persidangan
Pemeriksaan persidangan pada prinsipnya dilakukan oleh pleno hakim konstitusi, kecuali untuk perkara tertentu berdasarkan keputusan Ketua MK dapat dilakukan oleh panel hakim. Sidang pemeriksaan persidangan dilakukan secara terbuka, kecuali ditentukan lain oleh majelis hakim.[13]
Pemeriksaan persidangan mencakup :
a.       Pemeriksaan pokok permohonan
b.      Pemeriksaan alat bukti tertulis
c.       Mendengarkan keterangn DPR dan atau DPD
d.      Mendengarkan keterangan saksi
e.       Mendengarkan keterangan ahli
f.       Mendengarkan keterangan pihak terkait
g.      Pemeriksaan ragkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk
h.      Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, atau diterima secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.[14]
Tahapan pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
a.       Penyampaian pokok-pokok permohonan secara lisan.
b.      Penyampaian pokok-pokok jawaban termohon atau keterangan pihak-pihak terkait secara lisan.
c.       Pemeriksaan alat bukti dari pemohon maupun dari termohon dan pihak terkait.
d.      Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang diajukan pemohon.
e.       Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh termohon atau pihak terkait.
f.       Penyampaian kesimpulan oleh pemohon.
g.      Penyampaian kesimpulan oleh termohon dan/atau pihak terkait.[15]
Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi dan jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa.[16]
Dalam hal Mahkamah Konstitusi menentukan perlu mendengar keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD, maka keterangan ahli dan/atau saksi didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD, kecuali ditentukan lain demi kelancaran persidangan.[17]
Baik saksi maupun ahli, dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait atau dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi. Pemeriksaan saksi maupun ahli dimulai dengan menanyakan identitas (nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan dan alamat) dan kesediaan diambil sumpah atau janji sesuai dengan agamanya. Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang diajukan oleh para pihak dilakukan dalam waktu yang bersamaan.[18]
Atas permintaan Hakim, keterangan Presiden/Pemerintah, DPR dan/ atau DPD, saksi, ahli, dan Pihak Terkait, wajib disampaikan yang bentuknya baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan dimaksud.[19]
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pihak terkait, dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. Pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung diberi kesempatan untuk memberikan keterangan (lisan dan/atau tertulis). mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi, mengajukan ahli dan/atau saksi yang belum terwakili dalam persidangan sebelumnya, dan menyampaikan kesimpulan akhir (secara lisan dan/atau tertulis).[20]
Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan persidangan jarak jauh (teleconference). Apabila dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti, serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan.[21]
Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan UU yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau menunda putusan. Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.[22]
Dalam hal Pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali, Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim atau Panel Hakim memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu Ketetapan Penarikan Kembali, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, para pihak diberi kesempatan menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.[23]
III.                SIMPULAN
Pemeriksaan pendahuluan merupakan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara. Pemeriksaan persidangan pada prinsipnya dilakukan oleh pleno hakim konstitusi, kecuali untuk perkara tertentu berdasarkan keputusan Ketua MK dapat dilakukan oleh panel hakim. Keduanya dilakukan secara terbuka, kecuali dalam hal-hal tertentu dalam pemeriksaan persidangan. Apabila pemeriksaan pendahuluan telah selesai maka tahap selanjutnya untuk mengajukan permohonan di MK adalah pemeriksaan persidangan.
IV.                PENUTUP
Demikianlah makalah tentang pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan yang telah penulis paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.



[1] Ni’matul Huda. Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013). Hal. 212
[2] Bagir Manan. Kekuasaan Kehakiman Indonesia. (Yogyakarta : FH UII Press, 2007). Hal. 49.
Harun Al Rasin. Naskah UUD 1945 sesudah Tiga Kali dirubah oleh MPR. (Jakarta : Universitas Indonesia, 2002). Hal.20
[3] Moh. Mahfud MD. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. (Jakarta :Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010). Hal. 44
[4] Moh. Mahfud MD. Ibid. Hal. 46
[5] Jimly Asshiddiqie.  Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. ( Jakarta : Konstitusi Press, 2006). Hal. 140-141
Achmad Fauzan. Hal. 390
[6] Lihat pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
[7] Moh. Mahfud MD. Ibid. Hal. 44 dan 181
[8] Moh. Mahfud MD. Ibid. Hal. 181-182
[9] Moh. Mahfud MD. Ibid. Hal. 47
[10] Moh. Mahfud MD. Ibid. Hal. 48
[11] Moh. Mahfud MD. Ibid. Hal. 48
[12] Jimly Asshiddiqie.  Ibid. Hal. 156
[13] Jimly Asshiddiqie.  Ibid. Hal. 48-49
[14] Jimly Asshiddiqie.  Ibid. Hal. 124-125
[15]Jimly Asshiddiqie.  Ibid. Hal. 49
[16] Jimly Asshiddiqie.  Ibid. Hal. 126
[17] Jimly Asshiddiqie.  Ibid. Hal.126
[18] Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 126
[19] Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 126
[20] Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 126
[21] Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 126
[22] Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 126
[23] Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 126-127
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasin, Harun, 2002, Naskah UUD 1945 sesudah Tiga Kali dirubah oleh MPR, Jakarta: Universitas Indonesia.
Fauzan, Achmad, 2005, Perundang-undangan lengkap Tentang Peradilan Umum, Peradilan
Huda, Ni’matul, 2013, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Manan, Bagir, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Yogyakarta : FH UII Press.
Mahfud MD, Moh, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar