Kamis, 14 Mei 2015

SISTEM PEMILU

SISTEM PEMILU
Dibuat guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Sistem Politik di Indonesia
Dosen Pengampu : Nur Syamsudin

Description: Description: Description: Description: gh
Disusun oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
Ahmad Haidar (132211076)
Nur Faizah (132211088)

FAKULTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG

2015

I.                   PENDAHULUAN

1.      Latar belakang

Dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu, dan dihargai sebagai jembatan terhadap kedaulatan rakyat dan kekuasaan Negara. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.[1]
Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[2] Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa “kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan ada ditangan rakyat artinya rakyat pada dasarnya memiliki kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Tetapi karena rakyat merupakan entitas yang sangat kompleks maka tentu saja kedaulatan tersebut tidak secara langsung dilaksanakan sendiri oleh rakyat, kedaulatan dilakukan melalui sistem perwakilan yang akan dipilih oleh rakyat.[3] Dalam melakukan pemilihan umum diperlukan sebuah sistem agar lebih efektif dalam melaksanakannya, disini kami telah memaparkan bagaimana sistem pemilihan umum yang diterapkan di beberapa negara termasuk Indonesia.



2.      Rumusan masalah

a.       Apa definisi sistem?
b.      Apa dan bagaimana jenis-jenis pemilihan umum?

3.      Tujuan

Mengetahui jenis-jenis sistem pemilihan umum beserta varian-variannya.

II.                PEMBAHASAN

1.      Definisi sistem

Kamus Besar Bahas Indonesia mengartikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.  Sedangkan pemilihan umum diartikan sebagai proses, cara perbuatan memilih yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu Negara. Berdasarkan gabungan dari kata “sistem” dan “pemilihan umum” secara bahasa merupakan perangkat beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain yang terdapat dalam proses pemilihan yang dilakukan oleh rakyat suatu Negara. Sigit Pamungkas mendefinisikan sistem pemilu sebagai seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu lembaga perwakilan.[4]
Dalam ilmu politik sistem pemilihan umum diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Manakala sebuah lembaga perwakilan rakyat dipilih, maka sistem pemilihan mentransfer jumlah suara kedalam jumlah kursi. Sementara itu pemilihan Presiden, Gubernur dan Bupati yang merupakan representasi tinggal dalam sistem pemilihan, dasar jumlah suara yang diperoleh menetukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka betapa pentingnya sistem pemilihan dalam sebuah demokrasi.[5]

2.      Jenis-jenis pemilihan umum

Pada dasarnya sistem pemilihan umum ada dua jenis yaitu mekanis dan organis, pada sistem yang bersifat mekanis dilakukan dengan dua cara yaitu sistem distrik (single­-member constituency ) dan sistem proporsional (multi-member constituency).
a.)    Sistem organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai jumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industry), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain persekutuan-persekutuan itulah yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan diatas, pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional (function represenbtation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia.
Dalam sistem pemilihan organis partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena setiap pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri. lembaga perwakilan rakyat mencerminkan perwakilan kepentingan–kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing-masing. Sistem organis menghasilkan dewan korporsi (korporatif).[6]
b.)    Sistem mekanis
Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai masa individu-individu yang sama. baik aliran liberalisme, sosialisme dan komunisme semuanya sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis. Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan individu yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme dan khususnya komunisme lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai masa individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.
Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua partai ataupun multi-partai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu partai menurut paham komunisme. Dalam sistem ini lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya. Sistem mekanis menghasilkan parlemen. Berikut cara-cara yang digunakan dalam sistem mekanis :
(a)    sistem distrik (single­-member constituency)
Sistem distrik merupakan sistem dimana satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single­-member constituency) atas dasar pulralitas (suara terbanyak). sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut ditrik karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar ditrik pemilihan kecil yang kira-kira sama jumlah penduduknya.[7]
Dalam sistem distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi Pemenang tunggal meraih satu kursi itu, hal ini sekalipun terjadi selisih suara dengan partai lain kecil. Suara yang tadinya mendukung partai lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya diditrik lain.[8] Sistem distrik memiliki lima varian yaitu :
·         first Past The Post (FPTP)
Dimana satu distrik menjadi bagian dari suatu daerah pemilihan, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal.
·         Block Vote (BV)
Terdapat tiga ciri dari sistem ini yaitu (a) berwakil majemuk, dimana satu distrik memiliki beberapa anggota perwakilan (b) pemilihan akan memberikan pilihan sebanyak jumlah kursi yang diberikan (c) kandidat yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang.
·         Party Block Vote (PBV)
Sistem ini hamper sama dan merupakan varian dari sistem BV, yang mebedakannya adalah pemilih memilih partai bukan kandidat.
·         Alternative Vote (AV)
Sigit Pmungkas menjelaskan bahwa sistem ini mempunyai ciri umum dimana pemilih memiliki preferensi untuk merangking sejumlah kandidat yang mereka sukai.
·         Two Round System (TRS)
Sistem ini hamper sama dan merupakan varian dari sistem BV, yang mebedakannya adalah pemilih memilih partai bukan kandidat kedua.[9]
Kuntungan dari sistem distrik adalah :
ü  partai-partai terdorong untuk terintegrasi dan bekerjasama.
ü  Fragmentasi dan kecenderungan mendirikan partai baru dapat dibendung, sistem ini mendukung penyederhanaan partai tanpa paksaan
ü  Oleh karena dalam suatu daerah pemilihan kecil (distrik) hanya ada satu pemenang, wakil yang terpilih erat dengan konstituennya dan merasa accountable kepada konstituen. Lagipula kedudukanya terhadap partai lebih bebas karena factor kepribadian seseorang berperan besar dalam kemenanganya.
ü  Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas di perlemen. Sekalipun demikian harus dijaga agar tidak terjadi elective dictatorship.
ü  Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama mempermudah tercapainya stabilitas politik.[10]
Kelemahan dari sistem distrik adalah :
ü  Terjadi kesenjangan antara presentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi yang diparlemen. Kesenjangan ini disebabkan oleh distorsi (distortion effect) partai besar memperoleh keuntungan dari distorsi dan seolah-olah mendapat bonus. Hal ini menyebabkan over-representation dari partai besar dalam parlemen.
ü  Distorsi merugikan partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika terpencar dibeberapa distrik. Presentase kursi lebih kecil dari presentase suara sehingga terjadi under-representation dari partai kecil. Sistem ini kurang representative karena banyak suara yang hilang (wasted).
ü  Sistem ini kurang mengakomodasikan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang heterogen dan pluralis sifatnya.
ü  Wakil rakyat yang dipilih cenderunglebih memperhatikan kepentingan daerah pemilihannya dari pada kepentingan nasional.[11]
(b)   sistem proporsional (multi-member constituency).
Sistem proporsional merupakan sistem dimana suatu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil, dan suatu wilayah dianggap sebagai suatu satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.[12] Sistem proporsional memiliki dua variasi yaitu :
·         proporsional representation
sistem ini memliki beberapa ciri yaitu setiap distrik berwakil majemuk, setiap partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih banyak disbanding jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan, pemilih memilih satu kandidat, partai memperoleh kursi sebanding dengan suara yang diperoleh, kandidat yang dapat mewakili adalah yang berhasil melampauia ambang batas suara. Sistem ini memiliki beberapa varian yaitu (a) daftar tertutup (b) daftar terbuka (c) daftar bebas.
·         single transverable vote
sistem ini mempunyai ciri: menggunakan distrik-distrik bersuara banyak, pemilih melakukan ranking kandidat secara preferensial, kandidat yang perolehan suaranya melebihi kuota suara dinyatakan sebagai wakil terpilih, jika ada yang melebihi kuota kandidat yang preferensinya paling sedikit disingkirkakan.[13]
Keuntungan sistem proporsional :
ü  Dianggap lebih representative karena presentase perolehan suara setiap partai sesuai dengan presentase perolehan kursinya diparlemen. Tidak ada distorsi antara perolehan suara dan perolehan kursi.
ü  Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya diparlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada sistem ini.[14]
Kelemahan sistem proporsional :
ü  Kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi satu sama lain, malah sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat proses integrasi diantara berbagai golongan dimasyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini mempermudah fragmentasi dan berdirinya partai baru yang pluralis.
ü  Wakil rakyat kurang erat hubunganya dengan konstituenya, tetapi lebih erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih menonjol dari pada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya sistem ini memberi kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya diparlemen melalui stelsel daftar (list system).
ü  Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas diparlemen. Dalam sistem pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena hrus mendasarkan pada koalisi.[15]
(c)    Sistem campuran
Sistem campuran ini juga disebut sebagai sistem pemilihan semi proporsional. Dengan pemilihan ini suara dikonfersi menjadi kursi dengan hasil yang berada diantara sistem pemilihan proporsional dan sistem pluralitas-mayoritas. Tujuan dari sistem campuran ini adalah untuk memadukan ciri-ciri positif dari sistem mayoritas-pluralis dan sistem proporsional. Dengan demikian pada sistem ini akan terdapat dua sistem pemilu yang berjalan beriringan meski masing-masing menggunakan modenya sendiri.
Sistem ini memiliki dua varian yaitu :
·         Sistem parallel distrik.
Dalam sistem parallel, sebagian distrik memakai sistem proporsional representative daftar dan sebagian yang lain memakai sistem distrik. Secara teknis operasional sistem ini akan bekerja dengan cara menerapkan dua kotak suara (ballots). Pemilih memilih (1) ballot pertama untuk pilihan distrik , (2) ballot kedua untuk pilihan partai (proporsional). Dimana setiap pemilih akan menerima dua surat suara terpisah , satu untuk kursi distrik dan satunya lagi untuk kursi proporsional. Dalam hal ini komponen proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi daerah pemilihan yang menggunakan sistem distrik
·         Sistem mixed member proporsional
Dalam sistem mixed member proporsional (MPP), sebagian anggota lelmbaga perwakilan dipilih melalui sistem distrik (FPTP) dan sebagian lain berdasarkan sistem proporsional. Sedangkan jumlah anggota perwakilan yang akan dipilih melalui masing-masing sistem tersebut telah ditentukan sebelumnya. Bisa saja 60% dipilih dengan sistem distrik dan 40% dipilih dengan sistem proporsional, atau bisa saja 50:50 untuk masing-masing sistem yang diterapkan. Bagi partai yang tidak mendapatkan kursi melalui sistem distrik maka partai tersebut akan mendaatkan kursi berdasarkan perolehan suara melalui pemilu proporsioanal.
Sistem campuran mempunyai kelemahan dimana akan terjadi kategorisasi wakil rakyat dilembaga perwakilan. Sebagian wakil rakyat merupkan wakil distrik dn sebagian lain wakil partai politik.[16]





III.             SIMPULAN
Dari paparan materi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pemilu pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu sistem organis dan mekanis, yang mana sistem mekanis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sistem distrik dan sistem proporsional dan mempunyai variannya masing-masing.
IV.             PENUTUP
Demikianlah makalah tentang sistem pemilu yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Ikrar Mandiriabadi.
Ghaffar, Affan .1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Fahmi, Khairul. 2012. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012





[1] Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta : Ikrar Mandiriabadi, 2008 ) Hal. 461
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu 2014 . ( Bandung : Citra Umbara) Hal.3
[3] Affan Ghaffar. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) Hal. 281
[4] Khairul Fahmi. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012) Hal. 51
[5] Affan Ghaffar. Ibid. Hal, 255
[6] Jimly asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. (Jakarta : Konstitusi Press, 2006) Hal. 178-181
[7] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 461
[8] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 462
[9] Khairul Fahmi.  Ibid. Hal. 57-62
[10] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 466-467
[11] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 467
[12] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal 462-463
[13] Khairul Fahmi. Ibid. Hal. 68-70
[14] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal.467-468
[15] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 469
[16] Khairul Fahmi. Ibid. Hal. 76-77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar