Kamis, 14 Mei 2015

SYARAT-SYARAT PERIWAYATAN HADITS

MAKALAH
SYARAT-SYARAT PERIWAYATAN HADITS
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:
ULUMUL HADITS
A.Fatah Idris Dr. MSI.H
Description: http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.                    PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Hadist dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. Penyandaran ini bisa dilakukan secara lafdzi - ( dikutip kata perkata sebagaimana Rasulullah mengucapkan pertama kali ) dan maknawi ( dikutip hanya menurut isinya saya sedang redaksinya telah berubah ). Adapun periwayatan mengenai perbuatan dan ketetapan ( bisa berupa diamnya atau bahasa isyarat lain dari Rasulullah yang mempunyai arti tertentu ), bisa dipastikan bersifat maknawi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada umumnya hadist – hadist Nabi diriwayatkan secara maknawi.
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang penerimaan dan periwatan hadist serta syarat – syarat menjadi periwayat hadist.
Hadist – hadist Nabi tersebut diterima oleh sahabat yang terdiri dari berbagai kalangan yang diantaranya adalah anak – anak, orang kafir dan orang fasik yang masih dianggap sah penerimaannya oleh jumhur hadist, melalui berbagai macam metode penerimaan yang diantaranya adalah al-sima', al-qira'ah dan sebagainya.
Setelah itu diriwayatkan oleh ahli – ahli hadist yang memenuhi syarat – syarat menjadi perawi hadist. Itu semua dibuat hanya untuk meminimalisir terjadinya hadist – hadist palsu yang beredar hanya untuk kepentingan Pribadi, politik dan sebaginya.
2.      Rumusan masalah
a.      Apa pengertian periwayatan?
b.      Apa saja syarat-syarat periwayatan hadits?
c.       Apa saja cara-cara meriwayatkan hadits?
3.      Tujuan
a.      Mengetahui pengertian periwayatan
b.      Mengetahui syarat-syarat periwayatan hadits
c.       Mengetahui cara-cara meriwayatkan hadits
II.                  PEMBAHASAN
1.      Pengertian periwayatan
Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits, telah terlebih dahulu melalui proses yang dinamakan dengan riwayat Al-Hadits atau Al Riwayat.
Kata Al-Riwayat adalah masdar dari kata kerja Rawa dan dapat berarti Al-Naql (penukilan) Al-Dzikr (penyebutan) Al-Fatl (pintalan) dan Al-Istisqa (pemberian minum sampai puas)[1]
Menurut istilah ilmu hadits yang dimaksud dengan  Al-Riwayat adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian suatu hadits serta penyandaran suatu hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain maka dia tidak disebut sebagai orang yang telah meriwayatkan hadits. Sekiranya orang tersebut telah menyampaikan hadits yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ia tidak menyampaikan rangakaian periwayatnya maka orang tersebut juga tidak dinyatakan sebagai orang yang melakukan periwayatan hadits. Jadi ada tiga unsur yang harus di penuhi dalam periwayatan hadits yaitu menerima hadits dari periwayat hadits, kegiatan menyampaikan kepada orang lain,dan ketika disampaikan susunan periwayatnya harus disebutkan. Kekurangan pada salah satunya menyebabkan gugurnya kegiatan untuk disebut sebagai periwayatan hadits.[2]
2.      Syarat-syarat periwayatan hadits
Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang sangat berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits seperti yang disebutkan berikut ini:[3]
a.      Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’ periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang yang fasik saja, kita disuruh bertawaquf,maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini kita bias bandingkan dengan firman Alloh SWT yang artinya:
“ hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui suatu keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat: 6)
b.      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh hal ii sesuai dengan hadits Rosululloh SAW yang artinya “ hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi” ( HR. Abu Dawud dan Nasa’I )
Dan hadits ini diperkuat juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al Hakim yang artinya “ diangkat kalam dari tiga orang : dari orang gila yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa”
Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali ehadap dirinya dalam urusan keduniaan maka dalam urusan keakheratan tentulah lebih utama lagi. Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan pengertian maka dari itu baligh merupakan salah satu dari syarat-syarat periwayatan hadits
c.       ‘adalah
Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) disini adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri denag kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dari dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang merusak muru’ahnya seperti makan sambil jalan, berkamih dijalan-jalan besar, menggauli orang-orang rendah pekerti atau terlal suka bergurau dan selalu
d.      Dhabith
Dhabith ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu ia menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke Dhabittan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur’an.
3.      Cara penerimaan hadits
Para ulama hadits menggolongkan cara menerima suatu periwayatan hadits menjadi delapan macam:[4]
a.      Al-Sama’
Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didekatkan , baik dari hafalannya maupun dari tulisannya, sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli hadits, ini yang paling tinggi  tingkatannya. Sebagian dari mereka adayang mengatakan bahwa Al-Sama’ yang dibarengi dengan Al-Kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat karena tejamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan disbanding dengan cara-cara lainnya, disamping para sahabat juga menerima hadits Nabi SAW dengan cara seperti ini.
Termasuk kategori sama’ juga seorang yang mendengarkan hadits dari syekh dari balik satar (semacam kain pembatas/ penghalang), jumhur ulama membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits rosululloh melalui umahat al-mu’minin (para istri Nabi )
b.      Al-Qira’ah ‘ala al-syaikh atau ‘aradh al-qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits dihadpan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak, tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau tergolong tsiqqah.
Ajjaj Al-Khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad, mensyaratkan orang membaca (qari’) itu mengetahui dan memahami apa yang diaca. Sementara, syarat bagi syekh dengan mengutip pendapat Imam Haramain hendaknya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibaca oleh qari’, sehingga tahrif maupun tashrif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian, maka proses tahammul tidak sah.


c.       Al-munawalah
Seoarng guru memberi suatu hadits atau beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengetengahkan bahwa Al-Munawalah adalah seorang guru memberi seoarng murid kitab asliyang didengar dari guru memberi kepada seorang murid , kitab asli yang didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “ inilah haits-hadits yang sudah saya dengar dari seseorang maka riwayatkanlah hadits itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”. Al-Munawalah mempunyai dua bentuk yaitu:
·         Al- munawalah yang dibarengi denga ijazah, misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan lalu dia katakana kepada muridnya “ini riwayat saya maka riwayatkanlah dariku”, kemudian menyerahkannya kemudian sang murid menerima sambil sang guru berkata,” saya telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”
·         Al-Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ ini hadits saya” dan tidak menyuruh muridnya untuk meriwayatkan kepada orang lain.
d.      Al-Ijazah
Seorang guru memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya. Seperti :” saya mengijazahkan kepaamu untuk meriwayatkan dariku”
Al-Qadhi ‘iyad membagi ijazah ini menjadi enam macam sedangkan Ibnu Al-Shalah enambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujih macam ijazah, yaitu sebagai berikut:
·         Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang sebuah kitab atau beberapa kitab yang disebutkan kepada mereka.
·         Ijazah kepada ornag tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Seperti “ saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”
·         Bentuk ijazah secara umum seperti ungkapan “ saya ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada”
·         Bentuk ijazah kepada orang-orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tentu. Cara seprti ini dianggap rusak atau fasid
·         Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan bentuk ijazah seperti ini tidak sah
·         Bentuk Al-Ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan ku dengarnya” cra seperti ini dianggap batal
·         Bentuk Al-Ijazah Al-Mujaz seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu Ijazahku” bentuk separti ini termasuk yang diperbolehkan.
e.      Al-mukatabah
Seorang guru menuliskan atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian haditsnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang dipercaya untuk menyampaikannya. Al-Mukatabah ada dua macam yakni:
·         Al-Mukatabah yag dibarengi dengan Ijazah yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan kepada muridnhya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku maka riwayatkanlah”
·         Al-Mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah yakni guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya tanpa menuliskan hadits untuk meriwayatkan atau mengijazahkan.
f.        Al-I’lam
Pemberitahuan seorang guru kepada seorang muridnya bahwa kitab atau hadits yang diriwayatkannya dia terima dari seorang guru,dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya. Sebagian ulama hali ushul dan pendapat ini dipilih oleh ibnu Al-Shalah, menetapkan tidak sah meriwayatkan hadits dengan cara ini, karene dimugkinkan bahwa sang guru sudah menetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ushul memperbolehkannya. Contohnya seorang telah memberi tahu kepadaku “telah memberi tahu kepada kami…”
g.      Al-Wasiyah
Seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan haits atau kitabnya, ketika setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadits dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah, sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh hadits atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadits dari sipemberi wasiat dengan redaksi “ seseorang telah memberitahukan kepadaku begini..” karene si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
h.      Al-Wijadah
Yakni seseorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui cara Al-Sama’,Al-Ijazah, atau Al-Munawalah.para ulama berselisih pendapat tentang cara ini, Imam syafi’I dan segolongan pengikutnya mengakui cara ini, Ibnu Al-shahalah mengatakan bahwa sebagian ulama Muhaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebnarannya.



III.                PENUTUP
1.      Kesimpulan
Periwayatan hadits adalah kgiatan penerimaan dan penyampaian hadits, dalam hal periwayatan hadits ada beberapa syarat untuk meriwayatkannya yaitu islam, baligh, ‘adalah, Dhabith, bersambung dan tidak syadz.
Dan cara-cara untu meriwayatkan hadits ada 8 yaitu Al-Sama’, Al-Qira’ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-Mukatabah, Al-I’lam, Al-Wasiyah, dan Al-Wijadah.
2.      Saran
     Demikianlah makalah tentang syarat-syarat periwayatan hadis, Kami menyadari makalah           jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.






















DAFTAR PUSTAKA
Sahrani,Sohari.2010.Ulumul Hadits.Ghalia Indonesia: Bogor
Isma’il, Syuhudi.1995.Kaedah kesanadan Hadits.PT. Bulan Bintang: Jakarta
As-Shidieqy,Hasbi.1994.Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.PT.Bulan Bintang: Jakarta
Rahman,Fathur.1945.Mustthalahul Hadits.Sunan Kalijaga:bandung




[1]  Buthrush Al Bustaniy, kitab Kutur Al Muhith, Maktabah Libnan,jilid 1,hal. 289
[2] Prof.Dr.H.M. Syuhudi Isma’il, kaedah kesanadan hadits,1995,PT Bulan Bintang:Jakarta,Hal.23-24.
  Prof.DR.H.M.Erfan Soebahar.M.AG.2012,Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi. Fakultas Tarbiyah IAIN       Walisongo Semarang,Hal.21
[3] Drs.Sohari Sahrani,M.M,M.H,2010,Ulumul Hadits, Ghalia Indonesia: Bogor, Hal.182-184
Prof.Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.1994.Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.PT  Bulan Bintang: Jakarta,Hal.41-42
[4] Drs Sahari Sahrani.M.M,M.H.2010.Ulumul Hadits. Ghalia Indonesia.Hal:176-182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar