Kamis, 14 Mei 2015

PUTUS PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA SERTA TATACARA PERCERAIAN

PUTUS PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
SERTA TATACARA PERCERAIAN
Dibuat guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. Rokhmadi, M.Ag.

Description: gh
Disusun oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)

FAKULTAS SYARI`AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.                   PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik.[1] Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.[2]
Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.[3]
Mengenai hal tersebut, berikut penulis akan memaparkan bagaimana putusnya perkawinan dan bagaimana penyelesaiannya.

2.      Rumusan masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
b.      Bagaimana akibat hukum putusnya perkawinan?
c.       Bagaimana tata cara perceraian?
3.      Tujuan
Mengetahui bagaimana putusnya perkawinan, akibat hukum dari putusnya perkawinan serta tata cara perceraian.

II.                PEMBAHASAN

1.      Putus perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah seorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat dengan tali perkawinan.[4]
Perceraian dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَبْغَضَ ْالحَلاَلِ إِلَى الّلهُ الطَّلاَقُ (رواه ابوداودوابن ماجه والحاكم)
“sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).[5]
Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutanya.
Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas inisiatif istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya yaitu dengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri dapat memohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’ dengan mengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di Indonesia mengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula karena tadinya suami mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah tindakan sepihak, maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian meskipun bernama permohonan (bersifat voluntair atau sepihak) menurut instruksi pihak termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak mohon banding bila keputusan tidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan (bersifat contentious/dua pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan sungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia, kini tidak demikian lagi.[6]
Dalam prakteknya penundaan-penundaan penyelenggaraan perceraian sebagai suatu usaha agar talak dibatalkan bukan hanya dilakukan oleh P.P.N./P3.N.T.R, BP 4 saja, melainkan lurah atau kepala kampung juga telah banyak memberikan nasehat-nasehat. Bahkan sementara lurah (di daerah Jawa) mempunyai kebiasaan, apabila ada suami/istri yang melaporkan diri hendak bercerai maka yang bersangkutan itu dipersilahkan datang dilain hari, yakni pada hari dan pasaran yang sama dengan waktu pernikahannya dulu, jadi kalau pernikahannya rabu wage dengan demikian ada kemungkinan jika yang bersangkutan harus menunggu harus lebih dari satu bulan. Dalam hal ini tidak jarang terjadi bahwa yang bersangkutan itu membatalkan kehendak cerainya.[7]
Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu:
a.       Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka dalam hal ini dapat diselesaikan dengan (1) istri diberi nasihat  dengan cara yang ma’ruf, (2) pisah ranjang, apabila dengan cara ini tidak berhasil maka langkah berikutnya adalah (3) memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, penting untuk dicatat yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti betisnya.
b.      Nusyuz suami terhadap istri
Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, suami tidak memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik maupun mental. Jika suami melalaikan kewajibannya berulang kali dan istrinya mengingatkanya namun tetap tidak ada perubahan maka istri diminta untuk lebih bersabar dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu. Semua itu bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
c.       Terjadinya syiqaq
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui beberapa proses.
d.      Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.[8]
Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan, yang disebutkan bahwa :
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a.       Kematian;
b.      Perceraian;
c.       Keputusan pengadilan.[9]
Selain itu, KHI menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian :
1.)    Talak
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Talak ada dua macam yaitu :
a.       Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri dalam masa iddah (pasal 188 KHI).
b.      Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
a.)    Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in sughra dapat dibagi menjadi :
-          Talak yang terjdi qabla al-dukhul;
-          Talak dengan tebusan atau khulu’;
-          Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama (pasal 119 KHI ayat 2).
b.)    Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddah (pasal 120 KHI).
c.       Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan kepada seorang istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (pasal 121 KHI).
d.      Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi sitri dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)
2.)    Khuluk, merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk menebus dirinya dari ikatan suaminya.[10]
3.)    Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal 126 KHI).[11]
Perceraian harus berdasarkan alasan yang limitative, Alasan terjadinya perceraian disebutkan dalam pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 KHI :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan  berat yang membahayakan pihak lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f.       Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[12]
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu suami melanggar taklik talak, Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[13]


2.      Akibat putusnya perkawinan
Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu:
a.       Akibat talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a.)    Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b.)    Memberi nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c.)    Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d.)   Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surat Al-Baqarah ayat 235 dan 236 sebagai berikut :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ  (٢٣٥)
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ (٢٣٦)
Artinya :
“dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah maha pengampun, maha penyantun”
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah. Bagi yang mampu menurut kemampuanya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Baqarah : 235-236)
b.      Akibat perceraian (cerai gugat)
Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud, sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Cerai gugat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَنَّ امْرَأَةُ قَلَتْ يَارَسُوْلُالله إِنَّابْنِى هداكَانَتْ بَطْنِى لَهُوِعَاءٌوَثَدْ بِى لَهُ سَقَاءٌوَحَجْرِى لَهُ حَوَاءُوَاِنَّ اَبَاهُ طَلَّقْنِى وَاَرَادَاَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى فَقًالَ لَهَارَسُوْل الله صلعم اَنْتَ اَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى (رواه احمدوابوداود)
Artinya :
“seorang perempuan berkata pada Rasulullah SAW : wahai Rasulullah SAW. Saya yang mengandung anak ini, air susuku yang diminumya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah menceraikanku dan dia ingin memisahkannya dariku” maka Rasulullah bersabda : “kamu lebih berhak (memeliharanya) selama kamu tidak menikah” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim menshahihkanya)
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
a.       Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :
1.      Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2.      Ayah
3.      Wanita-wanita dalam garis lurus keatas ayah
4.      Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5.      Wanita-wanita dari kerabat sedarah menrut garis samping ibu
6.      Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
b.      Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadanah dari ayah atau ibunya.
c.       Apabila pemegang hadanah ternyata  tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang memiliki hak hadanah pula.
d.      Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e.       Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah memberi putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f.       Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut kepadanya.
c.       Akibat khulu’
Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan khulu’ mengirangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk”
d.      Akibat li’an
Perceraian yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut :
Bila mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
e.       Akibat ditinggal mati suami
Kalau perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka sitri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu pasal 157 KHI, harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana disebut dalam pasal 96 dan 97. Pasal 96 KHI menjelaskan ikatan perkawinan yang putus karena salah seorag pasangan suami istri meninggal sehingga pembagian harta bersama dibagikan oleh ahli waris berdasarka proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup. Pembagian harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun, bila harta bersama belum ada, karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat singkat, maka pihak yang masih hidup tidak dapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai akibat cerai hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Selain itu, perlu juga dijelaskan bahwa untuk mementukan hilangnya salah seorang suami istri, baik istri atau suami yang hilang adalah pembuktian autentik yang dapat diterima oleh berbagai pihak secara hukum.[14]

3.      Tatacara perceraian
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.[15]
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
a.       Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA :
(1)   Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2)   Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3)   Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4)   Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
(5)   Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[16]
Sesudah permohonan cerai talak diajukan kepengadilan agama, pengadilan agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut, sebagai mana tersebut dalam :
Pasal 68
(1)   Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
(2)   Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[17]
Pasal 131 KHI
(1)   Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2)   Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3)   Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
(4)   Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak  baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5)   Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[18]
b.      Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam :
Pasal 73 UUPA
(1)   Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2)   Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)   Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[19]
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
a.       Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
b.      Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[20]
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76 ayat (2) UUPA ).[21]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggungat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah, Menurut pasal 77 UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin dapat atas permohonan istri atau pertimbangan pengadilan sendiri.[22]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat :
a.       Menerima nafkah yang ditanggung suami.
b.      Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c.       Menemukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).[23]
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksudkan memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.[24]
Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan dikepaniteraan (pasal 80 ayat (1) UUPA). untuk menghindarkan ketidak hadiran pihak-pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat yang dijelaskan dalam Pasal 82 UUPA yang merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
(1)   Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(2)   Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.[25]
Kalau sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan keputusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).[26]
Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84 UUPA :
(1)   Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2)   Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3)   Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4)   Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.[27]
Apabila terjadi kelalaian pengiriman salinan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari bebagai pihak yang membutuhkannya.[28]
Pencatatan dan pengawasan talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping pencatatan kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[29]
Adapun pada BAB IV bagian kedua, paragraph 4 terdapat pada pasal 87 dan 88 UUPA mengatur tata cara pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan zina. Tata cara diatur dalam paragraph ini meliputi perkara cerai talak maupun cerai gugat dan difokuskan pada tata cara pembuktian dalil zina dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Upaya pembuktian yang bagaimana dan cara bagaimana menerapkan pembuktian tersebut oleh para pihak :[30]
Pasal 87 UUPA
(1)   Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atas gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatanya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2)   Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.[31]
Perceraian berdasarkan zina tersebut merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila diperhatikan Al-Qur’an, dijelaskan bahwa seorang yang menuduh perempuan lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak mendatangkan empat orang saksi maka dia diancam hukum had sebanyak 80 kali cambuk, hal ini didasarkan surat An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinnya :
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)[32]
      Ketentuan yang terkandung dalam surat An-Nur mengandung asas in flagrante Delicto, keterbuktian suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada seseorang, pembuktiannya berupa alat bukti saksi. Supaya kesaksian tersebut mempunyai nilai kekuatan pembuktian, para saksi yang bersangkutan harus benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang didakwa berada dalam keadaan “tertangkap basah” sedang berhubungan kelamin secara fisik dan biologis.[33]
Apabila ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sanksi hukum bagi orang yang menuduh zina tanpa disertai saksi sangat tipis perbedaanya dengan pelaku zina itu bila terbukti berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi. Namun apabila tuduhan itu dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga tergolong dalam pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak  berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in kubra yang antara keduanya tidak boleh menikah lagi untuk selama-lamanya. Pembuktianya adalah mengucapkan sumpah empat kali, dan kelima ikrar yang menyatakan kesediaanya untuk menerima laknat Allah, apabila tuduhannya itu bohong. Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan untuk menyanggah tuduhan suaminya itu dengan mengucapkan empat kali sumpah dan kelimanya menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara inilah yang disebut dengan li’an (mula’anah). Sanksi hukuman yang lain adalah hukuman moral kepribadianya, yaitu persaksianya tidak diterima untuk selama-lamanya. Sebab ia termasuk orang fasik, bila ia tidak membuktikan tuduhanya.[34]

III.             TEMUAN (PARAPLASE)
Banyak kalangan yang mengkritik bahwa diskursus tentang perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia sebenarnya masih menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya peran yang dimiliki lembaga peradilan untuk menentukan putus tidaknya sebuah perkawinan. Sebagaimana yang diungkap dalam UUP No. 1/1974, UUPA No. 7/1989, PP No. 9/1975 dan KHI semunya menyatakan bahwa
“perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
            Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relative masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini berkembang yaitu aturan fikih. Aturan fiqih mengizinkan perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan. Aturan perceraian yang tertera dalam UUP No. 1/1974 ini serta aturan pelaksanaan lainya, semisal PP No.9/1975 dirasakan terlalu jauh perbedaanya dengan kesadaran hukum yang ada ditengah masyarakat muslim sehingga menimbulkan kesulitan lapangan.
Persoalan yang cukup krusial untuk di diskusikan lebih lanjut adalah tentang posisi pengadilan agama dalam memutuskan perkawinan. Jika kita cermati pasal-pasal yang menyangkut perceraian maka ada empat kesimpulan yang dapat ditarik :
1.      Perceraian itu dilakukan oleh para pihak sendiri, dengan cara pengucapan ikrar talak oleh suami. Pengadilan hanya berfungsi menyaksikan dan memberi keterangan tentang telah terjadinya perceraian.
2.      Perceraian dan karena itu penyaksian pengadilan harus dilakukan didepan sidang pengadilan yang diadakan untuk itu. Jadi penyaksian pengadilan diluar sidang atau sidang yang tidak diadakan khusus untuk itu tampaknya tidak di izinkan.
3.      Secara implisit bisa dikatakan bahwa perceraian boleh dan baru sah apabila dilakukan di depan pengadilan.
4.      Perceraian dianggap terjadi sejak talak diucapkan suami didepan pengadilan tersebut.
Dari ke empat hal ini tampaknya yang paling dominan adalah izin (keputusan) pengadilan yang baru diberikan setelah ada keyakinan terpennuhinya alasan-alasan perceraian. Kesimpulannya peran pengadilan dalam persoalan ini pasif, artinya lebih dekat kepada mempersaksikan adanya fakta-fakta dari pada peran memeriksa, apalagi memutus sengketa.
Tanggapan penulis dari berbagai persoalan diatas dapat di tarik beberapa alasan tentang posisi peradilan agama dan undang-undang yang menurut beberapa kalangan masih banyak persoalan-persoalan yang dipandang tidak selaras dengan hukum Islam yaitu fiqih. Alasan-alasan tersebut secara garis besar dapat kita kelompokkan yaitu :
1.      Kehadiran pengadilan adalah untuk meluruskan adalah untuk meluruskan segala tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus talak seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus berfikir mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga ia lebih hati-hati dan rasional.
2.      Melalui proses pengadilan diharap pengguna hak talak dilakukan secara benar dan dilakukan secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
3.      Pengadilan sebenarnya hanya berfungsi sebagai hakam seperti yang dianjurkan oleh syari’at Islam.
4.      Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak dan Mut’ah.
Dan untuk selanjutnya, menyatakan keharusan izin dari pengadilan untuk talak berdasarkan pemikiran bahwa ada hukum yang membolehkan tindakan tertentu. Hukum seperti ini harus dipertahankan kecuali kalau ternyata kehadirannya bertentangan dengan maslahat. Keharusan adanya izin dari pengadilan untuk talak bukan saja bersifat anjuran tetapi lebihdari itu memberikan maslahah yang cukup besar bagi pihak-pihak yang terlibat perceraian.


IV.             PENUTUP

1.      Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak, pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak. Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan zina.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa peran pengadilan pasif hanya bersifat pasif, hanya untuk melegalkan ikrar talak. Tetapi pada dasarnya peran pengadilan sangatlah efektif untuk mencegah adanya perceraian dan untuk meluruskan keluarga yang bertikai. Yang menarik dari perkembangan hukum perceraian adalah diman Undang-Undang dalam kasus perceraian apakah melalui talak atau cerai gugat  telah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan cerai, dan pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya perceraian itu terjadi dengan mempertimabngkan hal-hal tertentu.
2.      Kritik dan saran
Demikianlah makalah tentang putus perkawinan dan akibat hukumnya serta tatacara perceraian yang telah penulis paparkan guna memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita sem


[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI). ( Jakarta : Kencana, 2004) Hal. 205
[2] Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) Hal. 220
[3] Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Loc.Cit. hal. 220
[4]  Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal. 73
[5] Zainuddin Ali. Loc.Cit. Hal. 73
[6] Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) Hal. 28-29
[7] Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964) Hal. 91
[8] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op.Cit. Hal. 209-214.
[9] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 73
Achmad Roestandi dan Muchidin Efendi. Komentar Atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam. ( Bandung : Nusantara Press, 1991). Hal 270
[10] Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqih Al-Qadha.  ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012) hal. 135
[11] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992) Hal. 141-142.
[12] Abdurrahman. Ibid. Hal. 141
Andi Tahir Hamid. Op.Cit Hal. 29-30
[13] Abdurrahman. Op.Cit. Hal. 123-124
[14] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 77-80
[15] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 80
[16] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991). Hal. 22-23
[17] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ibid. Hal. 23
[18] Abdurrahman. Op.Cit. Hal. 143-144
[19] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25
[20] Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 ). Hal. 240-241.
[21]Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25.
[22] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 256
[23] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 26
[24] Undang-undang Republik Indonesia No. 7 TAHUN 1989 tentang Peradilan Pasal 79-80
[25] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[26]Abdurrahman. Op.Cit. Hal. 147-148
[27] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 27-28
[28] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.cit. Hal. 27
[29] Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964) Hal. 86
[30] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 289
[31]Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. 28-29
[32] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 80
[33] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 290
[34] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 80-87


17 komentar:

  1. blog yang mantab ulasan perkawinannya gan, thanks

    BalasHapus
  2. terimakasiih banyak sangat membentu... minta tolong halalnya.. izin copy.. untuk sarannya,,nya

    BalasHapus
  3. mau nya td mau ngutib dikit eh tau nya sama semua kayak di buku gua" makasih mbak jd gak perlu ngetik lg gua sekali lg makasih mbak

    BalasHapus
  4. iya kak... sama-sama, ini ngutip dibuku semua soalnya. referensinya jg valid
    semoga bermanfaat :)

    BalasHapus
  5. mbake izin copy boleh?

    BalasHapus
  6. agak beda dikit cara footnote nya gapapa ya

    BalasHapus
  7. Izin copas kak sov smoga brmnfaat

    BalasHapus