Kamis, 14 Mei 2015

KEWARISAN

KEWARISAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Dr. H. Mashudi, M. Ag.
Di susun Oleh :
Ahmad Haidar                                                (132211076)
Sofiani Novi Nuryanti                                    (132211078)
Sapar Utomo                                       (132211080)    `
Iqoatur Rizkiyah                                 (132211100)
Ulzam Fahrori                                     (13221110

Jinayah Siyasah
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
       I.            PENDAHULUAN
Sistem kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk memudahkan, kita sebut “waris barat” saja) terutama berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama selain Islam atau bagi yang beragama Islam, tetapi “menundukan” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat. Dari tiga sistem kewarisan yang berlaku: Waris Barat, Waris Adat, dan Waris Islam. Sedangkan perkara pembagian waris menurut hukum Waris Islam ditangani oleh Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris. Akibat adanya berbagai sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia tersebut sering terjadi perbedaan sangat mencolok antara siapa yang berhak mewarisi. Disini akan dibahas tentang kewarisan secara lebih lanjut dimana salah satunya terdapat dari Kompilasi Hukum Islam.
    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Kewarisan ?
2.      Apa Konsep Dasar Kewarisan ?
3.      Apa Pengertian Surat Wasiat (testamen) ?
4.      Apa pengertian Pewaris, Ahli Waris dan Harta Warisan ?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kewarisan
Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfrecht. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.[1]
Wirdjono prodjodikoro, mantan ketua mahkamah agung Republik Indonesia mengatakan hukuk waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Menurut wirdjono prodjodikoro, bahwa pengertian kewarisan menurut KUHPerdata memperlihatkan unsur yaitu :
1.)    Seorang peninggal warisan atau “erflater” yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaanya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekluargaan, dimana sipennggal warisan berada.
2.)    Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu, menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan sipeninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
3.)    Harta warisan (halatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada siahli waris itu, menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana sipeninggal warisan san hli waris bersama-sama berada.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a menyebutkan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam konteks hukum adat menurut soepono, pengertian hukum waris adalah sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya. Adapun Van Dijk berpandangan, bahwa hukum waris menurut hukum adat adalah suatu kompleks kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan dan pengoperan dari pada harta, baik materiil maupun immaterial dari generasi ke generasi berikutnya. Dari definisi ini menjelaskan bahwa istilah waris didalam hukum waris adat termuat tiga inti penting, yaitu : (1) proses pengoperan tau hibah (warisan); (2) harta benda materiil dan immaterill; (3) satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Volmar berpendapat bahwa hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang-orang yang mewariskan kepada warisnya.
Sementara itu A. Pitlo mengatakan, hukum waris adalam suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam kebendaan, diatur yaitu akibet dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal kepada ahli waris, baik didalam hubunganya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
Sedangkan lebih jelas Salim H.S, mengatakan bahwa hukum waris adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga. Pendapat Pitlo dan Salim tersebut agaknya lebih luas karena didalam pemindahan kekayaan itu tidak hanya hubungan antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain, tetapi juga diatur tentang hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga yang berkaitan dengan utang piutang pewaris pada saat hidup.

B.     Konsep Dasar Hukum Kewarisan
Istilah hukum waris berasal dari bahasa Belanda Erfrecht. Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Dari ketentuan tersebut maka dalam Hukum Waris BW mengadnung 3 unsur pokok, yaitu:
1)      Orang yang meninggalkan harta warisan(erflater)
2)      Harta warisan (erfernus)
3)      Ahli waris (erfergenaam)
Menurut KUHPerdata tidak semua ahli waris secara otomatis mewarisi segala sesuatu yang di miliki ditinggalkan oleh si pewaris.
a.      Dasar Hukum Kewarisan Barat.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), terutama Pasal 528, berbunyi:
“Atas suatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai, biak hak pengabdian tanah, baik hak gadai, atau hipotek”
Dari pasal tersebut menunjukan tentang hak waris diidentikan dengan hak kebendaan. Sedangkan ketentuan Pasal 584 menyangkut hak waris sebagai salah satu cata untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya ditempatkan dalam Buku II BW (tentang kebendaan).  
b.      Asas-asas Hukum Kewarisan
Dalam hukum waris menurut BW memiliki asas-asas antara lain:
1)      Hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
2)      Apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya.
Menurut Pasal 830 BW diseutkan adanya asaa kematian artinya hanya karena kematian kewarisan dapat tejadi. Selanjutnya dalam hukum waris BW dikenal 3 (tiga) sifat yang dianut, antara lain:
·         Sifat individual adalah suatu asas dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan bukan kelompok ahli, waris dan kelompok klan, suku atau keluarga.
·         Sifat bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja, tetapi juga dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, mapun saudara perempuan.
·         Sifat perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat denga sipewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya, maka untuk memermudah perhintungan diadakan penggolongan-penggolongan ahli waris.
c.       Tata Cara penyelenggaraan Warisan
KUH Perdata pada Pasal 528, tentang Hak Mewarisi diidentikan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan Pasal 584 menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh kebendaan. Oleh karenanya ditempatkan dalam Buku II BW (tentang kebendaan). Ketentuan ini menimbulakan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hkum benda saja, akan tetapi juga menyangkut beberapa aspek hukum yang lainnya. Mislanya hukum perorngan dan keluarga.[2]

C.    Surat Wasiat (testamen)
Didalam penjelasan Pasal 49 Ayat (c) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggalkan dunia.[3]
Perbuatan penetapan pesan terakhir si wafat di Indonesia disebut dengan hibah wasiat, yang berasal dari bahasa Arab dalam hukum agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut testament, yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875 BW). Dengan demikian maka tastement merupakan suatu akta / keterangan yang dibuat sebagai pembuktian dengan campur tangan seorang pejabat resmi.[4] Jike testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu, dipakailah sebutan legaat sedang sebutan erfstelling dipergunakan untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas harta warisan terhadap seseorang tertentu.[5]
Bentuk wasiat dan pembatasannya, secara umum, ada empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu :
1.      Wasiat Rahasia (Geheim), yaitu wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4 orang saksi. Wasiat tidak harus ditulis tangan oleh (calon) pewaris, namun harus ditandatangani sendiri oleh sipembuat wasiat disertai pernyataan bahwa kertas/ sampul itu berisi wasiatnya.
2.      Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris dan dua saksi (Pasal 938 BW). Dalam wasiat tersebut, pembuat wasiat menyatakan kehendaknya menganai pembagian harta miliknya.[6]
3.      Wasiat ditulis Sendiri (Olografis), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh sipembuat wasiat (Pasal 932 Ayat 1 BW). Agar wasiat dapat diketahui secara umum, pembuat wasiat membawa asli surat wasiat yang dibuat sendiri tersebut kehadapan notaris untuk disimpan.
4.      Wasiat Darurat (Pasal 946, 947, dan 948 BW), yaitu wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam keadaan perang) orang yang sedang berlayar, atau orang yang sedang dikarantina karena penyakit menular. Wasiat ini dibuat dihadapan atasanya karena sicalon pewaris dalam keadaan sakaratul maut atau akan meninggal dunia. Namuk demikian, wasiat ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.[7] 
Syarat-syarat bagi pembuat testament menurut KUHPerdata, bagi pembuat testament ada disyaratkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Pasal 895 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“untuk dapat membuat atau mencabut surat wasiat, seseorang harus mempunyai budi akalnya”. Jadi si pembuat testament tidak sedang dalam sakit ingatan atau sedang dalam keadaan sakit begitu berat dan karena mana ia tidak dapat berfikir secara teratur.
2.      Pembuat testament harus sudah genap berusia 18 tahun, atau sudah menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini dimuat dalam pasal 867 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“para belum dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tak diperbolehkan membuat surat wasiat”.
Apabila orang yang membuat wasiat melanggar pasal 897 KUH Perdata, wasiat yang demikian dapat dimintakan pembatalan oleh orangtua/wali dari orang yang belum dewasa tersebut. Pembatalan dapat diminta pada waktu ia masih hidup atau pada waktu ia meninggal. Pasal 898 KUH pdt menyebutkan bahwa ditinjau dari kedudukan dalam mana ia berada, tatkala surat wasiat dibuatnya.[8]

D.    Pewaris, Ahli Waris, dan Harta Warisan
1.)    Pewaris
Menurut KHI pasal 171 ayat 2 yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan.
Orang yang meninggalkan harta itu disebut Pewaris. Mewaris dalam hukum perdata Barat dibagi dalam:
a.       Pewaris atas dasar ketentuan undang-undang (ab-intestaat).
b.      Pewaris atas dasar surat wasiat (testamenter) adalah suatu akte yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki dan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.[9]
2.)    Ahli waris
Ahli waris adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris). Menurut Pasal 832 pasal ini mengandung prinsip dalam hukum waris ab intestate yaitu ysng berhak mewarisi adalah:
Keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup, dan jika semuanya ini tidak ada, maka yang berhak mewarisi ialah negara. Mengenai keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup paling lama, dapat diadakan 4 golongan yaitu:
1.      Anak, atau keturunanya dan janda atau duda.
2.      Orang tua (bapak atau ibu), saudara-saudara atau keturunannya.
3.      Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya di dalam genus ke atas.
4.      Sanak keluarga di dalam garis ke samping sampai tingkat ke-6.
Kalau semuanya itu tidak ada, maka negara menjadi waris. Pasal-pasal yang berikut ini menetapkna jumlah jumlah bagian warisan bagi tiap-tiap golongan. [10]
·         Golongan 1, Pasal  852:
Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki atau perempuan mengandung bagian yang sama.
·         Golongan 2, Pasal 854 :
Jika golongan 1 tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah bapak, ibu, dan saudara.[11]
·         Golongan 3, Pasal 853 ayat 1:
Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada , maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang sama.
·         Golongan 4, Pasal 858 ayat 2
Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai tersebut dalam 853 dan 858 ayat 2 , warisan jatuh pada seorang waris yang terdekat pada tiap garis.[12]
3.)    Harta warisan
Menurut KHI pasal 171, harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat).
Pemindahan harta kekayaan pewari (natalenschap) adalah bahwa harta yang diperoleh pewaris selama hidup dibagikan dan diserahkan kepada ahli waris yang berhak menerimannya.  Harta kekayaan ini biasanya disebut dengan warisan , yaitu soal apakah dan bagaimanakah pelbgai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia, akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[13] 








 IV.            KESIMPULAN
Hukum waris adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga. dalam Hukum Waris BW mengadnung 3 unsur pokok, yaitu: Orang yang meninggalkan harta warisan(erflater), Harta warisan (erfernus), Ahli waris (erfergenaam). Tata Cara penyelenggaraan Warisan tercantum dalam pasal 528 dan Pasal 584. Surat wasiat yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875 BW). Empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu Wasiat Rahasia (Geheim), Wasiat Umum (Openbaar Testament), Wasiat ditulis Sendiri (Olografis), Wasiat Darurat (Pasal 946, 947, dan 948 BW).
Menurut KHI pasal 171 ayat 2 yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan. sedangkan ahli waris itu sendiri adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris).

    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentunya kami menyadari di dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan, maka dari itu kami harap kritik dan saran, serta   diharapakan bisa di diskusikan bersama tentang massa kewarisan ini secara lebih mendalam, agar kita semua bisa mengetahui yang tidak hanya secara parsial saja.

           
           


DAFTAR PUSTAKA

            Affandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta : Rineka Cipta.
            Devita, Irma. 2012. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris. Bandung : Mizan Pustaka.
            Oemarsalim. 1987. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Bina Aksara.
            Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Banung : Refika Aditama.
Tedjosaputro, Liliana. 2006. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Semarang : Aneka Ilmu Anggota Ikalpi.
            Triwulan, Titik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Kencana.
             



[1] Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2008) Hal. 247
[2] Titik Triwulan. Ibid . Hal. 256-259
[3] Irma Devita, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris.( Bandung : Mizan Pustaka, 2012), Hal. 48
[4] Ali Afandi. Hukum waris Hukum Keluarg Hukum Pembuktian. (Jakarta :Rineka Cipta, 1997) Hal. 14-15
[5] Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. (Jakarta : Bina Aksara, 1987) Hal.83
[6] Irma Devita, Op. Cit,. Hal. 50
[7] Irma Devita, Op. Cit,. Hal. 51
[8] Liliana tedjosaputro. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-UndangHukum Perdata. (Semarang : Aneka Ilmu Anggota Ikapi, 2006) Hal. 90-92
[9] Siti Soetami. Pengantar Tata Hukum Indonesia.( Bandung : Refika Aditama, 2007). Hal. 33
[10] Ali Afandi. Op Cit Hal. 35
[11] Ali Affandi, Op Cit, Hal. 38
[12] Ali Affandi, Op Cit, Hal. 40
[13] Tamakiran. Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum. (Jakarta : Pioner Jaya, 1987) Hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar