KEWARISAN
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Hukum Perdata
Dosen
Pengampu : Dr. H. Mashudi, M. Ag.
Di
susun Oleh :
Ahmad
Haidar (132211076)
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Sapar
Utomo (132211080)
`
Iqoatur
Rizkiyah (132211100)
Ulzam
Fahrori (13221110
Jinayah
Siyasah
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Sistem kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (untuk memudahkan, kita sebut “waris barat” saja) terutama berlaku bagi
warga negara Indonesia yang beragama selain Islam atau bagi yang beragama
Islam, tetapi “menundukan” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat. Dari
tiga sistem kewarisan yang berlaku: Waris Barat, Waris Adat, dan Waris Islam. Sedangkan
perkara pembagian waris menurut hukum Waris Islam ditangani oleh Pengadilan
Agama dalam bentuk Fatwa Waris. Akibat adanya berbagai sistem hukum waris yang
berlaku di Indonesia tersebut sering terjadi perbedaan sangat mencolok antara
siapa yang berhak mewarisi. Disini akan dibahas tentang kewarisan secara lebih
lanjut dimana salah satunya terdapat dari Kompilasi Hukum Islam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
Pengertian Kewarisan ?
2. Apa
Konsep Dasar Kewarisan ?
3. Apa
Pengertian Surat Wasiat (testamen) ?
4. Apa
pengertian Pewaris, Ahli Waris dan Harta Warisan ?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kewarisan
Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut
dengan Erfrecht. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa hukum waris
adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia
meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.[1]
Wirdjono prodjodikoro, mantan ketua mahkamah agung
Republik Indonesia mengatakan hukuk waris adalah hukum-hukum atau
peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Menurut wirdjono prodjodikoro, bahwa pengertian
kewarisan menurut KUHPerdata memperlihatkan unsur yaitu :
1.) Seorang
peninggal warisan atau “erflater” yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur
pertama ini menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang
peninggal warisan dengan kekayaanya dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekluargaan, dimana sipennggal warisan berada.
2.) Seseorang
atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan itu, menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada
tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan
sipeninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
3.) Harta
warisan (halatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali
beralih kepada siahli waris itu, menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai
dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan, dimana sipeninggal warisan san hli waris bersama-sama berada.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a
menyebutkan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam konteks hukum adat menurut soepono, pengertian
hukum waris adalah sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu
generasi kegenerasi selanjutnya. Adapun Van Dijk berpandangan, bahwa hukum
waris menurut hukum adat adalah suatu kompleks kaidah-kaidah yang mengatur
proses penerusan dan pengoperan dari pada harta, baik materiil maupun
immaterial dari generasi ke generasi berikutnya. Dari definisi ini menjelaskan
bahwa istilah waris didalam hukum waris adat termuat tiga inti penting, yaitu :
(1) proses pengoperan tau hibah (warisan); (2) harta benda materiil dan
immaterill; (3) satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Volmar berpendapat bahwa hukum waris adalah
perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan
kewajiban, dari orang-orang yang mewariskan kepada warisnya.
Sementara itu A. Pitlo mengatakan, hukum waris
adalam suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubung dengan
meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam kebendaan, diatur yaitu akibet
dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal kepada ahli
waris, baik didalam hubunganya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak
ketiga.
Sedangkan lebih jelas Salim H.S, mengatakan bahwa
hukum waris adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli
warisnya, bagian yang diterima serta hubungan antara ahli waris dengan pihak
ketiga. Pendapat Pitlo dan Salim tersebut agaknya lebih luas karena didalam
pemindahan kekayaan itu tidak hanya hubungan antara ahli waris yang satu dengan
ahli waris yang lain, tetapi juga diatur tentang hubungan antara ahli waris
dengan pihak ketiga yang berkaitan dengan utang piutang pewaris pada saat
hidup.
B. Konsep Dasar Hukum Kewarisan
Istilah hukum waris berasal dari bahasa Belanda Erfrecht.
Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum
yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal,
terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Dari ketentuan tersebut maka dalam Hukum Waris BW
mengadnung 3 unsur pokok, yaitu:
1) Orang
yang meninggalkan harta warisan(erflater)
2) Harta
warisan (erfernus)
3) Ahli
waris (erfergenaam)
Menurut KUHPerdata tidak semua ahli waris secara
otomatis mewarisi segala sesuatu yang di miliki ditinggalkan oleh si pewaris.
a. Dasar Hukum Kewarisan Barat.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), terutama
Pasal 528, berbunyi:
“Atas
suatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai baik suatu kedudukan berkuasa, baik
hak milik, baik hak waris, baik hak pakai, biak hak pengabdian tanah, baik hak
gadai, atau hipotek”
Dari pasal tersebut menunjukan tentang hak waris
diidentikan dengan hak kebendaan. Sedangkan ketentuan Pasal 584 menyangkut hak
waris sebagai salah satu cata untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya
ditempatkan dalam Buku II BW (tentang kebendaan).
b. Asas-asas Hukum Kewarisan
Dalam hukum waris menurut BW memiliki asas-asas
antara lain:
1) Hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan.
2) Apabila
seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih
pada ahli warisnya.
Menurut Pasal 830 BW diseutkan adanya asaa kematian
artinya hanya karena kematian kewarisan dapat tejadi. Selanjutnya dalam hukum
waris BW dikenal 3 (tiga) sifat yang dianut, antara lain:
·
Sifat individual
adalah suatu asas dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan bukan
kelompok ahli, waris dan kelompok klan, suku atau keluarga.
·
Sifat bilateral
artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja, tetapi juga dari
ibu, demikian juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, mapun
saudara perempuan.
·
Sifat
perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat denga sipewaris menutup
ahli waris yang lebih jauh derajatnya, maka untuk memermudah perhintungan
diadakan penggolongan-penggolongan ahli waris.
c. Tata Cara penyelenggaraan Warisan
KUH Perdata pada Pasal 528, tentang Hak Mewarisi
diidentikan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan Pasal 584 menyangkut hak
waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh kebendaan. Oleh karenanya
ditempatkan dalam Buku II BW (tentang kebendaan). Ketentuan ini menimbulakan
pro dan kontra dikalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam
hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hkum benda saja, akan tetapi juga
menyangkut beberapa aspek hukum yang lainnya. Mislanya hukum perorngan dan
keluarga.[2]
C. Surat Wasiat (testamen)
Didalam penjelasan Pasal 49 Ayat (c) UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau
manfaat kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum yang berlaku setelah yang
memberi tersebut meninggalkan dunia.[3]
Perbuatan penetapan pesan terakhir si wafat di
Indonesia disebut dengan hibah wasiat, yang berasal dari bahasa Arab
dalam hukum agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut testament,
yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi
setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875
BW). Dengan demikian maka tastement merupakan suatu akta / keterangan
yang dibuat sebagai pembuktian dengan campur tangan seorang pejabat resmi.[4]
Jike testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu,
dipakailah sebutan legaat sedang sebutan erfstelling dipergunakan
untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas
harta warisan terhadap seseorang tertentu.[5]
Bentuk wasiat dan pembatasannya, secara umum, ada
empat macam bentuk wasiat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), yaitu :
1. Wasiat
Rahasia (Geheim), yaitu wasiat yang dibuat dengan dihadiri oleh 4 orang saksi.
Wasiat tidak harus ditulis tangan oleh (calon) pewaris, namun harus ditandatangani
sendiri oleh sipembuat wasiat disertai pernyataan bahwa kertas/ sampul itu
berisi wasiatnya.
2. Wasiat
Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris dan dua
saksi (Pasal 938 BW). Dalam wasiat tersebut, pembuat wasiat menyatakan
kehendaknya menganai pembagian harta miliknya.[6]
3. Wasiat
ditulis Sendiri (Olografis), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dan
ditandatangani sendiri oleh sipembuat wasiat (Pasal 932 Ayat 1 BW). Agar wasiat
dapat diketahui secara umum, pembuat wasiat membawa asli surat wasiat yang
dibuat sendiri tersebut kehadapan notaris untuk disimpan.
4. Wasiat
Darurat (Pasal 946, 947, dan 948 BW), yaitu wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam
keadaan perang) orang yang sedang berlayar, atau orang yang sedang dikarantina
karena penyakit menular. Wasiat ini dibuat dihadapan atasanya karena sicalon
pewaris dalam keadaan sakaratul maut atau akan meninggal dunia. Namuk demikian,
wasiat ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.[7]
Syarat-syarat bagi pembuat testament menurut
KUHPerdata, bagi pembuat testament ada disyaratkan hal-hal sebagai
berikut :
1. Pasal
895 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“untuk dapat membuat
atau mencabut surat wasiat, seseorang harus mempunyai budi akalnya”. Jadi si
pembuat testament tidak sedang dalam sakit ingatan atau sedang dalam keadaan
sakit begitu berat dan karena mana ia tidak dapat berfikir secara teratur.
2. Pembuat
testament harus sudah genap berusia 18 tahun, atau sudah menikah sebelum usia
18 tahun. Hal ini dimuat dalam pasal 867 KUH Perdata yang berbunyi sebagai
berikut:
“para belum dewasa yang
belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tak diperbolehkan membuat surat
wasiat”.
Apabila orang yang membuat wasiat melanggar pasal
897 KUH Perdata, wasiat yang demikian dapat dimintakan pembatalan oleh
orangtua/wali dari orang yang belum dewasa tersebut. Pembatalan dapat diminta
pada waktu ia masih hidup atau pada waktu ia meninggal. Pasal 898 KUH pdt
menyebutkan bahwa ditinjau dari kedudukan dalam mana ia berada, tatkala surat
wasiat dibuatnya.[8]
D. Pewaris, Ahli Waris, dan Harta Warisan
1.) Pewaris
Menurut
KHI pasal 171 ayat 2 yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan.
Orang
yang meninggalkan harta itu disebut Pewaris. Mewaris dalam hukum perdata Barat
dibagi dalam:
a. Pewaris
atas dasar ketentuan undang-undang (ab-intestaat).
b. Pewaris
atas dasar surat wasiat (testamenter) adalah suatu akte yang memuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki dan terjadi setelah ia
meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.[9]
2.) Ahli
waris
Ahli
waris adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat
atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak
mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang
(pewaris). Menurut Pasal 832 pasal ini mengandung prinsip dalam hukum waris ab
intestate yaitu ysng berhak mewarisi adalah:
Keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup, dan
jika semuanya ini tidak ada, maka yang berhak mewarisi ialah negara. Mengenai
keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup paling lama, dapat diadakan 4
golongan yaitu:
1. Anak,
atau keturunanya dan janda atau duda.
2. Orang
tua (bapak atau ibu), saudara-saudara atau keturunannya.
3. Nenek
dan kakek, atau leluhur lainnya di dalam genus ke atas.
4. Sanak
keluarga di dalam garis ke samping sampai tingkat ke-6.
Kalau semuanya itu tidak ada, maka negara menjadi
waris. Pasal-pasal yang berikut ini menetapkna jumlah jumlah bagian warisan
bagi tiap-tiap golongan. [10]
·
Golongan 1,
Pasal 852:
Seorang anak biarpun
dari perkawinan yang berlain-lainan atau waktu kelahiran, laki atau perempuan
mengandung bagian yang sama.
·
Golongan 2,
Pasal 854 :
Jika golongan 1 tidak
ada, maka yang berhak mewaris ialah bapak, ibu, dan saudara.[11]
·
Golongan 3,
Pasal 853 ayat 1:
Jika waris golongan 1
dan garis golongan 2 tidak ada , maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang
sama.
·
Golongan 4,
Pasal 858 ayat 2
Kalau waris golongan 3
tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai tersebut dalam 853 dan
858 ayat 2 , warisan jatuh pada seorang waris yang terdekat pada tiap garis.[12]
3.) Harta
warisan
Menurut KHI pasal 171,
harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat).
Pemindahan harta
kekayaan pewari (natalenschap) adalah bahwa harta yang diperoleh pewaris
selama hidup dibagikan dan diserahkan kepada ahli waris yang berhak
menerimannya. Harta kekayaan ini
biasanya disebut dengan warisan , yaitu soal apakah dan bagaimanakah pelbgai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia, akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[13]
IV.
KESIMPULAN
Hukum waris adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta
kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima serta hubungan
antara ahli waris dengan pihak ketiga. dalam Hukum Waris BW mengadnung 3 unsur
pokok, yaitu: Orang yang meninggalkan harta warisan(erflater), Harta warisan
(erfernus), Ahli waris (erfergenaam). Tata Cara penyelenggaraan Warisan
tercantum dalam pasal 528 dan Pasal 584. Surat wasiat yaitu suatu akta yang
berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal, dan
yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875 BW). Empat macam bentuk
wasiat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu
Wasiat Rahasia (Geheim), Wasiat Umum (Openbaar Testament), Wasiat ditulis
Sendiri (Olografis), Wasiat Darurat (Pasal 946, 947, dan 948 BW).
Menurut KHI pasal 171 ayat 2 yang dimaksud dengan
pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan
harta peninggalan. sedangkan ahli waris itu sendiri adalah sekumpulan orang
atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan
keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta
peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris).
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami sampaikan tentunya kami menyadari di dalam makalah ini
masih banyak sekali kekurangan, maka dari itu kami harap kritik dan saran,
serta diharapakan bisa di diskusikan
bersama tentang massa kewarisan ini secara lebih mendalam, agar kita semua bisa
mengetahui yang tidak hanya secara parsial saja.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ali. 1997. Hukum Waris,
Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta : Rineka Cipta.
Devita, Irma. 2012. Kiat-Kiat
Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris. Bandung : Mizan
Pustaka.
Oemarsalim. 1987. Dasar-Dasar
Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Bina Aksara.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar
Tata Hukum Indonesia. Banung : Refika Aditama.
Tedjosaputro, Liliana. 2006. Hukum Waris Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Semarang : Aneka Ilmu Anggota Ikalpi.
Triwulan, Titik. 2008. Hukum
Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Kencana.
[2] Titik
Triwulan. Ibid . Hal. 256-259
[3] Irma Devita, Kiat-Kiat
Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris.( Bandung : Mizan
Pustaka, 2012), Hal. 48
[4] Ali Afandi. Hukum
waris Hukum Keluarg Hukum Pembuktian. (Jakarta :Rineka Cipta, 1997) Hal.
14-15
[5] Oemarsalim. Dasar-Dasar
Hukum Waris di Indonesia. (Jakarta : Bina Aksara, 1987) Hal.83
[6]
Irma Devita, Op. Cit,. Hal. 50
[7]
Irma Devita, Op. Cit,. Hal. 51
[8] Liliana
tedjosaputro. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-UndangHukum Perdata. (Semarang
: Aneka Ilmu Anggota Ikapi, 2006) Hal. 90-92
[9] Siti Soetami. Pengantar
Tata Hukum Indonesia.( Bandung : Refika Aditama, 2007). Hal. 33
[10] Ali Afandi. Op
Cit Hal. 35
[11] Ali Affandi,
Op Cit, Hal. 38
[12] Ali Affandi,
Op Cit, Hal. 40
[13] Tamakiran. Asas-Asas
Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum. (Jakarta : Pioner Jaya, 1987) Hal. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar