Kamis, 14 Mei 2015

PRAKTEK POLITIK MASA BANI UMMAYAH

PRAKTEK POLITIK MASA BANI UMAYYAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Siyasah
Dosen Pengampu : Drs. H. Maksun, M.Ag

Description: Description: Description: http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
Safar Utomo (132211078)
Ali Mashudi (132211090)

FAKULTAS SYARI`AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
                                                                          2014                        
I.                   PENDAHULUAN

1.      Latar belakang

Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting, sejak Rasulullah hijrah kemadinah dan setelah wafatnya Rasulullah muncul peristiwa penting yang mempertemukan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya menjadi perdebatan sengit dikalangan pemikir politik Islam tentang siapa yang berhak menjadi pengganti Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik, hingga akhirnya Abu Bakarlah yang menjadi pengganti Rasulullah sebagai pemimpin. Berbagai peristiwa politik terjadi hingga akhirnya yang paling menegangkan dalam sejarah islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan yang menjadi puncak perdebatan politik dikalangan umat Islam, dan akhirnya masa kekuasaan Bani Umayah dimulai.[1]
Pada masa awal-awal islam hingga masa Dinasti Bani Umayah (661-750 M), Pemikiran politik Islam belum begitu kuat muncul dikalangan intelektual Islam, hal ini disebabkan oleh konsentrasi Bani Umayah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan, berikut makalah kami akan memaparkan bagaimana praktek politik masa Bani Umayah.[2]
2.      Rumusan masalah
a.       Bagaimana sejarah Munculnya Bani Umayah?
b.      Sebutkan kebijakan-kebijakan Bani Umayah!
c.       Bagaimana sistem pemerintahan Bani Umayah ?
d.      Sebutkan ciri-ciri pemerintahan Bani Umayah !
e.       Apa yang menyebabkan runtuhnya Bani Umayah?



3.      Tujuan
Mengetahui sejarah munculnya Bani Umayah, serta berbagai kebijakan, praktek politik, administrasi, struktur pemerintahan Bani Umayah, ciri-ciri pemerintahan Bani Umayah serta sebab runtuhnya Bani Umayah.

II.                PEMBAHASAN

a.       Pemerintahan pasca Khulafaur Rasyidin

Pemerintahan dinasti Bani Ummayah (41-132 M), Periode negara Madinah berakhir dengan wafatnya khalifah ali bin abi thalib. Tokoh yang naik kepanggung politik dan pemerintahan  adalah Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, Gubernur wilayah Syam sejak zaman Khalifah Umar, ia adalah pendiri dan khalifah pertama dinasti ini.  Terbentuknya dinasti ini, Muawiyah memangku jabatan Khalifah secara resmi menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/41 H. bukan pada pertengahan tahun 660 M atau 40 H pada saat Umayah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (palestina). Sejak pihaknya dinyatakan oleh majlis tahkim sebagai pemenang.[3]
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan Bin Ali yang di baiat oleh pengikut setia ali menjadi khalifah sebagai pengganti ali mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab, ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada muawiyah. Langkah penting Hasan Bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (amul jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang khalifah. Rujuk perdamaian antara Hasan dan Muawiyah setelah muawiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan, yaitu Muawiyah harus menjamin keamanan keselamatan jiwa dan harta keturunan Ali dan pendukungnya. Pernyataan ini disetujui oleh Muawiyah dan dibuat secara tertulis. Persetujuan ini diimbangi oleh Hasan dengan membaiatnya.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus administrator yang pandai. Umar sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal sebagai seorang negarawan yang ahli dalam bersiasat, piawai dalam merancang taklik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaanya menempuh segala cara untuk berjuang, untuk mencapai cita-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilai berhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus, dan administrator bergabung kedalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada. hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin:
 “aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tidak kupergunakan cambuk ku kalau perkataan saja sudah memadai, andai kata aku dan orang lain memperebutkan sehelai rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengancangkannya aku mengendorkannya, dan bila mereka mengendorkannya akan aku kencangkan”.[4]
Nama-nama khalifah ada masa Bani Umayah:
1.      Mu’awiyah bin Abi Sofyan, 19 th 3 bln (41 H / 661 M sampai 60 H / 681 M)
2.      Yazid bin Mu’awiyah, 3 th 6 bln (60 H / 681 M sampai 64 H / 683 M)
3.      Mu’awiyah bin Yazid, 6 bln (64 H / 683 M sampai 64 H / 684 M)
4.      Marwan bin Hakam, 9 bl 18 hari (64 H / 684 M sampai 65 H / 685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan, 21 th 8 bln (65 H / 685 M sampai 86 H / 705 M)
6.      Walid bin Abdul Malik, 9 th 7 bln (86 H / 705 M sampai 96 H / 715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik, 2 th 8 bln (96 H / 715 sampai M 99 H / 717 M)
8.      Umar bin Abdul Aziz, 2 th 5 bln (99 H / 717 M sampai 101 H / 720 M)
9.      Yazid bin Abdul Malik, 4 th 1 bln (101 H / 720 M sampai 105 H / 724 M)
10.  Hisyam bin Abdul Malik, 19 th 9 bln (105 H / 724 M sampai 125 H / 743 M)
11.  Walid bin Yazid, 1 th 2 bln (125 H / 743 M sampai 126 H / 744 M)
12.  Yazid bin Walid, 6 bln (126 H / 744 M sampai 126 H / 744 M)
13.  Ibrahim bin Yazid, 4 bln (126 H / 744 M sampai 127 H / 744 M)
14.  Marwan bin Muhammad, 5 th 10 bln (127 H / 745 sampai M 132 H / 750) [5]
b.      Kebijakan-kebijakan pemerintahan Bani Umayah
Sejalan dengan watak dan prinsip muawiyah, serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, dia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya, kebijaksanaan dan keputusan politik tersebut adalah :
1.      Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syi’ah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah, sehingga dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua Bani itu dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada dibawah genggaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menjadi Guberbur di Distrik sejak zaman khalifah Umar Bin Khattab.
2.      Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam pejuangannya mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr Bin Ash ia angkat kembai menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah Bin Syu’bah juga ia angkat menjadi Gubernur diwilayah Pers. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil hati para sahabat terkemuka yang bersifat netral terhadap berbagai kasus yang timbul pada waktu itu, sehingga mereka berpihak kepadanya.
3.      Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum Khawarij yang merongrong wibawa kekusaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menuduhkannya tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian perang Ali diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
4.      Membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan darat, laut, dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup dua kali lebih besar dari pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negri yaitu memperluas wilayah kekuasaan.
5.      Meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik ketimur maupun kebarat. Perluasan wilayah ini di teruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti khalifah Abdul Malik ketimur, Khalifah Al Walid kebarat, dan ke Prancis dizaman khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Perluasan wilayah dizaman dinasti ini merupakan  ekspansi besar setelah dizaman Umar Bin Khotob. Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam pada zaman ini adalah Spanyol, Afrka Utara, Suria, Palestina, Semananjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmania, Uzbek, dan Kirgis di Asia tengah dan pulau-pulau yang terdapat dilaut tengah. Sehingga dinasti ini berhasil membangun negara besar dizaman itu. Bersatunya berbagai suku bangsa dibawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat dizaman dinasti abbasiyah sehingga dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
6.      Muawiyah maupun penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafaur Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter, dan kesatuan-kesatuan tentara. Tetapi dizaman khalifah Umar Bin Abdul Aziz kebijaksanaan itu di hapuskan. Karena orang-orang non muslim yang memperoleh privilege didalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang Mukmin merekrut orang-orang Non-Muslim sebagai teman kepercayaan didalam mengatur urusan orang-orang mukmin, tetapi ada ayat-ayat lain yang membolehkannya.
7.      Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang di pengaruhi oleh kebudayaan Byzantium.
8.      Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh khalifah Muawiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari khilafah yang bercorak Demokratis menjadi sistem monarki dengan mengangkat putranya, Yazid menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun temurun. Yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi dizaman khulafaur Rasyidin dimana khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat.[6]
Karena itu keputusan politik muawiyah itu terdapat protes dari umat Islam golongan syiah, pendukung ali, Abd Al Rahman Bin Abi Bakar, Husain bin Ali dan Abdullah Bin Zubair. Bahkan kalangan tokoh madinah mengadakan dialog dengan muawiyah, mereka menyarankan agar mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar atau Umar dalam urusan khalifah, tidak mendahulukan kabilah dari umat, muawiyah tidak menggubris masalah ini. Alasan yang ia kemukakan karena ia khawatir timbulnya kekacauan dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat purtra mahkota sebagai penggantinya. Keputusan itu direkayasa oleh muawiyah seolah-olah mendapat dukungan dari pejabat penting pemerintah. Ia memangggil para gubernur ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia mendukung salah seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak  Bin Qais Al Fahri agar setelah muawiyah berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin berbicara dengan memuji Allah dan menyatakan Yazid adalah orang yang lebih pantas memangku jabatan Khalifah setelah Muawiyah. Kepada gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak, mereka memenuhi permintaan itu, kecuali Gubernur Ahnaf Bin Qais. Walaupun muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi Monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir Al-Mu’minin. Dan status jabatan khalifah diartikan sebagai wakil Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannnya kepada Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah ayat 30). atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan perkenan Allah siapa yang menentangnya adalah kafir.[7]
c.       Sistem pemerintahan Bani Umayah
Pengelolaaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diciptakan oleh khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana pada periode Madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah Propinsi, setiap Propinsi  di kepalai oleh Gubernur dengan gelar Wali atau Amir yang diangkat oleh Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau beberapa Katib (sekretaris). Seorang Hajib (pegawai) dan pejabat-pejabat penting lain yaitu shahib Al Kharajj (pejabat pendapatan), Shahib Al-Syurihar (pejabat kepolisian), dan Qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan Qadhi diangkat oleh khalifah dan betanggung jawab kepadanya.
Ditingkat pemerintahan pusat di bentuk bebrapa lembaga dan departemen, Al-Katib, Al-Hajib, dan Diwan.
Lembaga Al-Katib terdiri:
1.       Katib Al-Rasail (sekretaris negara)
2.       Katib Al-Kharij (sekretaris pendapatan negara)
3.       Katib Al-Jund (sekretaris militer)
4.       Katib Al-Syurtat (sekretaris kepolisian)
5.       Katib Al-Qadhi (panitera)
 Katib Al Rasail dianggap paling penting posisinya karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari keluarga kerajaan. Para Katib bertugas mengurus administrasi negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan negara.
Al-Hajib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan Khalifah tanpa melalui birokrasi. Ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa Hajib yaitu Muazin untuk memberitahukan waktu sholat kepada khalifah, Shahib Al-Barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk Khalifah, dan Shahib Al-Tha’am, petugas yang mengurus hal ihwal makanan di Istana. Lembaga Al-Syurthat yang dipimpin oleh Shahib Al-Syurtat bertugas memelihara keamanan masyarakat dan negara.
Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham Al-Qadzaf terdiri dari tiga bagian yaitu Al-Qadha, Al-Kisbat dan Al-Mazhalim. Badan Al-Qadha dipimpin oleh seorang Qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari Al-Qur’an, Sunnah Rasul atau Ijma dan berdasarkan Ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan Al-Kisbat disebut Al-Muhtasib, tugasnya menangani criminal yang perlu penyelesaian segera. Pejabat badan Al-Mazalim disebut Qadhi Al-Mazalim atau Shahib Al-Mazalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari al-Qadha dan Al-Hisbat. Karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh Qadhi dan Muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan Mahkamat Al- Mahzalim yang mengambil tempat di masjid. sidang ini dihadiri oleh lima unsur  lengkap yaitu oleh pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi yang dipimpin oleh Qadhi Al-Mazhalim. Berarti pemerintahan bani Umayah sebagaimana pada periode negara madinah, peradilan bebas tetap dilaksanakan.
Didalam tubuh oraganisasi pemerintahan dinasti Bani Umayah juga dibentuk beberapa Diwan atau departemen :
1.)    Diwan Al Rasail ( departemen yang mengurus surat-surat negara dari Khalifah kepada para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen ini memiliki dua secretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab dan untuk daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi pada masa Khalifah Abdul Al Malik diarabisasi, yaitu hanya menggunakan bahasa arab dalam surat-surat negara. Politik arabisasi ini sampai berlanjut pada masa putranya, Khalifah Al-Walid yaitu bahasa arab digunakan sebagai bahasa lungua franca dan bahasa ilmu pengetahuan untuk semua wilayah pemerintahan. hal ini mendorong ulama Sibawaih untuk menyusun al-kitab yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa arab)
2.)    Diwan Al Khatim (departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di daerah)
3.)    Diwan Al Kharaj (departemen pendapatan negara yang diperoleh dari al-kharaj, usyur, zakat, jizyah, fa’I, dan ghanimah, dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang diperoleh dari sumber-sumber itu diperoleh dari baetul mal (kantor perbendaharaan negara)
4.)    Diwan Al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas  melayani informasi tentang berita-berita penting didaerah kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi didaerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan daerah
5.)    Diwan Al Jund depertemen pertahanan yang bertugas mengorganisasi militer. Personilnya mayoritas orang arab.[8]
d.      ciri-ciri pemerintahan Bani Umayah
Pembahasan tentang pemerintahan Dinasti Bani Umayah, dikemukakan ciri-ciri khususnya yang membedakannya dari praktek pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Abbasiyah. Ciri-cirinya antara lain:
1.      Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi, khalifah adalah jabatan secular dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif.
2.      kedudukan khalifah masih menggunakan tradisi syaikh (kepala suku) arab, dan karenanya siapa saja boleh bertemu langsung khalifah unutk mengadukan haknya.
3.      Dinasti ini lebih mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan negara.
4.      Dinasti ini bersifat eksekutif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah arab duduk dalam pemerintahan.
5.      Orang-orang non-arab tidak mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya seperti orang arab, dan qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara
6.      Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam
7.      Ciri lain dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah, karenanya kekuasaan khalifah mulai berkekuasaan absolut walaupun belum begitu menonjol. Dengan demikian tampilnya pemerintahan Dinasti Bani Umayah yang mengambil babak Monarki merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan umat islam dalam sejarah.[9]
e.       Masa kemunduran dan keruntuhan Dinasti Bani Umayah
Masa kemunduran Dinasti Umayah sepeninggal Umar Bin Abdul Aziz kekuasan Bani Umayah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul Malik. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abd al-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abd al-Malik (724-M-743-M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru yang di kemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Dinasti Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Akhirnya, masa keemasan Dinasti Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (724 – 743 M), anak keempat Abd al-Malik. Sejarawan Arab sangat memuji Hisyam bin Abd al-Malik. Empat penggantinya, kecuali Marwan bin Muhammad yang menjadi khalifah terakhir Dinasti Umayyah, terbukti tidak cakap, atau bisa dikatakan tidak bermoral dan bobrok. Bahkan para khalifah sebelum Hisyam bin Abd al-Malik pun, yang dimulai oleh Yazid-bin Mu’awiyah, lebih suka berburu, pesta minum, tenggelam dalam alunan musik dan puisi, ketimbang membaca Al-Qur’an atau mengurus persoalan negara.
Mengalir dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa banyak sekali hal-hal yang memberikan kontribusi terhadap keruntuhan Dinasti Umayyah. Namun secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Potensi perpecahan antara suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang mengganggu stabilitas negara.
2.      Adanya permasalahan suksesi kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat negara.
3.      Sisa-sisa kelompok pendukung Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah dan kelompok Khawarij terus aktif menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun secara tersembunyi. Tentu saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh sekali terhadap stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.[10]
4.      Sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah. Karena status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Dinasti Umayyah sebagaimana yang diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
5.      Sikap hidup mewah di lingkungan istana merupakan salah satu faktor lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan.
6.      Terakhir, penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib. Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah serta golongan Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh pemerintahan Dinasti Umayyah.



III.             PENUTUP
a.       Kesimpulan
Pada waktu wafatnya khalifah ali bin abi thalib, Tokoh yang naik kepanggung politik dan pemerintahan  adalah Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, gubernur wilayah Syam sejak zaman Khalifah Umar, ia adalah pendiri dan khalifah pertama dinasti ini. Pengelolaaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab. ciri-ciri pemerintahan Bani Umayah Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi, kedudukan khalifah masih menggunakan tradisi syaikh (kepala suku) arab, Dinasti ini lebih mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan, bersifat eksekutif, Orang-orang non-arab tidak mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya seperti orang arab, dan qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara, Formalitas agama tetap dipatuhi, Ciri lain dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah. Keruntuhan Bani Umayah sendiri di dukung oleh banyak factor baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
b.      Penutup
Demikianlah makalah tentang praktek politik masa Bani Umayah yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.










[1] Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. (Jakarta : Gelora Aksara Pratama, 2007) Hal. 25-26
[2] Ibid. Hal. 27
[3]H.M.H. Al Hamid. Imamul Muhtadin Sayyidina Ali bin Abi Thalib. ( Semarang : Toha Putra, 1989) Hal. 578-607
[4] Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A. Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 162-164
[5] Prof. Dr. A. Syalabi. Sejarah dan kebudayaan Islam 2. ( Jakarta : Al-Husna Zikra, 1995) Hal. 29
[6] Dr. Badri Yatim, M. A. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010) Hal. 42
[7] Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A. Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 164-167
[8] Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A. Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 168-171
[9] Ibid. Hal. 171
[10] Rasul Ja’fariyan. Sejarah Para Pemimpin Islam dari gerakan karbala sampai runtuhnya Bani Marwan. ( Jakarta : Al Huda, 2010) Hal 248-249
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan,  Suyuti ,1994, Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ibnu Syarif, Mujar, Khamami Zada, 2007, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Gelora Aksara Pratama.
Yatim, Badri, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syalabi, 1995, Sejarah dan kebudayaan Islam 2, Jakarta : Al-Husna Zikra.
Al Hamid, 1989, Imamul Muhtadin Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Semarang : Toha Putra.
Ja’fariyan, Rasul, 2010, Sejarah Para Pemimpin Islam dari gerakan karbala sampai runtuhnya Bani Marwan. Jakarta : Al Huda.

1 komentar: