I. PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
B. Rumusan
masalah
1. Apa pengertian dari Pengadilan?
2. Bagaimana tugas wewenang Pengadilan
Dalam Menangani Perkara Pidana?
3. Bagaimana Pembagian badan-badan
Peradilan serta wewenangnya Masing-masing?
4. Apa pengertian Pengacara/Penasehat
Hukum?
5. Bagaimana tugas dan Kedudukan
Pengacara/Penasehat Hukum dalam Perkara Pidana?
6. Apa pengertian dan bagaimana
pembagian Surat Kuasa?
C. Tujuan
1. Mahasiswa Dapat menguraikan
pokok-pokok tugas &wewenang Pengadilan Dlm menangani perkara pidana.
2. Mahasiswa Dapat menjabarkan
pembagian badan-badan peradilan serta wewenangnya masing-masing.
3. Mahasiswa Dapat Menguraikan Tugas
dan kedudukan Pengacara/PH dalam perkara Pidana.
4. Mahasiswa Dapat Menguraikan
Pengertian Surat Kuasa serta Pembagiannya.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Pengadilan dan peradilan
Penggunaan istilah pengadilan dan peradilan mempunyai makna
dan pengertian yang berbeda :
a. Pengadilan dalam bahasa Inggris court
dan bahasa Belanda rechtbank dimaksudkan sebagai badan yang melakukan
peradilan berupa memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
b. Peradilan dalam bahasa Inggris judiciary
dalam bahasa Belanda rechtbank dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang
berhubungan dengan tugas negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.[1]
Kata pengadilan dan peradilan mempunyai kata dasar yang sama
yakni “adil” yang memiliki pengertian sebagai berikut :
a. Proses mengadili.
b. Upaya hukum mencari keadilan
c. Penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan
peradilan.
d. Berdasar hukum yang berlaku.[2]
Dalam sebuah tulisan yang di akses dari laman resmi
Pengadilan Negri Yogyakarta, disebutkan bahwa :
“pengadilan
adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang
dilaksanakan dipengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sedangkan peradilan adalah
segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan dipengadilan yang berhubungan
dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum
dan atau menemukan hukum “in concerto” (hakim menerapkan peraturan hukum
kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus)
untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan
cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.”
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa, pengadilan
adalah lembaga tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah
sebuah proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses
mencari keadilan itu sendiri.[3]
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan landasan hukum sistem peradilan
negara dan mengatur tentang peradilan dan pengadilan pada umumnya, tidak
mendefinisikan tentang peradilan dan pengadilan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman setidaknya
mengatur bahwa peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA" dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Sedangkan, istilah pengadilan disebut
dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman yang antara lain
menjelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.[4]
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan
sementara bahwa peradilan merupakan proses menerapkan dan menegakkan hukum demi
keadilan, sedangkan pengadilan adalah tempat mengadili dan membantu para
pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.
2. Pembagian
badan-badan Peradilan serta wewenangnya masing-masing
Menurut pasal 10 ayat (2) undang No. 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, bahwa :
(1) Kekuasan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
(2) Badan peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a. Peradilan umum, yaitu pengadilan
umum untuk sipil, yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara perdata dan pidana.
b. Peradilan agama, yang khusus
memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata yang kedua belah pihaknya
beragama islam dan menurut hukum yang dikuasai oleh hukum islam.
c. Peradilan militer, yang khusus
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidananya dengan status terdakwa
sebagai anggota TNI dan/atau dipersamakan.
d. Peradilan tata usaha negara, yang
khusus memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa tata usaha negara,
yang tergugatnya pemerintah dan penggugatnya perseorangan.[5]
3. Tugas
wewenang Pengadilan Dalam Menangani Perkara Pidana
Tugas utama pengadilan umum dalam perkara pidana ialah
mengadili semua perkara pidana sebagaimana yang tercantum didalam peraturan
perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut) kepadanya untuk
diadili. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :
a. Pengadilan Negri
Dalam hal kekuasaan mengadili pada Pengadilan Negri terdapat
dua macam kekuasaan/kompetensi/kewenangan, yaitu:
1. Kekuasaan (kompetensi) mutlak
(absolute competentie)
Kekuasaan mutlak atau absolut adalah kekuasaan yang
berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili
(attributie van rechtsmacht) kepada satu macam pengadilan (pengadilan
negri), bukan kepada pengadilan lain.
Adapun kompetensi absolut pengadilan negri, yaitu :
a.) Menurut pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2004 tentang peradilan umum, bahwa kompetensi Pengadilan Negri “bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
perdata ditingkat pertama.”
b.) Menurut pasal 77 KUHAP, bahwa kompetensi
pengadilan negri “berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
·
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan.
·
Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
c.) Menurut penjelasan pasal 15 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa pengadilan negri juga sebagai
“pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hakasasi manusia, pengadilan
tindak pidana korupsi dan pengadilan industrial yang berada dilingkungan
peradilan umum.”
d.) Kompetensi absolut lainnya dari pengadilan
negri selain diatas, yaitu :
·
Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan (pasal 211
KUHAP)
·
Acara pemeriksaan cepat (pasal 205 KUHAP)
·
Acara pemeriksaan singkat (pasal 203 KUHAP)
·
Pemeriksaan biasa (pasal 183 KUHAP)
2. Kekuasaan (kompetensi) relative
(relative competence)
Kekuasaan relative adalah kekuasaan yang berdasarkan
peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van
rechtsmacht) diantara satu macam pengadilan (pengadilan negri) atau
kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubungan dengan daerah hukumnya. Jadi
kekuasaan kehakiman secara relative yaitu :
a. Menurut pasal 84 KUHAP, bahwa :
(1) Pengadilan negri berwenang mengadili
segala perkara mengenai segala tindak pidana yang dilakukan dalam daerah
hukumnya.
(2) Pengadilan negri yang dalam daerah
hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan
atau ditahan, hanya mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat
kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negri yang didalam daerahnya
tindak pidana itu dilakukan.
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan
beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negri, diadili
oleh masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4) Terhadap beberapa perkara pidana
yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah
hukum dalam pelbagai pengadilan negri, diadili oleh masing-masing pengadilan
negri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
b. Menurut pasal 85 KUHAP, bahwa “dalam
hal daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negri untuk mengadili suatu
perkara, maka atas usul ketua pengadilan negri atau kepala kejaksaan negri yang
bersangkutan, mahkamah agung mengusulkan kepada mentri kehakiman untuk
menetapkan atau menunjuk pengadilan negri lain dari pada yang tersebut pada
pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
c. Menurut pasal 26 KUHAP, bahwa apabila “seorang melakukan tindak
pidana diluar negri yang dapat diadili menurut hukum republik Indonesia, maka
pengadilan negri Jakarta pusat yang berwenang mengadilinya.”
b.
Pengadilan Tinggi
Dalam hal kekuasaan mengadili pada pengadilan tinggi
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang yaitu :
1. Menurut pasal 87 KUHAP, bahwa pengadilan
tinggi berwenang “mengadili perkara yang diputus pengadilan negri dalam daerah
hukumnya yang dimintakan banding.”
2. Menurut pasal 51 Undang-Undang No.8
Tahun 2004 tentang peradilan umum, bahwa:
a. Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang
mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
b. Pengadilan tinggi juga bertugas dan
berwenang mengadili ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan negri didaerah
hukumnya.
c. Mahkamah Agung
Dalam hal kekuasaan mengadili pada mahkamah agung,
sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu :
1. Menurut pasal 11 ayat (2) UU No.4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa mahkamah agung mempunyai
kewenangan:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan
peradilan yang berada dibawah mahkamah agung.
b. Menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
2. Menurut pasal 88 KUHAP, bahwa
mahkamah agung berwenang mengadili pada semua perkara pidana yang dimintakan
kasasi.
3. Menurut pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, bahwa Mahkamah Agung
“bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. Permohonan kasasi;
b. Sengketa tentang kewenangan
mengadili;
c. Permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Menurut pasal 31 ayat (1) UU No.5
Tahun 2004 tentang mahkamah agung, bahwa mahkamah agung mempunyai wewenang
“menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah ini
undang-undang.”
5. Menurut pasal 31 ayat (2) UU No. 5
Tahun 2004 tentang mahkamah agung, bahwa mahkamah agung berwenang “menyatakan
tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah
dari pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”.
6. Menurut pasal 32 UU No.5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung, bahwa :
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
b. Mahkamah agung mengawasi tingkah
laku dan perbuatan para hakim disemua lingkungan peradilan dalam menjalankan
tugasnya.
c. Mahkamah agung berwenang untuk
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari semua lingkungan peradilan.
d. Mahkamah Agung berwenang memberi
petunjuk, tegoran atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan
disemua lingkungan peradilan.
e. Pengawasan dan kewenangan
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
7. Menurut pasal 33 KUHAP, bahwa
mahkamah agung berwenang :
(1) Memutus perkara pada tingkat pertama
dan terakhir semua sengketa kewenangan mengadili :
a. Antara pengadilan dilingkungan
peradilan yang satu dengan pengadilan dilingkungan peradilan yang lain;
b. Antara dua pengadilan yang ada dalam
daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan
peradilan yang sama;
c. Antara dua pengadilan tingkat
banding dilingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang
berlainan.
(2) Memutus dalam tingkat pertama dan
terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang republic Indonesia berdasarkan peraturan yang
berlaku.
8. Menurut pasal 34 KUHAP, bahwa
Mahkamah Agung berwenang “memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali
pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV bagian
keempat undang-undang ini”
9. Menurut pasal 5 UU No. 5 Tahun 2004
tentang mahkamah agung bahwa “mahkamah agung memberikan pertimbangan hukum
kepada presiden permohonan grasi dan rehabilitasi”
10. Menurut pasal 6 UU No. Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung dan pemerintah melakukan pengawasan atas penasihat hukum dan
notaris”
11. Menurut pasal 37 UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan
dalm bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang
lain”
12. Menurut pasal 38 UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari
dan memberikan petunjuk kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal 25 undang-undang Nomor 14 tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman”
13. Menurut pasal 39 UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung bahwa “disamping tugas dan kewenangan tersebut dalam bab
ini Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan
Undang-Undang”
14. Menurut pasal 56 KUHAP, bahwa
Mahkamah Agung berwenang :
(1) Memeriksa dan memutus sengketa
tentang kewenangan mengadili sebagaimana dimaksudkan pasal 33 ayat (1)
(2) Sengketa tentang kewenangan
mengadili terjadi :
·
Jika 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan berwenang
mangadili perkara yang sama;
·
Jika 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan tidak
berwenang mengadili perkara yang sama.[6]
4.Pengertian Pengacara/Penasehat Hukum
Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
advokat, maka penggunaan istilah advokat didalam praktiknya belum ada yang baku
untuk profesi tersebut. Dalam berbagai ketentuan perundang-undangan terdapat
inkonsistensi sebutannya. Misalnya Undang-Undang Nomor 1970, sebagaimana telah
diganti degan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2004 serta terakhir diganti dengan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman, menggunakan
istilah bantuan hukum dan advokat.[7]
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menggunakan istilah penasihat hukum.
Departemen Hukum dan HAM menggunakan istilah pengacara, dan pengadilan tinggi
menggunakan istilah Advokat dan pengacara. Kemudian Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat menggunakan istilah Advokat dan pengacara, disamping
itu ada juga yang menyebutnya dengan istilah pembela.[8]
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Advokat yaitu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 49, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4228, maka
istilah Advokat sudah menjadi baku dan berstatus sebagai penegak hukum, bebas
dan mandiri yang dijamin oleh hukum serta wilayah kerjanya meliputi seluruh
wilayah Republik Indonesia.[9]
Istilah Advokat bukan
asli bahasa Indonesia. Advokat berasal dari bahasa belanda, yaitu advocaat,
yang berarti orang yang berprofesi memberikan jasa hukum. Jasa tersebut
diberikan baik didalam atau diluar ruang sidang.[10]
Menurut pasal 1 angka 13 KUHAP, bahwa yang dimaksud penasihat hukum adalah “seorang
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk
memberi bantuan hukum”.[11]
Rumusan pasal 1 butir 13 KUHAP tersebut menjelaskan, bahwa untuk menjadi
penasihat hukum itu haruslah orang yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh undang-undang.[12]
Menurut pasal 1 angka 1 UU No.18 Tahun 2003 tentang advokat,
bahwa yang dimaksud dengan Advokat adalah “orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”[13]
Selain pengertian penasihat hukum sebagaimana telah
dijelaskan diatas, ada juga pengertian penasehat hukum yang dijelaskan para
ahli, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.) Sudikno Mertokusumo berpendapat,
bahwa penasihat hukum adalah orang yang diberi kuasa untuk memberikan bantuan
hukum dalam hukum perdata maupun pidana kepada yang memerlukannya, baik berupa
nasihat maupun bantuan aktif, baik didalam maupun diluar pengadilan dengan
jalan mewakili, mendampingi atau membelanya.[14]
2.) J.S.T Simorangkir,dkk., menjelaskan
bahwa penasihat hukum adalah seorang yang bertindak dalam suatu perkara untuk
kepentingan yang berperkara, dalam perkara perdata untuk penggugat atau
tergugat dan dalam perkara pidana untuk terdakwa.
3.) Sudarsono berpendapat bahwa
penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan
berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
4.) Martiman Prodjohamidjojo menjelaskan
bahwa penasihat hukum adalah mereka yang pekerjaanya atau mereka yang karena
profesinya memberikan jasa hukum, pelayanan hukum, bantuan hukum, serta nasihat
hukum kepada pencari keadilan baik yang melalui pengadilan negri, pengadilan
agama, atau panitia penyelesaian perburuhan maupun yang diluar pengadilan.[15]
Dari beberapa pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa
penasihat hukum adalah orang yang dapat diberi kuasa untuk memberikan bantuan
hukum, baik dalam perkara perdata, perkra pidana, maupun perkara tatausaha
negara dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.[16]
5. Tugas dan
Kedudukan Pengacara/Penasehat Hukum dalam Perkara Pidana
Tugas pokok penasihat hukum (advokat dan pengacara praktik)
adalah untuk memberikan legal opinion,
serta penasihat hukum dalam rangka menjauhkan klien dari konflik. sedangkan
ketika beracara di pengadilan, penasihat hukum mengajukan atau membela
kepentingan kliennya. Dalam beracara didepan pengadilan tugas pokok advokat
adalah mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan klien
yang dibelanya dalam perkara tersebut, sehingga dengan itu memungkinkan bagi
hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. (Suhrawardi K. Lubis, 1994
: 2008)[17]
Jadi pada
dasarnya tugas advokat adalah sama dengan hakim dan jaksa, yaitu menegakkan
kebenaran, hukum dan keadilan. Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, seorang
advokat, selain di luar pengadilan, akan berhadapan dengan tata cara dan tata
tertib persidangan di muka pengadilan yang diatur dalam hukum acara. Karena
profesinya berhubungan dengan hukum, maka eksistensi advokat harus mendapat
tempat dalam undang-undang. Seperti UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU
No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.[18]
Kedudukan
advokat yaitu memberi nasihat, mendampingi, dan juga memberikan pembelaan
kepada tersangka atau terdakwa. Advokat juga harus berpegang teguh kepada usaha
untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian hukum yang berkeadilan. Advokat
bersandar dan bertitik tolak kepada kepentingan terdakwa yang dibelanya, akan
tetapi ia harus bertindak obyektif. Artinya seorang advokat harus berpandangan
obyektif dari posisi yang subyektif. Dalam melakukan pembelaan dalam perkara
pidana, bilamana kliennya terbukti bersalah, seorang advokat harus berani
mengatakan bahwa ia bersalah, dan yang harus dlakukan oleh advokat adalah
meminta keringanan pidana yang dijatuhkan. Bilamana ternyata kliennya terbukti
tidak bersalah, maka seorang advokat harus meminta kliennya dibebaskan dari
segala dakwaan dan tuntutan. (Multazam Muntaha, 1995 : 21)[19]
6.
Surat kuasa
a. Pengertian surat kuasa
Surat kuasa menurut pasal 1313 KUHPerdata, ialah “suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu
orang atau lebih”, sedangkan pasal 1792 KUHPerdata ialah “suatu perjanjian
dimana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.[20]
b. Cara, bentuk dan isi pemberi kuasa
Adapun cara dan bentuk pemberian kuasa, sebagaimana menurut
diatur dalam KUHPerdata, sebagai berikut :
a.) Menurut pasal 1793 yaitu “
1. Kuasa dapat memberikan dan diterima
dengan suatu akta umum atau akta resmi seperti akta notaris, akta yang
dilegalisasi di kepaniteraaan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat; dan
juga dapat diberikan dengan suatu surat dibawah tangan bahkan dengan sepucuk
surat ataupun dengan lisan.
2. Penerimaan suatu kuasa dapat pula
terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang
diberi kuasa atau surat kuasa terjadi dengan sendirinta tanpa ada persetujuan
terlebih dahulu.
b.) Pemberian kuasa dengan upah (honor)
Menurut pasal 1794 KUHPerdata, bahwa “pemberian kuasa
terjadi dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal
yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak
boleh menrima upah yang lebih dari pada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk
wali.
c.) Pemberian kuasa khusus
Menurut pasal 1795 KUHPerdaya, bahwa “pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau
lebih, atau secara umum, yaitu meliputi sega;a kepentingan pemberi kuasa”
d.) Kuasa umum
Menurut pasal 1796 KUHPerdata, bahwa “pemberian kuasa yang
dirimusakan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut
pengurusan. Unutk memindah tangankan barang atau melettakan hipotek diatasnya,
untuk membuat suatu perdamaian atau melakukan tindakan lain yang hanya dapat
dilakukan oleh sorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan
kata-kata tegas.
e.) Hal yang dilarang dalam penerimaan
kuasa
Menurut pasal 1797 KUHPerdata, bahwa “penerima kuasa tidak
boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk
mnyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandungkan hak untuk
menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
f.) Menurut pasal 1798 KUHPerdata, bahwa
“orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa retapi
pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tunuttan hukum terhadap
anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-periktan
yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan
yang bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tidak berweang
untuk mengadakan tuntutan hukum selainmenurut ketentuen-ketentuen bab V dan VII
buku kesatu dari kitab undang-undang hukum perdata ini.
g.) Menurut pasal 1799 KUHPerdata, bahwa
“pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima
kuasa telah melakukanperbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat
mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.
Selain pemberian kuasa sebagaimana dimaksud diatas, maka
terdapat pemberian kuasa yang lahir karena undang-undang, artinya untuk
perbuatan tertentu tanpa dinyatakan sebagai suatu pemberian kuasa telah terjadi
pemberian kuasa karena undang-undang telah menentukannya demikian. Jadi
pemberian kuasa dapat dilihat dari orang tua atau wali yang mewakili anak yang
newakili anak yang belum dewasa atau seorang direksi yang mewakili
perseroannya.
Adapun
bentuk-bentuk lain dari pemberian kuasa yang perlu diperhatikan antara lain:
a.) Surat kuasa yang ditandatangani
dengan cap jempol, maka tanda tangan tersebut harus dilegalisir oleh pejabat
yang berwenang, yaitu camat, bupati, walikota, dan notaris, oleh karena cap
jempol tanpa dilegalisir dari pejabat yang berwenang bukan memrupakan tanda
tangan.
b.) Pemberian kuasa diluar negri, harus
dilegalisir oleh kedutaan besar Indonesia diluar negri, jika tidak ada
perwakilan atau kedutaan besar maka dilegalisir oleh kedutaan yang berwenang
disana, kemudian kedepartemen kehhakiman dan kedepartemen luar negri negara
yang bersangkutan (putusan MA, tanggal 14 April 1973 No. 208 K/Sip./1973)
c.) Kuasa dengan lisan, diam-diam, dan
melalui surat biasa, harus dinyatakan dmengan tegas dimuka pengadilan, jika
diberikan kepada seorang pengacara untuk sesuatu keperluan dimuka persidangan.[21]
c.
Jenis-jenis surat kuasa
Adapun jenis-jenis surat kuasa
sebagaimana menurut pasal 1795 KUHPerdata, yaitu :
a.) Surat kuasa umum
1. Surat kuasa yang meliputi segala
kepentingan sipemberi kuasa, kecuali perbuatan pemilikan (pasal 1796
KUHPerdata)
2. Surat kuasa yang secara tegas dapat
dicabut kembali secara sepihak oleh pemberi kuasa dan hanya untuk kepentingan
pemberi kuasa semata-mata.
b.) Surat kuasa khusus
1. Surat kuasa yang hanya meliputi satu
kepentingan tertentu/lebih ( pasal 1796 KUHPerdata)
2. Surat kuasa yang tidak dapat dicabut
secara sepihak (pemberi dan penerima kuasa) dan untuk kepentingan pemberi kuasa
dan penerima kuasa.[22]
d.
Bentuk-bentuk pemberian surat kuasa
Adapun bentuk-bentuk pemberian surat
kuasa menurut pasal 1796 KUHPerdata, yaitu:
1. Akta autentik
2. Akta dibawah tangan
3. Surat biasa
4. Secara lisan
5. Diam-diam[23]
e.
Berakhirnya surat kuasa
Untuk berakhirnya surat kuasa
sebagaimana pasal 1813 KUHPerdata yaitu :
1. Atas kehendak pemberi kuasa-menarik
kembali kuasanya dari si kuasa (setelah ada persetujuan dari penerima kuasa
secara tertulis) (pasal 1814-1816 KUHPerdata)
2. Atas permintaan penerima
kuasa-mengundurkan diri dari kuasa (apabila ada persetujuan dari pemberi kuasa)
(pasal 1817-1818 KUHPerdata)
3. Meninggalnya salah satu pihak
pemberi kuasa atau penerima kuasa
4. Dengan perkawinan antara penerima
dan pmberi kuasa
5. Persoalan yang dikuasakan telah
diselesaikan
6. Berada dibawah pengampuan (curatele)
–penerima atau pemberi kuasa
7. Dalam keadaan pailit-penerima atau
pemberi kuasa
8. Atas keputusan pengadilan (pasal 816
KUHPerdata)
III.
PENUTUP
A. Simpulan
B. Kritik
dan saran
[1]
Mashudi. Hukum Acara Peradilan Agama. (Semarang :UIN walisongo, 2015).
Hal. 1
[2]
Mashudi. Hukum Acara Peradilan Agama. (Semarang :UIN walisongo, 2015).
Hal. 1
[3]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548d38322cdf2/perbedaan-peradilan-dengan-pengadilan.
Diakses pada : sabtu, 26 septeber 2015, pukul 15.47.
[4]
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[5]
Andi Sofyan, Abd Aziz. Hukum Acara Pidana. ( Jakarta : Kencana, 2014).
Hal. 28-29.
[6]
Andi Sofyan, Abd Aziz. Hukum Acara Pidana. ( Jakarta : Kencana, 2014).
Hal. 30-37.
[7]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal. 1
[8]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal. 1
[9]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal. 2
[10]
Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985). Hal. 88
[11]
Frans Hendra Winarta. Advokat Indonesia, citra, idealism, dan keprihatinan.
(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995). Hal. 66
[12]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.3
[13]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.3
[14]
Sudikno Mertokusumo. Bunga Rampai Ilmu Hukum. (Yogyakarta : Liberty,
1984). Hal. 66
[15]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.3-4
[16]
Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.4
[17]
https://googleweblight.com/?lite_url=https://rizal19.wordpress.com/2009/11/17/hak-terdakwa-untuk-didampingi-advokat.
Diakses pada minggu 11 Oktober 2015 pukul 14.12
[18] https://www.facebook.com/profile.php?id=100008411982295
diakses pada hari sabtu 26 September 2015 pukul 15.14
[19]
https://googleweblight.com/?lite_url=https://rizal19.wordpress.com/2009/11/17/hak-terdakwa-untuk-didampingi-advokat.
Diakses pada minggu 11 Oktober 2015 pukul 14.12
[20]
Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta :
Kencana, 2014). Hal. 371
[21]
Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta :
Kencana, 2014). Hal.371-374
[22]
Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta :
Kencana, 2014). Hal. 374
[23]
Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta :
Kencana, 2014). Hal. 374
Tidak ada komentar:
Posting Komentar