Minggu, 08 November 2015

PARA PIHAK DALAM HUKUM ACARA PIDANA



I.       PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari Pengadilan?
2.      Bagaimana tugas wewenang Pengadilan Dalam Menangani Perkara Pidana?
3.      Bagaimana Pembagian badan-badan Peradilan serta wewenangnya Masing-masing?
4.      Apa pengertian Pengacara/Penasehat Hukum?
5.      Bagaimana tugas dan Kedudukan Pengacara/Penasehat Hukum dalam Perkara Pidana?
6.      Apa pengertian dan bagaimana pembagian Surat Kuasa?
C.     Tujuan
1.      Mahasiswa Dapat menguraikan pokok-pokok tugas &wewenang Pengadilan Dlm menangani perkara pidana.
2.      Mahasiswa Dapat menjabarkan pembagian badan-badan peradilan serta wewenangnya masing-masing.
3.      Mahasiswa Dapat Menguraikan Tugas dan kedudukan Pengacara/PH dalam perkara Pidana.
4.      Mahasiswa Dapat Menguraikan Pengertian Surat Kuasa serta Pembagiannya.
II.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Pengadilan dan peradilan
Penggunaan istilah pengadilan dan peradilan mempunyai makna dan pengertian yang berbeda :
a.          Pengadilan dalam bahasa Inggris court dan bahasa Belanda rechtbank dimaksudkan sebagai badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
b.      Peradilan dalam bahasa Inggris judiciary dalam bahasa Belanda rechtbank dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.[1]
Kata pengadilan dan peradilan mempunyai kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian sebagai berikut :
a.          Proses mengadili.
b.      Upaya hukum mencari keadilan
c.          Penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan peradilan.
d.      Berdasar hukum yang berlaku.[2]
Dalam sebuah tulisan yang di akses dari laman resmi Pengadilan Negri Yogyakarta, disebutkan bahwa :
“pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang dilaksanakan dipengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan dipengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan atau menemukan hukum “in concerto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.”
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri.[3]
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan landasan hukum sistem peradilan negara dan mengatur tentang peradilan dan pengadilan pada umumnya, tidak mendefinisikan tentang peradilan dan pengadilan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman setidaknya mengatur bahwa peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Sedangkan, istilah pengadilan disebut dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman yang antara lain menjelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.[4]
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peradilan merupakan proses menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, sedangkan pengadilan adalah tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.
2.      Pembagian badan-badan Peradilan serta wewenangnya masing-masing
Menurut pasal 10 ayat (2) undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa :
(1)   Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2)   Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a.       Peradilan umum, yaitu pengadilan umum untuk sipil, yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perdata dan pidana.
b.      Peradilan agama, yang khusus memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata yang kedua belah pihaknya beragama islam dan menurut hukum yang dikuasai oleh hukum islam.
c.       Peradilan militer, yang khusus memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidananya dengan status terdakwa sebagai anggota TNI dan/atau dipersamakan.
d.      Peradilan tata usaha negara, yang khusus memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa tata usaha negara, yang tergugatnya pemerintah dan penggugatnya perseorangan.[5]
3.      Tugas wewenang Pengadilan Dalam Menangani Perkara Pidana
Tugas utama pengadilan umum dalam perkara pidana ialah mengadili semua perkara pidana sebagaimana yang tercantum didalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut) kepadanya untuk diadili. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :
a.         Pengadilan Negri
Dalam hal kekuasaan mengadili pada Pengadilan Negri terdapat dua macam kekuasaan/kompetensi/kewenangan, yaitu:
1.      Kekuasaan (kompetensi) mutlak (absolute competentie)
Kekuasaan mutlak atau absolut adalah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) kepada satu macam pengadilan (pengadilan negri), bukan kepada pengadilan lain.
Adapun kompetensi absolut pengadilan negri, yaitu :
a.)         Menurut pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang peradilan umum, bahwa kompetensi Pengadilan Negri “bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama.”
b.)        Menurut pasal 77 KUHAP, bahwa kompetensi pengadilan negri “berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
·         Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
·         Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
c.)     Menurut penjelasan pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa pengadilan negri juga sebagai “pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hakasasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi dan pengadilan industrial yang berada dilingkungan peradilan umum.”
d.)     Kompetensi absolut lainnya dari pengadilan negri selain diatas, yaitu :
·         Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan (pasal 211 KUHAP)
·         Acara pemeriksaan cepat (pasal 205 KUHAP)
·         Acara pemeriksaan singkat (pasal 203 KUHAP)
·         Pemeriksaan biasa (pasal 183 KUHAP)
2.      Kekuasaan (kompetensi) relative (relative competence)
Kekuasaan relative adalah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) diantara satu macam pengadilan (pengadilan negri) atau kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubungan dengan daerah hukumnya. Jadi kekuasaan kehakiman secara relative yaitu :
a.       Menurut pasal 84 KUHAP, bahwa :
(1)   Pengadilan negri berwenang mengadili segala perkara mengenai segala tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2)   Pengadilan negri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, hanya mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
(3)   Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negri, diadili oleh masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4)   Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum dalam pelbagai pengadilan negri, diadili oleh masing-masing pengadilan negri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
b.      Menurut pasal 85 KUHAP, bahwa “dalam hal daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negri atau kepala kejaksaan negri yang bersangkutan, mahkamah agung mengusulkan kepada mentri kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negri lain dari pada yang tersebut pada pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
c.       Menurut pasal 26 KUHAP,  bahwa apabila “seorang melakukan tindak pidana diluar negri yang dapat diadili menurut hukum republik Indonesia, maka pengadilan negri Jakarta pusat yang berwenang mengadilinya.”
b.      Pengadilan Tinggi
Dalam hal kekuasaan mengadili pada pengadilan tinggi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang yaitu :
1.      Menurut pasal 87 KUHAP, bahwa pengadilan tinggi berwenang “mengadili perkara yang diputus pengadilan negri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.”
2.      Menurut pasal 51 Undang-Undang No.8 Tahun 2004 tentang peradilan umum, bahwa:
a.          Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
b.      Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan  mengadili antar pengadilan negri didaerah hukumnya.
c.        Mahkamah Agung
Dalam hal kekuasaan mengadili pada mahkamah agung, sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu :
1.      Menurut pasal 11 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa mahkamah agung mempunyai kewenangan:
a.          Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah mahkamah agung.
b.      Menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
c.          Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2.      Menurut pasal 88 KUHAP, bahwa mahkamah agung berwenang mengadili pada semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
3.      Menurut pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, bahwa Mahkamah Agung “bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a.       Permohonan kasasi;
b.      Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c.       Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
4.      Menurut pasal 31 ayat (1) UU No.5 Tahun 2004 tentang mahkamah agung, bahwa mahkamah agung mempunyai wewenang “menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah ini undang-undang.”
5.      Menurut pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang mahkamah agung, bahwa mahkamah agung berwenang “menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.
6.      Menurut pasal 32 UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, bahwa :
a.       Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
b.      Mahkamah agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim disemua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
c.       Mahkamah agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
d.      Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan.
e.       Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
7.      Menurut pasal 33 KUHAP, bahwa mahkamah agung berwenang :
(1)   Memutus perkara pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan mengadili :
a.       Antara pengadilan dilingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan dilingkungan peradilan yang lain;
b.      Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama;
c.       Antara dua pengadilan tingkat banding dilingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan.
(2)   Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang republic Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku.
8.      Menurut pasal 34 KUHAP, bahwa Mahkamah Agung berwenang “memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV bagian keempat undang-undang ini”
9.      Menurut pasal 5 UU No. 5 Tahun 2004 tentang mahkamah agung bahwa “mahkamah agung memberikan pertimbangan hukum kepada presiden permohonan grasi dan rehabilitasi”
10.  Menurut pasal 6 UU No. Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung dan pemerintah  melakukan pengawasan atas penasihat hukum dan notaris”
11.  Menurut pasal 37 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalm bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain”
12.  Menurut pasal 38 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal 25 undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman”
13.  Menurut pasal 39 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung bahwa “disamping tugas dan kewenangan tersebut dalam bab ini Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”
14.  Menurut pasal 56 KUHAP, bahwa Mahkamah Agung berwenang :
(1)   Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili sebagaimana dimaksudkan pasal 33 ayat (1)
(2)   Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :
·         Jika 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mangadili perkara yang sama;
·         Jika 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara yang sama.[6]
4.Pengertian Pengacara/Penasehat Hukum
Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, maka penggunaan istilah advokat didalam praktiknya belum ada yang baku untuk profesi tersebut. Dalam berbagai ketentuan perundang-undangan terdapat inkonsistensi sebutannya. Misalnya Undang-Undang Nomor 1970, sebagaimana telah diganti degan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2004 serta terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman, menggunakan istilah bantuan hukum dan advokat.[7]
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menggunakan istilah penasihat hukum. Departemen Hukum dan HAM menggunakan istilah pengacara, dan pengadilan tinggi menggunakan istilah Advokat dan pengacara. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menggunakan istilah Advokat dan pengacara, disamping itu ada juga yang menyebutnya dengan istilah pembela.[8]
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Advokat yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4228, maka istilah Advokat sudah menjadi baku dan berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum serta wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.[9]
 Istilah Advokat bukan asli bahasa Indonesia. Advokat berasal dari bahasa belanda, yaitu advocaat, yang berarti orang yang berprofesi memberikan jasa hukum. Jasa tersebut diberikan baik didalam atau diluar ruang sidang.[10] Menurut pasal 1 angka 13 KUHAP, bahwa yang dimaksud penasihat hukum adalah “seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum”.[11] Rumusan pasal 1 butir 13 KUHAP tersebut menjelaskan, bahwa untuk menjadi penasihat hukum itu haruslah orang yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang.[12]
Menurut pasal 1 angka 1 UU No.18 Tahun 2003 tentang advokat, bahwa yang dimaksud dengan Advokat adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”[13]
Selain pengertian penasihat hukum sebagaimana telah dijelaskan diatas, ada juga pengertian penasehat hukum yang dijelaskan para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.)    Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa penasihat hukum adalah orang yang diberi kuasa untuk memberikan bantuan hukum dalam hukum perdata maupun pidana kepada yang memerlukannya, baik berupa nasihat maupun bantuan aktif, baik didalam maupun diluar pengadilan dengan jalan mewakili, mendampingi atau membelanya.[14]
2.)    J.S.T Simorangkir,dkk., menjelaskan bahwa penasihat hukum adalah seorang yang bertindak dalam suatu perkara untuk kepentingan yang berperkara, dalam perkara perdata untuk penggugat atau tergugat dan dalam perkara pidana untuk terdakwa.
3.)    Sudarsono berpendapat bahwa penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
4.)    Martiman Prodjohamidjojo menjelaskan bahwa penasihat hukum adalah mereka yang pekerjaanya atau mereka yang karena profesinya memberikan jasa hukum, pelayanan hukum, bantuan hukum, serta nasihat hukum kepada pencari keadilan baik yang melalui pengadilan negri, pengadilan agama, atau panitia penyelesaian perburuhan maupun yang diluar pengadilan.[15]
Dari beberapa pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa penasihat hukum adalah orang yang dapat diberi kuasa untuk memberikan bantuan hukum, baik dalam perkara perdata, perkra pidana, maupun perkara tatausaha negara dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.[16]
5.      Tugas dan Kedudukan Pengacara/Penasehat Hukum dalam Perkara Pidana
Tugas pokok penasihat hukum (advokat dan pengacara praktik) adalah  untuk memberikan legal opinion, serta penasihat hukum dalam rangka menjauhkan klien dari konflik. sedangkan ketika beracara di pengadilan, penasihat hukum mengajukan atau membela kepentingan kliennya. Dalam beracara didepan pengadilan tugas pokok advokat adalah mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan klien yang dibelanya dalam perkara tersebut, sehingga dengan itu memungkinkan bagi hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. (Suhrawardi K. Lubis, 1994 : 2008)[17]
Jadi pada dasarnya tugas advokat adalah sama dengan hakim dan jaksa, yaitu menegakkan kebenaran, hukum dan keadilan. Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, seorang advokat, selain di luar pengadilan, akan berhadapan dengan tata cara dan tata tertib persidangan di muka pengadilan yang diatur dalam hukum acara. Karena profesinya berhubungan dengan hukum, maka eksistensi advokat harus mendapat tempat dalam undang-undang. Seperti UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[18]
Kedudukan advokat yaitu memberi nasihat, mendampingi, dan juga memberikan pembelaan kepada tersangka atau terdakwa. Advokat juga harus berpegang teguh kepada usaha untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian hukum yang berkeadilan. Advokat bersandar dan bertitik tolak kepada kepentingan terdakwa yang dibelanya, akan tetapi ia harus bertindak obyektif. Artinya seorang advokat harus berpandangan obyektif dari posisi yang subyektif. Dalam melakukan pembelaan dalam perkara pidana, bilamana kliennya terbukti bersalah, seorang advokat harus berani mengatakan bahwa ia bersalah, dan yang harus dlakukan oleh advokat adalah meminta keringanan pidana yang dijatuhkan. Bilamana ternyata kliennya terbukti tidak bersalah, maka seorang advokat harus meminta kliennya dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan. (Multazam Muntaha, 1995 : 21)[19]
6.      Surat kuasa
a.       Pengertian surat kuasa
Surat kuasa menurut pasal 1313 KUHPerdata, ialah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih”, sedangkan pasal 1792 KUHPerdata ialah “suatu perjanjian dimana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.[20]
b.      Cara, bentuk dan isi pemberi kuasa
Adapun cara dan bentuk pemberian kuasa, sebagaimana menurut diatur dalam KUHPerdata, sebagai berikut :
a.)    Menurut pasal 1793 yaitu “
1.      Kuasa dapat memberikan dan diterima dengan suatu akta umum atau akta resmi seperti akta notaris, akta yang dilegalisasi di kepaniteraaan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat; dan juga dapat diberikan dengan suatu surat dibawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.
2.      Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa atau surat kuasa terjadi dengan sendirinta tanpa ada persetujuan terlebih dahulu.
b.)    Pemberian kuasa dengan upah (honor)
Menurut pasal 1794 KUHPerdata, bahwa “pemberian kuasa terjadi dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh menrima upah yang lebih dari pada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali.
c.)    Pemberian kuasa khusus
Menurut pasal 1795 KUHPerdaya, bahwa “pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi sega;a kepentingan pemberi kuasa”
d.)   Kuasa umum
Menurut pasal 1796 KUHPerdata, bahwa “pemberian kuasa yang dirimusakan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Unutk memindah tangankan barang atau melettakan hipotek diatasnya, untuk membuat suatu perdamaian atau melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh sorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata tegas.
e.)    Hal yang dilarang dalam penerimaan kuasa
Menurut pasal 1797 KUHPerdata, bahwa “penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk mnyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandungkan hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
f.)     Menurut pasal 1798 KUHPerdata, bahwa “orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa retapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tunuttan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-periktan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan yang bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tidak berweang untuk mengadakan tuntutan hukum selainmenurut ketentuen-ketentuen bab V dan VII buku kesatu dari kitab undang-undang hukum perdata ini.
g.)    Menurut pasal 1799 KUHPerdata, bahwa “pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukanperbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.
Selain pemberian kuasa sebagaimana dimaksud diatas, maka terdapat pemberian kuasa yang lahir karena undang-undang, artinya untuk perbuatan tertentu tanpa dinyatakan sebagai suatu pemberian kuasa telah terjadi pemberian kuasa karena undang-undang telah menentukannya demikian. Jadi pemberian kuasa dapat dilihat dari orang tua atau wali yang mewakili anak yang newakili anak yang belum dewasa atau seorang direksi yang mewakili perseroannya.
Adapun bentuk-bentuk lain dari pemberian kuasa yang perlu diperhatikan antara lain:
a.)    Surat kuasa yang ditandatangani dengan cap jempol, maka tanda tangan tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, yaitu camat, bupati, walikota, dan notaris, oleh karena cap jempol tanpa dilegalisir dari pejabat yang berwenang bukan memrupakan tanda tangan.
b.)    Pemberian kuasa diluar negri, harus dilegalisir oleh kedutaan besar Indonesia diluar negri, jika tidak ada perwakilan atau kedutaan besar maka dilegalisir oleh kedutaan yang berwenang disana, kemudian kedepartemen kehhakiman dan kedepartemen luar negri negara yang bersangkutan (putusan MA, tanggal 14 April 1973 No. 208 K/Sip./1973)
c.)    Kuasa dengan lisan, diam-diam, dan melalui surat biasa, harus dinyatakan dmengan tegas dimuka pengadilan, jika diberikan kepada seorang pengacara untuk sesuatu keperluan dimuka persidangan.[21]
c.       Jenis-jenis surat kuasa
Adapun jenis-jenis surat kuasa sebagaimana menurut pasal 1795 KUHPerdata, yaitu :
a.)    Surat kuasa umum
1.      Surat kuasa yang meliputi segala kepentingan sipemberi kuasa, kecuali perbuatan pemilikan (pasal 1796 KUHPerdata)
2.      Surat kuasa yang secara tegas dapat dicabut kembali secara sepihak oleh pemberi kuasa dan hanya untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata.
b.)    Surat kuasa khusus
1.      Surat kuasa yang hanya meliputi satu kepentingan tertentu/lebih ( pasal 1796 KUHPerdata)
2.      Surat kuasa yang tidak dapat dicabut secara sepihak (pemberi dan penerima kuasa) dan untuk kepentingan pemberi kuasa dan penerima kuasa.[22]
d.      Bentuk-bentuk pemberian surat kuasa
Adapun bentuk-bentuk pemberian surat kuasa menurut pasal 1796 KUHPerdata, yaitu:
1.      Akta autentik
2.      Akta dibawah tangan
3.      Surat biasa
4.      Secara lisan
5.      Diam-diam[23]
e.       Berakhirnya surat kuasa
Untuk berakhirnya surat kuasa sebagaimana pasal 1813 KUHPerdata yaitu :
1.      Atas kehendak pemberi kuasa-menarik kembali kuasanya dari si kuasa (setelah ada persetujuan dari penerima kuasa secara tertulis) (pasal 1814-1816 KUHPerdata)
2.      Atas permintaan penerima kuasa-mengundurkan diri dari kuasa (apabila ada persetujuan dari pemberi kuasa) (pasal 1817-1818 KUHPerdata)
3.      Meninggalnya salah satu pihak pemberi kuasa atau penerima kuasa
4.      Dengan perkawinan antara penerima dan pmberi kuasa
5.      Persoalan yang dikuasakan telah diselesaikan
6.      Berada dibawah pengampuan (curatele) –penerima atau pemberi kuasa
7.      Dalam keadaan pailit-penerima atau pemberi kuasa
8.      Atas keputusan pengadilan (pasal 816 KUHPerdata)
III.             PENUTUP
A.    Simpulan
B.     Kritik dan saran



[1] Mashudi. Hukum Acara Peradilan Agama. (Semarang :UIN walisongo, 2015). Hal. 1
[2] Mashudi. Hukum Acara Peradilan Agama. (Semarang :UIN walisongo, 2015). Hal. 1
[4] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[5] Andi Sofyan, Abd Aziz. Hukum Acara Pidana. ( Jakarta : Kencana, 2014). Hal. 28-29.
[6] Andi Sofyan, Abd Aziz. Hukum Acara Pidana. ( Jakarta : Kencana, 2014). Hal. 30-37.
[7] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal. 1
[8] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal. 1
[9] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal. 2
[10] Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985). Hal. 88
[11] Frans Hendra Winarta. Advokat Indonesia, citra, idealism, dan keprihatinan. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995). Hal. 66
[12] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.3
[13] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.3
[14] Sudikno Mertokusumo. Bunga Rampai Ilmu Hukum. (Yogyakarta : Liberty, 1984). Hal. 66
[15] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.3-4
[16] Ishaq. Pendidikan Keadvokatan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2012). Hal.4
[18] https://www.facebook.com/profile.php?id=100008411982295 diakses pada hari sabtu 26 September 2015 pukul 15.14
[20] Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta : Kencana, 2014). Hal. 371
[21] Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta : Kencana, 2014). Hal.371-374
[22] Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta : Kencana, 2014). Hal. 374
[23] Andi Sofyan, Abd Asis. Hukum Acara Pidana suatu pengantar. (Jakarta : Kencana, 2014). Hal. 374

Tidak ada komentar:

Posting Komentar