Rabu, 25 November 2015

INTERELASI NILAI ISLAM DALAM PEWAYANGAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sejarah merupakan sebuah miniatur laboratorium kehidupan yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam kehidupan umat terdahulu. Sejarah merupakan sesuatu yang sangatlah unik karena semuanya merupakan potret kehidupan pada zaman dahulu. Sebagai warga Negara Indonesia terlebih lagi orang asli jawa, seharusnya kita tahu sejarah dari umat-umat terdahulu yakni umat jawa. Yang mana darinya kita bisa mengambil banyak hal. Kita bisa flashback terhadap kehidupan terdahulu, artinya  kita bisa merevitalisasi nilai-nilai tradisi yang pernah ada dan mewarnai tanah jawa termasuk di dalamnya budaya jawa dan islam.
Sejarah Islam di jawa telah berjalan cukup lama sehingga banyak hal yang menarik untuk dicermati. Di antaranya terjadinya dialog budaya antar budaya asli jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk ke dalam budaya jawa. Proses tersebut memunculkan banyak varian dialekta, sekaligus membuktikan elastisitas budaya jawa.[1]
Jika kita berbicara mengenai masalah khazanah budaya jawa, maka tidaklah ada henti-hentinya karena budaya jawa sangatlah kaya sekali. Mulai dari budaya jawa yang asli, sampai pada budaya yang sudah terakulturasi budaya lain. Dan tak terelakkan lagi pastinya ada interelasi budaya jawa. Interelasi budaya jawa terjadi pada berbagai macam aspek, mulai dari aspek kesenian, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Jika kita melihat dari aspek kesenian, ada banyak sekali kesenian-kesenian jawa yang mana teriterelasi misalnya seni pewayangan. Kesenian ini merupakan icon Negara Indonesia. Dan sudah menjadi rahasia public bahwa kesenian pewayangan asli dari Indonesia dan sudah tercatat dalam PBB menjadi warisan dunia. Kesenian ini merupakan kesenian yang sangatlah unic karena dalam kesenian ini mementaskan kehidupan dari tokoh yang dipentaskan dalam lakon pewayangan. Dan memiliki arti filosofois tersendiri. Oleh karena itu, dari latar belakang di atas, sekiranya penulis akan memaparkan sedikit kajian tentang kesenian pewayangan.

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlulah kiranya penulis memaparkan lebih lanjut tentang “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Kesenian Pewayangan” dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana penjelasan mengenai Kesenian Tradisi Jawa?
2.      Bagaimana pengertian mengenai wayang?
3.      Bagaimana sejarah kesenian wayang?
4.      Apa saja jenis-Jenis wayang?
5.      Bagaimana perpaduan antara seni Islam dan Jawa dalam pewayangan?

C.      Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ini, yaitu untuk mengetahui :
1.      Kesenian Tradisi Jawa.
2.      Pengertian Wayang.
3.      Sejarah kesenian wayang
4.      Jenis-jenis wayang
5.      Paduan seni Islam dan jawa dalam pewayangan.






BAB II
PEMBAHASAN
A.     Kesenian Tradisi Jawa
Kesenian menurut kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata “Seni” kata sifat yang memiliki arti keindahan. Adapun makna yang lain yakni keahlian membuat karya yang bermutu, karya yang diciptakan dengan keahlian dan perasaan yang luar biasa. Sedangkan kata “tradisi” berarti kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang di jalankan oleh masyarakat.[2] Jadi yang dimaksud dengan “Kesenian Tradisi Jawa” ialah karya indah yang dihasilkan oleh sebuah keahlian dan perasaan luar biasa dari nenek moyang masyarakat jawa, mengakar di hari dan terus di budi dayakan oleh masyarakat jawa.
Selain itu menurut sudharto, seni merupakan hasil budaya manusia tidaklah sekedar mempunyai nilai keindahan , tetapi juga mengandung makna simbolis. Hal yang demikian itu tidaklah semata-mata belaku pada msyarakat yang tingkat budayanya masih rendah, tetapi juga pada masyarakat yang budayanya sudah maju. Corak seni mempunyai makna simbolis tersebut dapat disaksikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang mempunyai berbagai macam seni daerah, antara lain seni wayang.[3]
Hasil seni nenek moyang masyarakat jawa sangatlah banyak. Diantaranya ialah wayang, gamelan, tembang, ukir, batik[4], tarian, rumah adat, pakaian adat[5] dan lain sebagainya. Adapun wayang, seni yang memiliki fungsi sebagai tontonan, hiburan bahkan tuntunan masyarakat karena etos jawa maupun pandangan hidup masyarakat jawa tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang. Untuk memahami budaya jawa harus memahami wayang. Bagi masyarakat jawa wayang tidak hanya sekedar sarana hiburan, tetapi juga sebagai media pendidikan maupun dakwah.[6]
B.      Pengertian  Wayang
Wayang merupakan salah satu kesenian asli Indonesia yang mana sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan peradaban dunia. Sebelum menelisik lebih lanjut mengenai wayang, maka perlulah kiranya kita tahu definisi dari wayang.
Arti harfiyah dari wayang adalah bayangan. Sedangkan menurut istilah adalah boneka tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh dalang.[7]
Akan tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang ini berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris.  Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dari sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang itu dikenal sebagai dalang. Yang mana perananya dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa atau wayang parwa (wayang Ramayana) di Bali dan wayang banjar di Kalimantan Selatan.[8]
Wayang bukan sekedar suatu seni yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan saja, melainkan juga mempunyai makna sebagai simbol perilaku kehidupan manusia. Dalam hal ini wayang dapat dijadikan tauladan bagi manusia karena dalam cerita pewayangan ada pergulatan antara yang benar dan salah yang mana  akan diakhiri dengan pihak yang benar.[9]

C.      Sejarah Pewayangan
Dalam kesusastraan jawa kuno disebut, bahwa pertunjukan wayang purwa dikenal menjelang pertengahan abad ke-sebelas; menurut Dr. Brandes sejak tahun kurang lebih 700 saka (kurang lebih 784 M) melihat istilah-istilah teknis pewayangan yang terlalu kuno dan sukar sekali untuk dicari keterangan-keterangan artinya Dr.G.A.J. Hazeu (tesis tahun 1897) menyimpulkan bahwa wayang dipulau jawa ialah ciptaan bangsa jawa sendiri.
 Semula teknis dalam pewayangan ialah jawa asli, tidak mungkin dipungut dari bangsa hindu, malahan wayang hindu mungkin tiruan wayang jawa dan mungkin sama halnya dengan wayang siyam. Kemungkinan dari cina tidak dapat diterima, karena sekalipun tonil bayang-bayang terdapat dicina, tetapi tidak pernah populer dikalangan rakyat. (teori Dr.Gosling disimpulkan dari kemiripan besar perkataan jawa (ringgit), yaitu bahasa krama daripada wayang dengan perkataan cina Ying Yi atau Ying Gih yang berarti pertunjukan wayang). Lagi pula bentuk-bentuk wayang china dan Indonesia berbeda sekali, bentuk Indonesia ekspresif simbolis, sedang wayang china naturalistis. Tak berbeda di india dan yunani, tonil (dijawa tonil wayang) lahirnya dari upacara istiadat keagamaan dalam memuja dewa-dewa atau nenek moyang yang telah meninggal yang diperankan sebagai dewa.
Bekas-bekasnya masih dapat dilihat pada pertunjukkan wayang antara lain: dengan diadakannya sajen, dan pembakaran dupa sebelum pertunjukan dimulai, sering pertunjukkan wayang, yang diadakan untuk menolak mala petaka atau penyakit dan lain-lain. Pada mulanya dimaksudkan untuk memanggil (baying-bayang) nenek moyang, tetapi upacara keagamaan ini lambat laun menjadi kabur sehingga menjadi pertunjukkan, yang berupa hiburan rakyat. Cerita pertunjukan wayang disebut lakon, (jawa, pangkal kata: laku = jalan, perjalanan, tindakan, lakon = serentetan tindakan/ kejadian segala sesuatu yang dijadikan). Uger-uger pendalangan  memuat peraturan-peraturan, pedoman-pedoman bagi penyusunan lakon. Bagian-bagian lakon memiliki nama-nama teknis yang tetap misalnya: janturan/ ialah uraian dalam tentang keadaan-keadaan dalam cerita itu, suluk, pecapan (percakapan), penantang (tantangan), prenesian (percakapan dalam kasmaran, banyolan perlawakan).
Keyakinan bahwa wayang berasal dari jawa sendiri juga dikemukakan oleh sri mulyono. Ia juga menganalisis dari segi bahasa yang tampaknya istilah-istilah teknis dalam pewayangan, alat-alat yang digunakan dalam pertunjukkan, ternyata dari dulu hingga sekarang masih tetap sama. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa wayang kulit berasala yang diciptakan bangsa Indonesia di jawa.[10]
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar hal ini termasuk kegiatan animisme di tahun (898 – 910) M.
Wayang sudah menjadi “wayang purwa amun” yakni ditujukan untuk menyembah para sanghyang. Seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung Sigaligi Mawayang Buat Hyang, Macarita Bhima Ya Kumara. Terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara
Di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa, dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna. Lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh Mpu Kanwa di masa raja Erlangga sampai di jaman kerajaan Kediri dan raja Jayabaya. Mpu Sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu menyusun serat hariwangsa  dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang Jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali). Di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian. Masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa. Kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat naik-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang pada saat itu dewa ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’. Abad dua belas sampai abad lima belas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad lima belas. Globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa  dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ).
Ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam, maka Raden Patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong. Wayang beber karya Prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu.
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disamping itu, Sunan Bonang menyusun struktur dramatika-nya. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita.
Raden Patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan Sunan Kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha. Pada masa Sultan Trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan  (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan Ratu Tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan.
Selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata. Sunan Bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru  wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain. Di jaman ini pula lah Sunan Kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu. sedang Sunan Kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin. Di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus. Sultan Agung Anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
Cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan  sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak.Dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’  berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang.
Dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan. Begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan  oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan.

D.     Jenis-Jenis Wayang
Seperti yang sudah kita ketahui bahwasanya wayang merupakan seni rupa yang sangatlah terkenal di Negara Indonesia. Di antaranya yaitu, wayang Bali, wayang sasak, wayang Jawa (Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Cirebon), dan wayang Betawi. Ada beberapa jenis wayang yang sangat terkenal di Indonesia  yaitu wayang beber, wayang kulit, dan wayang golek. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, bentuk wayang sangatlah realistik, samadengan bentuk-bentuk wayang yang digambarkan pada relief-relief bentuk candi di Jawa Timur seperti Candi Jago, Candi Surowono, Candi Panataran.
Semula wayang digunakan pada lingkungan Hindu untuk memberikan ajaran-ajaran kepada masyarakat lewat cerita-cerita yang berasal Ramayana, dan Mahabarata. Di masa Islam wayang berubah nebtuk menjadi lebih dekoratif dan digunakan untuk penyebaran agama Islam. Dewasa ini, wayang beber tidaklah populer lagi tinggal wayang kulit dan wayang golek. Dapat dikatakan bahwa wayang kulit lebih populer dari pada wayang golek. Wayang golek lebih terkenal di Jawa Barat. Akan tetapi wayang kulit lenih terkenal di daerah Jawa Tengah. 
·         Wayang Beber
Wayang beber merupakan wayang yang digambar dalam bentuk sekuens pada gulungan yang dibuat dari kertas kulit kayu atau dlancang. Sedangkan menurut KBBI, wayang beber adalah wayang yang berupa lukisan dibuat pada kertas gulung dan berisiskan cerita inti dari lakon yang akan dikisahkan oleh dalang.[11] Wayang ini digunakan sejak tahun 907 M dalam upacara pemujaan nenek moyang. Dari sekian wayang beber hanya ada dua yang masih tersisa dan disimpan di dalam desa Gedompol, Jawa Timur.
·         Wayang Kulit
Wayang ini ada setelah adanya wayang beber. Wayang ini, pertama kali muncul di daerah Demak Jawa Tengah. Yang mana wayang ini dibentuk untuk kepentingan penyebaran ajaran-ajaran Islam. Para wali kemudian memasyarakatkan wayang kulit ini. Hal ini menyebabakan popularitas dari wayang beber menjadi luntur dengan sendirinya. Wayang kulit sangatlah menarik bukan hanya karena bentuk-bentuknya akan tetapi karena cerita-cerita dan filsafat yang melatar belaknginya.
Cerita dalam wayang kulit berasal dari Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari kebudayaan Hindu di India, Meskipun dalam pertunjukannya wayang kulit bercerita tentang kebudayaan Hindu, wayang kulit digunakan sebagai sarana dakwah oleh para wali. Perlu diketahui bahwa tidak semua tokoh dalam wayang kulit bersumber dari kitab. Akan tetapi ada tokoh-tokoh punakawan yang mana diciptakan di Indonesia. Seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Gareng.
·         Wayang Golek
Wayang ini, diciptakan olehsalah satu waliyullah yaitu Sunan Kudus di JawaTengah pada tahun 1583. Dimasa lalu, wayang golek dimainkan setelah memainkan wayang kulit. Dalam bahasa Jawa “golek” berarti mencari. Dengan demikian dalam wayang golek, para penonton dapat  mengambil intisari dari nasihat yang disertakan dalam pertunjukan wayang tersebut. [12]


E.      Perpaduan Seni Islam dan Jawa dalam Pewayangan
Dalam kesenian pewayangan, memiliki makna filosofis yang melatar belakangi pementasan wayang. Makna filosofis akan bisa diambil contoh atau suri tauladan bagi orang yang menontonnya. Filsafat menurut anggapan orang jawa adalah usaha manusia untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan menggunakan rasio dan indera batin (jiwa, cipta, dan rasa). Dengan kata lain berfilsafat berarti cinta kesempurnaan (ngudi kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, loveof wisdom. Orang barat menginterpresentasikan sebuah pertunjukan wayang kulit sebagai shadow play (permainan bayang-bayang).
Wayang memiliki arti jauh lebih mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta wewayanganing urip. Wayang memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam wayang tersimpan nilai-nilai pandangan hidup masyrakat jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan kesulitannya.   
Makna simbolis dari pertunjukan wayang kulit mengandung arti filosofi, yakni layar yang diterangi adalah dunia yang nyata dan wayangannya menggambarkan bermacam-macam ciptaanTuhan. Gedebok batang pisang yang dipergunakan untuk menyangga wayang dengan menancapkan cempurit wayang ke dalamnya menggambarkan permukaan dunia. Blencong atau lampu yang dipasang di atas dalang adalah lambing keserasian (harmoni) kegiatan duniawi.[13]
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal karena kesaktian dan kecerdasannya. Beliau merupakan seorang politikus handal, budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat. Cara beliau berdakwah dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain. Ia dengan berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat misalnya wayang, gamelan, tembang, ukir dan batik.
Sunan kalijaga terkenal pandai mendalang sehingga beliau pun terkenal dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Beliau mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit dengan upah berupa Jimat Kalimasada atau dua kalimat syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang biasanya untu meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan asal yang memanggil mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam.
Ketika mendalang itulah sunan kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah ramayana dan mahabarata yang bernuansa hindu, melainkan mengubah beberapa lakon wayang untuk keperluan dakwah Islam. Tokoh-tokohnya yakni:
1.      Semar dari kata bahasa arab Simaar atau Ismarun yang artinya paku. Sedangkan paku sendiri memiliki fungsi untuk menancapkan suatu barang agar tegak, kuat tidak goyah. Adapun  maksudnya yakni ibadah harus didasari keyakinan yang kuat agar ajaran tertancap sampai mengakar.
2.      Anak Semar, nala gareng. Berasal dari kata nala qarin artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini serupa dengan tujuan dakwah yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat dan mengajak mereka menyembah Allah SWT.
3.      Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek atau nahi munkar.
4.      Bagong berasal dari kata bagha yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah.
Kisah-kisah ciptaan sunan Kali Jaga ini diantaranya jimat kalomasada, Dewa rinci dan Petruk Dadi Ratu. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran sunan kali jaga adalah wayang beber. Yakni berupa kain berkisah pewayangan. Sunan kali jaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber menjadi terpisah. Tiap tokoh dipisah satu persatu dan diberi tangan yang bisa digerakkan.[14] 


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.      Kesenian Tradisi Jawa  ialah karya indah yang dihasilkan oleh sebuah keahlian dan perasaan luar biasa dari nenek moyang masyarakat jawa, mengakar di hari dan terus di budi dayakan oleh masyarakat jawa.
2.      Hasil seni nenek moyang masyarakat jawa sangatlah banyak. Diantaranya ialah wayang, gamelan, tembang, ukir, batik, tarian, rumah adat, pakaian adat dan lain sebagainya.
3.      Arti harfiyah dari wayang adalah bayangan. Sedangkan menurut istilah adalah boneka tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh dalang.
4.       Wayang berasal dari jawa hal ini terbuktikan dari segi bahasa yang tampaknya istilah-istilah teknis dalam pewayangan, alat-alat yang digunakan dalam pertunjukkan, ternyata dari dulu hingga sekarang masih tetap sama. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa wayang kulit berasala yang diciptakan bangsa Indonesia di jawa.
5.      Di Negara Indonesia, memiliki berbagai macam jenis wayang di antaranya yaitu:
·         Wayang beber
·         Wayang kulit
·         Wayang purwa
6.      Dalam kesenian pewayangan, memiliki makna filosofis yang melatar belakangi pementasan wayang. Makna filosofis akan bisa diambil contoh atau suri tauladan bagi orang yang menontonnya.
7.      Sunan Kali Jaga menggunakan kesenian pewayangan dalam mensyiarkan ajaran-ajaran Islam. Beliau memasukkan unsur keislaman ke dalam seni pewayangan.

B.      Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Kami sadar bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu sudilah kiranya Ibu dosen dan teman semua memberi saran yang kontrukif untuk makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.









[1] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. v
[2] Windi novia dan Umi Chulsum, Kamus Besar Bahasa Indonesi , (Surabaya:  Kashiko 2006), hlm. 613
[3] Ridin Sofwan, daroini amin,  dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media 2004), hlm. 79
[4] Irwan Suhada, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm.149
[6] M. Daroini Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media 2000), hlm. 171-172
[7] Heppy, El Rais, Kamus Ilmiah populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 736
[8] Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaaan Indonesia dan Pancasila, (Jakarta: UI Press, 1928), hlm. 11
[9] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, hlm. 79
[10]Musahadi, dkk,  Membangun Negara Bermoral, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2004), hlm. 41
[11] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembimbingan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,       (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 1127
[12] Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta:Raja Wali Pers, 2009), hlm.68
[13] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa,hlm,80
[14] Irwan Suhada, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual,( Jakarta: Kompas, 2006), hlm.149-151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar