BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejarah merupakan sebuah miniatur laboratorium
kehidupan yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam kehidupan umat
terdahulu. Sejarah merupakan sesuatu yang sangatlah unik karena semuanya
merupakan potret kehidupan pada zaman dahulu. Sebagai warga Negara Indonesia
terlebih lagi orang asli jawa, seharusnya kita tahu sejarah dari umat-umat
terdahulu yakni umat jawa. Yang mana darinya kita bisa mengambil banyak hal.
Kita bisa flashback terhadap kehidupan terdahulu, artinya kita bisa merevitalisasi nilai-nilai tradisi
yang pernah ada dan mewarnai tanah jawa termasuk di dalamnya budaya jawa dan
islam.
Sejarah Islam di jawa telah berjalan
cukup lama sehingga banyak hal yang menarik untuk dicermati. Di antaranya terjadinya
dialog budaya antar budaya asli jawa dengan berbagai nilai yang datang dan
merasuk ke dalam budaya jawa. Proses tersebut memunculkan banyak varian
dialekta, sekaligus membuktikan elastisitas budaya jawa.[1]
Jika kita berbicara mengenai masalah khazanah
budaya jawa, maka tidaklah ada henti-hentinya karena budaya jawa sangatlah kaya
sekali. Mulai dari budaya jawa yang asli, sampai pada budaya yang sudah
terakulturasi budaya lain. Dan tak terelakkan lagi pastinya ada interelasi
budaya jawa. Interelasi budaya jawa terjadi pada berbagai macam aspek, mulai
dari aspek kesenian, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Jika kita melihat dari aspek
kesenian, ada banyak sekali kesenian-kesenian jawa yang mana teriterelasi
misalnya seni pewayangan. Kesenian ini merupakan icon Negara Indonesia.
Dan sudah menjadi rahasia public bahwa kesenian pewayangan asli dari
Indonesia dan sudah tercatat dalam PBB menjadi warisan dunia. Kesenian ini
merupakan kesenian yang sangatlah unic karena dalam kesenian ini
mementaskan kehidupan dari tokoh yang dipentaskan dalam lakon pewayangan. Dan
memiliki arti filosofois tersendiri. Oleh karena itu, dari latar belakang di
atas, sekiranya penulis akan memaparkan sedikit kajian tentang kesenian
pewayangan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
perlulah kiranya penulis memaparkan lebih lanjut tentang “Interelasi Nilai Jawa
dan Islam dalam Kesenian Pewayangan” dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
penjelasan mengenai Kesenian Tradisi Jawa?
2. Bagaimana pengertian
mengenai wayang?
3. Bagaimana sejarah
kesenian wayang?
4. Apa saja
jenis-Jenis wayang?
5. Bagaimana perpaduan
antara seni Islam dan Jawa dalam pewayangan?
C. Tujuan
Pembahasan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas ada beberapa tujuan yang
ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ini, yaitu untuk mengetahui :
1. Kesenian Tradisi Jawa.
2. Pengertian Wayang.
3. Sejarah kesenian wayang
4. Jenis-jenis wayang
5. Paduan seni Islam dan jawa dalam pewayangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesenian
Tradisi Jawa
Kesenian
menurut kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata “Seni” kata sifat yang
memiliki arti keindahan. Adapun makna yang lain yakni keahlian membuat karya
yang bermutu, karya yang diciptakan dengan keahlian dan perasaan yang luar
biasa. Sedangkan kata “tradisi” berarti kebiasaan yang diturunkan dari nenek
moyang yang di jalankan oleh masyarakat.[2]
Jadi yang dimaksud dengan “Kesenian Tradisi Jawa” ialah karya indah yang
dihasilkan oleh sebuah keahlian dan perasaan luar biasa dari nenek moyang
masyarakat jawa, mengakar di hari dan terus di budi dayakan oleh masyarakat
jawa.
Selain
itu menurut sudharto, seni merupakan hasil budaya manusia tidaklah sekedar
mempunyai nilai keindahan , tetapi juga mengandung makna simbolis. Hal yang
demikian itu tidaklah semata-mata belaku pada msyarakat yang tingkat budayanya
masih rendah, tetapi juga pada masyarakat yang budayanya sudah maju. Corak seni
mempunyai makna simbolis tersebut dapat disaksikan di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang mempunyai berbagai macam seni daerah, antara lain seni wayang.[3]
Hasil
seni nenek moyang masyarakat jawa sangatlah banyak. Diantaranya ialah wayang,
gamelan, tembang, ukir, batik[4],
tarian, rumah adat, pakaian adat[5]
dan lain sebagainya. Adapun wayang, seni yang memiliki fungsi sebagai tontonan,
hiburan bahkan tuntunan masyarakat karena etos jawa maupun pandangan hidup
masyarakat jawa tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang. Untuk memahami
budaya jawa harus memahami wayang. Bagi masyarakat jawa wayang tidak hanya
sekedar sarana hiburan, tetapi juga sebagai media pendidikan maupun dakwah.[6]
B. Pengertian Wayang
Wayang merupakan salah satu kesenian
asli Indonesia yang mana sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan peradaban
dunia. Sebelum menelisik lebih lanjut mengenai wayang, maka perlulah kiranya
kita tahu definisi dari wayang.
Arti harfiyah dari wayang adalah
bayangan. Sedangkan menurut istilah adalah boneka tiruan orang dan sebagainya
yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk
memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda) dan
biasanya dimainkan oleh dalang.[7]
Akan tetapi dalam perjalanan waktu
pengertian wayang ini berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan
panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti
pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dari
sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara
dalam pertunjukan wayang itu dikenal sebagai dalang. Yang mana perananya
dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa atau wayang
parwa (wayang Ramayana) di Bali dan wayang banjar di Kalimantan Selatan.[8]
Wayang bukan sekedar suatu seni yang
berfungsi sebagai hiburan dan tontonan saja, melainkan juga mempunyai makna
sebagai simbol perilaku kehidupan manusia. Dalam hal ini wayang dapat dijadikan
tauladan bagi manusia karena dalam cerita pewayangan ada pergulatan antara yang
benar dan salah yang mana akan diakhiri dengan
pihak yang benar.[9]
C.
Sejarah Pewayangan
Dalam kesusastraan jawa kuno disebut,
bahwa pertunjukan wayang purwa dikenal menjelang pertengahan abad ke-sebelas;
menurut Dr. Brandes sejak tahun kurang lebih 700 saka (kurang lebih 784 M)
melihat istilah-istilah teknis pewayangan yang terlalu kuno dan sukar sekali
untuk dicari keterangan-keterangan artinya Dr.G.A.J. Hazeu (tesis tahun 1897)
menyimpulkan bahwa wayang dipulau jawa ialah ciptaan bangsa jawa sendiri.
Semula teknis dalam pewayangan ialah jawa
asli, tidak mungkin dipungut dari bangsa hindu, malahan wayang hindu mungkin
tiruan wayang jawa dan mungkin sama halnya dengan wayang siyam. Kemungkinan
dari cina tidak dapat diterima, karena sekalipun tonil bayang-bayang terdapat
dicina, tetapi tidak pernah populer dikalangan rakyat. (teori Dr.Gosling
disimpulkan dari kemiripan besar perkataan jawa (ringgit), yaitu bahasa krama
daripada wayang dengan perkataan cina Ying Yi atau Ying Gih yang berarti
pertunjukan wayang). Lagi pula bentuk-bentuk wayang china dan Indonesia berbeda
sekali, bentuk Indonesia ekspresif simbolis, sedang wayang china naturalistis.
Tak berbeda di india dan yunani, tonil (dijawa tonil wayang) lahirnya dari
upacara istiadat keagamaan dalam memuja dewa-dewa atau nenek moyang yang telah
meninggal yang diperankan sebagai dewa.
Bekas-bekasnya masih dapat dilihat
pada pertunjukkan wayang antara lain: dengan diadakannya sajen, dan pembakaran
dupa sebelum pertunjukan dimulai, sering pertunjukkan wayang, yang diadakan
untuk menolak mala petaka atau penyakit dan lain-lain. Pada mulanya dimaksudkan
untuk memanggil (baying-bayang) nenek moyang, tetapi upacara keagamaan ini
lambat laun menjadi kabur sehingga menjadi pertunjukkan, yang berupa hiburan
rakyat. Cerita pertunjukan wayang disebut lakon, (jawa, pangkal kata: laku =
jalan, perjalanan, tindakan, lakon = serentetan tindakan/ kejadian segala
sesuatu yang dijadikan). Uger-uger pendalangan memuat peraturan-peraturan, pedoman-pedoman
bagi penyusunan lakon. Bagian-bagian lakon memiliki nama-nama teknis yang tetap
misalnya: janturan/ ialah uraian dalam tentang keadaan-keadaan dalam cerita
itu, suluk, pecapan (percakapan), penantang (tantangan), prenesian
(percakapan dalam kasmaran, banyolan perlawakan).
Keyakinan bahwa wayang berasal dari jawa sendiri juga
dikemukakan oleh sri mulyono. Ia juga menganalisis dari segi bahasa yang
tampaknya istilah-istilah teknis dalam pewayangan, alat-alat yang digunakan
dalam pertunjukkan, ternyata dari dulu hingga sekarang masih tetap sama. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa wayang kulit berasala yang diciptakan bangsa
Indonesia di jawa.[10]
Wayang berasal dari kata wayangan
yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa
tergambar jelas dalam batin si penggambar hal ini termasuk kegiatan animisme di tahun (898 – 910) M.
Wayang sudah menjadi “wayang
purwa amun” yakni ditujukan untuk menyembah para sanghyang. Seperti yang
tertulis dalam prasasti Balitung Sigaligi Mawayang Buat Hyang, Macarita Bhima Ya
Kumara. Terjemahan kasaran-nya kira-kira
begini :
“menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang
kumara”
Di jaman mataram hindu ini,
ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa
raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan
belas parwa, dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna. Lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh Mpu Kanwa di masa
raja Erlangga sampai di jaman kerajaan Kediri dan raja Jayabaya. Mpu Sedah mulai
menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Tak puas
dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian
serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang Jayabaya lah yang
memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai,
disatukan dengan tali). Di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi
dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian. Masa-masa awal abad
sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa. Kepercayaan
animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat naik-nya pamor
tokoh ‘dewa’ yang pada saat itu dewa ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’. Abad
dua belas sampai abad lima belas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu
dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai
keturunan langsung para dewa abad lima belas. Globalisasi jawa tahap dua kini
pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad
keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ).
Ternyata banyak kaidah wayang
yang berbenturan dengan ajaran islam, maka Raden Patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera
dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong. Wayang
beber karya Prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit
kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu.
Gambar dibuat menyamping, tangan
dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disamping itu, Sunan
Bonang menyusun struktur dramatika-nya. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa
dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita.
Raden Patah menambahkan tokoh
gajah dan wayang prampogan. Sunan Kalijaga mengubah
sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong,
kotak wayang, dan gunungan Sunan Kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih
tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha. Pada masa Sultan
Trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai
ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan Ratu
Tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata
liyepan dan thelengan.
Selain wayang purwa sang ratu
juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton
saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata. Sunan Bonang menyusun wayang
damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog
dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan)
bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai
mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai
ditambahkan celana dan kain. Di jaman ini pula lah Sunan Kudus memperkenalkan
wayang golek dari kayu. sedang Sunan Kalijaga menyusun wayang topeng dari
kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai
memasyarakat di luar keratin. Di masa mataram islam wayang semakin berkembang
panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan
rambut wayang ditatah semakin halus. Sultan
Agung Anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan
pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’
dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
Cakil, tokoh raksasa bertubuh
ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma,
pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak.Dan pada
beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai
dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji
seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’
berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman
mataram islam sampai jaman sekarang.
Dengan munculnya ide-ide
‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam
tata panggung maupun perangkat gamelan. Begitu
pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden,
maupun para juru karawitan.
D. Jenis-Jenis
Wayang
Seperti yang sudah kita ketahui
bahwasanya wayang merupakan seni rupa yang sangatlah terkenal di Negara
Indonesia. Di antaranya yaitu, wayang Bali, wayang sasak, wayang Jawa
(Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Cirebon), dan wayang Betawi. Ada beberapa jenis
wayang yang sangat terkenal di Indonesia
yaitu wayang beber, wayang kulit, dan wayang golek. Sebelum Islam masuk
ke Indonesia, bentuk wayang sangatlah realistik, samadengan bentuk-bentuk
wayang yang digambarkan pada relief-relief bentuk candi di Jawa Timur seperti
Candi Jago, Candi Surowono, Candi Panataran.
Semula wayang digunakan pada
lingkungan Hindu untuk memberikan ajaran-ajaran kepada masyarakat lewat
cerita-cerita yang berasal Ramayana, dan Mahabarata. Di masa
Islam wayang berubah nebtuk menjadi lebih dekoratif dan digunakan untuk
penyebaran agama Islam. Dewasa ini, wayang beber tidaklah populer lagi tinggal
wayang kulit dan wayang golek. Dapat dikatakan bahwa wayang kulit lebih populer
dari pada wayang golek. Wayang golek lebih terkenal di Jawa Barat. Akan tetapi
wayang kulit lenih terkenal di daerah Jawa Tengah.
·
Wayang Beber
Wayang beber merupakan wayang yang
digambar dalam bentuk sekuens pada gulungan yang dibuat dari kertas kulit kayu
atau dlancang. Sedangkan menurut KBBI, wayang beber adalah wayang yang
berupa lukisan dibuat pada kertas gulung dan berisiskan cerita inti dari lakon
yang akan dikisahkan oleh dalang.[11]
Wayang ini digunakan sejak tahun 907 M dalam upacara pemujaan nenek moyang. Dari
sekian wayang beber hanya ada dua yang masih tersisa dan disimpan di dalam desa
Gedompol, Jawa Timur.
·
Wayang Kulit
Wayang ini ada setelah adanya wayang
beber. Wayang ini, pertama kali muncul di daerah Demak Jawa Tengah. Yang mana
wayang ini dibentuk untuk kepentingan penyebaran ajaran-ajaran Islam. Para wali
kemudian memasyarakatkan wayang kulit ini. Hal ini menyebabakan popularitas
dari wayang beber menjadi luntur dengan sendirinya. Wayang kulit sangatlah
menarik bukan hanya karena bentuk-bentuknya akan tetapi karena cerita-cerita
dan filsafat yang melatar belaknginya.
Cerita dalam wayang kulit berasal
dari Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari kebudayaan Hindu di
India, Meskipun dalam pertunjukannya wayang kulit bercerita tentang kebudayaan
Hindu, wayang kulit digunakan sebagai sarana dakwah oleh para wali. Perlu
diketahui bahwa tidak semua tokoh dalam wayang kulit bersumber dari kitab. Akan
tetapi ada tokoh-tokoh punakawan yang mana diciptakan di Indonesia. Seperti
Semar, Gareng, Petruk, dan Gareng.
·
Wayang Golek
Wayang ini, diciptakan olehsalah satu
waliyullah yaitu Sunan Kudus di JawaTengah pada tahun 1583. Dimasa lalu,
wayang golek dimainkan setelah memainkan wayang kulit. Dalam bahasa Jawa
“golek” berarti mencari. Dengan demikian dalam wayang golek, para penonton
dapat mengambil intisari dari nasihat
yang disertakan dalam pertunjukan wayang tersebut. [12]
E. Perpaduan
Seni Islam dan Jawa dalam Pewayangan
Dalam kesenian pewayangan, memiliki
makna filosofis yang melatar belakangi pementasan wayang. Makna filosofis
akan bisa diambil contoh atau suri tauladan bagi orang yang menontonnya. Filsafat
menurut anggapan orang jawa adalah usaha manusia untuk memperoleh pengertian
dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan menggunakan rasio dan indera
batin (jiwa, cipta, dan rasa). Dengan kata lain berfilsafat berarti cinta
kesempurnaan (ngudi kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, loveof
wisdom. Orang barat
menginterpresentasikan sebuah pertunjukan wayang kulit sebagai shadow play (permainan
bayang-bayang).
Wayang memiliki arti jauh lebih
mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta wewayanganing urip. Wayang
memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam
wayang tersimpan nilai-nilai pandangan hidup masyrakat jawa dalam menghadapi
dan mengatasi segala tantangan dan kesulitannya.
Makna simbolis dari pertunjukan
wayang kulit mengandung arti filosofi, yakni layar yang diterangi adalah dunia
yang nyata dan wayangannya menggambarkan bermacam-macam ciptaanTuhan. Gedebok
batang pisang yang dipergunakan untuk menyangga wayang dengan menancapkan cempurit
wayang ke dalamnya menggambarkan permukaan dunia. Blencong atau
lampu yang dipasang di atas dalang adalah lambing keserasian (harmoni) kegiatan
duniawi.[13]
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali
yang sangat terkenal karena kesaktian dan kecerdasannya. Beliau merupakan
seorang politikus handal, budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat.
Cara beliau berdakwah dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain. Ia
dengan berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat
misalnya wayang, gamelan, tembang, ukir dan batik.
Sunan kalijaga terkenal pandai
mendalang sehingga beliau pun terkenal dengan nama Ki Dalang Sida Brangti.
Beliau mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit
dengan upah berupa Jimat Kalimasada atau dua kalimat syahadat. Beliau mau
memainkan lakon wayang yang biasanya untu meramaikan suatu pesta
peringatan-peringatan asal yang memanggil mau bersyahadat sebagai kesaksian
bahwa ia rela masuk Islam.
Ketika mendalang itulah sunan
kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Lakon yang dimainkan tak lagi
bersumber dari kisah ramayana dan mahabarata yang bernuansa hindu, melainkan
mengubah beberapa lakon wayang untuk keperluan dakwah Islam. Tokoh-tokohnya
yakni:
1.
Semar dari kata bahasa arab Simaar atau Ismarun
yang artinya paku. Sedangkan paku sendiri memiliki fungsi untuk menancapkan
suatu barang agar tegak, kuat tidak goyah. Adapun maksudnya yakni ibadah harus didasari
keyakinan yang kuat agar ajaran tertancap sampai mengakar.
2.
Anak Semar, nala gareng. Berasal dari kata nala
qarin artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini serupa dengan tujuan dakwah
yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat dan mengajak mereka menyembah
Allah SWT.
3.
Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya
tinggalkan yang jelek atau nahi munkar.
4.
Bagong berasal dari kata bagha yang berarti
pertimbangan makna dan rasa, antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah.
Kisah-kisah ciptaan sunan Kali Jaga
ini diantaranya jimat kalomasada, Dewa rinci dan Petruk Dadi
Ratu. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum
kehadiran sunan kali jaga adalah wayang beber. Yakni berupa kain
berkisah pewayangan. Sunan kali jaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber
menjadi terpisah. Tiap tokoh dipisah satu persatu dan diberi tangan yang bisa
digerakkan.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kesenian Tradisi
Jawa ialah karya indah yang dihasilkan
oleh sebuah keahlian dan perasaan luar biasa dari nenek moyang masyarakat jawa,
mengakar di hari dan terus di budi dayakan oleh masyarakat jawa.
2. Hasil seni nenek
moyang masyarakat jawa sangatlah banyak. Diantaranya ialah wayang, gamelan,
tembang, ukir, batik, tarian, rumah adat, pakaian adat dan lain sebagainya.
3. Arti harfiyah
dari wayang adalah bayangan. Sedangkan menurut istilah adalah boneka tiruan orang
dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali,
Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh dalang.
4. Wayang berasal dari jawa hal ini terbuktikan
dari segi bahasa yang tampaknya istilah-istilah teknis dalam pewayangan,
alat-alat yang digunakan dalam pertunjukkan, ternyata dari dulu hingga sekarang
masih tetap sama. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa wayang kulit berasala
yang diciptakan bangsa Indonesia di jawa.
5. Di Negara
Indonesia, memiliki berbagai macam jenis wayang di antaranya yaitu:
·
Wayang beber
·
Wayang kulit
·
Wayang purwa
6. Dalam kesenian
pewayangan, memiliki makna filosofis yang melatar belakangi pementasan wayang. Makna
filosofis akan bisa diambil contoh atau suri tauladan bagi orang yang
menontonnya.
7. Sunan Kali Jaga menggunakan kesenian pewayangan dalam
mensyiarkan ajaran-ajaran Islam. Beliau memasukkan unsur keislaman ke dalam
seni pewayangan.
B.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Kami sadar
bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu sudilah
kiranya Ibu dosen dan teman semua memberi saran yang kontrukif untuk makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.
[1]
Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2004), hlm. v
[2]
Windi novia dan Umi Chulsum, Kamus Besar Bahasa Indonesi , (Surabaya: Kashiko 2006), hlm. 613
[3]
Ridin Sofwan, daroini amin, dkk, Merumuskan
Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media 2004), hlm. 79
[4]
Irwan Suhada, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: Kompas,
2006), hlm.149
[5]
http://herytyo.blogspot.com/2012/10/kebudayaan-dan-kesenian-pulau-jawa.html
Di unggah 11 mei 2014 pukul 11:49
[6]
M. Daroini Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media
2000), hlm. 171-172
[7]
Heppy, El Rais, Kamus Ilmiah populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hlm. 736
[8]
Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaaan Indonesia dan Pancasila, (Jakarta:
UI Press, 1928), hlm. 11
[9]
Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, hlm. 79
[10]Musahadi,
dkk, Membangun Negara Bermoral, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2004), hlm. 41
[11]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembimbingan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), hlm. 1127
[12]
Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta:Raja Wali Pers,
2009), hlm.68
[13]
Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa,hlm,80
[14]
Irwan Suhada, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual,( Jakarta: Kompas,
2006), hlm.149-151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar