HUBUNGAN
ANTAR HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Fathur
Razi (1322110)
Miftah
Farikh (1322110)
Dwi
Priambodo (13221107)
1. Doktrin dualisme dan doktrin monisme
Dua
teotri yang dikenal adalah monisme dan dualisme. menurut teori monisme, hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem
hukum umumnya. menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai
suatu karakteristik yang berbeda secara intrinsik (intrincially) dari hukum
nasional karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme
kadang-kadang dinamakan teori “pluralistic”, tetapi sesungguhnya istilah
dualisme lebih tepat dan tidak membingungkan.[1]
a. Faham
dualisme
Aliran dualisme pernah sangat
berpengaruh di Jerman dan Italia. Pemuka-pemuka aliran-aliran ini yang paling
utama ialah Triepel, seorang pemuka aliran positivisme dari Italia yang menulis
buku “cosio dirrito internazinale” (1923). Menurut paham dualisme ini yang
bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum intermasional bersumberkan pada
kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistim atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Hal itu
disebabkan karena : (1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan
hukum internasional mempunyai sumber-sumber yang berlainan, hukum nasional
bersumberkan pada kemauan negara sedangkan hukum internasional berdasarkan pada
kemauan bersama dari masyarakat negara, (2) kedua perangkat hukum itu berlainan
subyek hukumnya. Subyek hukum dari pada hukum nasional adalah orang perorangan
baik didalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan
subyek dari pada hukum internansional adalah negara, (3) sebagai tata hukum,
hukum internasional dan hukum nasional menampakkan
pula perbedaan didalam strukturnya. Lembaga-lembaga yang diperlukan untuk
melaksanakan hukum didalam kenyataanya seperti mahkamah dan organ-organ eksekutif
hanya ada didalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan
lain yang digunakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan bahwa daya
laku atau keabsahan kaedah-kaedah hukum
nasional tidak terpengaruh oleh bertentangannya dengan hukum internasional.
Dengan kata lain ketentuan-ketentuan hukum nasional berlaku efektif sekalipun
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Akan tetapi Alasan-alasan
tersebut mempunyai kelemahan, hal ini dikembalikan pada kelemahan teori dasar
dualisme itu sendiri yang menyebutkan bahwa sumber segala hukum adalah kemauan
negara. [2]
Karena sumber hukum nasional itu sukar
dikembalikan kepada kemauan negara. Hukum menurut Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja ada dan berlaku karena dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang
beradab. Tanpa hukum kehidupan yang teratur tidak mungkin. Hal yang sama
berlaku pula bagi masyarakat internasional. [3]
Alasan yang didasarkan atas berlainnanya
subyek hukum dari pada hukum nasional dan hukum internasional juga kurang
meyakinkan. Kebenaran argumentasi kaum dualis ini dibantah oleh kenyataan bahwa
didalam suatu lingkungan hukum, katakanlah hukum nasionalpun dapat saja terjadi
bahwa subyek hukum itu berlain-lainan. Karenanya didalam hukum nasional ada
pembagian antara hukum perdata dan hukum publik. Sebaliknya tidak pula benar
untuk mengatakan bahwa subyek hukum internasional adalah negara karena
perkembngan ahir-akhir ini menunjukkan bahwa individu atau orang peroranganpun
bisa menjadi subyek hukum internasional. Argument kaum dualis yang didasarkan
atas berbedanya struktur hukum nasional dan hukum internasional juga kurang
tepat karena disini letak perbedaan tidaklah bersumber pada perbedaan yang
hakiki atau azazi (prinsipiil) melainkan perbedaan yang gradual. Dengan
perkataan lain apa yang dinamakan perbedaan strukturil itu hanya merupakan
bentuk perwujudan atau gejala saja dari pada taraf integrasi yang berlainan
dari pada masyarakat nasional dan internasional. Sebagai bentuk masyarakat,
masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi. Dengan
sendirinya bentuk-bentuk organisasinya pun lebih berkembang dan sempurna
bentuknya. [4]
Keberatan terbesar terhadap teori
dualisme adalah pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum
internasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa
dalam praktek sering sekali hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan
hukum internasional. Kenyataan bahwa adakalanya hukum nasional bertentangan
dengan hukum internasional, bukan merupakan bukti dari pada perbedaan strukturil seperti dikatakan kaum dualis,
melainkan hanya bukti dari pada kurang efektinya hukum internasional.[5]
- Faham monisme
Dalam pemikiran ini hukum internasional
dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar
yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat dari pada pandangan monisme
ini adalah bahwa antara antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada
hubungan hierarki. Persoalan hierarki antara hukum nasional dan hukum
internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda
dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan
antara hukum nasional dengan hukum internasional ini.[6]
Ada fihak yang menganggap bahwa hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional.
Faham ini adalah faham minisme dengan primat hukum nasional. Faham yang lain
berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional yang utama adalah hukum internasioanal. Pandangan ini disebut
faham monisme dengan primat hukum internasional. Menurut teori monisme
kedua-duanya mungkin.[7]
Didalam pandangan monisme dengan
pandangan nasional maka hukum internasional itu tidak lain dari pada merupakan
lanjutan dari pada hukum nasional belaka, atau tidak lain dari pada hukum
nasional untuk urusan-urusan luar negri, atau auszeres staatrecht.
Aliran ini pernah kuat di Jerman dengan adanya apa yang dinamakan dengan
madzhab bonn, (antara lain max menzel). Pandangan yang melihat kesatuan antara
hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini pada
hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumberkan pada hukum
nasional.[8]
Contohnya adalah hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Karena
HI berasal atau bersumber dari HN maka HN kedudukannya lebih tinggi dari HI
sehingga bila ada konflik HN lah yang diutamakan. Meskipun aliran ini
mengandung kebenaran fakta bahwa memang banyak aturan HI berasal dari praktik
negara-negara, tetapi bila aliran ini diikuti akan berbahaya bagi pelaksanaan
hubungan internasional. Untuk apa ada HI apabila setiap konflik HN yang
diutamakan? Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aliran monisme primat HN
tidak mengakui eksistensi HI. Bisa diduga, akan terjadi anarki dimana-mana bila
aliran ini diikuti.[9] Alasan
utama dari pada anggapan ini adalah : (1) bahwa tidak ada organisasi diatas
negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia ini; (2) dasar dari
pada hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak
didalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional,
jadi wewenang konstitusionil.[10]
Faham monisme dengan primat hukum
nasional ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu :
1.) Faham
ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata
sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan
perjanjian internasional, suatu hal yang sebagaimana diketahui tidak benar.
2.) Pada
hakekatnya pendirian dari pada faham kaum monisme dengan primat hukum nasional
ini merupakan penyangkalan dari pada adanya hukum internasional yang mengikat
negara-negara. Sebabnya adalah apabila terikatnya negara-negara kepada hukum
internasional digantungkan kepada hukum nasional, hal ini sama dengan menggantungkan
berlakunya hukum internasional itu kemauan negara itu sendiri. keterikatan itu
dapat ditiadakan apabila negara mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum
internasional. Dalam hal ini faham penganut monisme dengan primat hukum nasional
tidak jauh berbeda dalam kesimpulan-kesimpulannya dari faham atau aliran
dualisme.[11]
Berdasarkan alasan-alasan diatas monisme
dengan hukum nasional ini pada hakekatnya merupakan penyangkalan terhadap
adanya hukum internasional walaupun secara teoritis dan konstruktsi logika apa
yang dikemukakannya memang mungkin[12].
Menurut kenyataan wewenang-wewenang suatu negara nasional misalnya yang
bertalian dengan kehidupan antara negara seperti misalnya kompetesi untuk
mengadakan perjanjian internasional, sepenuhnya termasuk wewenang hukum
nasional (dalam hal ini hukum tatanegara), yang sepenuhnya mengatur kompetensi
dan prosedur dalam masalah-masalah demikian.
Perbedaan antara HI dan HN menurut
Anzilotti dapat ditarik dua prinsip yang fundamental. HN mendasarkan diri pada
prinsip bahwa aturan negara (state legislation) harus dipatuhi, sedangkan HI
mendasarkan pada prinsip bahwa perjanjian antar negara harus dihormati berdasarkan
prinsip pacta sunt servanda.[13]
Karena antara HI dan HN terpisah sama
sekali, merupakan dua sistem hukum yang berbeda maka permasalahan yang muncul
bukam masalah hierarki, mana yang harus diutamakan bila terjadi konflik antara
keduanya, melainkan masalah transformasi. HI hanya dapat diberlakukan setelah
ditransformasikan HN demikian halnya juga sebaliknya.[14]
2. Konflik antara hukum internasinal dengan hukum nasional
Dalam sengketa dimuka pengadilan
internasional antara dua negara, A dan B, dimana negara A bersandar pada suatu
landasan untuk mengganggu klaimnya, maka negara B boleh mengajukan upaya, yaitu
“melawan” negara A dengan mencari kaidah, lembaga dan rezim hukum domestik
tersebut bersesuaian dengan hukum internasional, maka hal ini secara sah dapat
dipakai “melawan” negara A untuk menyangkal landasan klaim negara A tersebut,
akan tetapi apabila tidak sesuai dengan hukum internasional, maka kaidah, lembaga
atau rezim hukum domestik tersebut tidak boleh dipakai sebagai sarana untuk
melawan.[15]
Kebaikan konsep perlawanan terletak pada
fakta bahwa apabila suatu kaidah hukum domestik dinyatakan tidak dapat dipakai
sebagai sarana untuk melawan (non opposable), maka hal ini tidak berarti
bahwa kaidah tersebut tidak sah berlakunya diwilayah negara yang bersangkutan
dan sebagaimana dikatakan oleh kelsen, bagaimanapun juga hukum internasional
tidak mengatur prosedur ketidakberlakuan suatu hukum kaidah nasional didalam
kerangka nasional. Apabila ternyata bahwa kaidah hukum domestik, yang
dinyatakan tidak dapat dipakai untuk melawan terhadap negara-negara lain selain
negara yang mengajukan klaim (claimant state), kecuali barangkali negara
lain itu secara tegas telah menyampingkan ketidakberlakuan secara
konstitusional kaidah tersebut.[16]
Sudah barang tentu, suatu kaidah traktat
dapat dilawan oleh satu negara terhadap negara lain berkaitan dengan landasan
klaim, dengan cara yang sama sebagaimana kaedah hukum domestik, dan demikian
pula apabila kaedah traktat dianggap merupakan kaedah yang tidak dapat dipakai
untuk melawan, namun dapat saja berlaku untuk melawan terhadap negara-negara
tertentu selain dari negara yang mengajukan klaim.[17]
Menurut opini nasehat tanggal 21 Juni
1971 dari International Court of justice mengenai legal consequences
for states of the continued presence of south Africa in south west Africa
(Namibia), juga penetapan oleh dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa, yang
menyatakan secara tepat bahwa keadaan tertentu telah menyalahi hukum (illegal),
mungkin dapat menjadi dasar perlawanan bagi semua negara, baik anggota maupun
bukan anggota, yang berusaha mencari landasan legalitas bagi situasi tersebut.
Dengan demikian, menurut pendapat dari international court of justice,
penghentian mandat afrika selatan atas afrika barat daya karena alasan
penolakannya untuk tunduk pengawasan orang-orang perserikatan bangsa-bangsa,
dan konsekuensi dari keberadaanya diwilayah itu secara tidak sah, menurut
syarat-syarat revolusi dewan keamanan tahun 1970, dapat menjadi dasar
perlawanan bagi semua negara dalam pengetian menghalangi erga ommes legalitas
pelaksanaan mandate afrika selatan secara terus menerus.[18]
Sebuah contoh paling akhir adalah
keputusan high court of Australia dalam kasus “spycather” yaitu
perkara Attorne y-Genaral for the united kingdom v Heinemann
publishers Australia Pty. Ltd. Dimana pengadilan tersebut menyatakan
berlakunya kaidah hukum internasional yang memberikan hak kepada pengadilan
suatu negara untuk tidak memberlakukan atau menjalankan kepentingan-kepentingan
pemerintah negara lain, meskipun negara sahabat, dalam hal kepentingan tersebut
dapat dipakai sebagai sarana melawan hukum nasional atau hukum intern dimana
sebagai “komitas” (commity) pengadilan Australia harus mengakui dan
memberlakukan undang-undang dan keputusan-keputusan yudisial negara sahabat.[19]
3. Pemakaian hukum internasional
Status
dan perlakuan terhadap HI berbeda-beda dalam praktik antara satu negara dengan
yang lain. Mayoritas negara memiliki konstitusi tertulis atau document sebagai
ketentuan yang fundamental bagaimana HI didepan pengadilan nasional mereka.
Dalam praktik ada banyak doktrin yang diikuti negara-negara.[20]
Doktrin
pertama adalah doktrin inkorporasi (doctrine of incorporation) yang
menyatakan bahwa HI akan berlaku otomatis menjadi bagian dari HN tanpa adopsi
sebelumnya. Adopsi diperlukan hanya ketika ada kebijakan yang menentukan lain.
Dengan demikian perjanjian yang sudah ditandatangani atau diratifikasi akan
mengikat langsung pada warga negara setempat tanpa harus dibentuk HN-nya lebih
dulu. Doktrin ini merupakan konsekuensi logis dari teori monisme yang
menyatakan bahwa HI dan HN merupakan bagian dari satu sistem hukum yang lebih besar.[21]
Adapun
doktrin kedua doktrin transformasi (doctrine of transformation) menyatakan
bahwa HI tidak menjadi HN kecuali atau sampai diimplementasikan dalam HN lebih
dulu. Setelah HI yang dimaksud ditransformasikan dalam HN maka statusnya
menjadi HN. Pengadilan dapat menggunakannya sebagai sumber hukum dalam memutus
suatu kasus. Doktrin transformasi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis
dari teori dualisme yang memandang HI dan HN sebagai dua sistem hukum yang berbeda
dan terpisah satu sama lain, HI tidak dapat diterapkan dilingkup diplomatik
kecuali jika sudah ditransformasikan dalam HN.[22]
1.) Praktik
di Inggris
Praktik
di Inggris berkaitan dengan hukum kebiasaan menunjukkan bahwa :
a. Hukum
kebiasaan internasional akan diterapkan sebagai bagian dari hukum nasional
b. Hukum
kebiasaan tersebut haruslah diformulasikan dengan kehati-hatian dan didukung
dengan bukti-bukti.
c. Tidak
tunduk pada doktrin stare decitis
d. Hukum
kebiasaan tidak akan diterapkan apabila bertentangan dengan HN yang
fundamental, baik HN itu lahir terlebih dahulu maupun belakangan daripada
kebiasaan hukum internasional tersebut.
Adapun berkaitan dengan sumber HI yang berasal dari
perjanjian, praktik Inggris membedakan perjanjian tersebut kedalam dua golongan
yaitu perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen untuk diterima menjadi
bagian HN Inggris dan perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen.
Perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen adalah perjanjian yang
materinya dianggap cukup penting dan prinsip seperti masalah batas-batas wilayah,
HAM, hak-hak dan kewajiban warga negara, serta keuangan. perjanjian-perjanjian
ini tidak memberikan akibat hukum didepan pengadilan Inggris sebelum diimplementasikan
HN. Perjanjian-perjanjian ini disebut unincorporated treaties.[23]
2.) Praktik
di Amerika Serikat
Praktik Amerika serikat tidak jauh berbeda dengan
Inggris. Dalam kasus The Paquette Habana 1900 pengadilan AS menegaskan bahwa :
International
law is part of our law, and must be accertained and administered by the courts
of justice of appropriate jurisdiction, as often as question of right depending
upon it are duly presented for their determination. For this purpose, where
there is no treaty and no controlling executive or legislative act or judicial
decision, resort must be had to the customs and usages of civilized nations.
Dari putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa HI
menjadi bagian dari HN AS, dan bahwa hukum kebiasaan menempati kedudukan
penting dipengadilan nasional AS. Sama halnya dengan praktik Inggris meskipun
terhadap hukum kebiasaan berlaku doktrin inkorporasi, hukum nasional akan
diutamakan bilamana ada konflik dengan hukum kebiasaan. Dalam kasus Tag v
Rogers, pengasilan AS menyatakan dirinya tidak punya kewenangan untuk
menyatakan null and void terhadap HN yang telah disetujui kongres hanya
semata-mata karena HN tersebut bertentangan dengan hukum kebiasaan
internasional.
Akhir abad ke-21 banyak kasus pelanggaran hukum
kebiasaan internasional yang diajukan orang asing dipengadilan AS dibawah Alien
Tort Claim Act (ATCA). Dalam kasus Filartiga v Pena Irala, pengadilan
menyatakan bahwa terture yang dilakukan aparat Paraguay melanggar hukum
kebiasaan internasional dan hal ini cukup sebagai dasar yuridiksi bagi
pengadilan AS untuk mengadili dan menggunakan dasar HI bukan HN Paraguay meskipun
korban dan pelaku warga Paraguay, tempat kejadian juga di Paraguay.
Berkaitan dengan perjanjian internasional, praktik
AS membedakan perjanjian internasional menjadi dua yaitu perjanjian yang
berlaku dengan sendirinya sebagai bagian dari HN (self executing treaties) dan
perjanjian yang tidak berlaku dengan sendirinya (non self executing treaties).
Perjanjian kategori pertama tidak memerlukan persetujuan parlemen (kongres)
Amerika Serikat untuk menjadi bagian dari HN Amerika Serikat. Contoh perjanjian
ini adalah yang berkaitan dengan soal-soal administrative seperti kerja sama
teknik juga sosial budaya. Adapun perjanjian kategori kedua membutuhkan
persetujuan kongres. Contoh perjanjian kategori ini adalah soal
kewarganegaraan, HAM, garis batas wilayah, politik luar negri dan hal-hal lain
yang dianggap prinsip oleh Amerika Serikat.[24]
3.) Praktik
di Indonesia
Meskipun tidak menyatakan secara tegas dalam
konstitusi ataupun UUD-nya bahwa Indonesia meghormati dan tunduk pada HI
ataupun bahwa HI menjadi bagian HN. Praktik Indonesia menujukkan bahwa
Indonesia menghormati HI. hal Ini dibuktikan dengan apa yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negri. Hubungan luar
negri menurut undang-undnag ini adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek
regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah ditingkat pusat dan
daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara
Indonesia. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hubungan luar negri
diselenggarakan sesuai dengan politik luar negri, peraturan perundang-undangan
nasional dan hukum serta kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku bagi
semua penyelenggaraan hubungan luar negri, baik pemerintah maupun non
pemerintah.
Dalam pelaksanaan hubungan luar negri atau hubungan
internasionalnya Indonesia juga sudah meratifikasi konfensi Wina mengenai
hubungan diplomatik tahun 1961, Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler taun
1963 serta Konvensi Wina mengenai Misi Khusus. Konvensi-konvensi ini merupakan
kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional.
Dalam membuat HN Indonesia senantiasa memerhatikan
HI yang sudah ada baik yang bersumberkan pada hukum kebiasaan internasional
maupun perjanjian internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
a.) UU
No. 5 Tahun 1983 tantang ZEE mnengadopsi ketentuan ZEE dalm konvensi hukum laut
1982.
b.) UU
No. 6 Tahun 1996 yang menggantikan UU No.4 prp tahun 1960 tntang perairan
Indonesia merupakan implementasi dari konvensi hukum laut 1982, mengingat
banyak hal yang diatur oleh UU No.4 prp tahun 1960 tidak sesuai dengan konvensi
tahun 1982.
c.) UU
No.26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM banyak mengadopsi ketentuan dalam Statua
Roma 1998.
d.) UU
No.10 Tahun 1998 yang menggantikan UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan banyak
mengadopsi ketentuan GATS/WTO.
Praktik Indonesia berkaitan dengan perjanjian
internasional tidak jauh berbeda dnegan
praktik dinegara-negara lain seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pasal 10
UU No.24 Tahun 2000 menyebutkan perjanjian internasional menyangkut :
a.) Maslah
politik, perdamaian dan hankam
b.) Perubahan
wilyah/penetapan batas wilayah RI
c.) Kedaulatan/hak
berdaulat negara
d.) HAM
dan lingkunagn hidup
e.) Pembentukan
kaidah hukum baru
f.) Pinjaman
dan atau hibah luar negri.
Memerlukan persetujuan DPR untuk pengesahannya
kedalam HN mengingat pengesahannya harus dalam bentuk undang-undang.
Diluar
materi diatas, pengesahan suatu perjanjian internasional cukupan dengan
keputusan presiden. Dengan demikian, untuk perjanjian internasional yang
mensyaratkan pengesahannya, tetapi materinya bersifat procedural dan perlu
waktu singkat untuk penerapannya seperti kerjasama bidang IPTEK, ekonomi,
teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak ganda,
perlindungan PMA, dan lain-lain teknis tidak memerlukan persetujuan DPR dalam
pengesahannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Jg.
Starke, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika.
Kusumaatmadja,
Mochtar, 1976, Pengantar Hukum Internasional. Bandung : Rosda Offset.
Sefriani,
2011, Hukum Internasional, Jakarta : Raja Grafindo.
[1] Jg. Starke. Pengantar Hukum
Internasional. ( Jakarta : Sinar Grafika, 1999). Hal. 96
[2] Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar
Hukum Internasional. (Bandung : Rosda Offset, 1976). Hal. 54
[3] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 54-55
[4] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 55
[5] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 55-56
[6] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 56
[7] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 56
[8] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 56-57
[9] Sefriani. Hukum
Internasional. (Jakarta : Raja
Grafindo, 2011). Hal. 86-87
[10] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 57
[11] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 57-58
[12] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid.
Hal. 58
[13] Sefriani. Ibid. Hal. 87
[14] Sefriani. Ibid. Hal. 88
[15] Jg. Starke. Ibid.Hal. 115-116
[16] Jg. Starke. Ibid.Hal. 114
[17] Jg. Starke. Ibid.Hal. 116
[18] Jg. Starke. Ibid. Hal. 116
[19] Jg. Starke. Ibid.Hal. 117
[20] Sefriani. Ibid. Hal. 91
[21] Sefriani. Ibid. Hal. 91
[22] Sefriani. Ibid. Hal. 92
[23] Sefriani. Ibid. Hal. 92-93
[24] Sefriani. Ibid. Hal . 93-94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar