Rabu, 18 November 2015

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL



HUBUNGAN ANTAR HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
Fathur Razi (1322110)
Miftah Farikh (1322110)
Dwi Priambodo (13221107)
1.      Doktrin dualisme dan doktrin monisme
Dua teotri yang dikenal adalah monisme dan dualisme. menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya. menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai suatu karakteristik yang berbeda secara intrinsik (intrincially) dari hukum nasional karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme kadang-kadang dinamakan teori “pluralistic”, tetapi sesungguhnya istilah dualisme lebih tepat dan tidak membingungkan.[1]
a.       Faham dualisme
Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Pemuka-pemuka aliran-aliran ini yang paling utama ialah Triepel, seorang pemuka aliran positivisme dari Italia yang menulis buku “cosio dirrito internazinale” (1923). Menurut paham dualisme ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum intermasional bersumberkan pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistim atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Hal itu disebabkan karena : (1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber-sumber yang berlainan, hukum nasional bersumberkan pada kemauan negara sedangkan hukum internasional berdasarkan pada kemauan bersama dari masyarakat negara, (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari pada hukum nasional adalah orang perorangan baik didalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek dari pada hukum internansional adalah negara, (3) sebagai tata hukum, hukum internasional dan hukum nasional  menampakkan pula perbedaan didalam strukturnya. Lembaga-lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum didalam kenyataanya seperti mahkamah dan organ-organ eksekutif hanya ada didalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang digunakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan bahwa daya laku atau keabsahan  kaedah-kaedah hukum nasional tidak terpengaruh oleh bertentangannya dengan hukum internasional. Dengan kata lain ketentuan-ketentuan hukum nasional berlaku efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Akan tetapi Alasan-alasan tersebut mempunyai kelemahan, hal ini dikembalikan pada kelemahan teori dasar dualisme itu sendiri yang menyebutkan bahwa sumber segala hukum adalah kemauan negara. [2]
Karena sumber hukum nasional itu sukar dikembalikan kepada kemauan negara. Hukum menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja ada dan berlaku karena dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang beradab. Tanpa hukum kehidupan yang teratur tidak mungkin. Hal yang sama berlaku pula bagi masyarakat internasional. [3]
Alasan yang didasarkan atas berlainnanya subyek hukum dari pada hukum nasional dan hukum internasional juga kurang meyakinkan. Kebenaran argumentasi kaum dualis ini dibantah oleh kenyataan bahwa didalam suatu lingkungan hukum, katakanlah hukum nasionalpun dapat saja terjadi bahwa subyek hukum itu berlain-lainan. Karenanya didalam hukum nasional ada pembagian antara hukum perdata dan hukum publik. Sebaliknya tidak pula benar untuk mengatakan bahwa subyek hukum internasional adalah negara karena perkembngan ahir-akhir ini menunjukkan bahwa individu atau orang peroranganpun bisa menjadi subyek hukum internasional. Argument kaum dualis yang didasarkan atas berbedanya struktur hukum nasional dan hukum internasional juga kurang tepat karena disini letak perbedaan tidaklah bersumber pada perbedaan yang hakiki atau azazi (prinsipiil) melainkan perbedaan yang gradual. Dengan perkataan lain apa yang dinamakan perbedaan strukturil itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala saja dari pada taraf integrasi yang berlainan dari pada masyarakat nasional dan internasional. Sebagai bentuk masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi. Dengan sendirinya bentuk-bentuk organisasinya pun lebih berkembang dan sempurna bentuknya. [4]
Keberatan terbesar terhadap teori dualisme adalah pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek sering sekali hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional. Kenyataan bahwa adakalanya hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional, bukan merupakan bukti dari pada perbedaan  strukturil seperti dikatakan kaum dualis, melainkan hanya bukti dari pada kurang efektinya hukum internasional.[5]
  1. Faham monisme
Dalam pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat dari pada pandangan monisme ini adalah bahwa antara antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional ini.[6]
Ada fihak yang menganggap bahwa hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Faham ini adalah faham minisme dengan primat hukum nasional. Faham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional yang utama adalah hukum internasioanal. Pandangan ini disebut faham monisme dengan primat hukum internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin.[7]
Didalam pandangan monisme dengan pandangan nasional maka hukum internasional itu tidak lain dari pada merupakan lanjutan dari pada hukum nasional belaka, atau tidak lain dari pada hukum nasional untuk urusan-urusan luar negri, atau auszeres staatrecht. Aliran ini pernah kuat di Jerman dengan adanya apa yang dinamakan dengan madzhab bonn, (antara lain max menzel). Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumberkan pada hukum nasional.[8] Contohnya adalah hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Karena HI berasal atau bersumber dari HN maka HN kedudukannya lebih tinggi dari HI sehingga bila ada konflik HN lah yang diutamakan. Meskipun aliran ini mengandung kebenaran fakta bahwa memang banyak aturan HI berasal dari praktik negara-negara, tetapi bila aliran ini diikuti akan berbahaya bagi pelaksanaan hubungan internasional. Untuk apa ada HI apabila setiap konflik HN yang diutamakan? Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aliran monisme primat HN tidak mengakui eksistensi HI. Bisa diduga, akan terjadi anarki dimana-mana bila aliran ini diikuti.[9] Alasan utama dari pada anggapan ini adalah : (1) bahwa tidak ada organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia ini; (2) dasar dari pada hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak didalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusionil.[10]
Faham monisme dengan primat hukum nasional ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu :
1.)    Faham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal yang sebagaimana diketahui tidak benar.
2.)    Pada hakekatnya pendirian dari pada faham kaum monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan dari pada adanya hukum internasional yang mengikat negara-negara. Sebabnya adalah apabila terikatnya negara-negara kepada hukum internasional digantungkan kepada hukum nasional, hal ini sama dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional itu kemauan negara itu sendiri. keterikatan itu dapat ditiadakan apabila negara mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum internasional. Dalam hal ini faham penganut monisme dengan primat hukum nasional tidak jauh berbeda dalam kesimpulan-kesimpulannya dari faham atau aliran dualisme.[11]
Berdasarkan alasan-alasan diatas monisme dengan hukum nasional ini pada hakekatnya merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional walaupun secara teoritis dan konstruktsi logika apa yang dikemukakannya memang mungkin[12]. Menurut kenyataan wewenang-wewenang suatu negara nasional misalnya yang bertalian dengan kehidupan antara negara seperti misalnya kompetesi untuk mengadakan perjanjian internasional, sepenuhnya termasuk wewenang hukum nasional (dalam hal ini hukum tatanegara), yang sepenuhnya mengatur kompetensi dan prosedur dalam masalah-masalah demikian.
Perbedaan antara HI dan HN menurut Anzilotti dapat ditarik dua prinsip yang fundamental. HN mendasarkan diri pada prinsip bahwa aturan negara (state legislation) harus dipatuhi, sedangkan HI mendasarkan pada prinsip bahwa perjanjian antar negara harus dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda.[13]
Karena antara HI dan HN terpisah sama sekali, merupakan dua sistem hukum yang berbeda maka permasalahan yang muncul bukam masalah hierarki, mana yang harus diutamakan bila terjadi konflik antara keduanya, melainkan masalah transformasi. HI hanya dapat diberlakukan setelah ditransformasikan HN demikian halnya juga sebaliknya.[14]
2.      Konflik antara hukum internasinal dengan hukum nasional
Dalam sengketa dimuka pengadilan internasional antara dua negara, A dan B, dimana negara A bersandar pada suatu landasan untuk mengganggu klaimnya, maka negara B boleh mengajukan upaya, yaitu “melawan” negara A dengan mencari kaidah, lembaga dan rezim hukum domestik tersebut bersesuaian dengan hukum internasional, maka hal ini secara sah dapat dipakai “melawan” negara A untuk menyangkal landasan klaim negara A tersebut, akan tetapi apabila tidak sesuai dengan hukum internasional, maka kaidah, lembaga atau rezim hukum domestik tersebut tidak boleh dipakai sebagai sarana untuk melawan.[15]
Kebaikan konsep perlawanan terletak pada fakta bahwa apabila suatu kaidah hukum domestik dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai sarana untuk melawan (non opposable), maka hal ini tidak berarti bahwa kaidah tersebut tidak sah berlakunya diwilayah negara yang bersangkutan dan sebagaimana dikatakan oleh kelsen, bagaimanapun juga hukum internasional tidak mengatur prosedur ketidakberlakuan suatu hukum kaidah nasional didalam kerangka nasional. Apabila ternyata bahwa kaidah hukum domestik, yang dinyatakan tidak dapat dipakai untuk melawan terhadap negara-negara lain selain negara yang mengajukan klaim (claimant state), kecuali barangkali negara lain itu secara tegas telah menyampingkan ketidakberlakuan secara konstitusional kaidah tersebut.[16]
Sudah barang tentu, suatu kaidah traktat dapat dilawan oleh satu negara terhadap negara lain berkaitan dengan landasan klaim, dengan cara yang sama sebagaimana kaedah hukum domestik, dan demikian pula apabila kaedah traktat dianggap merupakan kaedah yang tidak dapat dipakai untuk melawan, namun dapat saja berlaku untuk melawan terhadap negara-negara tertentu selain dari negara yang mengajukan klaim.[17]
Menurut opini nasehat tanggal 21 Juni 1971 dari International Court of justice mengenai legal consequences for states of the continued presence of south Africa in south west Africa (Namibia), juga penetapan oleh dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa, yang menyatakan secara tepat bahwa keadaan tertentu telah menyalahi hukum (illegal), mungkin dapat menjadi dasar perlawanan bagi semua negara, baik anggota maupun bukan anggota, yang berusaha mencari landasan legalitas bagi situasi tersebut. Dengan demikian, menurut pendapat dari international court of justice, penghentian mandat afrika selatan atas afrika barat daya karena alasan penolakannya untuk tunduk pengawasan orang-orang perserikatan bangsa-bangsa, dan konsekuensi dari keberadaanya diwilayah itu secara tidak sah, menurut syarat-syarat revolusi dewan keamanan tahun 1970, dapat menjadi dasar perlawanan bagi semua negara dalam pengetian menghalangi erga ommes legalitas pelaksanaan mandate afrika selatan secara terus menerus.[18]
Sebuah contoh paling akhir adalah keputusan high court of Australia dalam kasus “spycather” yaitu perkara Attorne y-Genaral for the united kingdom v Heinemann publishers Australia Pty. Ltd. Dimana pengadilan tersebut menyatakan berlakunya kaidah hukum internasional yang memberikan hak kepada pengadilan suatu negara untuk tidak memberlakukan atau menjalankan kepentingan-kepentingan pemerintah negara lain, meskipun negara sahabat, dalam hal kepentingan tersebut dapat dipakai sebagai sarana melawan hukum nasional atau hukum intern dimana sebagai “komitas” (commity) pengadilan Australia harus mengakui dan memberlakukan undang-undang dan keputusan-keputusan yudisial negara sahabat.[19]
3.      Pemakaian hukum internasional
Status dan perlakuan terhadap HI berbeda-beda dalam praktik antara satu negara dengan yang lain. Mayoritas negara memiliki konstitusi tertulis atau document sebagai ketentuan yang fundamental bagaimana HI didepan pengadilan nasional mereka. Dalam praktik ada banyak doktrin yang diikuti negara-negara.[20]
Doktrin pertama adalah doktrin inkorporasi (doctrine of incorporation) yang menyatakan bahwa HI akan berlaku otomatis menjadi bagian dari HN tanpa adopsi sebelumnya. Adopsi diperlukan hanya ketika ada kebijakan yang menentukan lain. Dengan demikian perjanjian yang sudah ditandatangani atau diratifikasi akan mengikat langsung pada warga negara setempat tanpa harus dibentuk HN-nya lebih dulu. Doktrin ini merupakan konsekuensi logis dari teori monisme yang menyatakan bahwa HI dan HN merupakan bagian dari satu sistem hukum yang lebih besar.[21]
Adapun doktrin kedua doktrin transformasi (doctrine of transformation) menyatakan bahwa HI tidak menjadi HN kecuali atau sampai diimplementasikan dalam HN lebih dulu. Setelah HI yang dimaksud ditransformasikan dalam HN maka statusnya menjadi HN. Pengadilan dapat menggunakannya sebagai sumber hukum dalam memutus suatu kasus. Doktrin transformasi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari teori dualisme yang memandang HI dan HN sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu sama lain, HI tidak dapat diterapkan dilingkup diplomatik kecuali jika sudah ditransformasikan dalam HN.[22]
1.)    Praktik di Inggris
Praktik di Inggris berkaitan dengan hukum kebiasaan menunjukkan bahwa :
a.       Hukum kebiasaan internasional akan diterapkan sebagai bagian dari hukum nasional
b.      Hukum kebiasaan tersebut haruslah diformulasikan dengan kehati-hatian dan didukung dengan bukti-bukti.
c.       Tidak tunduk pada doktrin stare decitis
d.      Hukum kebiasaan tidak akan diterapkan apabila bertentangan dengan HN yang fundamental, baik HN itu lahir terlebih dahulu maupun belakangan daripada kebiasaan hukum internasional tersebut.
Adapun berkaitan dengan sumber HI yang berasal dari perjanjian, praktik Inggris membedakan perjanjian tersebut kedalam dua golongan yaitu perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen untuk diterima menjadi bagian HN Inggris dan perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen. Perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen adalah perjanjian yang materinya dianggap cukup penting dan prinsip seperti masalah batas-batas wilayah, HAM, hak-hak dan kewajiban warga negara, serta keuangan. perjanjian-perjanjian ini tidak memberikan akibat hukum didepan pengadilan Inggris sebelum diimplementasikan HN. Perjanjian-perjanjian ini disebut unincorporated treaties.[23]
2.)    Praktik di Amerika Serikat
Praktik Amerika serikat tidak jauh berbeda dengan Inggris. Dalam kasus The Paquette Habana 1900 pengadilan AS menegaskan bahwa :
International law is part of our law, and must be accertained and administered by the courts of justice of appropriate jurisdiction, as often as question of right depending upon it are duly presented for their determination. For this purpose, where there is no treaty and no controlling executive or legislative act or judicial decision, resort must be had to the customs and usages of civilized nations.
Dari putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa HI menjadi bagian dari HN AS, dan bahwa hukum kebiasaan menempati kedudukan penting dipengadilan nasional AS. Sama halnya dengan praktik Inggris meskipun terhadap hukum kebiasaan berlaku doktrin inkorporasi, hukum nasional akan diutamakan bilamana ada konflik dengan hukum kebiasaan. Dalam kasus Tag v Rogers, pengasilan AS menyatakan dirinya tidak punya kewenangan untuk menyatakan null and void terhadap HN yang telah disetujui kongres hanya semata-mata karena HN tersebut bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional.
Akhir abad ke-21 banyak kasus pelanggaran hukum kebiasaan internasional yang diajukan orang asing dipengadilan AS dibawah Alien Tort Claim Act (ATCA). Dalam kasus Filartiga v Pena Irala, pengadilan menyatakan bahwa terture yang dilakukan aparat Paraguay melanggar hukum kebiasaan internasional dan hal ini cukup sebagai dasar yuridiksi bagi pengadilan AS untuk mengadili dan menggunakan dasar HI bukan HN Paraguay meskipun korban dan pelaku warga Paraguay, tempat kejadian juga di Paraguay.
Berkaitan dengan perjanjian internasional, praktik AS membedakan perjanjian internasional menjadi dua yaitu perjanjian yang berlaku dengan sendirinya sebagai bagian dari HN (self executing treaties) dan perjanjian yang tidak berlaku dengan sendirinya (non self executing treaties). Perjanjian kategori pertama tidak memerlukan persetujuan parlemen (kongres) Amerika Serikat untuk menjadi bagian dari HN Amerika Serikat. Contoh perjanjian ini adalah yang berkaitan dengan soal-soal administrative seperti kerja sama teknik juga sosial budaya. Adapun perjanjian kategori kedua membutuhkan persetujuan kongres. Contoh perjanjian kategori ini adalah soal kewarganegaraan, HAM, garis batas wilayah, politik luar negri dan hal-hal lain yang dianggap prinsip oleh Amerika Serikat.[24]
3.)    Praktik di Indonesia
Meskipun tidak menyatakan secara tegas dalam konstitusi ataupun UUD-nya bahwa Indonesia meghormati dan tunduk pada HI ataupun bahwa HI menjadi bagian HN. Praktik Indonesia menujukkan bahwa Indonesia menghormati HI. hal Ini dibuktikan dengan apa yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negri. Hubungan luar negri menurut undang-undnag ini adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah ditingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hubungan luar negri diselenggarakan sesuai dengan politik luar negri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku bagi semua penyelenggaraan hubungan luar negri, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Dalam pelaksanaan hubungan luar negri atau hubungan internasionalnya Indonesia juga sudah meratifikasi konfensi Wina mengenai hubungan diplomatik tahun 1961, Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler taun 1963 serta Konvensi Wina mengenai Misi Khusus. Konvensi-konvensi ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional.
Dalam membuat HN Indonesia senantiasa memerhatikan HI yang sudah ada baik yang bersumberkan pada hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
a.)    UU No. 5 Tahun 1983 tantang ZEE mnengadopsi ketentuan ZEE dalm konvensi hukum laut 1982.
b.)    UU No. 6 Tahun 1996 yang menggantikan UU No.4 prp tahun 1960 tntang perairan Indonesia merupakan implementasi dari konvensi hukum laut 1982, mengingat banyak hal yang diatur oleh UU No.4 prp tahun 1960 tidak sesuai dengan konvensi tahun 1982.
c.)    UU No.26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM banyak mengadopsi ketentuan dalam Statua Roma 1998.
d.)   UU No.10 Tahun 1998 yang menggantikan UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan banyak mengadopsi ketentuan GATS/WTO.
Praktik Indonesia berkaitan dengan perjanjian internasional  tidak jauh berbeda dnegan praktik dinegara-negara lain seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pasal 10 UU No.24 Tahun 2000 menyebutkan perjanjian internasional menyangkut :
a.)    Maslah politik, perdamaian dan hankam
b.)    Perubahan wilyah/penetapan batas wilayah RI
c.)    Kedaulatan/hak berdaulat negara
d.)   HAM dan lingkunagn hidup
e.)    Pembentukan kaidah hukum baru
f.)     Pinjaman dan atau hibah luar negri.
Memerlukan persetujuan DPR untuk pengesahannya kedalam HN mengingat pengesahannya harus dalam bentuk undang-undang.
Diluar materi diatas, pengesahan suatu perjanjian internasional cukupan dengan keputusan presiden. Dengan demikian, untuk perjanjian internasional yang mensyaratkan pengesahannya, tetapi materinya bersifat procedural dan perlu waktu singkat untuk penerapannya seperti kerjasama bidang IPTEK, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak ganda, perlindungan PMA, dan lain-lain teknis tidak memerlukan persetujuan DPR dalam pengesahannya.

DAFTAR PUSTAKA
Jg. Starke, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Pengantar Hukum Internasional. Bandung : Rosda Offset.
Sefriani, 2011, Hukum Internasional, Jakarta : Raja Grafindo.


[1] Jg. Starke. Pengantar Hukum Internasional. ( Jakarta : Sinar Grafika, 1999). Hal. 96
[2] Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. (Bandung : Rosda Offset, 1976). Hal. 54
[3] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 54-55
[4] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 55
[5] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 55-56
[6] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 56
[7] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 56
[8] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 56-57
[9] Sefriani. Hukum Internasional.  (Jakarta : Raja Grafindo, 2011). Hal. 86-87
[10] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 57
[11] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 57-58
[12] Mochtar Kusumaatmadja. Ibid. Hal. 58
[13] Sefriani. Ibid. Hal. 87
[14] Sefriani. Ibid. Hal. 88
[15] Jg. Starke. Ibid.Hal. 115-116
[16] Jg. Starke. Ibid.Hal. 114
[17] Jg. Starke. Ibid.Hal. 116
[18] Jg. Starke. Ibid. Hal. 116
[19] Jg. Starke. Ibid.Hal. 117
[20] Sefriani. Ibid. Hal. 91
[21] Sefriani. Ibid. Hal. 91
[22] Sefriani. Ibid. Hal.  92
[23] Sefriani. Ibid. Hal.  92-93
[24] Sefriani. Ibid. Hal . 93-94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar