Rabu, 25 November 2015

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber kekuatan manusia adalah pengetahuan, mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakuakan olah cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa terus dan berkembang. Proses olah cipta tersebut terlaksana berkat adanya aktivitas yang dinamakan pendidikan. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan.[1] Bila kita lihat hjauh kebelakang pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan adopsi dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terkonstruksi dengan sempurna. Namun diasumsikan media pembelajaran yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan dikelompok sosialnya.
Membicarakan dinamika pendidikan, tidak bisa di lepaskan dari membicarakan lembaga pendidikan sebagai tempat  berlangsungnya interaksi proses belajar mengajar. Sistem pendidikan sering dipahami sebagai suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen, serta organisasi dengan mentransfer pengetahuan, warisan kebudayaan serta sejarah kemanusian yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spritual dan intelektual. Artinya, sistem pendidikan tidak bisa dipisaahkan dari sistem pendidikan diiluarnya, seperti sistem politik, sistem tatalaksana, sistem keuangan, dan sistem kehaakiman.
Karena itu, kalau kita hendak memahami sistem penndidikan islam, misalnya dibutuhkan informasi yang menyajikan kontruk sosial, politik, dan pemikiran tokkoh keagamaan islam pada masa-masa tertentu. Dalam makalah ini  kami sebagai pemakalah akan meembahasa mengeneai model atau sistem pendidikan di Jawa dari masa kemasa, yaitu pada masa hidu-budha, pada pola pendidikan pengaruhh isam, kolonial Belanda.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendidikan masa hindu-budha?
2.      Bagaimana pola pendidikan pengaruh islam?
3.      Bagaimana pendidikan masa koloial Belanda?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan masa Hindu-Budha
Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunduran beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: kerajaan hindhu-budha di Kutai (Kalimantan). Di jawa barat muncul kerajaan Tarumanegara. Pada masa ini lembaga-lembaga pendididkan telah ada di Indonesia khususnya di jawa sejak periode permulaan. Pada masa ini pendidikan melekat dengan agama.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di indonesia sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti: ilmu perbintangan, ilmu pasti, penghitung waktu, seni bangunan, seni rupa, dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas, belajar seperti ruang diskusi dan seminar.
Menjelang periode akhir, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosial, tetapi para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murit relatif terbatas dan bobot materi ajaran yang bersifat spiritual religius. Para murid ini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Sistem pendidikan hindu-Budha  dikenal dengan istilah Karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukkan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala
Patapan memiliki tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang di cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannaya sebuah bangunan, seperti rumah dan pondokan. Bentuk patapan sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar,  ataupun bangunan yang bersifat antificial. Hal ini dikarenakan jumlah resi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari bentuk segala hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua yaitu mandala adalah semacam lembaga pendidikan hindhu budha sebagai salahsatu bangunan di atas tanah pardikan dan berfungsi sebagai pusat pendidikan (semacam sekolah) dan keagamaan yang ada sejak sebelum Majapait. Fungsi lain dari mandala yaitu sebagai patapan (semacam tempat komunitasorang suci yang ingin melakukan praktik askestim yang sering disebut juga dengan zuhuddalam beberapa waktu).
Adapun ciri khas pendidikan masa hindu-budha dijawa menurut Denis Lombard yang merupakan salah stu tokoh sejarawan yaitu:
1.      Lokasi pendidikan tersebut jauh dari keramaian di plosok yang kosong dan berada pada tanah pardikan (desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa)
2.      Adanya tradisi ikatan guru-murid. Guru adalah bapak bagi murid, dan murid berbapak pada sang guru.
3.      Metode pengajarannya dikenal dengan istilah Upanishad (para murid duduk dekat dengan seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi). Proses belajarnya para siswa mengelilingi sang pendeta untuk mendengarkan pengajaran berdisiplin melaksanakan upacara membersihkan diri, pemujaan, kebaktian.[2]
Masuknya hindu-budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelum masyarakat indonesia khususnya jawa belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya hindhu budha, sebagaian masyarakat indonesia mulai mengenal tulisan budaya baca dan tulis, diantara bukti-bukti tersebut adalah:
1.      Digunakannya bahasa Sansekerta dan huruf palawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tersebut terutama digunakan bahasa kawi, jawa kuno, dan lain-lain.
2.       Telah dikenal sistem pendidikan berasrama (ashram) didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama hindhu budhaa.
3.      Lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya hindu budha. Seperti: Baratayuda , Arjuna wiwaha, Smaradana, Negarakertaghama, dan Sutasoma.
Berkembangnya ajaran budi pekerti berlandas agama hindu budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkanoleh sebagian masyarakat.[3]
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, pengelola pendidikan adalah kaum Brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi, bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain, kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu, pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
B.     Pola Pendidikan Pengaruh Islam
Sejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau persia). Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dan kerajaan inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persingahan yang menarik bagi para pedagang dari negri sebrang seperti arab, persia dan india.
Nilai baru yang dibawa para pedagang muslim semisal dari gujarat di terima hangat oleh raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan islam permulaan di indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan perlak (1292) dan kerajaan samudra pasai (1297).Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebab islam di indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatra utara (jalur selat Malaka) baru kemudian menyebar ke jawa dan seterusnya ke wilayah timur Indonesia.
Pendidikan islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dari berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau ketekadanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk menkaji atau memeluk ajaran islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar dan masjid.
Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat salat saja, melainkan juga tempat belajar untuk membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. Metode pembelajarannya adalah sorogan (murid secara perorangan atau gantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengintarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar atau masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pondoakan (asrama) dan kitap kuning (referensi).
Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem langgar atau masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadist, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di bidang agama islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.
Ketika kekuasaan politik islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan islam, pendidikan semakin memperoleh perhatian. Contoh paling menarik untuk sisebutkan adalah sistem pendidikan islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan aceh darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Balai Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan);
2.      Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran);
3.      Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati pendidikan).
Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai berikut:
a)      Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini  diajarkan materi elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu;
b)      Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain;
c)      Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid;
d)     Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu falaq dan filsafat.
Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M) disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja[4].
Ketika era penjajahan dimulai, pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui peran para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam kontinuitas proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan kekuatan resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing.
Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk sebagai berikut:
1)      Langgar. Dikelola seorang amil, modin atau lebai yang berfungsi sebagai guru agama sekaligus pemimpin ritual keagamaan di masyarakat. Materi ajar bersifat elementer. Metode pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak ada biaya formal, seringkali hanya berupa pemberian ‘in natura’. Hubungan guru-murid umumnya mendalam dan langgeng.
2)      Pesantren. Murid diasramakan di pondok yang dibangun oleh sang guru atau dengan biaya swadaya masyarakat setempat. Ada properti tanah yang dapat dikelola bersama oleh guru dan murid untuk mendanai proses pendidikan. Kekurangan biaya terkadang memaksa santri mencari dana keluar, meminta sumbangan dari umat Islam secara sukarela. Jumlah murid relatif, ada yang banyak ada juga yang sedikit. Tidak ada batasan atau penjenjangan pendidikan yang tegas. Guru tidak digaji secara formal. Murid memberi layanan kepada guru sebagai ganti biaya pendidikan seperi ikut mengelola tanah atau usaha lain milik guru.
3)      Madrasah. Pola pendidikan teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap. Metode menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping materi-materi ilmu agama.
C.     Pendidikan masa Koloial Belanda
Pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.[5]
Di samping itu, banyak sekali hal yang menjadikan bangsa Indonesia dapat mengenal dan mengenyam dunia pendidikan yang pada masa pemerintahan kolonial sangatlah berkembang. Pada masa kolonial, bentuk Sistem Pendidikan Kolonial di antaranya[6]:
1.      Pendidikan pada zaman kolonial mengalami penurunan yang sangat drastis pada bidang pendidikan formal. Memeng pada saat zaman penjajahan belanda, dikenal dengan adanya kebijakan “Politik Etis” pada akhir abad ke-13 yaitu kebijakan pemerintahan Belanda sebagai balas budi kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan masih sangat terbatas baik dari segi jumlah yang mendapat pendidikan atau pun dari segi pendidikan yang diberikan. Dalam bukunya M.Sulthon Masyhud menurut Brugmans mencatat pada tahun 1900-1928 anak-anak usia 6-8 tahun yang bersekolah hanya mencapai 1,3 juta jiwa. Padahal penduduk di pulau jawa hingga tahun 1930 mencapai 41,7 juta jiwa, ini berarti ada sekitar 97 persen penduduk Indonesia yang masih buta huruf.
2.      Kurang meratanya pendidikan dalam hal, siapa yang mendapat pendidikan ini dipengaruhi factor penerapan “Politik Etis” itu sendiri. Jika pada saat masa-masa Hindhu Budha terjadi pengelompokan status kemasyarakatan yang dilihat dari harkat, martabat, derajad manusia. Pendidikan pada zaman kolonial tidak jauh beda pada masa Hindhu Budha, pengelompokan masyarakat sangat terasa pada saat itu. Pada masa kolonial dikenal dengan adanya istilah “priyayi dan wong cilik” . Istilah priyayi ditunjukan kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau jabatan dalam pemerintahan atau bisa juga kepada orang-orang kaya, seperti contoh para raja, Adipati (orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan) ataupun juga para pedagang yang kaya. Sedangkan wong cilik ditujukan kepada orang-orang yang hidup kekurangan atau miskin, seperti contoh para petani, nelayan dan pekerja pabrik.
3.      Pemerintah kolonial hanya memberikan pendidikan kepada orang-orang yang masuk dalam kategori priyayi saja, sedangkan wong cilik tidak diberikan pendidikan sama sekali malah cenderung dilarang untuk mendapat pendidikan.
Pada masa ini, rakyat indonesia mendapatkan pendidikan, meskipun hanya sebatas rakyat kalangan tingkat atas yang memperolehnya. Dan berkat pendidikan itu pula, rakyat indonesia mampu berjuang dan mengentaskan diri dari penjajahan koloni. Pada masa itu banyak sekali pejuang-pejuang kemerdekaan yang lahir, yang diantaranya adalah Soekarno, Moh. Hatta, dan masih banyak lagi yang lahir di masa itu. Rakyat Indonesia berhasil menjadikan bangsa indonesia sebagai bangsa yang merdeka meski pada masa itu masih minim sekali sekolah-sekolah atau pun lembaga pengajaran yang berdiri.
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam dua periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenide Oost-Indische Compagnie) dan masa pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol VOC.
Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan Ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memikat rakyat, seperti misalnya taman siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (Pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang, yaitu: mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal semacam sekolah dan pesantren[7].
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan Dasar, yaitu dibagi kedalam tiga kelas berdasar rengkingnya. Kelas satu diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi, dan menghitung. Kelas dua mata pelajarannya tidak termasuk menghitung. Kelas tiga materi pelajarannya fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata.
2.      Sekolah Latin, yaitu diawali dengan sistem numpang tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. mata pelajaran utamanya adalah bahasa latin. Tetapi akhirnya sekolah ini secara resmi di tutup pada tahun 1670.
3.      Seminarium Theologicum (sekolah seminar), yaitu sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh gubernur jendral Van Lmhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah ini dibagi menjadi empat kelas secara berjenjang.
4.      Academie Der Marine (akademi pelayanan)
5.      Sekolah Cina, Pada tahun 1737 didirikan untuk keturunan China yang miskin. Akan tetapi sempat vakum karena peristiwa de chineeenmoord(pembunuhan China) tahun 1740. Selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan China sekitar tahun 1753 dan 1787.
6.      Pendidikan Islam, yaitu pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Sistem persekolahan(pendidikan) pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Secara umum sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan menurutgolongan kebangsaan yang berlaku pada waktu itu.
1.      Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:
a)      Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
1.      Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school). Yaitu: Sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putr adari tokoh-tokoh terkemuka.
2.      Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school). Yaitu: suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan timur asing, khususnya keturunan Cina.
3.      Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school). Yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anakgolongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri.
b)      Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Daerah.
ü  Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee).Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra.
ü  Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra.
ü  Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa dan juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra.
ü  Sekolah Peralihan (Schakelschool). Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar denganbahasa pengantar bahasa Belanda dan diperuntukan bagianak-anak golongan bumi putra.
2.      Pendidikan lanjutan (Pendidikan Menengah)
·         MULO (Meer Uit gebreid lager school). Sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP.
·         AMS (Algemene Middelbare School). adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian) yaitu: Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam) Pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA
·         HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi, adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat.
·         Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs ). Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan.Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:
o   Sekolah pertukangan (Amachts leergang), Yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu
o   Sekolah teknik (Technish Onderwijs). Adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.
o   Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs).Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
o   Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs). Merupakan  sekolah pertaian yang menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa penganatar belanda. Sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan yaitu pertanian dan kehutanan. Serta bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan.
o   Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoud School).Pendidikan keguruan (Kweekschool).Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19.

BAB III
PENUTUP

Masuknya Hindu Buddha di Indonesia mempengaruhi kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masayarakat Indonesia khususnya Jawa belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu Buddha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis. Diantara bukti-bukti tersebut adalah:
1.      Digunakannya bahasa Sansekerta dan huruf pallawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa kawi, jawa kuno, dan lain-lain.
2.      Telah dikenal sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu Buddha.
3.      Lahirnya banyak karya sastra  bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu Buddha. Seperti: Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, Smaradhana, Negarakertagama, dan Sutasoma.
Berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu Buddha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat.
Pola Pendidikan Pengaruh Islam. Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid.
Ketika era penjajahan dimulai, pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui peran para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam kontinuitas proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan kekuatan resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing.Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk di antaranya: Langgar, Pesantren, Madrasah.
Sedangkan Pendidikan masa Kolonial. secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:Pendidikan Dasar, Sekolah Latin, Seminarium Theologicum (sekolah seminar),Sekolah Cina,Pendidikan Islam,
Sistem persekolahan (pendidikan) pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Secara umum sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku pada waktu itu.


[1] Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, Hlm: 371
[2] Ridin sofwan dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), Hlm: 98-101
[3]Ridin sofwan dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 102
[4]Marbangun  Harjowirogo, Adat Istiadat Jawa, Bandung, Patma, Hlm: 213
[5]Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
[6]Http://Managementaqupresident.blogspot.com/2007/12/reflektivitaspendidikan-kolonial-di.html
[7]Ide Anak Agung Gde Agung, Kenangan masa lampau: zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang di Bali, Jakarta, Yayasan Obor, 1993, Hlm: 44
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
Ridin sofwan dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004
Marbangun  Harjowirogo,  Adat Istiadat Jawa, Bandung, Patma,
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Http://Management aqupresident. blogspot.com/2007/12/ reflektivitas pendidikan-kolonial-di.html
Ide Anak Agung Gde Agung, Kenangan masa lampau: zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang di Bali, Jakarta, Yayasan Obor, 1993
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar