BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber kekuatan
manusia adalah pengetahuan, mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu
melakuakan olah cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa terus dan
berkembang. Proses olah cipta tersebut terlaksana berkat adanya aktivitas yang
dinamakan pendidikan. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan
tata laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan.[1]
Bila kita lihat hjauh kebelakang pendidikan yang kita kenal sekarang ini
sebenarnya merupakan adopsi dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi
mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat
terkonstruksi dengan sempurna. Namun diasumsikan media pembelajaran yang ada
pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama
berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan dikelompok sosialnya.
Membicarakan
dinamika pendidikan, tidak bisa di lepaskan dari membicarakan lembaga
pendidikan sebagai tempat berlangsungnya
interaksi proses belajar mengajar. Sistem pendidikan sering dipahami sebagai
suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal,
agen-agen, serta organisasi dengan mentransfer pengetahuan, warisan kebudayaan
serta sejarah kemanusian yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spritual dan
intelektual. Artinya, sistem pendidikan tidak bisa dipisaahkan dari sistem
pendidikan diiluarnya, seperti sistem politik, sistem tatalaksana, sistem
keuangan, dan sistem kehaakiman.
Karena itu,
kalau kita hendak memahami sistem penndidikan islam, misalnya dibutuhkan
informasi yang menyajikan kontruk sosial, politik, dan pemikiran tokkoh
keagamaan islam pada masa-masa tertentu. Dalam makalah ini kami sebagai pemakalah akan meembahasa
mengeneai model atau sistem pendidikan di Jawa dari masa kemasa, yaitu pada
masa hidu-budha, pada pola pendidikan pengaruhh isam, kolonial Belanda.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pendidikan masa hindu-budha?
2.
Bagaimana pola pendidikan pengaruh islam?
3.
Bagaimana pendidikan masa koloial Belanda?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan masa
Hindu-Budha
Hindu-Budha di
Indonesia akrab diawali dari kemunduran beberapa kerajaan di abad ke-5 M,
antara lain: kerajaan hindhu-budha di Kutai (Kalimantan). Di jawa barat muncul
kerajaan Tarumanegara. Pada masa ini lembaga-lembaga pendididkan telah ada di
Indonesia khususnya di jawa sejak periode permulaan. Pada masa ini pendidikan
melekat dengan agama.
Pada masa
Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan
di indonesia sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran
yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu
kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti: ilmu perbintangan, ilmu pasti,
penghitung waktu, seni bangunan, seni rupa, dan lain-lain. Pola pendidikannya
mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas, belajar seperti ruang diskusi
dan seminar.
Menjelang
periode akhir, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang
bersifat kolosial, tetapi para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murit
relatif terbatas dan bobot materi ajaran yang bersifat spiritual religius. Para
murid ini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari.
Sistem
pendidikan hindu-Budha dikenal dengan
istilah Karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukkan bagi petapa
dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan
mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu
patapan dan mandala
Patapan memiliki tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri
untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu
yang di cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannaya sebuah bangunan,
seperti rumah dan pondokan. Bentuk patapan sederhana, seperti gua atau ceruk,
batu-batu besar, ataupun bangunan yang
bersifat antificial. Hal ini dikarenakan jumlah resi yang bertapa lebih sedikit
atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari bentuk segala hawa nafsu, orang
yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian
bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua
yaitu mandala adalah semacam lembaga pendidikan hindhu budha sebagai
salahsatu bangunan di atas tanah pardikan dan berfungsi sebagai pusat
pendidikan (semacam sekolah) dan keagamaan yang ada sejak sebelum Majapait.
Fungsi lain dari mandala yaitu sebagai patapan (semacam tempat komunitasorang
suci yang ingin melakukan praktik askestim yang sering disebut juga dengan zuhuddalam
beberapa waktu).
Adapun ciri
khas pendidikan masa hindu-budha dijawa menurut Denis Lombard yang merupakan
salah stu tokoh sejarawan yaitu:
1.
Lokasi pendidikan tersebut jauh dari keramaian di plosok yang
kosong dan berada pada tanah pardikan (desa yang telah memperoleh hak istimewa
dari penguasa)
2.
Adanya tradisi ikatan guru-murid. Guru adalah bapak bagi murid, dan
murid berbapak pada sang guru.
3.
Metode pengajarannya dikenal dengan istilah Upanishad (para murid
duduk dekat dengan seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang
lebih tinggi). Proses belajarnya para siswa mengelilingi sang pendeta untuk
mendengarkan pengajaran berdisiplin melaksanakan upacara membersihkan diri,
pemujaan, kebaktian.[2]
Masuknya
hindu-budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang
pendidikan. Sebab sebelum masyarakat indonesia khususnya jawa belum mengenal
tulisan. Namun dengan masuknya hindhu budha, sebagaian masyarakat indonesia
mulai mengenal tulisan budaya baca dan tulis, diantara bukti-bukti tersebut
adalah:
1.
Digunakannya bahasa Sansekerta dan huruf palawa dalam kehidupan
sehari-hari. Bahasa tersebut terutama digunakan bahasa kawi, jawa kuno, dan
lain-lain.
2.
Telah dikenal sistem
pendidikan berasrama (ashram) didirikan sekolah-sekolah khusus untuk
mempelajari agama hindhu budhaa.
3.
Lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan
interpretasi kisah-kisah dalam budaya hindu budha. Seperti: Baratayuda , Arjuna
wiwaha, Smaradana, Negarakertaghama, dan Sutasoma.
Berkembangnya
ajaran budi pekerti berlandas agama hindu budha. Pendidikan tersebut menekankan
kasih sayang, kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai
dikenal dan diamalkanoleh sebagian masyarakat.[3]
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, pengelola
pendidikan adalah kaum Brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat
tinggi, bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke
guru yang lain, kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya
di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke
guru-guru tertentu, pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara
turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
B.
Pola Pendidikan Pengaruh Islam
Sejak abad ke-7
M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara
sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau persia).
Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dan kerajaan
inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persingahan yang menarik bagi
para pedagang dari negri sebrang seperti arab, persia dan india.
Nilai baru yang
dibawa para pedagang muslim semisal dari gujarat di terima hangat oleh
raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan islam
permulaan di indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan perlak (1292)
dan kerajaan samudra pasai (1297).Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebab
islam di indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir
Sumatra utara (jalur selat Malaka) baru kemudian menyebar ke jawa dan
seterusnya ke wilayah timur Indonesia.
Pendidikan
islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi
inter-personal yang berlangsung dari berbagai kesempatan seperti aktivitas
perdagangan. Da’wah bil hal atau ketekadanan pada konteks ini mempunyai
pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk menkaji atau
memeluk ajaran islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang di
tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar
dan masjid.
Fasilitas
tersebut bukan hanya sebagai tempat salat saja, melainkan juga tempat belajar
untuk membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer
lainnya. Metode pembelajarannya adalah sorogan (murid secara perorangan atau
gantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok
murid yang duduk mengintarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang
kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup
dari langgar atau masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren secara
tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri
(murid), masjid, pondoakan (asrama) dan kitap kuning (referensi).
Sistem
pembelajaran relatif serupa dengan sistem langgar atau masjid, hanya saja
materinya kini kian berbobot dan beragam seperti bahasa dan sastra Arab,
tafsir, hadist, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren,
seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di
bidang agama islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di
tengah-tengah masyarakatnya.
Ketika
kekuasaan politik islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan islam,
pendidikan semakin memperoleh perhatian. Contoh paling menarik untuk sisebutkan
adalah sistem pendidikan islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di
kerajaan aceh darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk
beberapa lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan,
yaitu:
1.
Balai Seutia
Hukama (lembaga ilmu pengetahuan);
2.
Balai Seutia
Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran);
3.
Balai Jamaah
Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati pendidikan).
Adapun jenjang pendidikannya dapat
disebutkan sebagai berikut:
a)
Meunasah
(madrasah), berada di tiap kampung. Disini
diajarkan materi elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah,
dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu;
b)
Rangkang
(setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu
bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain;
c)
Dayah
(setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi:
fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara,
ilmu pasti dan faraid;
d)
Dayah Teuku Cik
(setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan
materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu
mantiq, ilmu falaq dan filsafat.
Sultan Mahdum Alauddin Muhammad
Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M) disebutkan pernah
mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang
dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa
kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada
masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini
sangat tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi
raja[4].
Ketika era penjajahan dimulai,
pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui peran
para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di
pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat bahwa
lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam kontinuitas
proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan kekuatan
resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing.
Secara umum, pendidikan
Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk sebagai
berikut:
1)
Langgar. Dikelola
seorang amil, modin atau lebai yang berfungsi sebagai guru agama sekaligus
pemimpin ritual keagamaan di masyarakat. Materi ajar bersifat elementer. Metode
pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak ada biaya formal, seringkali hanya
berupa pemberian ‘in natura’. Hubungan guru-murid umumnya mendalam dan langgeng.
2)
Pesantren. Murid
diasramakan di pondok yang dibangun oleh sang guru atau dengan biaya swadaya
masyarakat setempat. Ada properti tanah yang dapat dikelola bersama oleh guru
dan murid untuk mendanai proses pendidikan. Kekurangan biaya terkadang memaksa
santri mencari dana keluar, meminta sumbangan dari umat Islam secara sukarela.
Jumlah murid relatif, ada yang banyak ada juga yang sedikit. Tidak ada batasan
atau penjenjangan pendidikan yang tegas. Guru tidak digaji secara formal. Murid
memberi layanan kepada guru sebagai ganti biaya pendidikan seperi ikut
mengelola tanah atau usaha lain milik guru.
3)
Madrasah. Pola
pendidikan teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap.
Metode menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping
materi-materi ilmu agama.
C.
Pendidikan masa Koloial Belanda
Pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh
organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano,
penguasa Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak
pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis
dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga
diajarkan
kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat
pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia.
Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di
Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu
mengakar.[5]
Di
samping itu, banyak sekali hal yang menjadikan bangsa Indonesia dapat mengenal dan mengenyam dunia pendidikan yang pada masa
pemerintahan kolonial sangatlah berkembang. Pada masa kolonial, bentuk Sistem
Pendidikan Kolonial di antaranya[6]:
1. Pendidikan
pada zaman kolonial mengalami penurunan yang sangat drastis pada bidang
pendidikan formal. Memeng pada saat zaman penjajahan belanda, dikenal dengan
adanya kebijakan “Politik Etis” pada akhir abad ke-13 yaitu kebijakan
pemerintahan Belanda sebagai balas budi kepada rakyat Indonesia dengan
memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang
diberikan masih sangat terbatas baik dari segi jumlah yang mendapat pendidikan
atau pun dari segi pendidikan yang diberikan. Dalam bukunya M.Sulthon Masyhud
menurut Brugmans mencatat pada tahun 1900-1928 anak-anak usia 6-8 tahun yang
bersekolah hanya mencapai 1,3 juta jiwa. Padahal penduduk di pulau jawa hingga
tahun 1930 mencapai 41,7 juta jiwa, ini berarti ada sekitar 97 persen penduduk Indonesia
yang masih buta huruf.
2. Kurang
meratanya pendidikan dalam hal, siapa yang mendapat pendidikan ini dipengaruhi
factor penerapan “Politik Etis” itu sendiri. Jika pada saat masa-masa Hindhu
Budha terjadi pengelompokan status kemasyarakatan yang dilihat dari harkat,
martabat, derajad manusia. Pendidikan pada zaman kolonial tidak jauh beda pada
masa Hindhu Budha, pengelompokan masyarakat sangat terasa pada saat itu. Pada
masa kolonial dikenal dengan adanya istilah “priyayi dan wong cilik” . Istilah
priyayi ditunjukan kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau jabatan dalam
pemerintahan atau bisa juga kepada orang-orang kaya, seperti contoh para raja,
Adipati (orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan) ataupun juga para
pedagang yang kaya. Sedangkan wong cilik ditujukan kepada orang-orang yang
hidup kekurangan atau miskin, seperti contoh para petani, nelayan dan pekerja
pabrik.
3. Pemerintah
kolonial hanya memberikan pendidikan kepada orang-orang yang masuk dalam
kategori priyayi saja, sedangkan wong cilik tidak diberikan pendidikan sama
sekali malah cenderung dilarang untuk mendapat pendidikan.
Pada
masa ini, rakyat indonesia mendapatkan pendidikan, meskipun hanya sebatas
rakyat kalangan tingkat atas yang memperolehnya. Dan berkat pendidikan itu
pula, rakyat indonesia mampu berjuang dan mengentaskan diri dari penjajahan
koloni. Pada masa itu banyak sekali pejuang-pejuang kemerdekaan yang lahir,
yang diantaranya adalah Soekarno, Moh. Hatta, dan masih banyak lagi yang lahir
di masa itu. Rakyat Indonesia berhasil menjadikan bangsa indonesia sebagai
bangsa yang merdeka meski pada masa itu masih minim sekali sekolah-sekolah atau
pun lembaga pengajaran yang berdiri.
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat
dipetakan kedalam dua periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenide
Oost-Indische Compagnie) dan masa pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands
Indie). Pada masa VOC yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi
pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan
komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga
pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka
selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di indonesia harus berada
dalam pengawasan dan kontrol VOC.
Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih
terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan
pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial
adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang
Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat
bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun
prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan Ala
Eropa.
Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam
perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi.
Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memikat rakyat, seperti
misalnya taman siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional
(Pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi
sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang, yaitu: mengandalkan sistem
pendidikan pada institusi formal semacam sekolah dan pesantren[7].
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC
dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan
Dasar, yaitu dibagi kedalam tiga kelas berdasar rengkingnya. Kelas satu diberi
pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi, dan menghitung. Kelas dua mata
pelajarannya tidak termasuk menghitung. Kelas tiga materi pelajarannya fokus
pada alphabet dan mengeja kata-kata.
2.
Sekolah Latin,
yaitu diawali dengan sistem numpang tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun
1642. mata pelajaran utamanya adalah bahasa latin. Tetapi akhirnya sekolah ini
secara resmi di tutup pada tahun 1670.
3.
Seminarium
Theologicum (sekolah seminar), yaitu sekolah untuk mendidik calon-calon
pendeta, yang didirikan pertama kali oleh gubernur jendral Van Lmhoff tahun
1745 di Jakarta. Sekolah ini dibagi menjadi empat kelas secara berjenjang.
4.
Academie Der
Marine (akademi pelayanan)
5.
Sekolah Cina, Pada tahun
1737 didirikan untuk keturunan China yang miskin. Akan tetapi sempat vakum
karena peristiwa de chineeenmoord(pembunuhan China) tahun 1740. Selanjutnya,
sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan China
sekitar tahun 1753 dan 1787.
6.
Pendidikan
Islam, yaitu pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui
lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak
proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau
mengaturnya.
Sistem
persekolahan(pendidikan) pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Secara umum
sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan didasarkan kepada golongan
penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan
menurutgolongan kebangsaan yang berlaku pada waktu itu.
1. Pendidikan
Rendah (Lager Onderwijs)
Pada
hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system
pokok yaitu:
a) Sekolah
rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
1. Sekolah
rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school). Yaitu: Sekolah rendah untuk
anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putr
adari tokoh-tokoh terkemuka.
2. Sekolah
Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school). Yaitu: suatu sekolah rendah
untuk anak-anak keturunan timur asing, khususnya keturunan Cina.
3. Sekolah
Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school). Yaitu sekolah rendah untuk
golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk
anak-anakgolongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri.
b) Sekolah
rendah dengan bahasa pengantar bahasa Daerah.
ü Sekolah
Bumi Putra kelas II (Tweede klasee).Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi
putra.
ü Sekolah
Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra.
ü Sekolah
Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah
desa dan juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra.
ü Sekolah
Peralihan (Schakelschool). Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga
tahun) kesekolah dasar denganbahasa pengantar bahasa Belanda dan diperuntukan
bagianak-anak golongan bumi putra.
2. Pendidikan
lanjutan (Pendidikan Menengah)
·
MULO (Meer Uit gebreid lager school).
Sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar
bahasa Belanda dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak
zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP.
·
AMS (Algemene Middelbare School). adalah
sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan
golongan bumi putra dan Timur asing. AMS ini terdiri dari dua jurusan
(afdeling= bagian) yaitu: Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B
(pengetahuan alam) Pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak
kemerdekaan disebut SMA
·
HBS (Hoobere Burger School) atau
sekolah warga Negara tinggi, adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang
disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh
terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa
Barat.
·
Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs ).
Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan
perhatian pada pendidikan kejuruan.Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah
sebagai berikut:
o Sekolah
pertukangan (Amachts leergang), Yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima
sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan
(vervolgschool). Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan
berbahasa pengantar Belanda. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor
jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu
o Sekolah
teknik (Technish Onderwijs). Adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa
Belanda. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia
untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.
o Pendidikan
Dagang (Handels Onderwijs).Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa
yang berkembang dengan pesat.
o Pendidikan
pertanian (landbouw Onderwijs). Merupakan
sekolah pertaian yang menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa
penganatar belanda. Sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua
jurusan yaitu pertanian dan kehutanan. Serta bertujuan untuk menghasilkan
pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan.
o Pendidikan
kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).Pendidikan ini merupakan kejuruan
yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan
Sekolah Rumah Tangga (Huishoud School).Pendidikan keguruan
(Kweekschool).Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada
sejak permulaan abad ke-19.
BAB III
PENUTUP
Masuknya Hindu Buddha di Indonesia mempengaruhi
kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya
masayarakat Indonesia khususnya Jawa belum mengenal tulisan. Namun dengan
masuknya Hindu Buddha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca
dan tulis. Diantara bukti-bukti tersebut adalah:
1.
Digunakannya
bahasa Sansekerta dan huruf pallawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa
tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah
mulai digunakan bahasa kawi, jawa kuno, dan lain-lain.
2.
Telah dikenal
sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk
mempelajari agama Hindu Buddha.
3.
Lahirnya banyak
karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam
budaya Hindu Buddha. Seperti: Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, Smaradhana,
Negarakertagama, dan Sutasoma.
Berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan
ajaran agama Hindu Buddha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang,
kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan
oleh sebagian masyarakat.
Pola Pendidikan Pengaruh Islam. Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat
informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam
berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau
keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian
dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya,
ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah
menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid.
Ketika era penjajahan dimulai,
pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui peran
para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di
pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat bahwa
lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam kontinuitas
proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan kekuatan
resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing.Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat
diikhtisarkan mengambil bentuk di antaranya: Langgar, Pesantren,
Madrasah.
Sedangkan Pendidikan masa Kolonial. secara umum
sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:Pendidikan
Dasar, Sekolah Latin, Seminarium Theologicum (sekolah seminar),Sekolah Cina,Pendidikan Islam,
Sistem persekolahan (pendidikan) pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda. Secara umum sistem pendidikan khususnya sistem
persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan
(kelas) sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku pada waktu
itu.
[1] Tim Penyusun, Kamus
Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, Hlm: 371
[2] Ridin sofwan
dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media,
2004), Hlm: 98-101
[3]Ridin sofwan
dkk, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 102
[4]Marbangun Harjowirogo, Adat Istiadat Jawa, Bandung, Patma, Hlm:
213
[5]Koentjaraningrat, Pengantar
Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
[7]Ide Anak Agung Gde Agung, Kenangan masa lampau: zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan
Jepang di Bali, Jakarta, Yayasan Obor, 1993, Hlm: 44
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008
Ridin sofwan dkk, Merumuskan
kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004
Marbangun Harjowirogo, Adat Istiadat Jawa, Bandung, Patma,
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Ide
Anak Agung Gde Agung, Kenangan masa lampau: zaman kolonial Hindia Belanda dan zaman pendudukan
Jepang di Bali, Jakarta, Yayasan Obor, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar