Rabu, 25 November 2015

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM



PEMBAHASAN
A. Pengertian Interelasi
                        Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari berbagai aspek kepercayaan dan ritual.
                        Agama di dalam memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan. Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu dinamakan kepercayaan.
                        Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Disamping itu juga ada yang bersumber  pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme dan dinamisme.
                        Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan  dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa arab menjadi fenomena Jawa[1].
B. Interelasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai Jawa
            1. Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
        Islam di Jawa tidak lepas dari peranan Walisongo. Walisongo  adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan  aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada  masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam bahasa Inggris pada umumnya diartikan saint, sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tetapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi Jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang.
        Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan siapapun. Termasuk ketika pedagang dan alim ulama` yang bertubuh tinggi besar, hidung mancung dan berkulit putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama` dari tanah timur tengah. kedatangan mereka ternyata membawa sejarah baru yang hampir merubah Jawa secara keseluruhan.
        Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatra dan Kalimantan. Bukti berupa adanya nisan raja-raja Aceh yang beragama Islam menunjukkan bahwa Islam telah barkembang di Kesultanan Aceh pada abad ke13 M, jadi bisa diperkirakan mungkin Islam telah datang ke Indonesia sejak abad itu atau sebelumnya[2]
        Agama tauhid ini telah berkembang di Jawa, kaum pedagang dan nelayan banyak terpikat oleh ajaran yang mengenalkan tuhan Allah swt ini. Salah satu benda yang baru bagi orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di Leran, Gresik dimana pada batu nisan ini tertulis nama Fatimah binti Maimun wafat tahun 1082 M. Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang memberi petanda batu nisan bagi orang ynag meninggal, apalagi yang mewah. Islam di Jawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama yang selalu giat menyebarkan agama Islam[3]
        Bagi orang Jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Hidup manusia sejak dari keberadaannya dari rahim ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai saat kematiannya atau upacara-upacara dalam kegiatan sehari-hari dalam mencari nafkah. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu, di antaranya kenduren atau kenduri atau selametan, mitoni, sunatan dll.[4]
        Di Jawa penyebaran agama Islam harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animisme dan dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme, dari perjalanan sejarah pengalaman di Jawa tampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Namun ternyata Islam diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.
2. Respon Islam terhadap Budaya Jawa 
        Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistis tertentu, yang dimaksud kegiatan ritualistis adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan Ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah do’a oleh karena arti harfiah shalat juga do’a yang ditujukan kepada Allah swt., sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
        Islam adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta seperti pada masa Hindu-Budha. Namun pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu golongan santri, abangan dan priyayi. Walaupun sebenarnya golongan ini tidaklah untuk membedakan status sosial seseorang, namun penggolongan ini ada berdasarkan pemahaman mana yang lebih baik diantara mereka tentang Islam yang dianut di Jawa dahulu dan sekarang atau tingkat kekuatan mereka menjalankan ibadah agama Islam. Sebenarnya penggunaan istilah abangan, santri, dan priyayi dalam klasifikasi masyarakat Jawa dalam golongan agama adalah tidak tepat, karena ke tiga golongan yang disebutkan tadi tidak bersumber pada sistem klasifikasi yang sama karena hanya abangan dan priyayi yang termasuk dalam penggolongan dalam ibadah agama Islam, sedangkan priyayi adalah suatu penggolongan sosial.
        Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam. Mereka mengaku orang Islam tetap dalam kategori umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara para santri yaitu para orang Muslim yang  taat  menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan ajaran-ajaran Islam, sementara cara hidupnya lebih dipengaruhi oleh tradisi Jawa pra Islam.
        Sedangkan priyayi menurut Robert Van Niel, terjadi dari para administrator, para pegawai sipil (birokrat) serta orang Indonesia yang agak baik pendidikannya dan agak berada, termasuk orang Jawa, baik di kota maupun di desa. Sampai ukuran tertentu mereka memimpin, mempengaruhi, mengatur atau membimbing massa rakyat yang luas. Ia menyebut golongan ini elit. Adapun golongan priyayi mencakup para anggota dinas administratif yaitu birokrasi pemerintah serta para cendikiawan yang berpendidikan akademis. Mereka menempati kedudukan pemerintah dan tersusun menurut heirarki birokrasi mulai dari priyayi rendahan (seperti, juru tulis, guru sekolah, pegawai dll) sampai priyayi tinggi.
        Berbeda dengan stratifikasi horisontal, adapula klasifikasi masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama Islamnya atau ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat. Pertama, terdapat santri yakni orang Muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat di daerahnya. Kedua, terdapatlah abangan yang secara harfiah berarti ”yang merah”, yang diturunkan dari pangkal ke atas abang (merah). Istilah ini mengenai orang Muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban- kewajiban agama. Cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi pra Islam Jawa.

        Jadi perbedaan antara santri dan abangan adalah diadakan bila orang digolongkan dengan mengarah kepada perilaku religiusnya, pengertian santri dan abangan dalam arti ini, dapat dianggap sebagai dua subkultur dengan pandangan dunia, nilai dan orientasi yang berbeda dalam kebudayaan Jawa.  
C. Cakupan Interlasi Islam Jawa
             Interelasi antara Islam dan Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir seluruh aspek-aspek kehidupan jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1. Interelasi Islam Jawa dalam aspek kepercayaan
                    Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan teradap sesuatu yang sakral, yang suci, atau yang gaib. Dalam agama Islam aspek fundamentalitu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapat rukun iman, yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim. Yang termasuk dalam rukun iman adalah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, para nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya, hari akhir (hari kiamat, surga, dan neraka), dan percaya terhadap qodla dan qodar, yakni ketentuan tentang naib baik atau buruk dari Allah Swt. Unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai seperti percaya adanya Setan, Iblis, syafaat Nabi Muhammad Saw dan lain-lain.
                    Agama primitif sebagai agama orang Jawa sebelum kedatangan agama Hindu ataupun Budha, inti kepercayaanya adalah percaya kepada daya-daya kekuatan gaib yang menempati pada suatu benda (dinamisme), serta percaya terhadap roh-roh ataupun makhluk-makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, baik benda hidup ataupun benda mati (animisme).
               Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam[5].

               Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan pemenuhan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini bukan hanya sekedar berarti mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magis, sebagai sesuatu yang sakral bersifat illahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, batu akik dan lain-lain. Barang-barang peninggalan para raja Jawa yang disebut benda pusaka dan  pada umumnya dipandang sebagai benda-benda keramat.
2. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam Aspek Ritual
               Menurut R. Stark dan C.Y. Glock yang dikutip Chalifah Jama’an, mereka mengatakan bahwa ritual mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang diwujudkan dalam kebaktian, persekutuan suci, baptis, perkawinan dan semacamnya. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air. Apabila aspek ritual adalah komitmen formal dan khas publik, maka ketaatan merupakan perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal, informal dan khas peribadatan yang diwujudkan melalui sembahyang, membaca kitab suci dan ekspresi lain bersama-sama.
               Menurut orang Jawa, mempercayai bahwa ada hubungan antara manusia yang tinggal di alam nyata ini dengan dunia ghaib yang tidak kasat mata, agar tidak saling mengganggu perlu adanya ritual. Pada dasarnya kehidupan orang Jawa penuh dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, upacara itu dilaksanakan untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan ghaib yang tidak dikehendaki dan sesaji atau korban yang disajikan kepada daya kekuatan ghaib (roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa) tertentu.
               Dengan seiringnya waktu, Islam memberikan warna baru dalam upacara yang hakikatny merupakan upaya pendidikan budi pekerti terhadap orang Jawa. Seperti halnya upacara “sedekah bumi” yang masih ada hampir merata di desa-desa terutama di pulau Jawa. Upacara ini biasanya diadakan setelah panen sebagai bentuk terima kasih kepada “Dewi Sri”. Meskipun bentuknya berubah menjadi selametan dengan membaca do’a secara Islam. Selametan di sini merupakan bentuk sinkretisme ajaran Agama Islam dengan nilai Jawa. Demikian juga dengan bancakan dan kenduren.
               Sedangkan bancakan merupakan upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur yang berkaitan dengan masalah pemerataan terhadap kenikmatan, kekuasaan dan kekayaan, dengan tujuan menghindari terjadinya konflik yang disebabkan pembagian yang tidak adil. Biasanya dilakukan dalam acara bagi waris, keuntungan usaha dan sebagainya. Dan yang dimaksud kenduren adalah upacara sedekah makan, karena seseorang telah memperoleh anugerah atau kesuksesan sesuai yang dicita-citakan, yang bersifat personal. Biasanya dilaksanakan pada kenaikan pangkat, lulus ujian dan kesuksesan yang lain.
3. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam Aspek Politik
               imbol sinkretisme politik Jawa-Islam tampak menyolok pada gelar raja-raja Jawa Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, Tetunggul Kalifatul Mu’minin, Susuhanan dan sebagainya. Gelar Ratu Tetunggul Khalifatullah dipakai oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada masa transisi antara dari kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak.[6] Sunan giri berkuasa dalam keadaan vakum.
                    Pada masa ini tidak ada pemimpin yang berdaulat, baik dari raja hindu maupun islam. Kerajaan majapahit yang hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang nantinya Demak belum berdiri. Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan majapahit tahun 1478M oleh serangan seorang raja Grindera wardhanadan Keling Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari ini, sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam yang permanen yaitu raden fatah, dialah raja dari kerajaan islamDemak.[7]

4. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam Pendidikan
                    Dalam aspek pendidikan interelasi islam dan budaya jawa terdapat dalam pendidikan pesantren. Sebagai suatu lembaga pendidikan  jelas sekali bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berada diluar sistem persekolahan. Pesantren tidak terikat dengan sistem kurikulum, perjenjangan, kelas-kelas, atau jadwal pembelajaran terencana secara ketat. Pesantren merupakan sistem pendidikan diluar sekolah yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam banyak hal, lembaga penddikan ini bersifat merakyat.[8]
5. Interelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Ekonomi
                          Dalam masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai istilah-istilah atau konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh, ngirit, dan lain-lain. Sementara itu, istilah Jawa yang memiliki arti berlawanan dari istilah diatas antara lain boros, tanpa pethung, awur-awuran, dan lain-lain. Disamping itu, dengan mendalami secara sungguh-sungguh kebudayaan Jawa telah tinggi sifat-sifat rasional atau prinsip ekonomi dapat ditemukan dalam kata kunci yang digunakam masyarakat Jawa. Diantaranya ora ilok, kuwalat, buak dasar, tuna sanak, ora lumrah, ora umum, lali jawane dan sebagainya.
                          Dalam aspek ekonomim interrelasi nilai Islam dan Jawa dapat dilihat dari tradisi seperti pesuguhan dan selametan. Pesugihan merupakan kegiatan untuk mencapai kebutuhan yang biasanya dilakukan ditempat yang dikeramatkan dengan tujuan untuk mencari ketenangan agar mendapat inspirasi. Sedangkan selametan merupakan upacara yang telah disentuih dengan ajaran Islam, seperti masuknya unsur dzikir, penentuan waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan hari besar Islam yang terkadang mampu menimbulkan getaran emosi keagamaan.
5. Interelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Sastra
                    Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu.
                    Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar Macapat. Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian interelasi
                             Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari berbagai aspek kepercayaan dan ritual.
2. Interelasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai Jawa
            a. Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
        Islam di Jawa tidak lepas dari peranan Walisongo. Walisongo  adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan  aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada  masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam bahasa Inggris pada umumnya diartikan saint, sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tetapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi Jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang.
 b. Respon Islam terhadap Budaya Jawa 
        Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistis tertentu, yang dimaksud kegiatan ritualistis adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan Ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah do’a oleh karena arti harfiah shalat juga do’a yang ditujukan kepada Allah swt., sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.

3. Cakupan Interlasi Islam Jawa
             Interelasi antara Islam dan Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir seluruh aspek-aspek kehidupan jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
a. Interelasi nilai jawa Islam dalam aspek kepercayaan
b. Interelasi nilai jawa Islam dalam Aspek Ritual
c. Interelasi nilai jawa Islam dalam aspek pendidikan
d. Interelasi nilai jawa islam dalam aspek ekonomi
e. Interelasi nilai jawa Islam dalam aspek sastra
B. Penutup
               Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mangharap kritik dan saran yang membangun penulis untuk membuat makalah selanjutnya.

















DAFTAR PUSTAKA

            Hariwijaya, Islam Kejawen,Yogjakarta: Gelombang Pasang, 2006.
            Amin, Darori, Islam dan Budaya jawa, Yogyakara: Gama Media, 2000.
            Sufwan, Ridin, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogjakarta: Gama Media, 2004.
            Muthohar, Abdul Hadi, Pengaruh Madzhab Syafi,i di Asia Tenggara, Semarang: Aneka Ilmu, 2003.  
Saksono,Widji,  Meng-islamkan Tana Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995,

Abdul Jamil,Darori Amin, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,  2000.



                [1] M. Darori Amin. Islam dan Budaya jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2000. Hlm. 123.
                                [2] Ridin Sufwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogjakarta, Gama Media, 2004. Hal. 31
                                [3] M.Hariwijaya, Islam Kejawen,Yogjakarta: Gelombang Pasang, 2006, Hal.167
                                [4]  Op.cit. Hal. 131
                [5]M. Darori Amin. Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2000. Hlm. 126-127.
[6] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Mizan, Bandung 1995, hlm. 119-121
[7] Abdul Jamil,Darori Amin, dkk, IslandanKebudayaanJawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000), hlm. 209.
[8]  Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Pustaka pelajarm Yogyakarta,  2005,  hlm. 155-156.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar