Rabu, 25 November 2015

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG SASTRA



I.         PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat Nusantara kaya akan tradisi  lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Sampai sekarang kita masih dapat menikmati berbagai khasanah budaya yang tidak ternilai harganya. Salah satunya peninggalan nenek moyang tersebut dalam bentuk  karya sastra, baik karya sastra yang hidup di kalangan masyarakat umum maupun karya sastra yang berkembang di istana. Munculnya dua istilah dalam sastra itu terjadi secara alami dan tidak sengaja, namun tercipta dari sistem sosial yang berkembang di masyarakat  Nusantara. Sistem pemerintahan monarki masyarakat Nusantara pada masa lalu yang di dominasi oleh budaya Hindu, melahirkan kelas-kelas sosial berupa rakyat jelata dan bangsawan.Mereka masing-masing mendukung budayanya yaitu budaya Desa dan Budaya Istana.Kedua budaya ini berkembang sendiri-sendiri, tidak hanya bersifat horizontal tetapi juuga bersifat vertikal. Akibatnya akan sangat sulit terjadi suatu perpindahan unsur-unsur budaya elit ke budaya desa, namun tidak sebaliknya.
Agama islam mulai masuk ke pulau Jawa sebelum abad ke 13 M, dan pertama kali menerima pengaruh Islam dari Malaka. Dari Jawa ini kemudian Islam tersebar ke pulau Indonsia bagian timur seperti Makasar (Ujung Pandang).Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam saat itu adalah daerah Gersik dan Surabaya.Kesimpulan ini di dasarkan pada bukti menemukan sebuah makam dari seorang yang bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada 7 Rajab 475 H. dan makam Malik Ibrahim yang meninggal pada Rabiul awal 882 H.
Keberhasilan pengislaman penduduk Jawa berkat kerja keras para mubaligh yang tangguh. Mereka adalah para Wali yang terkenal dengan nama Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai, nyaris tidak ada konflik. Pengislaman dijawa di mulai dari lapisan masyarakat bawah.Tidak ada  kekuatan secara politis  untuk mengislamkan lapisan masyarakat ataa, tetapi sebaliknya para penguasa, pejabat pemerintah masuk islam karena kepentingan mereka.yakni ketika masyarakat diwilayahnya telah menjadi muslim.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan tentang Perkembangan sastra pada masa Hindu Budha?
2.      Perkembangan sastra hasil Interelasi Islam dan Jawa?
3.      Perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang , dan Mataram?
4.      Periode Perkembangan sastra Modern, Baru Pertengahan, dan Tradisional?


II.      PEMBAHASAN
A.       Perkembangan Sastra pada Masa Hindu–Budha
Kata sastra berasal dari bahasa Sankerta,Berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/ intruksi.Sedangkan kata tra berarti alat, sarana,Sehingga sastra berarti alat untuk mengajar,buku petunjuk atau pengajaran.Biasanya kata sastra diberi awalan su (menjadi susatra).Sedangkan su berarti baik,indah.Jadi istilah susatra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang indah.
Istilah sastra dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Literature yang berarti karya tulis yang dicetak(Termasuk karya sastra yang tidak hanya tertulis, tetapi juga yang tidak tertulis/lisan).
Rene Wellek & Austin Warren mengemukakan bahwa sastra merupakan suatu karya seni yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak,termasuk karya sastra lisan.Jadi, istilah “sastra” yang tekait dengan suatu karya (karya sastra)merupakan suatu tulisan yang sifatnya imajinatif yang diterapkan pada (umumnya) dalam seni sastra.Bicara mengenai sastra pasti tidak lepas dari fungsi dan sifatnya.Karya sastra berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pegajaran sesuatu terhadap manusia.
Adapun fungsi dari karya sastra itu sendiri adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan, nilai manfaat , dan mengandung nilai moralitas atau pesan moral.suatu karya sastra dikatakan memilki nilai keindahan karena karya  yang terungkap dalam sebuah bentuk-bentuk karya sastra merupakan suatu karya yang dapat dinikmati, baik bagi pembacanya pendengarnya dan penontonnya. Dengan demikian baik pembaca pendengar dan penontonnya merasa tidak bosan, tergantung dari kualitas karya sastra yang bersangkutan.[1]
Perkembangan masyarakat jawa dapat dipandang dari sudut pandang luar adalah bahwa pada dasarnya masyarakat jawa menganut sistem budaya terbuka terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing.Pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa itu telah berlangsung lama, dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra jawa kuno, sastra jawa pertengahan, sampai dengan sastra jawa modern, Sejalan dengan waktu masuknya pengaruh asing yang mewarnainya. pengaruh budaya luar itu sudah terjadi sejak munculnya teks sastra keagamaan berbentuk prosa dalam sastra parwa sampai dengan sastra jawa yang bersifat kerakyatan pada masa sastra jawa modern kini.”[2] Darusuprapta menjelaskan pada masa awal munculnya sastra jawa, dalam hal ini khusus sastra jawa tertulis, pengaruh sastra Hindu dari India yang diilhami oleh ajaran agama Hindu tampak dalam karya sastra jawa Kakawin dan kitab-kitab parwa. Bahkan, karya sastra jawa pada zaman itu banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta yang dengan mudah dapat dirujukkan kepada bahasa yang dipakai dalam buku sumbernya di India.[3]
Kakawin berasal dari kata Sansekerta Kawi ‘penyair’ serta mendapat afiks Jawa (kuno) ka- dan –an, yang keseluruhan kata itu berarti karya seorang penyair atau syair (puisi) karya penyair.Kakawin merupakan genre puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.Kakawin juga telah memiliki aturan-aturan yakni :
1.      Jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sama untuk baris-baris dalam satu bait
2.      Bait-bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama
3.      Pola guru-laghu ‘bunyi vocal panjang dan bunyi vocal pendek dalam suku kata yang berlaku untuk tiap baris dan bait.[4]
Orang-orang Hindu sengaja ingin mengembangkan ajaran agamanya melalui kitab-kitab sastra.Pada waktu itu orang-orang Hindu banyak membawa buku-buku keagamaannya, berbahasa Sansekerta, dalam kehidupan masyarakat Jawa.Akibatnya adalah bahwa beberapa karya sastra Jawa ketika itu banyak memuat ajaran agama Hindu.Di tanah asalnya, kitab-kitab Hindu itu dipandang suci karena berisi ajaran religious. Pandangan bangsa india yang menilai suci terhadap kitab-kitab sastranya juga berlaku kepada masyarakat Jawa semasa kuatnya pengaruh agama dan budaya Hindu. Bahkan, penamaan kitab-kitab sastra itu telah menunjukkan penghormatan terhadap karya-karya tersebut. Penamaan kitab sastra dalam memakai kata sang hyang seperti terdapat dalam kitab Sang Hyang Kamahanikan menunjukkan rasa hormat masyarakat pembacanya terhadap kitab tersebut. Kitab itu juga dipandang sebagai buku agama bagi penganut agama Budha Mahayana pada masa pemerintah Empu Sindok di Jawa Timur 929-947 Masehi.[5]
Penghormatan atau pandangan serupa juga berlaku pada masyarakat Jawa terhadap teks sastra pewayangan sehingga terhadap beberapa lakon tidak dapat dipentaskan pada sembarang kesempatan.Hal yang demikian memberikan gambaran bahwa teks sastra bukan merupakan bacaan semata, melainkan harus dihayati dalam kaitannya dengan kehidupan yang bersifat ritual.Karya sastra Jawa pengaruh Hindu tidak terlepas dari kehidupan dan peran penguasa pemerintahan pada waktu itu.Kondisi yang demikian berlangsung sampai dengan akhir abad ke 18 Masehi.Kitab-kitab parwa pun, secara tidak langsung dapat di runut bahwa kitab-kitab itu dimaksudkan sebagai catatan peristiwa historis dari penguasa pada saat karya itu diciptakan oleh pujangga dalam pemerintahan tertentu, misalnya kisah yang terdapat di dalam kitab Arjunawiwaha. (perjalanan atau kisah kehidupan Raja Airlangga). Dengan demikian kitab-kitab sastra sejarah dalam khasanah budaya dan sastra jawa menempati urutan utama.Karya-karya itu ditulis oleh pujangga-pujangga keratin.Kedudukan pujangga atau penulis sastra pada waktu itu tidak dapat diepaskan dengan misi penguasa atau raja.Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa penulis melakukan ‘‘penghalusan’’ peristiwa dalam mengganbarkan kejadian tertentu untuk mewujudkan sikap loyal terhadap raja selaku penguasa.
Kebiasaan raja mengangkat seorang pujangga telah muncul sejak pemerintahan singosari dan tetap berlanjut sampai pemerintahan Kasunanan Surakarta. Kitab Pararaton dan Negara Kertagamamerupakan  karya sastra yang mengambil latar sejarah yang cukup mencolok dari pada bacaac sastra. Kitab Pararaton memuat peristiwa atau kisah yang menyangkut pendiri dinasti Singasari dan Majapahit, yakni Ken Arok, sedangkan Negara Kertagama memuat pengalaman hidup Raja kertanegara.

B. Perkembangan Sastra hasil Interelasi Islam dan  Jawa
1.      Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Dalam proses penyebaran Islam dijawa terdapat dau pendekatan tentang bagaimana cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam, baik secara islam diserap menjadi bagian dari budaya jawa. Pendekata pertama yang disebut Islamisasi Kultur Jawa.Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak formal maupun secara substansial. Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam Kejawaan.
Sebagai contoh pada nama-nama orang banyak dipakai nama seperti Abdul Rahman, Durajak, dan lain-lain. Begitu juga penggunaan sebutan Jawa narimo ing pandum yang pada hakekatnya adalah penterjemahan dari tawakkal sebagi konsep sufistik.Tampaknya tradisi menyalaraskan antara Islam dan budaya Jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan Islam di Jawa.Beberapa literature karya sastra pujangga Jawa pada pertengahan abad 19 seperti Dewa Ruci karya R.Ng. Yasadipura, Serat Wirid Hidayat Jati karya R. NG.Ranggawarsita, Whedhatama karya Mangkunegara IV, dan lain-lain juga tampak mencerminkan upaya-upaya seperti itu.[6]
2.      Korelasi Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra
Pergulatan Islam dengan sastra budaya Jawa ternyata melahirkan tiga bentuk keislaman yang punya dasar fikiran yang berbeda dan kadang memancing konflik antara satu dengan lainnya.[7]
Maksud keterkaitan Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatif  moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya Sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang / sekar macapat) dipakai untuk memberikan berbagai petunjuk atau nasihat yang secara substansial yang merupakan petunjuk atau nasihat yang bersumber pada ajaran Islam.Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut beragama Islam.Kualitas keislaman para pujangga saat itu berbeda dengan kualitas saat sekarang ini.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Warna Islam terlihat dalam substansinya, yaitu:
1). Unsur  Ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2). Unsur Kebajikan upaya memberikan petunjuk atau nasihat kepada siapa pun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak tercela).[8]

C. Perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang , dan Mataram
a. Periode Masuknya Islam sampai Kerajaan Demak
Simuh[9] menjelaskan proses masuknya Islam di jawa pada zaman Demak sebagai berikut:
“penyebaran agama Islam di jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme; dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam kegelapan animism-dinamisme, dan hanya lapisan kulitnya saja terpengaruh Hinduisme. Dari perjalanan sejarah pengalaman di jawa Nampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya jawa istana yang telah canggih dan halus itu.Bahkan dalam cerita babad tanah jawa diterangkan bahwa Raja Majapahit menolak tidak mau menerima agama baru. Dan bila raja tidak mau atau menolak, tentu tidak akan mudah Islam masuk ke dalam lingkungan istana. Dalam keadaan demikian nampaknya para penyebar agama Islam lebih menekankan kegiatannya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama di daerah-daerah pesisiran dan pedesaan ini Islam diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka”.
Jika diperhatikan maka proses peneyebaran Islam zaman Demak ini berhadapan dengan berbagai entitas budaya antara lain, lapis masyarakat awam masih kental dengan animisme, dinamisme. Pada lapisan istana telah menyerap ajaran Hindu dan Budha.Jadi realitas masih menunjukan bahwa kepercayaan lama masih tetap lekat dalam masyarakat jawa. Berdirinya dan berkembangnya kesultanan Demak menyebabkan para priyayi Jawa semisal dalam sastra babad tanah jawa diceritakan; Jaka Tingkir pergi ke Demak, lalu berguru kepada Sunan Kudus dan akhiirnya menjadi menantu Sultan. Jaka tingkir yang menjadi menantu Sultan ini justru kemudian bisa menjadi sultan dan memindahkan istananya ke Pajang, yakni daerah pedalaman lagi.Hal ini dilakukan guna menghindarri perlawanan masyarakat pesantren yang dipimpin Arya Jipang.Perselisihan politik yang dilatar belakangi perbedaan budaya antara masyarakat pesantren dan kejawen ini berlanjut hingga beralihnya kesultanan Pajang ke kesultanan Mataram. Sultan Agung yang memerintah Mataram (1613-1645) akhirnya berhasil menaklukan pahlawan terakhir dari masyarakat pesantren yag berada di bawah pimpinan Sunan Giri (1635).[10]
Perkembangan Sastra Jawa pada periode ini, Ditandai dengan sebuah ketegangan antara penerimaan ajaran Islam dengan menolak di kalangan masyarakat Jawa. Namun tampaknya justru tahapan penting proses Islamisasi ini memberikan petunjuk kepada kita upaya dakwah dengan strategi kebudayaan banyak dilakukan oleh para ulama. Dalam periode demak penerbitan buku-buku masih sangat sedikit. Beberapa buku yang diperkirakan terbit pada masa ini masih berbentuk prosa, denagan isinya yang masih sanagat kental dengan muatan Islam, seperti  Het Boek van Bonang.Karya ini dianggap paling tua yang didefinisikan berasal dari daerah tuban yang diterbitkan oleh Schrrieke dan secara khusus diterbitkan juga oleh GWJ.
b.      Periode Kerajaan Pajang
Perkembangan sastra pada zaman Pajang merupakan perkembangan yang tak bisa dipisahkan dari zaman Demak.Namun cukup sulit untuk mengidentifikasi secara mandiri periode kerajaan.Walaupun ada informasi-informasi yang tidak secara tegas menunjukan masalah tersebut.Satu karya sastra yang banyak dianggap berasal dari zaman ini adalah Serat Nitisruti.Poerbatjaraka memasukan serat ini ke dalam Kepustakaan Jawa zaman Islam.Dia memang tidak membagi antara Demak dengan Pajang.
Ada satu hal yang menarik periode Pajang ini yaitu, bahwa kerajaan ini merupakan peralihan awal dari kerajaan Demak yang di pesisir dan bercorak pesisiran kepada daerah pedalaman, yang bercorak pedalaman.
Kitab Nitisruti merupakan karya zaman Pajang. Menurut Poerbatjaraka, pada awal abad 20 kitab ini masih sangat terkenal. Kitab ini berisi tentang ajaran baik dan buruk. Dalam bab-bab awal kitab ini ada Tjandrasengkala berbunyi: Sarana sinilen ing djaladri, bahnimahastra tjandra sangkala, yang berarti angka 1534 Saka atau 1612 Masehi.[11]
c.       Periode Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram berkuasa sejak tahun 1575 atau sekitar 4 Abad lebih.sampai sekarang, Perkembangan yang cukup mencolok adalah pasca perjanjian Gianti dimana kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Perkembangan berikutnya Kerajaan Kasunanan Surakarta tidak lama berselang dari perjanjian Gianti, juga terbelah pula menjadi dua yakni Kraton Surakarta dengan gelar  Pakubuwana dan Kraton Mangkunegaran dengan gelar khusus Mangkunegara. Sementara itu, Kesultanan Yogyakarta yang di beri gelar Hamengkubewana dan Kadipaten Pakualaman dengan gelar Pakualam.
Kerajaan Mataram hampir  seluruh masanya selalu mendapat pengaruh politik VOC. Pengaruh asing terhadap kerajaan di jawa ini telah mulai sejak zaman VOC yang memberi bantuan kepada kerajaan Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya sekitar tahun1677-1680. Setelah Mataram berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya atas jasa VOC, pihak Mataram dikemudian hari memberikan kemudahan-kemudahan kepada belanda, antara lain, adalah diijinkannya belanda membangun benteng pertahanan di sekitar kerajaan, dan dari situlah belanda menempatkan para tentaranya yang cukup banyak.Dengan didirikannya benteng oleh kompeni Belanda itu, pihak Mataram menganggap bahwa kompeni Belanda adalah sebagai pelindungnya yang setia.Bahkan Mataram pun mempercayakan Belanda untuk menumpas siapa saja yang ingin coba-coba merongrong dan menentang raja.Akan tetapi dalam masalah tersebut Mataram tidak menyadari bahwa sebenarnya Belanda justru menjadi “musuh dalam selimut”.Hal ini terbukti setelah belanda memperoleh kemudahan-kemudahan dari Mataram, perlahan Belanda menancapkan kukunya dengan tajam. Misalnya mencampuri urusan  rumah tangga politik kerajaan, bahkan sampai pada persoalan penggantian tahta seperti penggantian patih atau bupati, Belanda pun tidak terlepas dari campur tangannya.
Pengaruh VOC terhadap kerajaan jawa semakin besar dan memuncak sejak disetujuinya Perjanjian Gianti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Kenyataan itu ditandai dengan adanya penurunan derajat dan martabat raja, yang semula derajat Sunan dan Sultan sejajar dengan raja Belanda, diturunkan menjadi seorang bawahan yang harus memberi hormat kepada Belanda. Oleh karena itu, raja Belanda tidak berada di jawa, maka yang harus di hormati oleh para raja di jawa adalah Gubernur Jendral, di kota kerajaan adalah Residen, dan di pedesaan adalah Gubernur.[12]
Di samping menurunnya kekuasaan politik kerajaan akibat campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi kerajaan bertambah parah, situasi kerajaan kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah kerajaan oleh pemerintah kolonial. Akibat pengurangan wilayah itu sumber penghasilan kerajaan semakin sedikit, kemakmuran kehidupan raja berkurang dan rakyat pun semakin menderita.Pengurangan wilayah kerajaan oleh pemerintah kolonial tidak hanya dilakukan satu atau dua kali saja, tetapi dilakukan berkali-kali.Misalnya, sebelum Mataram pecah menjadi dua sudah kehilangan daerah pesisir utara Jawa (1746).Pengurangan wilayah pesisir utara Jawa itu oleh pemerintah kolonial dimaksudkan sebagai imbalan atas bantuannya kepada kerajaan ketika terjadi konflik politik.
Pada masa awal Mataram telah terjadi upaya mengintegrasikan antara nilai-nilai Jawa dan Islam, namun pada masa tersebut, Islam masih menjadi agama resmi kerajaan Mataram.Pada masa ini Islam tetap menentukan perjalanan sejarah Jawa. Simbol-simbol Islam hampir melekat dalam seluruh aspek budaya kraton, dari gear raja, sampai model tata kota kerajaan dan tradisi, semua dominan Islam. Maka tidak salah jika dalam karya sastra, muncul berbagai upaya Islamisasi.Sastra Gending karya Sulltan Agung merupakan conntoh nyata perkembangan tersebut.Sultan Agung tokoh raja Jawa yang pertama-tama menyempurnakan interelasi kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam.Ia merupakan seorang raja yang patuh terhadap hukum Islam, tetapi sekaligus tokoh kebudayaan Jawa. Ia mengarang “Sastra Gendhing” untuk memberikan ajaran tentang pentingnya kedua ajaran berjalan seiring.[13]Sultan Agung pula berupaya merubah kelender Jawa.
Pada masa-masa berikutnya pengaruh Islam dalam budaya dan sastra Jawa disertai juga oleh munculnya  cerita-cerita lama yang bersumber dari Negara Islam atau cerita-cerita dari Arab. Poerbatjaraka menjelaskan bahwa cerita dari arab itu sebelum masuk ke Jawa telah berkembang di tanah Melayu. Dengan demikian bahwa cerita-cerita Arab itu telah mengalami modifikasi di tanah Melayu sebelum di sadur ke dalam sastra Jawa.Karya sastra Arab yang di sadur ke dalam sastra Jawa itu masih tampak berdekatan dengan naskah aslinya, misalnya, Koja Jahan yang mengambil latar kerajaan Mesir.Cerita Arab yang menjadi sumber itu mengalami modifikasi ke sastra Jawa yang terkenal ialah cerita Amir Hamzah. Cerita Amir Hamzah menjadi sumber atau acuan cerita Menak dalam satra Jawa, yakni cerita yang merambu budaya Islam, antara lain, Serat Kanda (zaman Kartasura), Kitab Rengganis, dan kitab  Anbiya.[14]
Karya-karya sastra Jawa yang muncul ketika itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) karya sastra asli yang berbentuk tembang, dan (2) karya sastra saduran atau bangunan. Karya saduran atau bangunan itu bersumber dari karya sastra Jawa kuno atau kitab-kitab parwa.Karya sastra kuno itu banyak di ubah kembali dalam bentuk tembang macapat.
D. Periode perkembangan sastra jawa,pada masaa Modern, Baru, Pertengahan dan   Kuno.
a. Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad ke19 Masehi. Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
 Daftar Karya Sastra
    Lelampahaning Purwalelana, Raden Mas Purwalelana (jeneng sesinglon) 1875-1880, Rangsang Tuban, Padmasoesastra, 1913, Ratu, Krishna Mihardja, 1995, Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet, Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004, Pagelaran, J. F. X. Hoery, Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery.
b. Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad ke 15 dan 16 Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno. Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
     Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru
        a.  Masa Islam
        b.  Masa Renaisans dan sesudahnya
        c.  Babad-Babad
a. Masa Islam
Kidung Rumeksa ing Wengi, Kitab Sunan Bonang, Primbon Islam,    Suluk Sukarsa, Serat Koja Jajahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Serat Nitisruti, Nitiparaja, Sewaka, Menak, Yusup, Rengganis, Manik maya, Ambiya, Kandha.     
 b. Masa Renaisans dan sesudahnya
    Serat Rama Kawi, Bratayuda, Kyai Yasadipura, Panitisastra, Arjunasasra, Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III, Darmasunya, Dewaruci, Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura, Tajusalatin, Cebolek, Sasanassunu, Wicara keras, Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita, Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita, Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita,Jitapsara, Pustaka raja, Cemperot, Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871, Darmagandhul.
     c.  Babad-Babad
 Babad Giyanti,Prayut, Pakepung, Tanah jawi.
c. Sastra Jawa Pertengahan
 Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa
    Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawasrama,  Pararaton.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi
Kakawin Dewaruci, Kidung Sudamala, Subrata, Sunda, Panji Angreni, Sri Tanjung.
Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi. Setelah itu, pemerintahan gaya Jawa diterapkan di Bali. Para bangsawan Bali juga berasal dari Jawa. Setelah agama Islam berjaya di Jawa semenjak abad keenam belas, konon banyak orang-orang Jawa dari kalangan bangsawan yang melarikan diri ke Bali. Hal ini pantas dipertentangkan, sebab proses Islamisasi di Jawa berjalan secara sangat bertahap. Tema-tema yang dibahas dalam sastra Jawa-Bali mencerminkan apa yang pernah populer di Jawa pada masa Kerajaan Majapahit sebab Sastra Jawa-Bali merupakan terusan Sastra Jawa Tengahan.
Daftar Karya Sastra
Kakawin, Parthayana, Kidung Malat atau Kidung Panji Amalat Rasmi, Tantri Kediri, abad 17 - 18 Masehi, Tantri Demung, Ida Padanda Nyoman Pidada dan adiknya Ida Padanda Ketut Pidada, 1728 Masehi.
d. Sastra Jawa Kuno
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai. atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.

Tradisi penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi. Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.
Tinjauan umum
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Puisi Jawa lama
1. Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
Candakarana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana dan lain-lain
2. Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)
Kakawin Tertua Jawa, 856,Ramayana ~ 870S, Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030 Kresnayana, Sumanasantaka, Smaradahana, dan masih banyak yang lain.

III.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Rene Wellek & Austin Warren mengemukakan bahwa sastra merupakan suatu karya seni yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak,termasuk karya sastra lisan.Jadi, istilah “sastra” yang tekait dengan suatu karya(=karya sastra)merupakan suatu tulisan yang sifatnya imajinatif yag diterapkan pada (umumnya) dalam seni sastra. Adapun fungsi dari karya sastra itu sendiri adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan, nilai manfaat , dan mengandung nilai moralitas atau pesan moral.Pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa itu telah berlangsung lama, dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra jawa kuno, sastra jawa pertengahan, sampai dengan sastra jawa modern. Pendekatan pertama yang disebut Islamisasi Kultur Jawa. Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa
2.      Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Warna Islam terlihat dalam substansinya, yaitu:
1). Unsur  Ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2). Unsur Kebajikan upaya memberikan petunjuk atau nasihat kepada siapa pun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak tercela).
3.      Perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang, dan Mataram
a.       Kerajaan Demak penyebaran agama Islam di jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya, yaitu lingkungan budaya istana. Perkembangan Sastra Jawa pada periode ini, Ditandai dengan sebuah ketegangan antara penerimaan ajaran Islam dengan menolak di kalangan masyarakat Jawa.
b.      Kerajaan Pajang. Ada satu hal yang menarik periode Pajang ini yaitu, bahwa kerajaan ini merupakan peralihan awal dari kerajaan Demak yang di pesisir dan bercorak pesisiran kepada daerah pedalaman, yang bercorak pedalaman.
c.       Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram berkuasa sejak tahun 1575 atau sekitar 4 Abad lebih. sampai sekarang, Perkembangan yang cukup mencolok adalah pasca perjanjian Gianti dimana kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

B.     Penutup
Syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan pembahasan yang sangat sederhana ini walaupun penulis mengakui masih banyak kekurangan.Ahirnya,semoga makalah ini dapat bemanfaat bagi kita semua Amiin.


[1]Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000), hlm. 140-142
[2]Anasom, Membangun Negara Bermoral,Semarang,Pustaka Rizki Putra, 2004, hlm. 16-20
[3]Slamet Riyadi dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad XI – Tahun 1920, Jakarta, DEPDIKBUD, 1998, hlm. 14
[4] Karsono H. Saputro, Puisi Jawa, Struktur dan Estitika, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2001, hlm. 158
[5] Slamet Riyadi, Op.Cit., hlm.15
[6]Ibid, hlm. 119-121
[7] Simuh, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2004), hlm. 17
[8]Ibid, hlm. 146-148
[9] Simuh, “Interaksi Islam dan Budaya Jawa” dalam Dewaruci, No. 1 Tahun 1999, hlm 1-6
[10]Simuh, Ibid.
[11] Poerbatjaraka, Kpustakaan Djawa, hlm, 111
[12] Slamet Riyadi dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad XI – Tahun 1920, Jakarta, DEPDIKBUD, 1998 hlm 14
[13] Karkono Kamanjaya, Kebudayaan Jawa, hlm 310-311
[14] Slamet Riyadi, Ibid, hlm 18
DAFTAR PUSTAKA

Amin,Darori,Islam danKebudayaanJawa, Yogyakarta, GAMA MEDIA, 2000
Anasom, Membangun Negara Bermoral,Semarang,PustakaRizki Putra, 2004
Riyadi, Slamet,SastraJawaPeriodeAkhir Abad XI – Tahun 1920, Jakarta, DEPDIKBUD, 1998
Saputro,Karsono H,PuisiJawa, StrukturdanEstitika, Jakarta,WedatamaWidyaSastra, 2001
Simuh, “Interaksi Islam danBudayaJawa” dalamDewaruci, No. 1 Tahun 1999
Simuh, MerumuskanKembaliInterelasi Islam-Jawa, Yogyakarta, GAMA MEDIA, 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar