I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat Nusantara kaya akan tradisi lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang
kita. Sampai sekarang kita masih dapat menikmati berbagai khasanah budaya yang
tidak ternilai harganya. Salah satunya peninggalan nenek moyang tersebut dalam
bentuk karya sastra, baik karya sastra
yang hidup di kalangan masyarakat umum maupun karya sastra yang berkembang di
istana. Munculnya dua istilah dalam sastra itu terjadi secara alami dan tidak
sengaja, namun tercipta dari sistem sosial yang berkembang di masyarakat Nusantara. Sistem pemerintahan monarki
masyarakat Nusantara pada masa lalu yang di dominasi oleh budaya Hindu,
melahirkan kelas-kelas sosial berupa rakyat jelata dan bangsawan.Mereka
masing-masing mendukung budayanya yaitu budaya Desa dan Budaya Istana.Kedua
budaya ini berkembang sendiri-sendiri, tidak hanya bersifat horizontal tetapi
juuga bersifat vertikal. Akibatnya akan sangat sulit terjadi suatu perpindahan
unsur-unsur budaya elit ke budaya desa, namun tidak sebaliknya.
Agama islam mulai masuk ke pulau Jawa sebelum abad ke 13 M, dan
pertama kali menerima pengaruh Islam dari Malaka. Dari Jawa ini kemudian Islam
tersebar ke pulau Indonsia bagian timur seperti Makasar (Ujung
Pandang).Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam saat itu adalah daerah
Gersik dan Surabaya.Kesimpulan ini di dasarkan pada bukti menemukan sebuah
makam dari seorang yang bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada 7
Rajab 475 H. dan makam Malik Ibrahim yang meninggal pada Rabiul awal 882 H.
Keberhasilan pengislaman penduduk Jawa berkat kerja keras para
mubaligh yang tangguh. Mereka adalah para Wali yang terkenal dengan nama
Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai, nyaris tidak ada konflik.
Pengislaman dijawa di mulai dari lapisan masyarakat bawah.Tidak ada kekuatan secara politis untuk mengislamkan lapisan masyarakat ataa,
tetapi sebaliknya para penguasa, pejabat pemerintah masuk islam karena
kepentingan mereka.yakni ketika masyarakat diwilayahnya telah menjadi muslim.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Menjelaskan
tentang Perkembangan sastra pada masa Hindu Budha?
2.
Perkembangan
sastra hasil Interelasi Islam dan Jawa?
3.
Perkembangan
sastra pada masa Demak, Pajang , dan Mataram?
4.
Periode
Perkembangan sastra Modern, Baru Pertengahan, dan Tradisional?
II.
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Sastra pada Masa Hindu–Budha
Kata sastra berasal dari bahasa
Sankerta,Berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk/ intruksi.Sedangkan kata tra berarti alat,
sarana,Sehingga sastra berarti alat untuk mengajar,buku petunjuk atau
pengajaran.Biasanya kata sastra diberi awalan su (menjadi susatra).Sedangkan su
berarti baik,indah.Jadi istilah susatra berarti pengajaran atau petunjuk yang
tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang indah.
Istilah sastra dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah Literature yang berarti karya tulis yang
dicetak(Termasuk karya sastra yang tidak hanya tertulis, tetapi juga yang tidak
tertulis/lisan).
Rene Wellek & Austin Warren
mengemukakan bahwa sastra merupakan suatu karya seni yang terkait dengan
hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak,termasuk karya sastra lisan.Jadi,
istilah “sastra” yang tekait dengan suatu karya (karya sastra)merupakan suatu
tulisan yang sifatnya imajinatif yang diterapkan pada (umumnya) dalam seni
sastra.Bicara mengenai sastra pasti tidak lepas dari fungsi dan sifatnya.Karya
sastra berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pegajaran sesuatu
terhadap manusia.
Adapun fungsi dari karya sastra itu
sendiri adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan, nilai manfaat , dan
mengandung nilai moralitas atau pesan moral.suatu karya sastra dikatakan
memilki nilai keindahan karena karya
yang terungkap dalam sebuah bentuk-bentuk karya sastra merupakan suatu
karya yang dapat dinikmati, baik bagi pembacanya pendengarnya dan penontonnya.
Dengan demikian baik pembaca pendengar dan penontonnya merasa tidak bosan,
tergantung dari kualitas karya sastra yang bersangkutan.[1]
Perkembangan masyarakat jawa dapat
dipandang dari sudut pandang luar adalah bahwa pada dasarnya masyarakat jawa
menganut sistem budaya terbuka terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing.Pengaruh
budaya luar terhadap sastra jawa itu telah berlangsung lama, dari satu fase ke
fase berikutnya, yakni dari sastra jawa kuno, sastra jawa pertengahan, sampai
dengan sastra jawa modern, Sejalan dengan waktu masuknya pengaruh asing yang
mewarnainya. pengaruh budaya luar itu sudah terjadi sejak munculnya teks sastra
keagamaan berbentuk prosa dalam sastra parwa
sampai dengan sastra jawa yang bersifat kerakyatan pada masa sastra jawa modern
kini.”[2]
Darusuprapta menjelaskan pada masa awal munculnya sastra jawa, dalam hal ini
khusus sastra jawa tertulis, pengaruh sastra Hindu dari India yang diilhami
oleh ajaran agama Hindu tampak dalam karya sastra jawa Kakawin dan kitab-kitab parwa.
Bahkan, karya sastra jawa pada zaman itu banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta
yang dengan mudah dapat dirujukkan kepada bahasa yang dipakai dalam buku
sumbernya di India.[3]
Kakawin
berasal dari kata Sansekerta Kawi
‘penyair’ serta mendapat afiks Jawa (kuno) ka- dan –an, yang keseluruhan
kata itu berarti karya seorang penyair atau syair (puisi) karya penyair.Kakawin merupakan genre puisi yang
ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.Kakawin juga
telah memiliki aturan-aturan yakni :
1.
Jumlah
suku kata tiap baris yang cenderung sama untuk baris-baris dalam satu bait
2.
Bait-bait
dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama
3.
Pola
guru-laghu ‘bunyi vocal panjang dan
bunyi vocal pendek dalam suku kata yang berlaku untuk tiap baris dan bait.[4]
Orang-orang Hindu sengaja ingin
mengembangkan ajaran agamanya melalui kitab-kitab sastra.Pada waktu itu
orang-orang Hindu banyak membawa buku-buku keagamaannya, berbahasa Sansekerta,
dalam kehidupan masyarakat Jawa.Akibatnya adalah bahwa beberapa karya sastra
Jawa ketika itu banyak memuat ajaran agama Hindu.Di tanah asalnya, kitab-kitab
Hindu itu dipandang suci karena berisi ajaran religious. Pandangan bangsa india
yang menilai suci terhadap kitab-kitab sastranya juga berlaku kepada masyarakat
Jawa semasa kuatnya pengaruh agama dan budaya Hindu. Bahkan, penamaan
kitab-kitab sastra itu telah menunjukkan penghormatan terhadap karya-karya
tersebut. Penamaan kitab sastra dalam memakai kata sang hyang seperti terdapat
dalam kitab Sang Hyang Kamahanikan menunjukkan
rasa hormat masyarakat pembacanya terhadap kitab tersebut. Kitab itu juga
dipandang sebagai buku agama bagi penganut agama Budha Mahayana pada masa
pemerintah Empu Sindok di Jawa Timur 929-947 Masehi.[5]
Penghormatan atau pandangan serupa
juga berlaku pada masyarakat Jawa terhadap teks sastra pewayangan sehingga
terhadap beberapa lakon tidak dapat dipentaskan pada sembarang kesempatan.Hal
yang demikian memberikan gambaran bahwa teks sastra bukan merupakan bacaan
semata, melainkan harus dihayati dalam kaitannya dengan kehidupan yang bersifat
ritual.Karya sastra Jawa pengaruh Hindu tidak terlepas dari kehidupan dan peran
penguasa pemerintahan pada waktu itu.Kondisi yang demikian berlangsung sampai
dengan akhir abad ke 18 Masehi.Kitab-kitab parwa
pun, secara tidak langsung dapat di runut bahwa kitab-kitab itu dimaksudkan
sebagai catatan peristiwa historis dari penguasa pada saat karya itu diciptakan
oleh pujangga dalam pemerintahan tertentu, misalnya kisah yang terdapat di
dalam kitab Arjunawiwaha. (perjalanan
atau kisah kehidupan Raja Airlangga). Dengan demikian kitab-kitab sastra
sejarah dalam khasanah budaya dan sastra jawa menempati urutan
utama.Karya-karya itu ditulis oleh pujangga-pujangga keratin.Kedudukan pujangga
atau penulis sastra pada waktu itu tidak dapat diepaskan dengan misi penguasa
atau raja.Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa penulis melakukan
‘‘penghalusan’’ peristiwa dalam mengganbarkan kejadian tertentu untuk
mewujudkan sikap loyal terhadap raja selaku penguasa.
Kebiasaan raja mengangkat seorang
pujangga telah muncul sejak pemerintahan singosari dan tetap berlanjut sampai
pemerintahan Kasunanan Surakarta. Kitab Pararaton
dan Negara Kertagamamerupakan karya sastra yang mengambil latar sejarah
yang cukup mencolok dari pada bacaac sastra. Kitab Pararaton memuat peristiwa atau kisah yang menyangkut pendiri
dinasti Singasari dan Majapahit, yakni Ken Arok, sedangkan Negara Kertagama memuat pengalaman hidup Raja kertanegara.
B. Perkembangan Sastra hasil Interelasi Islam dan Jawa
1.
Proses
Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Dalam proses penyebaran Islam dijawa terdapat dau pendekatan
tentang bagaimana cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam, baik secara islam
diserap menjadi bagian dari budaya jawa. Pendekata pertama yang disebut Islamisasi Kultur Jawa.Melalui
pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak formal maupun secara
substansial. Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam,
nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama,
sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek
kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian
nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa. Berbagai
kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam
cenderung mengarah kepada polarisasi Islam
Kejawaan.
Sebagai contoh pada nama-nama orang banyak dipakai nama seperti
Abdul Rahman, Durajak, dan lain-lain. Begitu juga penggunaan sebutan Jawa narimo ing pandum yang pada
hakekatnya adalah penterjemahan dari tawakkal
sebagi konsep sufistik.Tampaknya tradisi menyalaraskan antara Islam dan budaya
Jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan Islam di Jawa.Beberapa
literature karya sastra pujangga Jawa pada pertengahan abad 19 seperti Dewa Ruci karya R.Ng. Yasadipura, Serat Wirid Hidayat Jati karya R.
NG.Ranggawarsita, Whedhatama karya
Mangkunegara IV, dan lain-lain juga tampak mencerminkan upaya-upaya seperti
itu.[6]
2.
Korelasi
Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra
Pergulatan Islam dengan sastra budaya Jawa ternyata melahirkan tiga
bentuk keislaman yang punya dasar fikiran yang berbeda dan kadang memancing
konflik antara satu dengan lainnya.[7]
Maksud keterkaitan Islam dengan karya sastra Jawa adalah
keterkaitan yang bersifat imperatif
moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya Sastra Jawa
baru, sedangkan puisi (tembang / sekar macapat) dipakai untuk memberikan
berbagai petunjuk atau nasihat yang secara substansial yang merupakan petunjuk
atau nasihat yang bersumber pada ajaran Islam.Hal ini terjadi karena para
pujangga tersebut beragama Islam.Kualitas keislaman para pujangga saat itu
berbeda dengan kualitas saat sekarang ini.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan,
sedangkan Jawa di-Islamkan. Warna Islam terlihat dalam substansinya, yaitu:
1).
Unsur Ketaukhidan (upaya mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2). Unsur
Kebajikan upaya memberikan petunjuk atau nasihat kepada siapa pun (petunjuk
agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak tercela).[8]
C. Perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang , dan Mataram
a. Periode Masuknya Islam sampai Kerajaan Demak
Simuh[9]
menjelaskan proses masuknya Islam di jawa pada zaman Demak sebagai berikut:
“penyebaran agama Islam di jawa harus berhadapan dengan dua jenis
lingkungan budaya, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah
menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme; dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam
kegelapan animism-dinamisme, dan hanya lapisan kulitnya saja terpengaruh
Hinduisme. Dari perjalanan sejarah pengalaman di jawa Nampak bahwa Islam sulit
diterima dan menembus lingkungan budaya jawa istana yang telah canggih dan
halus itu.Bahkan dalam cerita babad tanah jawa diterangkan bahwa Raja Majapahit
menolak tidak mau menerima agama baru. Dan
bila raja tidak mau atau menolak, tentu tidak akan mudah Islam masuk ke dalam
lingkungan istana. Dalam keadaan demikian nampaknya para penyebar agama Islam
lebih menekankan kegiatannya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama di
daerah-daerah pesisiran dan pedesaan ini Islam diterima secara penuh oleh
masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka”.
Jika diperhatikan maka proses
peneyebaran Islam zaman Demak ini berhadapan dengan berbagai entitas budaya
antara lain, lapis masyarakat awam masih kental dengan animisme, dinamisme.
Pada lapisan istana telah menyerap ajaran Hindu dan Budha.Jadi realitas masih
menunjukan bahwa kepercayaan lama masih tetap lekat dalam masyarakat jawa.
Berdirinya dan berkembangnya kesultanan Demak menyebabkan para priyayi Jawa
semisal dalam sastra babad tanah jawa diceritakan; Jaka Tingkir pergi ke Demak,
lalu berguru kepada Sunan Kudus dan akhiirnya menjadi menantu Sultan. Jaka
tingkir yang menjadi menantu Sultan ini justru kemudian bisa menjadi sultan dan
memindahkan istananya ke Pajang, yakni daerah pedalaman lagi.Hal ini dilakukan
guna menghindarri perlawanan masyarakat pesantren yang dipimpin Arya
Jipang.Perselisihan politik yang dilatar belakangi perbedaan budaya antara
masyarakat pesantren dan kejawen ini berlanjut hingga beralihnya kesultanan
Pajang ke kesultanan Mataram. Sultan Agung yang memerintah Mataram (1613-1645)
akhirnya berhasil menaklukan pahlawan terakhir dari masyarakat pesantren yag
berada di bawah pimpinan Sunan Giri (1635).[10]
Perkembangan Sastra Jawa pada
periode ini, Ditandai dengan sebuah ketegangan antara penerimaan ajaran Islam
dengan menolak di kalangan masyarakat Jawa. Namun tampaknya justru tahapan
penting proses Islamisasi ini memberikan petunjuk kepada kita upaya dakwah
dengan strategi kebudayaan banyak dilakukan oleh para ulama. Dalam periode
demak penerbitan buku-buku masih sangat sedikit. Beberapa buku yang
diperkirakan terbit pada masa ini masih berbentuk prosa, denagan isinya yang
masih sanagat kental dengan muatan Islam, seperti Het
Boek van Bonang.Karya ini dianggap paling tua yang didefinisikan berasal
dari daerah tuban yang diterbitkan oleh Schrrieke dan secara khusus diterbitkan
juga oleh GWJ.
b.
Periode
Kerajaan Pajang
Perkembangan sastra pada zaman Pajang merupakan perkembangan yang
tak bisa dipisahkan dari zaman Demak.Namun cukup sulit untuk mengidentifikasi
secara mandiri periode kerajaan.Walaupun ada informasi-informasi yang tidak
secara tegas menunjukan masalah tersebut.Satu karya sastra yang banyak dianggap
berasal dari zaman ini adalah Serat
Nitisruti.Poerbatjaraka memasukan serat ini ke dalam Kepustakaan Jawa zaman Islam.Dia memang tidak membagi antara Demak
dengan Pajang.
Ada satu hal yang menarik periode Pajang ini
yaitu, bahwa kerajaan ini merupakan peralihan awal dari kerajaan Demak yang di
pesisir dan bercorak pesisiran kepada
daerah pedalaman, yang bercorak pedalaman.
Kitab Nitisruti merupakan
karya zaman Pajang. Menurut Poerbatjaraka, pada awal abad 20 kitab ini masih
sangat terkenal. Kitab ini berisi tentang ajaran baik dan buruk. Dalam bab-bab
awal kitab ini ada Tjandrasengkala berbunyi:
Sarana sinilen ing djaladri, bahnimahastra tjandra sangkala, yang berarti
angka 1534 Saka atau 1612 Masehi.[11]
c.
Periode
Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram berkuasa sejak tahun 1575 atau sekitar 4 Abad
lebih.sampai sekarang, Perkembangan yang cukup mencolok adalah pasca perjanjian
Gianti dimana kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta
dan Kesultanan Yogyakarta. Perkembangan berikutnya Kerajaan Kasunanan Surakarta
tidak lama berselang dari perjanjian Gianti, juga terbelah pula menjadi dua
yakni Kraton Surakarta dengan gelar
Pakubuwana dan Kraton Mangkunegaran dengan gelar khusus Mangkunegara.
Sementara itu, Kesultanan Yogyakarta yang di beri gelar Hamengkubewana dan
Kadipaten Pakualaman dengan gelar Pakualam.
Kerajaan Mataram hampir
seluruh masanya selalu mendapat pengaruh politik VOC. Pengaruh asing
terhadap kerajaan di jawa ini telah mulai sejak zaman VOC yang memberi bantuan
kepada kerajaan Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya sekitar
tahun1677-1680. Setelah Mataram berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya
atas jasa VOC, pihak Mataram dikemudian hari memberikan kemudahan-kemudahan
kepada belanda, antara lain, adalah diijinkannya belanda membangun benteng
pertahanan di sekitar kerajaan, dan dari situlah belanda menempatkan para tentaranya
yang cukup banyak.Dengan didirikannya benteng oleh kompeni Belanda itu, pihak
Mataram menganggap bahwa kompeni Belanda adalah sebagai pelindungnya yang
setia.Bahkan Mataram pun mempercayakan Belanda untuk menumpas siapa saja yang
ingin coba-coba merongrong dan menentang raja.Akan tetapi dalam masalah
tersebut Mataram tidak menyadari bahwa sebenarnya Belanda justru menjadi “musuh
dalam selimut”.Hal ini terbukti setelah belanda memperoleh kemudahan-kemudahan
dari Mataram, perlahan Belanda menancapkan kukunya dengan tajam. Misalnya
mencampuri urusan rumah tangga politik
kerajaan, bahkan sampai pada persoalan penggantian tahta seperti penggantian
patih atau bupati, Belanda pun tidak terlepas dari campur tangannya.
Pengaruh VOC terhadap kerajaan jawa semakin
besar dan memuncak sejak disetujuinya Perjanjian Gianti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan
Yogyakarta. Kenyataan itu ditandai dengan adanya
penurunan derajat dan martabat raja, yang semula derajat Sunan dan Sultan
sejajar dengan raja Belanda, diturunkan menjadi seorang bawahan yang harus
memberi hormat kepada Belanda. Oleh karena itu, raja Belanda tidak berada di
jawa, maka yang harus di hormati oleh para raja di jawa adalah Gubernur
Jendral, di kota kerajaan adalah Residen, dan di pedesaan adalah Gubernur.[12]
Di samping menurunnya kekuasaan politik
kerajaan akibat campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi kerajaan
bertambah parah, situasi kerajaan kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah
kerajaan oleh pemerintah kolonial. Akibat pengurangan wilayah itu sumber
penghasilan kerajaan semakin sedikit, kemakmuran kehidupan raja berkurang dan
rakyat pun semakin menderita.Pengurangan wilayah kerajaan oleh pemerintah
kolonial tidak hanya dilakukan satu atau dua kali saja, tetapi dilakukan
berkali-kali.Misalnya, sebelum Mataram pecah menjadi dua sudah kehilangan
daerah pesisir utara Jawa (1746).Pengurangan wilayah pesisir utara Jawa itu
oleh pemerintah kolonial dimaksudkan sebagai imbalan atas bantuannya kepada
kerajaan ketika terjadi konflik politik.
Pada masa awal Mataram telah terjadi upaya
mengintegrasikan antara nilai-nilai Jawa dan Islam, namun pada masa tersebut,
Islam masih menjadi agama resmi kerajaan Mataram.Pada masa ini Islam tetap
menentukan perjalanan sejarah Jawa. Simbol-simbol
Islam hampir melekat dalam seluruh aspek budaya kraton, dari gear raja, sampai
model tata kota kerajaan dan tradisi, semua dominan Islam. Maka tidak salah
jika dalam karya sastra, muncul berbagai upaya Islamisasi.Sastra Gending karya Sulltan Agung merupakan conntoh nyata
perkembangan tersebut.Sultan Agung tokoh raja Jawa yang pertama-tama menyempurnakan
interelasi kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam.Ia merupakan seorang raja yang
patuh terhadap hukum Islam, tetapi sekaligus tokoh kebudayaan Jawa. Ia
mengarang “Sastra Gendhing” untuk
memberikan ajaran tentang pentingnya kedua ajaran berjalan seiring.[13]Sultan
Agung pula berupaya merubah kelender Jawa.
Pada masa-masa berikutnya pengaruh Islam dalam budaya dan sastra
Jawa disertai juga oleh munculnya
cerita-cerita lama yang bersumber dari Negara Islam atau cerita-cerita
dari Arab. Poerbatjaraka menjelaskan bahwa cerita dari arab itu sebelum masuk
ke Jawa telah berkembang di tanah Melayu. Dengan demikian bahwa cerita-cerita
Arab itu telah mengalami modifikasi di tanah Melayu sebelum di sadur ke dalam
sastra Jawa.Karya sastra Arab yang di sadur ke dalam sastra Jawa itu masih
tampak berdekatan dengan naskah aslinya, misalnya, Koja Jahan yang mengambil latar kerajaan Mesir.Cerita Arab yang
menjadi sumber itu mengalami modifikasi ke sastra Jawa yang terkenal ialah
cerita Amir Hamzah. Cerita Amir Hamzah menjadi sumber atau acuan
cerita Menak dalam satra Jawa, yakni
cerita yang merambu budaya Islam, antara lain, Serat Kanda (zaman Kartasura), Kitab
Rengganis, dan kitab Anbiya.[14]
Karya-karya sastra Jawa yang muncul ketika itu
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) karya sastra asli yang berbentuk tembang, dan (2) karya
sastra saduran atau bangunan. Karya saduran atau bangunan itu bersumber dari
karya sastra Jawa kuno atau kitab-kitab parwa.Karya
sastra kuno itu banyak di ubah kembali dalam bentuk tembang macapat.
D. Periode
perkembangan sastra jawa,pada masaa Modern, Baru, Pertengahan dan Kuno.
a. Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah
Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad ke19 Masehi. Para
cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau
kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang,
dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai,
roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang
perjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.
Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga
kata-kata Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan
huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang
kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
Daftar Karya Sastra
Lelampahaning
Purwalelana, Raden Mas Purwalelana (jeneng sesinglon) 1875-1880, Rangsang
Tuban, Padmasoesastra, 1913, Ratu, Krishna Mihardja, 1995, Tunggak-Tunggak
Jati, Esmiet, Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004, Pagelaran, J. F. X.
Hoery, Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery.
b. Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama
Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad ke 15 dan 16 Masehi. Dengan masuknya
agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra
mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah
karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah
satu yang terpenting. Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra
bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis
'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang
(masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak
pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno. Gaya
bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah
tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa
ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan
agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah
jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga
didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru
a. Masa Islam
b. Masa Renaisans dan sesudahnya
c. Babad-Babad
a. Masa Islam
Kidung Rumeksa ing Wengi, Kitab Sunan Bonang, Primbon Islam, Suluk Sukarsa, Serat Koja Jajahan, Suluk
Wujil, Suluk Malang Sumirang, Serat Nitisruti, Nitiparaja, Sewaka, Menak,
Yusup, Rengganis, Manik maya, Ambiya, Kandha.
b. Masa Renaisans dan
sesudahnya
Serat Rama Kawi, Bratayuda, Kyai Yasadipura,
Panitisastra, Arjunasasra, Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III, Darmasunya,
Dewaruci, Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura, Tajusalatin, Cebolek,
Sasanassunu, Wicara keras, Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita, Paramayoga,
Raden Ngabehi Ranggawarsita, Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita,Jitapsara,
Pustaka raja, Cemperot, Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871, Darmagandhul.
c. Babad-Babad
Babad Giyanti,Prayut,
Pakepung, Tanah jawi.
c. Sastra Jawa Pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari
abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan
diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya
puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut
kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa
Tantu Panggelaran, Calon
Arang, Tantri Kamandaka, Korawasrama,
Pararaton.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi
Kakawin Dewaruci, Kidung Sudamala, Subrata, Sunda, Panji Angreni,
Sri Tanjung.
Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi. Setelah
itu, pemerintahan gaya Jawa diterapkan di Bali. Para bangsawan Bali juga
berasal dari Jawa. Setelah agama Islam berjaya di Jawa semenjak abad keenam
belas, konon banyak orang-orang Jawa dari kalangan bangsawan yang melarikan
diri ke Bali. Hal ini pantas dipertentangkan, sebab proses Islamisasi di Jawa berjalan
secara sangat bertahap. Tema-tema yang dibahas dalam sastra Jawa-Bali
mencerminkan apa yang pernah populer di Jawa pada masa Kerajaan Majapahit sebab
Sastra Jawa-Bali merupakan terusan Sastra Jawa Tengahan.
Daftar Karya Sastra
Kakawin, Parthayana, Kidung Malat atau Kidung Panji Amalat Rasmi, Tantri
Kediri, abad 17 - 18 Masehi, Tantri Demung, Ida Padanda Nyoman Pidada dan
adiknya Ida Padanda Ketut Pidada, 1728 Masehi.
d. Sastra Jawa Kuno
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa
berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian
yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa
sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa
transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini,
pengertian terakhir inilah yang dipakai. atau seringkali dieja sebagai Sastra
Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode
kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan
Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran)
maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak
wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti.
Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan
sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di
sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini
termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa
Jawa Kuno.Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan
ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa
Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang
terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak
dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada
abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal
dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang
negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya,
Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa
Kuno.
Tradisi penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar
diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali.
Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu
dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu,
tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari
tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan
tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh
berasal dari tahun 856 Masehi. Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah
naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat.
Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.
Tinjauan umum
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad
ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks
kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks
puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Puisi Jawa lama
1. Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
Candakarana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana dan lain-lain
2. Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)
Kakawin Tertua Jawa, 856,Ramayana ~ 870S, Arjunawiwaha, mpu Kanwa,
~ 1030 Kresnayana, Sumanasantaka, Smaradahana, dan masih banyak yang lain.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Rene
Wellek & Austin Warren mengemukakan bahwa sastra merupakan suatu karya seni
yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak,termasuk karya
sastra lisan.Jadi, istilah “sastra” yang tekait dengan suatu karya(=karya
sastra)merupakan suatu tulisan yang sifatnya imajinatif yag diterapkan pada
(umumnya) dalam seni sastra. Adapun fungsi dari karya sastra itu sendiri adalah
mengungkapkan adanya nilai keindahan, nilai manfaat , dan mengandung nilai
moralitas atau pesan moral.Pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa itu telah
berlangsung lama, dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra jawa
kuno, sastra jawa pertengahan, sampai dengan sastra jawa modern. Pendekatan
pertama yang disebut Islamisasi Kultur
Jawa. Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak
Islam. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi
Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam
melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa
2.
Istilah
‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa
di-Islamkan. Warna Islam terlihat dalam substansinya, yaitu:
1). Unsur Ketaukhidan (upaya
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2). Unsur Kebajikan upaya memberikan petunjuk atau nasihat kepada siapa
pun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak tercela).
3.
Perkembangan
sastra pada masa Demak, Pajang, dan Mataram
a.
Kerajaan
Demak penyebaran
agama Islam di jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya, yaitu
lingkungan budaya istana. Perkembangan
Sastra Jawa pada periode ini, Ditandai dengan sebuah ketegangan antara
penerimaan ajaran Islam dengan menolak di kalangan masyarakat Jawa.
b.
Kerajaan
Pajang. Ada satu hal yang menarik periode Pajang ini yaitu, bahwa kerajaan ini
merupakan peralihan awal dari kerajaan Demak yang di pesisir dan bercorak pesisiran kepada daerah pedalaman, yang
bercorak pedalaman.
c.
Kerajaan Mataram. Kerajaan
Mataram berkuasa sejak tahun 1575 atau sekitar 4 Abad lebih. sampai sekarang,
Perkembangan yang cukup mencolok adalah pasca perjanjian Gianti dimana kerajaan
Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta.
B.
Penutup
Syukur Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan pembahasan yang sangat sederhana ini walaupun penulis mengakui
masih banyak kekurangan.Ahirnya,semoga makalah ini dapat bemanfaat bagi kita
semua Amiin.
[1]Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
GAMA MEDIA, 2000), hlm. 140-142
[2]Anasom, Membangun
Negara Bermoral,Semarang,Pustaka Rizki Putra, 2004, hlm. 16-20
[3]Slamet Riyadi
dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad
XI – Tahun 1920, Jakarta, DEPDIKBUD, 1998, hlm. 14
[4] Karsono H.
Saputro, Puisi Jawa, Struktur dan
Estitika, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2001, hlm. 158
[5] Slamet Riyadi,
Op.Cit., hlm.15
[6]Ibid, hlm.
119-121
[7] Simuh, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa,
(Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2004), hlm. 17
[8]Ibid, hlm.
146-148
[9] Simuh, “Interaksi Islam dan Budaya Jawa” dalam
Dewaruci, No. 1 Tahun 1999, hlm 1-6
[10]Simuh, Ibid.
[11] Poerbatjaraka,
Kpustakaan Djawa, hlm, 111
[12] Slamet Riyadi
dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad
XI – Tahun 1920, Jakarta, DEPDIKBUD, 1998 hlm 14
[13] Karkono
Kamanjaya, Kebudayaan Jawa, hlm
310-311
[14]
Slamet Riyadi, Ibid, hlm 18
DAFTAR PUSTAKA
Amin,Darori,Islam danKebudayaanJawa, Yogyakarta, GAMA MEDIA, 2000
Anasom, Membangun Negara
Bermoral,Semarang,PustakaRizki Putra, 2004
Riyadi, Slamet,SastraJawaPeriodeAkhir Abad XI
– Tahun 1920, Jakarta, DEPDIKBUD, 1998
Saputro,Karsono H,PuisiJawa, StrukturdanEstitika, Jakarta,WedatamaWidyaSastra,
2001
Simuh, “Interaksi Islam danBudayaJawa” dalamDewaruci, No. 1 Tahun 1999
Simuh, MerumuskanKembaliInterelasi Islam-Jawa, Yogyakarta, GAMA MEDIA,
2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar