Rabu, 25 November 2015

INTERELASI NILAI JAWA DENGAN ISLAM DIBIDANG POLITIK



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia merupakan satu proses yang sangat bersejarah dalam perjalanan ke-eksistensi-an Negara Indonesia sekarang ini, meskipun proses ini tergolong proses yang tidak jelas keakuratannya. Mengapa? Sebab banyak ditemukan berbagai macam  pendapat seputar kapan dan bagaimana Islam dapat masuk ke Indonesia. Suatu sumber mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Pendapat ini adalah yang paling banyak dipercayai oleh banyak ahli sejarah. Bardasarkan berita Cina di zaman Dinasti Tang diperoleh informasi bahwasanya ada pemukiman pedagang muslim dari Arab di desa Baros daerah pantai barat Sumatera Utara.[1] Dan masih banyak pendapat-pendapat lain mengenai masuknya Islam ke Nusantara.
Proses berkembanganya Islam sangat mudah diterima oleh orang Indonesia, salah satunya di daerah Jawa. Meskipun Islam dan Jawa adalah dua entitas yang berbeda, namun dalam kenyataanya keduanya dapat hidup berdampingan secara damai (peacefully). Masuknya Islam ke tanah Jawa itu sendiri terbukti tidak menimbulkan berbagai ketegangan-ketegangan (tension) yang cukup berarti. Bahkan lebih dari itu keduanya saling terbuka untuk berinterksi dan barinterrelasi pada tataran nilai dan budaya.
Salah satu interelasi nilai Jawa dan Islam yang dapat berjalan berdampingan yaitu interrelasi dalam bidang politik. Dimana pada zaman dahulu terdapat kesinambungan-kesinambungan antara budaya politik Jawa dan Islam. Seperti bagaimana orang-orang Jawa membentuk suatu sistem pemerintahan, bagaimana mereka menyebut atau memanggil para petinggi kerajaan serta abdinya, dan masih banyak korelasi lainnya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengulas sedikit mengenai interrelasi nilai Jawa-Islam di bidang politik. Dengan harapan, semoga makalah ini mampu memberi atau bahkan menambah wawasan Pembaca  seputar tema terkait. Selamat membaca.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah sistem politik dalam perjalanan sejarah politik di Jawa?
2.      Bagaimanakah perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
3.      Bagaimanakah bentuk interrelasi nilai Jawa dan Islam di bidang politik?

C.     TUJUAN PENULISAN
1.       Memenuhi tugas pembuatan makalah yang diberikan oleh dosen pengampu.
2.         Memberikan pengetahuan seputar sistem politik dalam perjalanan sejarah politik di Jawa.
3.         Menjelaskan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Politik dalam Perjalanan Sejarah Politik di Jawa
Islam masuk  pertama kali di Jawa pada tahun 475 H (1082 M). Pernyataan tersebut dikemukakan atas dasar ditemukanya prasasti-prasasti Islam (kebanyakan batu-batu nisan) dan sejumlah catatan para musyafir . Batu nisan muslim tertua yang masih ada, yang tarikhnya terbaca jelas, ditemukan di desa Leren, kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur.[2] Diperkirakan  Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.[3]
Seiring berjalannya waktu, peradaban di pulau Jawa mulai berkembang dan terus berkembang. Kerajaan-kerajaan mulai berdiri dan perubahan-perubahan terus terjadi hingga saat ini. Mengenai sistem perpolitikan yang ada di tanah Jawa, sejarah mencatat terdapat beberapa fase terkait sistem birokrasi dan perpolitikan di tanah Jawa. Yakni pada saat masa kerajaan, masa kolonial dan pasca kemerdekaan. Berikut penjabarannya.
a)    Sistem Politik pada Masa Kerajaan (Pra-Kolonial)
Dalam perjalananya, sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu, orang Jawa mengangkat atau menjadikan seorang raja sebagai pemimpin yang memegang kekuasaan tunggal dan absolut. Raja berasal dari bahasa Sansekerta raj dan raiya yang berarti kerajaan atau pemerintahan. Ia boleh laki-laki seperti yang kebanyakan kita jumpai dalam sejarah, tetapi boleh juga perempuan seperti Ratu Sima dari kalingga (Jawa Tengah) atau Pramodhawardhani dari Mataram. Adapula istilah Susuhunan yang berarti yang dipunji (ditaruh di atas kepala). Istilah ini biasa dipakai untuk menyebut atau memanggil pemimpin mereka..[4]
Disebutkan bahwa pada zaman dulu, masyarakat Jawa percaya bahwa raja adalah satu-satunya medium atau perantara yang menghubungkan dunia mikro dengan alam makro kosmos. Artinya, raja adalah orang yang mampu menghubungkan antara manusia dengan tuhannya. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika segala keputusan raja tidak dapat dibantah dan tidak terbatas. Wenang Murba Wasesa, adalah suatu ungkapan yang mengandung arti bahwa kekuasaan absolut raja diturunkan dari kekuasaan Tuhan dengan menempatkan posisi raja sebagai refleksi dari kekuasaan tuhan. Konsep-konsep ini terus berlanjut hingga islam datang dan mempengaruhi kekuasaan. Pun pada saat islam masuk ke Jawa, raja tetaplah menjadi orang yang senantiasa dinomorsatukan oleh rakyat. Dan ini tidak berbeda dengan sistem kekhalifahan atau kesultanan di negara-negara islam timur tengah, yang mana mereka tidak memisahkan antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Rakyat Jawa juga mulai menggunakan istilah Sulthan yang memiliki arti sama dengan Susuhunan atau raja untuk memanggil pemimpin mereka.[5]
Birokrasi pada saat itu masih bersifat tradisional. Seperti pada kerajaan Mataram. Di dalamnya terdapat 150 jabatan yang kesemuanya berada di bawah kekuasaan raja. Mereka disebut abdi dalem (pegawai raja). Sebagian dari mereka ada yang bertugas melayani keperluan raja dan keluarganya. Pembesarnya adalah patih lebet (patih dalam). Sedangkan sebagian yang lain bertugas mengurusi hal-ihwal penyelenggaraan Negara. Pembesarnya adalah patih njawi (patih luar).[6] Seluruh kegiatan penyelenggaraan negara berpusat di keraton sebagai pusat kerajaan. Keraton dikelilingi ibu kota, bagaikan cincin dimana keluarga-keluarga kelompok bawahan tinggal. Dari ibukota, kekuatan keraton memancar hingga ke desa-desa. Makin jauh keraton, makin lemah pula pancaran kekuatan raja sampai akhirnya sama sekali mereda. Pada masa kerajaan-kerajaan islam, kegiatan politik yang paling menonjol adalah perluasan daerah kekuasaan atau ekspansi wilayah yang banyak dilakukan oleh para pembesar-pembesar kerajaan.
b)   Sistem Politik pada Masa Kolonial
Pada akhir abad XIX, situasinya menjadi jauh berbeda. Dimana pada saat itu tanah Jawa seluruhnya dikuasai oleh Belanda.[7] Tepatnya pada tahun 1873, saat kekuasaan politik dan ekonomi Belanda makin kuattertanam di Jawa, R. Hg. Ronggowarsito, seorang penyair istana Surakarta menulis sebuah syair bernada sangat putus asa. Syair itu disebut “Serat Kala Tida” (syair tentang masa kegelapan).[8] Pada masa ini, rakyat di desa merasa semakin tertekan sebab adanya Cultuurstelsel, yakni suatu sistem tanam paksa kopi dan gula yang berakibat pada suatu proses refeodalisasi sistem politik. Para bupati, pejabat bahkan pemimpin seakan dijajah oleh para majikan asing (kolonial) agar tetap mempertahankan kekuasaan tradisional para penjajah di Indonesia. Bupati-bupati ini dijadikan Belanda sebagai kekuatan pengimbang pegaruh kekuasaan Mataram atau raja-raja Jawa lainnya.
Penjajahan dalam waktu cukup lama ini membangkitkan gerakan rakyat. Secara perlahan mereka mulai menyongsong kekuatan baru yang pada akhirnya membuahkan hasil berupa kemenangan bagi bangsa Indonesia.

c)    Sistem Politik Pasca Kemerdekaan
Setelah rezim kolonial enyah dari Indonesia, elit kerajaan kini dikeluarkan dari lingkaran dalam (inner circle). Di seluruh wilayah, hampir semua bupati tradisional dan pimpinan kecamatan digantikan setelah masa kemerdekaan. Mereka digantikan oleh pegawai negeri “modern” didikan Belanda, yang kemudian dikenal sebagai pangreh praja.[9] Sebelumnya, pada tahun 1913 dibentuk pengelompokan politik pertama dengan nama Sarikat Islam. Pasca kemerdekaan, kita dapat menemukan adanya perbedaan yang mendalam antara kelompok-kelompok yang berpedoman Jawa dan yang berpedoman Islam dalam masyarakat. Pertentangan ini dipertajam lagi oleh politisasi masyarakat Jawa dalam tahun 50-an yang semakin menjadi. Partai-partai politik dengan jelas selalu memihak pada salah satu dari perpecahan religius itu.[10]

B.     PERKEMBANGAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA
Bicara soal kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Jawa, sejarah mengatakan bahwa islamisasi yang ada di Jawa memunculkan adanya beberapa kerajaan islam berturut-turut dari kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram.
a)      Kerajaan Demak
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.[11]
Kerajaan ini berdiri setelah Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada tahun 1527. Menurut tradisi Jawa Barat (sejarah Banten), telah terjadi konfrontasi antara Demak dengan Majapahit selama beberapa tahun. Namun banyak pula yang berpendapat bahwa kejatuhan Majapahit bukan karena serangan dari Demak semata.  Sebab sebelumnya, Majapahit sudah direbut terlebih dahulu oleh Girindawardhana dari Daha (Kediri) pada 1478 pada masa Kertabhumi. Baru kerajaan Kediri inilah yang akhirnya ditaklukkan oleh kerajaan Sultan Demak pada tahun 1526. Oleh sebab itu, kerajaan ini tidak lagi disebut dengan nama Kerajaan Majapahit dan pusatnya tidak lagi berada di Trowulan melainkan di Daha atau Kediri.[12]
Adapun wilayah kekuasaannya meliputi Jepara, Semarang, Tegal, Palembang, pulau-pulau sekitar Kalimantan, dan Sumatra. Kerajaan Demak berperan penting dalam proses perkembangan Agama dan budaya Islam di Pulau Jawa. Pada masa itu Demak menjadi pusat penyebaran Agama Islam. Para wali, selain sebagai penyebar Islam mereka juga sebagai pensehat kerajaan Demak. Maka didirikankanlah Mesjid Demak sebagai pusat penyebaran Agama Islam. Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah dengan gelar Sultan Alam Akbar berkembang menjadi pesat karena memiliki lahan pertanian yang luas.[13]
Selain itu, kerajaan ini berkembang menjadi salah satu kekuatan maritim yang kuat. Pengaruh kerajaan Demak ini tak hanya dirasakan oleh masyarakat Jawa saja, melainkan juga masyarakat luar Jawa. Seperti penggunaan bahasa Jawa di daerah Palembang dan penggunaan nisan kubur tipe Demak dan Traloyo yang juga banyak dijumpai di sana.[14] Kerajaan Demak mengalami kemunduran dan pada akhirnya runtuh setelah terjadi suksesi berdarah sepeninggal Raja Trenggana, yakni raja Demak ketiga. Menurut sejarah, umat Islam tidak lagi berada pada golongan atas, melainkan berada pada posisi bawah semenjak kerajaan Islam Demak. Adapun raja-raja yang pernah berkuasa memipin kerajaan Demak adalah:
1.    Raden Patah (1478 - 1518)
2.    Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor ( 1518 - 1521 M )
3.    Sultan Trenggono ( 1521 - 1546 )

b)      Kerajaan Pajang
Pasca runtuhnya Kerajaan Demak pada tahun 1581, Kerajaan Pajang muncul memimpin tanah Jawa. Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Trenggana.
Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Duwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.[15]
Munculnya Kerajaan Pajang ini memenangkan ideology Muslim Kejawen atas ortodoksi Islam yang mana keduanya telah bersaing di Demak pada saat itu. Kerajaan Pajang dianggap sebagai pengganti berikutnya dalam garis legitimasi yang mengalir dari kerajaan Majapahit melalui Demak ke Pajang. Garis legitimasi yang Majapahit tersebut mencapai puncaknya pada wangsa Mataram. Karenanya, kerajaan ini lebih bercorak sinkretis antara Hinduisme dan Islamisme.[16]
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Walisongo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Trenggana, peran Walisongo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pamenahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Panansang. Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus.[17] Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri[18]
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Pajang antara lain:
1.      Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
2.      Arya pangiri atau Ngawantipura
3.      Pangeran Benawa atau Prabuwijaya

c)      Kerajaan Mataram
Setelah pemerintahan Kerajaan Pajang berakhir, tongkat  estafet  pemerintahan dipegang oleh Kerajaan Mataram. Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pamenahan yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman atau Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal[19] di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.[20]
Pada masa ini, pusat pemerintahan tidak lagi berada di pesisir (yang bercorak maritim) melainkan dipindahkan ke pedalaman yang bercorak agraris. Jika pada zaman Kerajaan Demak peranan wali atau tokoh agama sangat besar dalam segala bidang kehidupan, baik politik, dakwah, maupun kebudayaan, maka pada zaman Kerajaan Mataram para wali atau tokoh agama hanya berperan sebagai penasihat raja atau sultan saja.
Jumlah patokan gelar tingkat dan nama pada masyarakat sangat banyak. Gelar tertinggi di antara kaum bangsawan adalah Pangeran yang dianugerahkan kepada putra-putra raja dan anak sulung dari putra raja. Selain itu, ada kategori adipati yang diberikan kepada patih, tumenggung yang diberikan kepada pajabat-pejabat yang setingkat bupati (kepala daerah)., ngabehi diberikan kepada pejabat-pejabat di bawah bupati sampai mantra, dan panji diberikan kepada angkatan perang
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave[21] di wilayah Kesultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Kelak enklave-enklave ini dihapus.
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram. Berikut adalah nama-nama raja yang pernah berkuasa di kerajaan Mataram secara terperinci.
§  Kerajaan Mataram Baru
1.      Ki Ageng Pamanahan
2.      Panembahan Senopati/Raden Sutawijaya (1587-1601)
3.      Panembahan Hanyakarwati / Raden Mas Jolang (1601-1613)
4.      Adipati Martapura (1613 selama satu hari)
5.      Sultan Agung / Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645)
6.      Amangkurat I / Sinuhun Tegal Arum (1645-1677)
§  Kerajaan Kartasura
1.      Amangkurat II (1680-1702)
2.      Amangkurat III (1702-1705)
3.      Pakubuwana I (1705-1719)
4.      Amangkurat IV (1719-1726)
5.      Pakubuwana II (yang pada akhirnya mendirikan Kerajaan Surakarta)
§  Kerajaan Surakarta
1.      Pakubuwana II (1745-1749)
2.      Pakubuwana III (1749-1788)
3.      Pakubuwana IV (1788-1820)
4.      Pakubuwana V (1820-1823)
5.      Pakubuwana VI (1823-1830)
6.      Pakubuwana VII (1830-1858)
7.      Pakubuwana VIII (1859-1861)
8.      Pakubuwana IX (1861-1893)
9.      Pakubuwana X (1893-1939)
10.  Pakubuwana XI (1939-1944)
11.  Pakubuwana XII (1944-2004)
12.  Pakubuwana XIII (2009-sekarang)
§  Kerajaan Yogyakarta
1.      Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792)
2.      Sri Sultan Hamengkubuwono II (1792-1810); periode pertama
3.      Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811); periode pertama
4.      Sri Sultan Hamengkubuwono II (1811-1812); periode kedua
5.      Sri Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814); periode kedua
6.      Sri Sultan Hamengkubuwono IV (1814-1823)
7.      Sri Sultan Hamengkubuwono V (1823-1826); periode pertama
8.      Sri Sultan Hamengkubuwono II (1826-1828); periode ketiga
9.      Sri Sultan Hamengkubuwono V (1828-1855); periode kedua
10.  Sri Sultan Hamengkubuwono (1855-1877)
11.  Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877)
12.  Sri Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921)
13.  Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939)
14.  Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1940-1988)
15.  Sri Sultan Hamengkubuwono (1989-sekarang)[22]

C.     INTERRELASI NILAI JAWA DENGAN ISLAM DI BIDANG POLITIK
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, bahwa kepemerintahan pada zaman kerajaan sebelum dan sesudah datangnya islam sama-sama dikepalai oleh seorang raja atau sulthan yang berkuasa. Sama halnya dengan negara-negara islam di timur tengah, raja berkuasa penuh atas segala urusan politik dan juga agama. Meski di Jawa sendiri kekuasaan raja tidak hanya terbatas pada dua hal itu.[23] Simbol interrelasi politik Jawa-Islam tampak mencolok pada gelar raja-raja Jawa-Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah Sayyidin Panatagama, Tetunggul Khalifatul Mu’minin, Susuhunan dan sebagainya .
Gelar Ratu Tetunggul Khalifatullah dipakai oleh sunan Giri ketika menjadi raja pada masa transisi antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Sunan Giri berkuasa dalam keadaan vakum kekuasaan pasca keruntuhan Majapahit. Sunan Giri berkuasa hanya dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan Majapahit tahun 1478 M oleh serangan Raja Girindrawardhana dan Keling Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari ini, Sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada Raja Islam yang permanen, yaitu Radhen Fattah. Dialah raja pertama kerajaan Islam Demak.
Ada beberapa analisis mengapa Sunan Giri berkenan menjadi raja pada waktu itu, padahal ia bukan keturunan raja.
Pertama, mengkiyaskan diri dengan Nabi Yusuf AS yang juga bukan keturunan raja tapi naik tahta. Pengkiyasan ini dapat dilihat pada sebuah langgam gambuh sebaga wejangan dari Maulana Ishaq, guru agama Sunan Giri:
“Aiwa kaliru surup, mengko ingsun jateni satuhu, ing lelakoniro iku angemperi, kadianggane rumuhun. Jeng Nabi Yusuf Sang Katong// Duk gumantyeng keprabon, iya dudu dadi warisanipun, anyelani karaton Ratu ing Mesir, myang lir Nabi Musa dangu, duk gumantyeng Raja Fir’aun// Yekti mung amrih ayu, iya bakal kang nampani besik, aja katon anggantyani ratu kapir, marma karo den emut, aja pisan ngalap do// kang dudu wajibipiun, pangecame cupet tan kacabut (p)...“
Kedua, para wali khususnya Sunan Giri tampaknya berkeyakinan bahwa tidak baik suatu komunitas (umat) tanpa pemimpin, entah pemimpin itu mukmin atau kafir. Umat yang berpemimpin lebih baik daripada yang tidak berpemimpin, bahkan jika pemimpin itu dzalim sekalipun. Jika diruntut pada masa klasik Islam, Ibnu Taimiyyah pernah mengatakan bahwa 60 hari di bawah pemimpin yang dzalim masih lebih baik daripada satu malam saja tanpa pemimpin. Ibnu Khaldun juga pernah mengatakan bahwa mangangkat pemimpin bagi suatu komunitas adalah wajib.
Ketiga, Sunan Giri hanya mengantarkan keadaan transisi menuju berdirinya kerajaan Islam Demak. Buktinya dia hanya berkuasa selama 40 hari. Setelah keadaan mapan.
Simbol interrelasi politik Islam-Jawa juga terdapat pada raja-raja Jogja yang dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono. Istilah sultan berasal dari bahasa Arab Sulthan yang berarti raja atau penguasa menjadi istilah dalam kerajaan-kerajaan Islam pada masa lalu. Sri Sultan Hamengkubuwono selain sebagai raja (kekuasaan politik) juga sebagai Sayyidin Panatagama (pemimpin agama). Dengan demikian, raja Yogya sudah pasti beragama Islam karena tidak mungkin seorang non-muslim menjadi Sayyidin Panatagama. Arti dari Sayyidin Panatagama adalah panatagama untuk islam. Inilah strategi politik jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses islamisasi dengan cara yang amat arif dan kultural.
Hal senada juga terjadi pada Kiai Ageng Pandan Arang yang menjadi Bupati Semarang pertama, yang merupakan bagian dari kesultanan Mataram. Dia diangkat pada tahun 1575 M. Kyai Agung Pandang Arang adalah seorang ulama yang memiliki pengaruh sangat besar di masyarakat ketika itu. Karena besarnya pengaruh itulah ia diangat oleh kesultanan Mataram menjadi Bupati Semarang. Keistimewaan Kyai Ageng Pandang Arang adalah mengembangkan fungsi majid yang nantinya menjadi cikal bakal masjid Agung Kauman sekarang ini, bykan saja sebagai tempat ibadah ritual, tetapi juga sebagi pusat pemerintahan.
Simbol interrelasi politik Islam-Jawa juga terdapat pada bangunan-bangunan pusat kekuasaan. Pusat pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan (kerajaan/keraton, kabupaten), masjid (Kauman), pasar, dan alun-alun.
Untuk Semarang, yang tersisa tinggal masjid Kauman dan pasar Johar. Sementara alun-alun dan pendapa Kanjeng Adipati tinggal bekas. Sebab alun-alun tingggal nama jalan depan masjid, sedangkan pendopo Kanjeng Adipati kini tingggal nama belaka, yakni ”Kanjengan”.[24]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari penjabaran-penjabaran yang telah diuraikan tadi, dapat disimpulkan bahwa memang kegiatan politik yang paling menonjol dilakukan pada masa kerajaan-kerajaan Islam adalah banyaknya perluasan-perluasan wilayah kekuasaan. Bahkan di antara kerajaan islam itu sendiri terjadi peperangan atau tindakan saling mengalahkan demi memperebutkan pengaruh dan hegemoni politik.
Jika kita telusuri lebih lanjut, kita dapat menemukan suatu interrelasi yang indah dan unik antara nilai-nilai ajaran Jawa tempo dulu dengan ajaran Islam. Seperti sebutan-sebutan yang biasa diungkapkan oleh masyarakat Jawa untuk penduwur mereka, dimana mereka menggunakan istilah-istilah bahasa Arab seperti kata Sulthan dan lain-lain.
B.     KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ini penulis susun. Besar harapan penulis, semoga jerih payah penulis dalam menyusun makalah ini dapat membuahkan banyak kemanfaatan bagi Para pembaca yang budiman. Meski dapat dipastikan bahwa makalah ini sama sekali tak dapat dinafikan dari banyak kesalahan. Oleh karenanya, kritik dan saran dari Pembaca sangat penulis harapkan guna menciptakan karya-karya ilmiah yang jauh lebih baik di waktu mendatang. Wallohu waliyyut taufiiq.




DAFTAR PUSTAKA

M.C. Riflefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta, Serambi Ilmu, 2007.
Antlov, Hans & Cederroth, Sven, Kepemimpinan Jawa Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter), (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001
Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, Gama Media, 2000.
Huda, Nor, Islam Nusantara, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, Pustaka Rizki Utama, 2009.
Setiawan Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan Jawa, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada hari Jum’at, 27 Juni 2014 pukul 13.24 WIB
http://www.sabenggo.com/2013/11/perkembangan-kerajaan-islam-di-indonesia.html. Diakses pada hari Sabtu, 24 Mei 2014 pukul 13.07 WIB.




[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang, Pustaka Rizki Utama, 2009). Hlm. 178
[2] M.C.Riflefs, sejarah indonesia modern 1200-2004,(Jakarta,serambi ilmu, 2007), hlm.28
[3] http://web.iaincirebon.ac.id/globalnews/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/
[4] Hans Antlov, Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa (Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter), (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001), Hlm. ix

[5] Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan Jawa, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1998), Hlm. 76
[6] Opcid, Hlm. xvii
[7] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta, Gama Media, 2000), Hlm. 210
[8] Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan Jawa, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1998), Hlm. 86
[9] Hans Antlov, Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa (Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter), (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001), Hlm. 4
[10] Darori Amin, Opcid, Hlm. 211
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Demak
[12] Nor Huda, Islam Nusantara, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007), Hlm. 67
[13] http://www.sabenggo.com/2013/11/perkembangan-kerajaan-islam-di-indonesia.html
[14] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), Hm. 126
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
[16] Nor Huda, Islam Nusantara, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007), Hlm. 68
[17] Mungkin yang dimaksud Sunan Kudus dalam naskah babad  adalah Panembahan Kudus, sebab Sunan Kudus sudah meninggal dunia sejak tahun 1550.
[18] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
[19] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud politik feodal adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan atau bisa juga diartikan  sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.
[20] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Mataram
[21] Negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu negara lain.
[22] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_raja_di_Jawa#Mataram_Baru
[23] Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan Jawa, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1998), Hlm. 76

[24] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta, Gama Media, 2000), Hlm. 216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar