BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia merupakan satu proses
yang sangat bersejarah dalam perjalanan ke-eksistensi-an
Negara Indonesia sekarang ini, meskipun proses ini tergolong proses
yang tidak jelas keakuratannya. Mengapa? Sebab banyak ditemukan berbagai
macam pendapat seputar kapan dan bagaimana
Islam dapat masuk ke Indonesia. Suatu sumber
mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Pendapat
ini adalah yang paling banyak dipercayai oleh banyak ahli sejarah. Bardasarkan
berita Cina di zaman Dinasti Tang diperoleh informasi bahwasanya ada pemukiman
pedagang muslim dari Arab di desa Baros daerah pantai barat Sumatera Utara.[1]
Dan masih banyak pendapat-pendapat lain mengenai masuknya Islam ke Nusantara.
Proses berkembanganya Islam sangat mudah diterima oleh orang Indonesia,
salah satunya di daerah Jawa. Meskipun Islam dan Jawa adalah dua
entitas yang berbeda, namun dalam kenyataanya keduanya dapat hidup
berdampingan secara damai (peacefully). Masuknya Islam ke tanah Jawa itu sendiri
terbukti tidak menimbulkan berbagai ketegangan-ketegangan (tension) yang cukup
berarti. Bahkan lebih dari itu keduanya saling terbuka untuk berinterksi dan barinterrelasi pada tataran nilai dan budaya.
Salah satu interelasi nilai Jawa dan Islam yang dapat berjalan
berdampingan yaitu interrelasi dalam bidang politik. Dimana pada
zaman dahulu terdapat kesinambungan-kesinambungan antara budaya politik Jawa
dan Islam. Seperti bagaimana orang-orang Jawa membentuk suatu sistem
pemerintahan, bagaimana mereka menyebut atau memanggil para petinggi kerajaan
serta abdinya, dan masih banyak korelasi lainnya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengulas sedikit mengenai interrelasi
nilai Jawa-Islam di bidang politik. Dengan harapan, semoga makalah ini mampu
memberi atau bahkan menambah wawasan Pembaca seputar tema
terkait. Selamat membaca.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah sistem politik dalam perjalanan sejarah politik di Jawa?
2. Bagaimanakah perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
3. Bagaimanakah bentuk interrelasi nilai Jawa dan Islam di bidang politik?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memenuhi tugas pembuatan makalah
yang diberikan oleh dosen pengampu.
2.
Memberikan pengetahuan seputar sistem
politik dalam perjalanan sejarah politik di Jawa.
3.
Menjelaskan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Politik dalam Perjalanan Sejarah Politik di Jawa
Islam masuk pertama kali di Jawa
pada tahun 475 H (1082 M). Pernyataan tersebut dikemukakan atas dasar
ditemukanya prasasti-prasasti Islam (kebanyakan batu-batu nisan) dan sejumlah
catatan para musyafir . Batu nisan muslim tertua yang masih ada, yang tarikhnya
terbaca jelas, ditemukan di desa Leren, kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur.[2]
Diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu
dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik
Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H
atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam
kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah
makam keluarga istana Majapahit.[3]
Seiring berjalannya waktu, peradaban di pulau Jawa
mulai berkembang dan terus berkembang. Kerajaan-kerajaan mulai berdiri dan
perubahan-perubahan terus terjadi hingga saat ini. Mengenai sistem perpolitikan
yang ada di tanah Jawa, sejarah mencatat terdapat beberapa fase terkait sistem
birokrasi dan perpolitikan di tanah Jawa. Yakni pada saat masa kerajaan, masa
kolonial dan pasca kemerdekaan. Berikut penjabarannya.
a) Sistem Politik pada Masa Kerajaan (Pra-Kolonial)
Dalam perjalananya, sejarah mengatakan bahwa pada
zaman dahulu, orang Jawa mengangkat atau menjadikan seorang raja sebagai
pemimpin yang memegang kekuasaan tunggal dan absolut. Raja berasal dari bahasa
Sansekerta raj dan raiya yang berarti kerajaan atau
pemerintahan. Ia boleh laki-laki seperti yang kebanyakan kita jumpai dalam
sejarah, tetapi boleh juga perempuan seperti Ratu Sima dari kalingga (Jawa
Tengah) atau Pramodhawardhani dari Mataram. Adapula
istilah Susuhunan yang berarti yang dipunji (ditaruh di atas
kepala). Istilah ini biasa dipakai untuk menyebut atau memanggil pemimpin
mereka..[4]
Disebutkan bahwa pada zaman dulu, masyarakat Jawa
percaya bahwa raja adalah satu-satunya medium atau perantara yang menghubungkan
dunia mikro dengan alam makro kosmos. Artinya, raja adalah orang yang mampu
menghubungkan antara manusia dengan tuhannya. Oleh karenanya, tidaklah
mengherankan jika segala keputusan raja tidak dapat dibantah dan tidak
terbatas. Wenang Murba Wasesa, adalah suatu ungkapan yang mengandung
arti bahwa kekuasaan absolut raja diturunkan dari kekuasaan Tuhan dengan
menempatkan posisi raja sebagai refleksi dari kekuasaan tuhan. Konsep-konsep
ini terus berlanjut hingga islam datang dan mempengaruhi kekuasaan. Pun pada
saat islam masuk ke Jawa, raja tetaplah menjadi orang yang senantiasa
dinomorsatukan oleh rakyat. Dan ini tidak berbeda dengan sistem kekhalifahan
atau kesultanan di negara-negara islam timur tengah, yang mana mereka tidak
memisahkan antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Rakyat Jawa juga mulai
menggunakan istilah Sulthan yang memiliki arti sama dengan Susuhunan atau
raja untuk memanggil pemimpin mereka.[5]
Birokrasi pada saat itu masih bersifat
tradisional. Seperti pada kerajaan Mataram. Di dalamnya terdapat 150 jabatan
yang kesemuanya berada di bawah kekuasaan raja. Mereka disebut abdi dalem (pegawai
raja). Sebagian dari mereka ada yang bertugas melayani keperluan raja dan
keluarganya. Pembesarnya adalah patih lebet (patih dalam). Sedangkan
sebagian yang lain bertugas mengurusi hal-ihwal penyelenggaraan Negara.
Pembesarnya adalah patih njawi (patih luar).[6] Seluruh kegiatan
penyelenggaraan negara berpusat di keraton sebagai pusat kerajaan. Keraton
dikelilingi ibu kota, bagaikan cincin dimana keluarga-keluarga kelompok bawahan
tinggal. Dari ibukota, kekuatan keraton memancar hingga ke desa-desa. Makin
jauh keraton, makin lemah pula pancaran kekuatan raja sampai akhirnya sama
sekali mereda. Pada masa kerajaan-kerajaan islam, kegiatan politik yang paling
menonjol adalah perluasan daerah kekuasaan atau ekspansi wilayah yang banyak
dilakukan oleh para pembesar-pembesar kerajaan.
b) Sistem Politik pada Masa Kolonial
Pada akhir abad XIX, situasinya
menjadi jauh berbeda. Dimana pada saat itu tanah Jawa seluruhnya dikuasai oleh
Belanda.[7] Tepatnya pada tahun
1873, saat kekuasaan politik dan ekonomi Belanda makin kuattertanam di Jawa, R.
Hg. Ronggowarsito, seorang penyair istana Surakarta menulis sebuah syair
bernada sangat putus asa. Syair itu disebut “Serat Kala Tida” (syair tentang
masa kegelapan).[8] Pada
masa ini, rakyat di desa merasa semakin tertekan sebab adanya Cultuurstelsel,
yakni suatu sistem tanam paksa kopi dan gula yang berakibat pada suatu
proses refeodalisasi sistem politik. Para bupati, pejabat bahkan pemimpin
seakan dijajah oleh para majikan asing (kolonial) agar tetap mempertahankan
kekuasaan tradisional para penjajah di Indonesia. Bupati-bupati ini
dijadikan Belanda sebagai kekuatan pengimbang pegaruh kekuasaan Mataram atau
raja-raja Jawa lainnya.
Penjajahan dalam waktu cukup lama ini
membangkitkan gerakan rakyat. Secara perlahan mereka mulai
menyongsong kekuatan baru yang pada akhirnya
membuahkan hasil berupa kemenangan bagi bangsa Indonesia.
c) Sistem Politik Pasca Kemerdekaan
Setelah rezim kolonial enyah dari Indonesia,
elit kerajaan kini dikeluarkan dari lingkaran dalam (inner circle). Di
seluruh wilayah, hampir semua bupati tradisional dan pimpinan kecamatan
digantikan setelah masa kemerdekaan. Mereka digantikan oleh pegawai negeri
“modern” didikan Belanda, yang kemudian dikenal sebagai pangreh praja.[9] Sebelumnya, pada tahun 1913
dibentuk pengelompokan politik pertama dengan nama Sarikat Islam. Pasca
kemerdekaan, kita dapat menemukan adanya perbedaan yang mendalam antara kelompok-kelompok
yang berpedoman Jawa dan yang berpedoman Islam dalam masyarakat. Pertentangan
ini dipertajam lagi oleh politisasi masyarakat Jawa dalam tahun 50-an yang
semakin menjadi. Partai-partai politik dengan jelas selalu memihak pada salah
satu dari perpecahan religius itu.[10]
B. PERKEMBANGAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA
Bicara soal kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Jawa, sejarah mengatakan
bahwa islamisasi yang ada di Jawa memunculkan adanya beberapa kerajaan islam
berturut-turut dari kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram.
a) Kerajaan Demak
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak
adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya
merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi
legitimasi dari kebesaran Majapahit.
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor
penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Walau tidak berumur panjang dan
segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara
kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah
Kerajaan Demak ialah Mesjid
Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu
berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro"
dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika
beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4
ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode
ini kerajaan disebut Demak Prawata.[11]
Kerajaan ini berdiri setelah Kerajaan
Majapahit mengalami keruntuhan pada tahun 1527. Menurut tradisi Jawa Barat
(sejarah Banten), telah terjadi konfrontasi antara Demak dengan Majapahit
selama beberapa tahun. Namun banyak pula yang berpendapat bahwa kejatuhan
Majapahit bukan karena serangan dari Demak semata. Sebab sebelumnya, Majapahit sudah direbut
terlebih dahulu oleh Girindawardhana dari Daha (Kediri) pada 1478 pada masa Kertabhumi.
Baru kerajaan Kediri inilah yang akhirnya ditaklukkan oleh kerajaan Sultan
Demak pada tahun 1526. Oleh sebab itu, kerajaan ini tidak lagi disebut dengan
nama Kerajaan Majapahit dan pusatnya tidak lagi berada di Trowulan melainkan di
Daha atau Kediri.[12]
Adapun wilayah
kekuasaannya meliputi Jepara, Semarang, Tegal, Palembang, pulau-pulau sekitar
Kalimantan, dan Sumatra. Kerajaan Demak berperan penting dalam proses
perkembangan Agama dan budaya Islam di Pulau Jawa. Pada masa itu Demak menjadi
pusat penyebaran Agama Islam. Para wali, selain sebagai penyebar Islam mereka
juga sebagai pensehat kerajaan Demak. Maka didirikankanlah Mesjid Demak sebagai
pusat penyebaran Agama Islam. Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah dengan
gelar Sultan Alam Akbar berkembang menjadi pesat karena
memiliki lahan pertanian yang luas.[13]
Selain itu, kerajaan ini berkembang menjadi salah satu kekuatan
maritim yang kuat. Pengaruh kerajaan Demak ini tak hanya dirasakan oleh
masyarakat Jawa saja, melainkan juga masyarakat luar Jawa. Seperti penggunaan
bahasa Jawa di daerah Palembang dan penggunaan nisan kubur tipe Demak dan
Traloyo yang juga banyak dijumpai di sana.[14] Kerajaan Demak
mengalami kemunduran dan pada akhirnya runtuh setelah terjadi suksesi berdarah
sepeninggal Raja Trenggana, yakni raja Demak ketiga. Menurut sejarah, umat
Islam tidak lagi berada pada golongan atas, melainkan berada pada posisi bawah
semenjak kerajaan Islam Demak. Adapun raja-raja yang pernah
berkuasa memipin kerajaan Demak adalah:
1.
Raden Patah (1478 - 1518)
2.
Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (
1518 - 1521 M )
3.
Sultan Trenggono ( 1521 - 1546 )
b)
Kerajaan Pajang
Pasca runtuhnya
Kerajaan Demak pada tahun 1581, Kerajaan Pajang muncul memimpin tanah Jawa. Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang
berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan
Kelurahan
Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji,
Kartasura, Sukoharjo.
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang
hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Trenggana.
Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat
mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama
dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Negeri
kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya
yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Duwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.[15]
Munculnya Kerajaan Pajang ini memenangkan ideology Muslim Kejawen atas
ortodoksi Islam yang mana keduanya telah bersaing di Demak pada saat itu.
Kerajaan Pajang dianggap sebagai pengganti berikutnya dalam garis legitimasi
yang mengalir dari kerajaan Majapahit melalui Demak ke Pajang. Garis legitimasi
yang Majapahit tersebut mencapai puncaknya pada wangsa Mataram. Karenanya,
kerajaan ini lebih bercorak sinkretis antara Hinduisme dan Islamisme.[16]
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama
Walisongo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut.
Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan
kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Trenggana, peran Walisongo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto,
raja baru pengganti Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif,
sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik
Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi
mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pamenahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Panansang. Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad
adalah Sunan Kudus.[17] Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil
menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya
dengan Arya Pangiri[18]
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di
kerajaan Pajang antara lain:
1.
Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
2.
Arya pangiri atau Ngawantipura
3.
Pangeran Benawa atau Prabuwijaya
c)
Kerajaan Mataram
Setelah
pemerintahan Kerajaan Pajang berakhir, tongkat
estafet pemerintahan dipegang
oleh Kerajaan Mataram. Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti
keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng
Pamenahan yang mengklaim sebagai
suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan
kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama
adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati),
putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan
sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk
mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus
menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah
secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat
hingga kini, seperti kampung Matraman atau Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa
Barat penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal[19] di
Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga
sekarang.[20]
Pada masa ini,
pusat pemerintahan tidak lagi berada di pesisir (yang bercorak maritim)
melainkan dipindahkan ke pedalaman yang bercorak agraris. Jika pada zaman
Kerajaan Demak peranan wali atau tokoh agama sangat besar dalam segala bidang
kehidupan, baik politik, dakwah, maupun kebudayaan, maka pada zaman Kerajaan
Mataram para wali atau tokoh agama hanya berperan sebagai penasihat raja atau
sultan saja.
Jumlah patokan gelar tingkat dan nama pada masyarakat sangat banyak.
Gelar tertinggi di antara kaum bangsawan adalah Pangeran yang
dianugerahkan kepada putra-putra raja dan anak sulung dari putra raja. Selain
itu, ada kategori adipati yang diberikan kepada patih, tumenggung yang
diberikan kepada pajabat-pejabat yang setingkat bupati (kepala daerah)., ngabehi
diberikan kepada pejabat-pejabat di bawah bupati sampai mantra, dan panji
diberikan kepada angkatan perang
Peta Mataram Baru yang
telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini
terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave[21] di wilayah Kesultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda.
Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Kelak enklave-enklave
ini dihapus.
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat
di Tegalarum (1677) ketika
mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km
sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II
berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),
Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke
Ceylon.
Kekacauan politik baru
dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram
menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 februari
1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari
lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta dalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram. Berikut adalah nama-nama raja yang pernah
berkuasa di kerajaan Mataram secara terperinci.
§
Kerajaan Mataram Baru
1. Ki Ageng Pamanahan
2. Panembahan Senopati/Raden
Sutawijaya (1587-1601)
3. Panembahan Hanyakarwati
/ Raden Mas Jolang (1601-1613)
4. Adipati Martapura (1613
selama satu hari)
5. Sultan Agung / Raden
Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645)
6. Amangkurat I / Sinuhun
Tegal Arum (1645-1677)
§
Kerajaan Kartasura
1. Amangkurat II
(1680-1702)
2. Amangkurat III
(1702-1705)
3. Pakubuwana I
(1705-1719)
4. Amangkurat IV
(1719-1726)
5. Pakubuwana II (yang
pada akhirnya mendirikan Kerajaan Surakarta)
§
Kerajaan Surakarta
1. Pakubuwana II
(1745-1749)
2. Pakubuwana III (1749-1788)
3. Pakubuwana IV
(1788-1820)
4. Pakubuwana V
(1820-1823)
5. Pakubuwana VI
(1823-1830)
6. Pakubuwana VII
(1830-1858)
7. Pakubuwana VIII
(1859-1861)
8. Pakubuwana IX
(1861-1893)
9. Pakubuwana X
(1893-1939)
10. Pakubuwana XI
(1939-1944)
11. Pakubuwana XII
(1944-2004)
12. Pakubuwana XIII
(2009-sekarang)
§
Kerajaan Yogyakarta
1. Sri Sultan
Hamengkubuwono I (1755-1792)
2. Sri Sultan
Hamengkubuwono II (1792-1810); periode pertama
3. Sri Sultan
Hamengkubuwono III (1810-1811); periode pertama
4. Sri Sultan
Hamengkubuwono II (1811-1812); periode kedua
5. Sri Sultan
Hamengkubuwono III (1812-1814); periode kedua
6. Sri Sultan
Hamengkubuwono IV (1814-1823)
7. Sri Sultan
Hamengkubuwono V (1823-1826); periode pertama
8. Sri Sultan
Hamengkubuwono II (1826-1828); periode ketiga
9. Sri Sultan
Hamengkubuwono V (1828-1855); periode kedua
10. Sri Sultan
Hamengkubuwono (1855-1877)
11. Sri Sultan
Hamengkubuwono VI (1855-1877)
12. Sri Sultan
Hamengkubuwono VII (1877-1921)
13. Sri Sultan
Hamengkubuwono VIII (1921-1939)
14. Sri Sultan
Hamengkubuwono IX (1940-1988)
15. Sri Sultan
Hamengkubuwono (1989-sekarang)[22]
C. INTERRELASI NILAI JAWA DENGAN ISLAM DI BIDANG POLITIK
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, bahwa kepemerintahan pada zaman
kerajaan sebelum dan sesudah datangnya islam sama-sama dikepalai oleh seorang
raja atau sulthan yang berkuasa. Sama halnya dengan negara-negara islam di
timur tengah, raja berkuasa penuh atas segala urusan politik dan juga agama.
Meski di Jawa sendiri kekuasaan raja tidak hanya terbatas pada dua hal itu.[23]
Simbol interrelasi politik Jawa-Islam tampak mencolok pada gelar raja-raja
Jawa-Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah Sayyidin Panatagama, Tetunggul
Khalifatul Mu’minin, Susuhunan dan sebagainya .
Gelar Ratu Tetunggul Khalifatullah dipakai oleh sunan Giri ketika menjadi
raja pada masa transisi antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak.
Sunan Giri berkuasa dalam keadaan vakum kekuasaan pasca keruntuhan Majapahit.
Sunan Giri berkuasa hanya dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan Majapahit tahun
1478 M oleh serangan Raja Girindrawardhana dan Keling Kediri. Setelah masa peralihan
40 hari ini, Sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada Raja Islam yang permanen,
yaitu Radhen Fattah. Dialah raja pertama kerajaan Islam Demak.
Ada beberapa analisis mengapa Sunan Giri berkenan menjadi raja pada waktu
itu, padahal ia bukan keturunan raja.
Pertama, mengkiyaskan diri dengan Nabi Yusuf AS
yang juga bukan keturunan raja tapi naik tahta. Pengkiyasan ini dapat dilihat
pada sebuah langgam gambuh sebaga wejangan dari Maulana Ishaq, guru agama Sunan
Giri:
“Aiwa kaliru surup, mengko ingsun jateni
satuhu, ing lelakoniro iku angemperi, kadianggane rumuhun. Jeng Nabi Yusuf Sang
Katong// Duk gumantyeng keprabon, iya dudu dadi warisanipun, anyelani karaton
Ratu ing Mesir, myang lir Nabi Musa dangu, duk gumantyeng Raja Fir’aun// Yekti
mung amrih ayu, iya bakal kang nampani besik, aja katon anggantyani ratu kapir,
marma karo den emut, aja pisan ngalap do// kang dudu wajibipiun, pangecame
cupet tan kacabut (p)...“
Kedua, para wali khususnya Sunan Giri tampaknya
berkeyakinan bahwa tidak baik suatu komunitas (umat) tanpa pemimpin, entah
pemimpin itu mukmin atau kafir. Umat yang berpemimpin lebih baik daripada yang
tidak berpemimpin, bahkan jika pemimpin itu dzalim sekalipun. Jika diruntut
pada masa klasik Islam, Ibnu Taimiyyah pernah mengatakan bahwa 60 hari di bawah
pemimpin yang dzalim masih lebih baik daripada satu malam saja tanpa pemimpin.
Ibnu Khaldun juga pernah mengatakan bahwa mangangkat pemimpin bagi suatu
komunitas adalah wajib.
Ketiga, Sunan Giri hanya mengantarkan keadaan
transisi menuju berdirinya kerajaan Islam Demak. Buktinya dia hanya berkuasa
selama 40 hari. Setelah keadaan mapan.
Simbol interrelasi politik Islam-Jawa juga terdapat pada raja-raja Jogja
yang dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono. Istilah sultan berasal dari bahasa Arab Sulthan yang berarti raja atau penguasa menjadi istilah dalam
kerajaan-kerajaan Islam pada masa lalu. Sri Sultan Hamengkubuwono selain
sebagai raja (kekuasaan politik) juga sebagai Sayyidin Panatagama (pemimpin agama). Dengan demikian, raja Yogya
sudah pasti beragama Islam karena tidak mungkin seorang non-muslim menjadi Sayyidin Panatagama. Arti dari Sayyidin Panatagama adalah panatagama untuk islam. Inilah strategi
politik jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses islamisasi dengan cara yang
amat arif dan kultural.
Hal senada juga terjadi pada Kiai Ageng Pandan Arang yang menjadi Bupati
Semarang pertama, yang merupakan bagian dari kesultanan Mataram. Dia diangkat
pada tahun 1575 M. Kyai Agung Pandang Arang adalah seorang ulama yang memiliki
pengaruh sangat besar di masyarakat ketika itu. Karena besarnya pengaruh itulah
ia diangat oleh kesultanan Mataram menjadi Bupati Semarang. Keistimewaan Kyai
Ageng Pandang Arang adalah mengembangkan fungsi majid yang nantinya menjadi cikal
bakal masjid Agung Kauman sekarang ini, bykan saja sebagai tempat ibadah
ritual, tetapi juga sebagi pusat pemerintahan.
Simbol interrelasi politik Islam-Jawa juga terdapat pada
bangunan-bangunan pusat kekuasaan. Pusat pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian
yang terdiri dari kantor pemerintahan (kerajaan/keraton, kabupaten), masjid (Kauman), pasar, dan alun-alun.
Untuk Semarang, yang tersisa tinggal masjid Kauman dan pasar Johar. Sementara
alun-alun dan pendapa Kanjeng Adipati tinggal bekas. Sebab alun-alun tingggal
nama jalan depan masjid, sedangkan pendopo Kanjeng Adipati kini tingggal nama
belaka, yakni ”Kanjengan”.[24]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjabaran-penjabaran yang telah diuraikan tadi, dapat disimpulkan
bahwa memang kegiatan politik yang paling menonjol dilakukan pada masa
kerajaan-kerajaan Islam adalah banyaknya perluasan-perluasan wilayah kekuasaan.
Bahkan di antara
kerajaan islam itu sendiri terjadi peperangan atau tindakan saling mengalahkan
demi memperebutkan pengaruh dan hegemoni politik.
Jika kita telusuri lebih lanjut, kita dapat menemukan suatu interrelasi
yang indah dan unik antara nilai-nilai ajaran Jawa tempo dulu dengan ajaran
Islam. Seperti sebutan-sebutan yang biasa diungkapkan oleh masyarakat Jawa
untuk penduwur mereka, dimana mereka menggunakan istilah-istilah bahasa
Arab seperti kata Sulthan dan lain-lain.
B. KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ini penulis susun. Besar harapan penulis, semoga jerih
payah penulis dalam menyusun makalah ini dapat membuahkan banyak kemanfaatan
bagi Para pembaca yang budiman. Meski dapat dipastikan bahwa makalah ini sama
sekali tak dapat dinafikan dari banyak kesalahan. Oleh karenanya, kritik dan
saran dari Pembaca sangat penulis harapkan guna menciptakan karya-karya ilmiah
yang jauh lebih baik di waktu mendatang. Wallohu waliyyut taufiiq.
DAFTAR PUSTAKA
M.C. Riflefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta, Serambi Ilmu, 2007.
Antlov, Hans & Cederroth, Sven, Kepemimpinan Jawa Perintah Halus,
Pemerintahan Otoriter), (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001
Amin, Darori, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, Gama Media, 2000.
Huda, Nor, Islam
Nusantara, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.
Syukur, Fatah, Sejarah
Peradaban Islam, Semarang, Pustaka Rizki Utama, 2009.
Setiawan
Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan Jawa, Yogyakarta,
Pustaka Belajar, 1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada hari Jum’at, 27 Juni 2014 pukul 13.24 WIB
http://www.sabenggo.com/2013/11/perkembangan-kerajaan-islam-di-indonesia.html. Diakses pada hari Sabtu, 24 Mei 2014
pukul 13.07 WIB.
http://web.iaincirebon.ac.id/globalnews/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/. Diakses pada hari Sabtu, 24 Mei 2014
pukul 13.59 WIB.
[2] M.C.Riflefs, sejarah indonesia modern 1200-2004,(Jakarta,serambi
ilmu, 2007), hlm.28
[3]
http://web.iaincirebon.ac.id/globalnews/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/
[4] Hans Antlov, Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa (Perintah Halus,
Pemerintahan Otoriter), (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001), Hlm. ix
[5] Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan
Jawa, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1998), Hlm. 76
[8] Akhmad
Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan Jawa, (Yogyakarta,
Pustaka Belajar, 1998), Hlm. 86
[9] Hans Antlov, Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa (Perintah Halus,
Pemerintahan Otoriter), (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001), Hlm. 4
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Demak
[12] Nor Huda, Islam Nusantara, (Yogyakarta, Ar-Ruzz
Media, 2007), Hlm. 67
[13]
http://www.sabenggo.com/2013/11/perkembangan-kerajaan-islam-di-indonesia.html
[14] Mukhlis Paeni,
Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2009), Hm. 126
[15]
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
[17] Mungkin yang
dimaksud Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus, sebab Sunan Kudus
sudah meninggal dunia sejak tahun 1550.
[18] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
[19] Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud politik feodal adalah
sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan
bangsawan atau bisa juga diartikan sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan
atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.
[20]
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Mataram
[21] Negara atau
bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu negara lain.
[22]
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_raja_di_Jawa#Mataram_Baru
[23] Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham kekuasaan
Jawa, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1998), Hlm. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar