I.
PENDAHULUAN
Bangsa yang dikenal penduduk Eropa dengan nama Jawa atau Jawa Besar,
atau disebut oleh penduduknya dengan nama Tana
(tanah) Jawa, atau Nusa (pulau) jawa, adalah sebagian terbesar dari apa
yang disebut para ahli geografi sebagai Kepulauan Sunda. Pulau ini sering dianggap sebagai salah satu dari Kepulauan Malaya, yang membentuk gugusan Kepulauan
Oriental, dan kemudian dikatakan sebagai Kepulauan Asiatik.
Apa yang menyebabkan pulau ini diberi nama Jawa tidak diketahui dengan pasti. Ada
satu cerita yang
beredar tentang para pendatang pertama dari India,
yang menemukan biji-bijian baru yang diberi nama jawawut, yang telah dikenal oleh penduduk pada awal periode itu. Nama lain dari pulau ini sebelumnya adalah
Nusa Hara-hara, atau Nusa Kendang, yang berarti pulau yang masih liar atau yang bertepian perbukitan.[1]
Sebelum kedatangan agama Hindu, Buddha, dan Islam
di Jawa, masyarakat telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme dimana mereka percaya akan roh-roh dan percaya akan pada benda-benda keramat seperti keris,
tombak, dan senjata lainnya yang selanjutnya dipuja,
dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.
Agama Hindu sebenarnya bukanlah
agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan. Di dalam perjalanannya sepanjang abad-abad itu agama
Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi sehingga memiliki ciri-ciri
yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang
tidak diindahkan sama sekali.[2]
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu kiranya kami
menjelaskan lebih lanjut mengenai Kebudayaan Jawa Pra Islam. Oleh sebab itu, di
bawah ini kami menyajikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian animisme dan dinamisme?
2.
Bagaimana kondisi jawa pada masa Animisme dan Dinamisme?
3.
Bagaimana masuknya agama Hindu dan Buddha di Jawa?
4.
Apa perbedaan antara agama Hindu dan Buddha?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Animisme dan Dinamisme
1.
Pengertian Animisme
Animisme berasal dari kata anima, animae, dalam bahasa latin
animus, dalam bahasa Yunani avepos, dan dalam bahasa Sansekerta prana
yang artinya napas atau jiwa.[3]
Maka dapat disimpulkan bahwa Animisme adalah kepercayaan
terhadap roh yang mendiami semua benda. Manusia purba percaya bahwa roh nenek
moyang masih berpengaruhi terhadap kehidupan di dunia. Mereka juga mempercayai
adanya roh di luar roh manusia yang dapat berbuat jahat dan berbuat baik.
Roh-roh itu mendiami semua benda, misalnya pohon, batu, gunung, dan sebagainya.
Agar mereka tidak diganggu roh jahat, mereka memberikan sesaji kepada roh-roh
tersebut.
2.
Pengertian Dinamisme
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani yaitu dunamos yang
dalam bahasa Inggrisnya menjadi dynamis, yang umumnya diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia yaitu kekuatan, kekuasaan atau khasiat.[4] Dinamisme
dapat diartikan sebagai kepercayaan primitif dimana semua benda mempunyai
kekuatan yang bersifat gaib.[5]
Dari sini dapat diambil kata kunci dari dinamisme yaitu kekuatan
atau tenaga. Jika dikembangkan dalam sebuah pengertian tentang aliran akan
didapatkan sebagai kepercayaan (anggapan) akan adanya kekuatan atau gaib yang
terdapat pada berbagai barang, baik yang hidup atau mati dimana kuatan gaib ini
memancarkan pengaruhnya secara gaib pula pada apa yang ada di sekitarnya.
B.
Kondisi Jawa Pada Masa Animisme dan Dinamisme
Ciri masyarakat jawa antara lain berketuhanan.Keagamaan orang Jawa
terdahulu ditentukan oleh kepercayaan bahwa kekuatan-kekuatan alam merupakan
ungkapan kekuatan-kekuatan penting dalam kehidupan rohani. Kepercayaan terhadap
eksistensi jiwa pribadi manusia yang sesudah kematiannya tetap tinggal dan
tetap memperhatikan kehidupannya. Penghormatan terhadap nenek moyang mempunyai
kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Jawa.
1.
Animisme
Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan Animisme,
yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan juga pada manusia. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang
pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib atau roh
yang berwatak baik maupun buruk. Mereka menyembah kepercayaannya itu dengan
jalan mengadakan upacara yang disertai dengan sesaji.
Dalam kepercayaan animisme ini, terdapat banyak ragam kepercayaan.
Kepercayaan-kepercayaan tersebut dikelompokkan menjadi empat :
a.
Kepercayaan dan penyembahan kepada alam (Naturewonship). Seperti
penyembahan pada api, matahari, bintang dan lainnya.
b.
Kepercayaan dan penyembahan kepada benda-benda (folishworship).
Dalam anggapan mereka siapa saja yang memakai atau menggunakan benda-benda
tersebut akan terhindar dari malapetaka dan kesengsaraan hidup. Seperti
kepercayaan pada batu akik, besi buat jimat, air buat obat, api untuk membakar
mayat dan lainnya.
c.
Kepercayaan dan penyembahan kepada binatang binatang
(animalworship). Binatang-binatang ini dipuja karena dianggap memberikan
keselamatan dan kemanfaatan.
d.
Kepercayaan dan penyembahan kepada roh nenek moyang
(ancestor-worship). Dalam kepercayaan orang primitif, roh orang-orang yang
sudah mati masih hidup dan dapat diminta pertolongannya. Maka tidak jarang lagi
orang yang mengadakan peringatan bagi si mati selama tiga atau tujuh hari, seratus
hari dan seterusnya. Ditambah dengan pemberian sesajen kepada roh-roh tersebut.
Bahkan roh-roh ini dapat dipanggil oleh orang-orang tertentu untuk dimintai doa
restu dan lainnya.
Upacara selametan dan pertunjukan tari-tari tradisional,
serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan
orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini.[6]
2.
Dinamisme
Sebagai kepercayaan terhadap benda yang memiliki kekuatan gaib,
dalam dinamisme dilakukan klasifikasi benda-benda yang memancarkan kekuatan
gaib menjadi tiga bagian.[7]
a.
Benda-benda keramat
Yang dimaksud benda-benda keramat bagi orang jawa
ialah benda yang memiliki kekuatan luar biasa dan jarang ditemukan bandingnya
sehingga bagi mereka terkesan gaib, seperti logam mas, perak, besi dan lainnya.
Dan untuk menyatakan kekeramatannya, ada berbagai kriteria dengan masing-masing
bagian mempunyai kesaktiannya (makna) sendiri-sendiri. Misalnya ada kebiasaan
di Goa untuk menimbang sepotong rantai dari emas pada tiap-tiap tahun. Kalau
beratnya bertambah ada harapan baik bagi kerajaan. Sebaliknya jika berkurang
maka berarti malapetaka.
b.
Binatang-binatang keramat
Pada kepercayaan bangsa jawa,
terdapat suatu anggapan terhadap beberapa jenis binatang yang keramat.
Binatang-binatang ini dilarang diburu kecuali pada waktu suci. Bahkan ada
binatang yang dianggap dapat menurunkan manusia. Pada umumnya binatang keramat
ini
sangat dihormati. Selain itu, binatang ini dilarang dianiaya, diburu
sewenang-wenang dan dimakan dagingnya dengan sembarangan. Dan hanya dengan
upacara-upacara resmi saja diadakan penyembelihan hewan-hewan ini. Seperti
buaya, harimau, perkutut dan lainnya.
c.
Orang-orang keramat
Dalam masyarakat jawaada kepercayaan
bahwa beberapa manusia ada yang dianggap suci, bertuah, keramat dan sebagainya.
Mereka dihormati lebih dari yang lainnya, baik karena keturunannya maupun
karena ilmunya. Menurut mereka, orang-orang tersebut memiliki kekuatan gaib.
Misalnya dalam pewayangan. Kresna dan Rama dianggap penjelmaan Wisnu. Sehingga
mereka diyakini sakti, berhak memerintah kerajaan
dan mendapat kedudukan tinggi dalam masyarakat. Selain itu, dalam zaman
sekarang ada kiai dalam masyarakat pedesaan
yang selalu didewakan seakan tidak pernah salah. Hal ini merupakan sisa-sisa
dinamisme.
Beberapa upacara tradisi para penganut dinamisme Jawa yang masih
rutin sampai saat ini adalah larungan, perayaan tahun baru sura, tedhak siten,
ruwatan dan lain-lain. Di Kraton Yogyakarta dan Solo masih rutin diadakan
upacara kirab pusaka pada tahun baru Jawa Sura, sedangkan upacara larungan yang
paling terkenal adalah didaerah pesisir Cilacap.[8]
C.
Masuknya Agama Hindu dan Buddha di Jawa
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum
datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan yang baru maupun kepercayaan
yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat
Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme.
Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan antara alam
nyata, masyarakat, dan alam lain yang dianggap keramat.
Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan
senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis
ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa
1.
Masuknya Agama Hindu di Jawa
Masuknya agama Hindu di Indonesia secara pasti belum diketahui. Ada
yang mengatakan awal tahun masehi namun abad ke-4 baru terlihat kejelasan
mengenai kehidupan keagamaannya dengan ditemukannya 7 buah Yupa peninggalan
kerajaan di Kutai, kemudian pada abad ke-5 ditemukannya prasasti Ciaruten di
Bogor peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti Canggal diketahui atau dikeluarkan
Raja Sanjaya di Jawa Tengah pada tahun 654 saka. Adanya pemujaan Dewa Siwa,
Dewa Wisnu, dan Dewa Brahmana diperkirakan pada abad 7-9 M di Jawa Tengah.
Kemudian ditemukan prasasti Dinayah pada tahun 682 saka dikatakan
bahwa kerajaan Kanjuruan di Jawa Timur diadakannya upacara agama Hindu secarra
besar-besaran. Selanjutnya sejak itu maka Empu Sendok pada tahun 929-947 M
pemujaan Dewa Siwa membangun Dinasti Wangsaisana dan di masa pengganti Raja Darmawangsa disusunlah kitab
hukum Hindu Purwadidama yang bersumber dari Vedasmrti.[9]
2.
Masuknya Agama Buddha di Jawa
Agama Buddha ada sejak abad ke-6 sebelum masehi. Latar belakang
timbulnya agama Buddha yaitu sebagai reaksi terhadap sistem upacara Hindu
Brahmana yang terlampau kaku. Istilah Buddha berasal dari kata Buddh yang
artinya bangkit atau bangun dan merupakan kata kerjanya Bujjhati yang artinya
memperoleh pencerahan. Kata Buddha dapat diartikan sebagai seseorang yang
memperoleh kebijaksanaan yang sempurna, orang yang sadar dan siap menyadarkan
orang lain, dan yang bersih dari kebencian (dosa), serakah (lobha), dan
kegelapan (moha).[10]
Agama Buddha masuk ke Indonesia sekitar abad kelima, dan abad
ketujuh seorang musafir I’Tsing melaporkan bahwa di kerajaan Sriwijaya
Palembang sudah ada perguruan agama Buddha terutama aliran Theravada yang sudah
ada pula menganut Mahayana. Candi Borobudur pada masa Sumaratungga (312-832M)
menunjukkan bahwa agama Buddha yang berpengaruh di Jawa adalah Mahayana.[11]
Ajaran ketuhanan Mahayana menurut golongan Mahayana sebagai kelanjutan
dari kaum Mahasanghika, Tuhan dipahami melalui ajaran Trikaya dan Adibudha.Trikaya
sebagaimana dikemukakan tokoh utamanya Asvagosha dalam abad pertama masehi bahwa
ada hierarki diantara para Buddha dan Bodhisatwa. Hal mana dikarenakan pada mulanya ada perbedaan pendapat sebagai berikut :[12]
a. Staviravada beranggapan bahwa para Budha adalah manusia yang telah mencapai pencerahan.
Ajaran ini dianut Staviravada.
b. Mahasanghika beranggapan bahwa para Budha adalah makhluk yang luar biasa.
c. Sarvastivaba beranggapan bahwa para Budha adalah makhluk yang suci.
Dikarenakan perbedaan angggapan tersebut maka Sarvastivaba mengajukan konsepsi Trikaya yang selanjutnya dikembangkan
Mahayana. Lebih lanjut pemahaman Kebudhaan menurut Mahayana mengalami perkembangan
yang lebih ruwet karena sifatnya yang mistis dan filosofis. Menurut Mahayana Budhagautama bukanlah suatu fenomena
yang berdiri sendiri melainkan sebagai mata rantai deretan para Budha yang ada bahwa
mereka beranggapan dalam pribadi seseorang itu terkandung unsur Kebudhaan yang
disebut Tathagatagarbha (Rahim Kebudhaan) atau Budha Bija (benih Budha). Namun antara yang satu dan yang
lain berbeda-beda, oleh karena itu Budha mempunyai 3 aspek :
a. Inti dari dharma itu sendiri yang
tidak terbayangkan.
b. Kemampuan yang tidak terbatas dan tidak bermanifestasi sebagai tubuh pengganti kebudhaan
yang diagungkan.
c. Bermanifestasi, yakni kebudhaan
yang berwujud duniawi, Sakyamuni Budha dan Budha dunia yang lain.
Borobudur
juga merupakan kesaksian yang pertama bagi kemampuan kebudayaan Jawa dalam
mengambil alih agama-agama atau kebudayaan lain untuk diabdikan bagi
kepentingan-kepentingannya sendiri, dalam artian untuk menjawakannya. Tendensi
jawanisasi juga nampak dalam penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa
Kuno dan dalam perkembangan huruf-huruf Jawa yang diyakini dimulai sejak saat
itu.
D. Perbedaan
antara agama Hindu dan Budha
NO
|
HINDU
|
BUDHA
|
1
|
Perpaduan antara bangsa Aria dan Dravida.
|
Hasil
pemikiran dan pencerahan yang diperoleh dari Sidharta Gautama.
|
2
|
Kitab sucinya Weda.
|
Kitab sucinya Tripitaka.
|
3
|
Mengakui tiga
dewa tertinggi yang disebut dengan Trimurti.
|
Mengakui
Sidharta Gautama sebagai guru besar atau pimpinan agama Budha.
|
4
|
Pembedaan kasta.
|
Tidak
mengakui adanya pembedaan kasta.
|
5
|
Adanya
pembedaan hak dan
kewajiban seseorang.
|
Tidak
mengenal adanya pembagian hak.
|
6
|
Meyakini adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi.
|
Tidak meyakini reinkarnasi melainkan mengenal karma atau kausalitas.
|
7
|
Hanya dapat
dipelajari oleh kaum pendeta atau Brahmana.
|
Dapat
dipelajari oleh semua kaum.
|
8
|
Pencapaian kesempurnaan
hanya dapat dicapai dengan bantuan atau bimbingan pendeta.
|
Kesempurnaan dapat dicapai
dengan usahanya sendiri.
|
Sumber :
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993)
Abdurrohman,
Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: Hanimdita Offest, 1988)
IV.
KESIMPULAN
1.
Pengertian Animisme dan Dinamisme
a.
Animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami
semua benda.
b.
Dinamisme adalah kepercayaan (anggapan) akan adanya kekuatan atau gaib yang terdapat
pada berbagai barang, baik yang hidup atau mati dimana kuatan gaib ini
memancarkan pengaruhnya secara gaib pula pada apa yang ada di sekitarnya.
2.
Kondisi Jawa Pada Masa Animisme dan Dinamisme
a.
Masyarakatjawamenganggap semua yang bergerak di anggap hidup
dan berkekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik. Dengan kepercayaan tersebut, mereka beranggapan bahwa
disamping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling kuat dari manusia. Dan
agar terhindar dari roh –roh tersebut maka mereka menyembahnya, dengan jalan
mengadakan upacara di sertai dengan sesaji.
b.
Sebagai kepercayaan terhadap benda yang memiliki kekuatan gaib,
dalam dinamisme dilakukan klasifikasi benda-benda yang memancarkan kekuatan
gaib menjadi tiga bagianyaitu benda-benda
keramat, binatang-binatang keramat, dan orang-orang keramat.
3.
Masuknya Agama Hindu dan Buddha di Jawa
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif,
sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur
Hinduisme-Budhaisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh
pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha
bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama
itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis
(bersifat momot atau serba memuat)
4. Ada 7 perbedaan antara
agama Hindu dan Buddha, meliputi : awal munculnya, kitabnya, yang di anut,
kasta, hak dan kewajiban, reinkarnasi dan karma, pengkhususan dalam mendalami
agama, dan pencapaian kesempurnaan.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat.
Kami menyadari bahwa makalah masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca guna perbaikan makalah-makalah
kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrohman,
1988, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: Hanimdita Offest
Ahmadi, Abu, 1991, Perbandingan
Agama, Jakarta: Rineka Cipta
Djamal, Murni, 1982, Perbandingan Agama, Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi IAIN di Jakarta.
Hadikusuma, Hilman,
1993, Antropologi Agama Bagian I,
Bandung: Citra Aditya Bakti
http://nafikwalida.blogspot.com/2012/12/kebudayaan-pra-islam.html (diakses pada tanggal 17 Maret 2013 pukul 14.14)
Raffles,
Thomas Stamford, 2008, The History of Java, Yogyakarta: Penerbit
Narasi
Sofwan, Ridin, 2004, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media.
Tim Pustaka
Agung Harapan, t.t, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya: Pustaka Agung Harapan
[1]Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), hlm.1-2
[3] Murni Djamal, Perbandingan Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi IAIN di Jakarta, 1982), hlm. 25
[4] Ridin Sofwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2004), hlm. 20
[5]Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Pustaka
Agung Harapan), hlm. 103
[6]http://nafikwalida.blogspot.com/2012/12/kebudayaan-pra-islam.html
[7]Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm.
8
[8]http://nafikwalida.blogspot.com/2012/12/kebudayaan-pra-islam.html
[9] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 151-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar