WANITA DALAM BUDAYA JAWA
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Naili Anafah, M.Ag

Oleh:
Siti
Umi Nurus Saadah (132111129)
Shofiyani Novi N (132111078)
FAKULTAS SYARI`AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menjadi
perempuan (wanita) di bumi manusia ini secara umum cukup menggemaskan. Padahal
menjadi laki-laki atau perempuan bukanlah sebuah pilihan, melainkan dinistakan
oleh Tuhan tanpa campur tangan umatnya. Tuhan menciptakan manusia (perempuan
dan laki-laki) hakekatnya memiliki kuasa yang berbeda. Wanita serba dinista,
dan laki-laki menista. Dalam konteks jawa wanita sering disebut kanca
wingking (teman di dapur) oleh suaminya dan nasibnya sepenuhnya tergantung
pada suami. Swarga nunut neraka katut, (ke surge ikut, ke neraka pun
terbawa), kata salah satu pepatah jawa. Namun kenyataan membuktikan bahwa
melalui posisinya sebagai sosok yang selalu dibuat tidak berdaya itu, justru
wanita membuat sejarah, baik di era Majapahit, Mataram maupun di masa Orde Baru
dan Orde Reformasi ini. Tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti, Srikandi,
Larasati dan Sumbadra (semua adalah istri Raden Arjuna) merupakan salah satu
bukti bahwa orang jawa mempunyai citranya sendiri tentang psikologi wanita yang
bisa lemah lembut dan sekaligus bisa berperang-tanding.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka kami akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian wanita dalam Jawa?
2. Bagaimana wanita
dalam perspektif Islam?
3. Bagaimanakah
wanita Jawa sebelum Islam datang?
4. Bagaimanakah
Wanita Jawa setelah Masuknya Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wanita Jawa
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia kata wanita diartikan sebagai perempuan dewasa. Dan
kewanitaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan wanita.[1] Sedangkan dalam bahasa Jawa
sendiri Kata wanita berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur),
artinya adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Dalam kehidupan praktis
masyarakat jawa, wanita adalah sesosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata
sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Damardjati
supardjar mengungkapkan bahwa kata wanita berasal dari kata wani (berani) dan
tapa (menderita). Artinya wanita adalah sesosok yang berani menderita bahkan untuk
orang lain.[2]
Dalam istilah jawa kata Wanita memilki beberapa istilah
panggilan seperti wadon, wanita, estri atau putri. Istilah
tersebut mempunyai pengertian tersendiri bahkan membawa konsekuensi ideologi
tersendiri. Penjelasannya sebagai berikut:
1.
Kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu”
yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan
bahwa perempuan ditakdirkan menjadi “abdi” (nelayan) sang guru laki
(suami).
2.
Wanita, kata wanita sama seperti keterangan diatas bahwa
kata wanita tersusun dari dua kata yaitu wani (berani) dan
ditata (diatur), artinya adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Dalam
kehidupan praktis masyarakat jawa, wanita adalah sesosok yang selalu
mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok
yang berani ditata.
3.
Estri, kata tersebut berasal dari bahasa Kawi yakni “estren”,
yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata “estren”
lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti
mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri harus mampu memberi
dorongan kepada suami, lebih-lebih suami dalam keadaan sangat melemah.
4.
Putri, yang berarti anak perempuan. Dalam tradisonal jawa, kata inisering
dikatakan sebagai singkatan putus tri perkawis (gugurnya tiga perkara),
yakni seorangperempuan dalam kedudukan putri dituuntut untuk menjalankan
kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita mapun istri.[3]
B.
Wanita dalam perspektif Islam
Bilamana kita meneliti beberapa ayat Al-Quran, yang
memberikan informasi kepada kita bahwa, kaum wanita dan pria itu berasal dari satu
jenis, Adam. Dan manusia tidak akan berkembang tanpa adanya dua jenis mahluk
Allah tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an diantaranya:[4]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS An-Nisa :1)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“wahai
manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal,
sesungguhnya alloh maha mengetahui lagi maha mengena”(QS
Al-Hujurat : 13)
Hal ini juga
didukung dengan Firman Allah dalam surat Thaha ayat 55 yang menyebutkan bahwa
secara biologis wanita adalah sama dalam unsur penciptaannya, yaitu tanah.
Al-Qur'an telah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap posisi dan peran
wanita dan mengangkat martabat wanita dalam posisi yang setara dengan
laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat yang memberikan kebebasan
dan peluang terhadap wanita untuk sejajar dengan laki-laki, baik dalam
memperoleh pendidikan, memperoleh kesehatan, berpolitik, dan memperoleh
penghidupan yang layak (ekonomi), namun harus memperhatikan batas-batas
kewanitaanya atau memperhatikan kodrat kewanitaannya.[5]
Kalau ada orang atau agama yang beranggapan bahwa wanita itu
dijadikan dari tulang (rusuk) laki-laki lebih-lebih untuk membenarkan
aturan-aturan formal yang merugikan wanita, Al-Quran tidak membenarkan anggapan
itu. Laki-laki dan wanita dijadikan tuhan dari satu dzat hingga dengan demikian
kedudukan wanita sederajat dengan laki-laki.[6] Banyak
ayat Al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki adalah memiliki
martabat yang sama sebagai manusia, terutama secara spiritual.[7] Kehormatan
manusia dan banyak lagi statement yang sifatnya (meyudutkan) terhadap islam. Pandangan
tersebut dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman mereka terhadap hakekat ajaran
islam akan tetapi dengan sengaja mereka mencampur adukan antara kebenaran dan
kebatinan.
Islam menempatkan wanita pada posisi yang mulia, dan agama
ini menyapa kaum wanita dengan kelembutan. Kelembutan islam dan pandanganya
yang positif terhadap wanita dapat dilihat bagaimana ia memandang wanita
dari sudut spiritual, sosial ekonomi dan politik.
Tuhan memandang kedudukan, peranan wanita sama dengan pria
dalam hak dan tanggung jawab. Islam memandang peranan wanita di masyarakat yang
paling suci dan esensial adalah sebagai seorang istri dan seorang
ibu tidak dapat digantikan oleh siapapun namun Islam tidak melarang wanita
mencari nafkah sendiri, jika dibutuhkan, asal yang sesuai dengan harkat
kewanitaanya.
Petunjuk Islam menyangkut wanita diatas seakan-akan
mempersilahkan wanita untuk menjadi modern dengan melakukan aktifitas-aktifitas
sebagaimana manusia lain pada umumnya. Namun kepada mereka diandalkan harus
menjaga harga dirinya, akhlaknya, martabat kewanitaanya, dan yang paling
fundamental adalah kehambaanya kepada Allah.[8]
Kebudayaan jawa menempatkan perempuan sebagai the scond
sex, kehendak suami jangan ditolak dan setiap permintaan suami harus
dilayani. Dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta
bagaimana kultur yang telah berlaku dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi
peternalistik yang berkembang dalam masyarakat jawa bahwa istri adalah konco
wingking. [9] Namun
dalam islam, semua dipandang sama dimata Allah. Mereka dipandang dari iman dan
taqwanya. Tidak ada yang membedakan kecuali hal yang bersifat kodrati. Sehinga
disini terjadi perbedaan kedudukan budaya islam dan jawa dalam aspek wanita.
C.
Wanita Jawa sebelum Islam datang
Keadaan wanita
sebelum Islam datang sangat dipandang rendah. Hal ini berdasarkan munculnya perbedaan
pandangan tentang kedudukan wanita. Seperti halnya
laki-laki digambarkan dengan makhluk yang lebih kuat dibanding perempuan.
Dalam konsep peternalistik yang secara formal hadir dalam
hal pembagian peran antara laki-laki dan wanita, memilki beberapa konsepsi yang
berkembang didalam masyarakat jawa bahwa seorang istri adalah konco wingking..
Gambaran tentang kondisi wanita tersebut juga mempengaruhi konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dikonsepkan pekerja di luar rumah (wilayah publik), sedangkan
perempuan dikonsepkan pekerja di dalam rumah tangga (wilayah domestik). Konsep
seperti ini sudah melekat di masyarakat khususnya di Jawa, yang kemudian
terisolasi dalam masyarakat dan akhirnya dikenal dengan istilah “jender”.[10]
Namun konco wingking yang dapat diartikan menjadi orang
yang berada dibelakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang
menentukan. Seperti seorang sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya
sendiri, tetapi ia yang menentukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti
apa jadinya film tersebut. Salah satu peran wanita pada masa pra-Islam di Arab
adalah memberi semangat kaum pria selama perang hingga berakhir, agar tidak
mudah menyerah dan berani mati dimedan pertempuran. Peran ini jelaslah bukan
citra wanita perawat yang bertugas membalut orang terluka atau merawat mereka
yang tewas.[11]
Gambaran tersebut sudah jelas bahwa wanita dalam kultur jawa walaupun
dikonsepkan sebagai pekerja didalam rumah tangga (wilayah domestik) dan selalu
menjadi orang yang berada di belakang bukan berarti ia tidak mempunyai kekuasaan
dan selalu lebih rendah. Wanita Jawa untuk berperan dalam kekuasaan mereka
tidak terjun secara langsung seperti halnya seorang laki-laki, namun seorang
Wanita Jawa berperan dari dalam (wilayah domestik) seperti halnya dalam
keluarga. Seperti yang telah di sebutkan sebelumnya,
Tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti, Srikandi, Larasati dan Sumbadra (semua
adalah istri Raden Arjuna) merupakan salah satu bukti bahwa orang jawa
mempunyai citranya sendiri tentang psikologi wanita yang bisa lemah lembut dan
sekaligus bisa berperang-tanding.
Salah satu orang Jawa mengatakan “Asal mula wanita menjadi konco wingking tertera dalam kitab suci.
Ketika tuhan menciptakan manusia pertama, yang diciptakan dahulu adalah
laki-laki, setelah itu baru wanita yang diambil dari tulang rusuk adam sebelah
kiri. Wanita terbuat dari tulang rusuk laki-laki sebelah kiri, yang intinya
derajat wanita lebih rendah dari laki-laki.”
Secara tidak langsung kita bisa menangkap bahwa konsep
tersebut diambil dari kitab suci agama Islam maupun Kristen. Hal ini seperti
penegasan penjelasan Ester Boserup bahwa wanita melayu secara tradisional
aktif, namun kedatangan Islam bersama pengaruh Inggris dan Belanda membantu
menciptakan pola peran serta wanita yang lebih rendah dari pada laki-laki.
Ikatan dan konsepsi nilai tersebut hanya berlaku sebagai kondisi sakaprayoginipun yang sangat ideal bagi
budaya Jawa, dan hanya berkembang di arena public saja. Dari segi publik atau
formal baik berdasarkan persepsi laki-laki maupun wanita derajat wanita
dipandang lebih rendah dari pada laki-laki. Kata sakaprayoginipun berarti semua tindakan dilakukan dengan melihat
keadaan.
Selain menjadi konco
wingking (sigarning nyawa/belahan
jiwa), wanita jawa memiliki beberapa cirri karakter pada wanita jawa, yaitu
sabar, sumeleh, dan sumarah.[12]
Seorang wanita jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit
sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan dan pintar pula
memaknainya. Mereka kuat dan tahan menderita.[13] Sifat pasrah,
sumarah bukan sebuah ekspresi kepasifan karena pasrah berarti mengerti dan
terbuka, namun tidak menolak. Jadi, dibalik penampilan wanita jawa yang kalem,
patuh, dan sabar, tidak berarati ia bisa diperlakukan sekehendak hati
laki-laki/suami. Seorang istri mengerti kelemahan dan mengagumi kekuatan suami.
Kemampuan istri jawa untuk menjadi pelindung atau bahkan menjadi kekayaan suami
terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam
kesulitan. Yang dimaksud cancut tali wanda adalah suatu konsepsi jawa yang
menggambarkan sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taksis
untuk menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan
mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh.[14]
Ada lagi istilah yang lebih merendahkan bagi para perempuan
atau istri bahwa seorang istri harus bisa manak, macak,
masak yaitu seorang wanita harus bisa memberikan keturunan, bisa
berdandan termasuk buat suami dan harus bisa memasak untuk suaminya.
istilah lain pun yang melekat pada diri perempuan atau istri
yaitu dapur, pupur, kasur, sumur dan mugkin masih ada akhiran
“ur ur” lainnya yang bisa diletakan pada diri perempuan.[15]
Pandangan terhadap kedudukan
perempuan akhirnya sedikit-demi sedikit berubah setelah R.A. Kartini
memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh pendidikan. Dikarenakan,
keterbelakangan kaum perempuan disebabkan tidak adanya kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Misalnya, pada masa R.A. Kartini yang bisa memperoleh
pendidikan hanyalah anak seorang bupati atau wedana. Dalam perjuangannya untuk
memperoleh pendidikan bagi perempuan, mendapat dukungan dari J.H. Abendanon.
Dalam suratnya yang ditulis kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 9 Januari
1981. Dalam surat itu disebutkan:
“ Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa
kemajuan para perempuan merupakan faktor penting untuk membudayakan bangsa itu.
Kecerdasan Bumiputera tidak akan terjadi secara cepat, jika perempuan
ketinggalan dalam bidang itu. Perempuan adalah pendukung peradaban. ”
Pendidikan yang dicita-citakan R.A. Kartini tidak hanya menyangkut
kecerdasan otak, tetapi juga pembinaan akhlak yang mulia. Oleh karena
itu, tugas perempuan tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga membina
budi pekerti yang luhur.
Sejak masa Kartini, perempuan Jawa
mulai melangkah ke depan. Walaupun membutuhkan proses yang panjang, perjuangan
Kartini itu membuahkan hasil, diantaranya adalah makin terbukanya kesempatan
perempuan untuk mengenyam pendidikan dan menyadarkan sebagian masyarakat bahwa
perempuan memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Karena dengan bekal
pendidikan itu sebagian perempuan Jawa memperoleh pekerjaan di luar rumah
tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula hanya di wilayah domestik
meluas ke wilayah publik.[16]
Dalam kultur jawa terdapat beberapa adat kebiasaan yang
bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal, diantaranya adalah:
1. Aturan tentang pembagian harta
perolehan bersama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam pembagian harta
gono-gini diatur bahwa laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan istri hanya
mendapatkan satu bagian.
2. Aturan tentang pembagian harta
warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki
masing-masing akan mendapatkan dua bagian, sedangkan
anak wanita mendapatkan satu bagian. Namun dalam prakteknya pembagian harta
warisan menurut aturan dua-lawan-satu hampir sepenuhnya terbatas dan berlaku
dikalangan keluarga santri Islam yang kuat.
3. Adat yang dinamakan pancer wali
tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak
bapak.[17]
Pembagian lain yang sering digunakan dalam pembagian warisan
adalah orang tua tidak boleh ban cinde ban siladan (satu anak digendong
dengna selendang, sedangkan anak yang lain digendong dengan belah kulit bambu)
dengan kata lain orang tua tersebut tidak adil dalam memperlakukan anak-anaknya
dan seharusnya berlaku secara adil.[18]
D.
Wanita Jawa setelah masuknya Islam
Wanita di
kawasan Asia Tenggara secara tradisional mereka aktif. Mereka diizinkan untuk melakukan kegiatan
ekonomi dengan berjualan dipasar atau bekerja disawah sebagaimana kaum laki-laki.
Dalam hal ini
wanita
mempunyai kekuatan dan posisi tawar yang baik dan kebebasan yang relatif sama dengan
laki-laki.[19]
Banyak
tulisan-tulisan yang menyangkut hak-hak asasi wanita di dalam Islam. Akan
tetapi setelah melihat kedudukan wanita dalam ranah politik, tidak ditemukan
perhatian yang memadai dalam hal itu. Sebagian orang beranggapan bahwa wanita
tidak tidak mempunyai keahlian untuk ikut serta dalam bidang politik. Dan ada
sebagian yang mengatakan kalau wanita memiliki keahlian dalam bidang politik.[20]
Sebuah buku karangan Muhammad ‘Arafah berjudul Then Rights of Women in Islam tidak saja
mengatakan bahwa seorang wanita tidak punya hak, tapi juga bahwa dia tidaklah
eksis dalam sejarah politik. Pada awal islam, kaum wanita muslim tidak memainkan
peran dalam urusan-urusan masyarakat, meskipun dengan adanya semua hak yang
telah diberikan Islam kepada mereka, yang seringkali sama dengan yang diberikan
kepada kaum lelaki.
Dalam konsep pembagian sosial di dalam kerja,
sesungguhnya bidang yang patut diterjuni oleh wanita adalah keluarga, dan pada
saat yang sama laki-laki dapat memikul tanggung jawab ekonomi dan politik.
Banyak ketetapan yang menuliskan bahwa wanita mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dengan lelaki yang pada dasarnya merupakan pandangan Islam, sesungguhnya
kecenderungan yang berlaku adalah pengutamaan terhadap konsep yang tidak
melibatkan wanita didalam kegiatan politik. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa politik bagi seorang wanita haram, demi menjaga agar
masyarakat tidak turun martabatnya kemudian jatuh. [21]
Penjelasan wanita jawa sebelum Islam datang dijelaskan
bahwa wanita dipandang rendah dan bisa bekerja hanya dalam
lingkup dalam rumah tangga dan laki-laki diluar rumah.
Namun setelah Islam datang para pihak yang menentang kepemimpinan akhirnya
menang setelah mendapat fatwa dari makah yang menyatakan bahwa wanita menurut
hukum Islam tidak boleh tampil dalam kepemimpinan. Dan setelah itu pembagian
warisan pada keluarga jawa lebih condong ke arah Islam. Anak laki-laki memperoleh dua pertiga
dari warisan, sedangkan anak wanita sepertiga. Dan kemudian wanita boleh
dikatakan disisihkan dari kehidupan politik yang sebelumnya menjadi ajang mereka berkiprah.
Kesetaraan wanita dan laki-laki dimunculkan oleh ideologi politik Indonesia dimana
argumentnya berasal dari persepektif fungsional yang mengungkapkan bahwa pria
dan wanita memainkan peran yang berbeda dalam lingkup berbeda, namun peran ini saling
melengkapi dan sejajar.[22] Ada
beberapa kedudukan wanita / perempuan dalam kultur sastra jawa, dintaranya
adalah[23]:
a. Sebagai hamba Tuhan
Perempuan
jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik, protestan, hindu dan budha.
Adupun agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat termasuk
perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur dengan
unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan
kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama islam
dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan
agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
b. Sebagai anak atau menantu
Anak
perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti (mengabdi) kepada orang
tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada
mertua. Selanjutnya dijelaskan pula alasan mengapa masing-masing perlu
mendapatkan penhormatan dari anak . Disebutkan bahwa bapak/ibu adalah sebagai
perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga mempunyai andil
dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui perantara mertua,
perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
c. Sebagai istri
Dalam
sastra jawa banyak ditemukan ajaran tentang tugas-tugas istri sebagai
pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus
berbakti kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam
posisi yang lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus
memperlakukan suami seperti dewa yang dipuji, ditakuti, dan dihormati.
d. Sebagai ibu
Tugas
perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung dalam karya
sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak ibu,
termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang
tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja
karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan
raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.[24]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Dalam istilah jawa
kata wanita mempunyaibebrapa istilah yang memilki makana beda-beda. Diantaranya
adalah wadon,anita, putri dan estri.
2. Penciptaan
wanita dalam al-Qur'an dapat dilihat dalam Firman Allah SWT. surat an-Nisa'
ayat 1. Hal ini juga didukung dengan Firman Allah dalam surat Thaha ayat 55
yang menyebutkan bahwa secara biologis wanita adalah sama dalam unsur
penciptaannya, yaitu tanah. Al-Qur'an telah menaruh perhatian yang cukup besar
terhadap posisi dan peran wanita dan mengangkat martabat wanita dalam posisi
yang setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat yang
memberikan kebebasan dan peluang terhadap wanita untuk sejajar dengan
laki-laki, baik dalam memperoleh pendidikan, memperoleh kesehata, berpolitik,
dan memperoleh penghidupan yang layak (ekonomi), namun harus memperhatikan
batas-batas kewanitaanya atau memperhatian kodrat kewanitaannya.
3. Kebudayaan jawa menempatkan
perempuan sebagai the scond sex. Dalam hal pembagian peran antara
laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlalu dan menjadi
budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat jawa
bahwa istri adalah konco wingking. Namun dalam islam., semua dipandang
sama dimata allah. Mereka dipandang dari iman dan taqwanya. Tidak ada yang
membedakan kecuali hal yang bersifat kodrati. Sehinga disini terjadi perbedaan
kedudukan budaya islam dan jawa dalam aspek wanita.
- Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat kami buat. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. Oleh karena itu kritik dan
saran pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah-makalah dan
karya-karya kami selanjutnya. Semoga bermanfaat.Amiin.
[1] Umi Chulsum, Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya
: Khasiko, 2006), hlm. 694
[2] Cristina S. Handayani, Andrian
Novianto, kuasa wanita jawa, (Yogyakarta
: LKIS, 2004), hlm 24
[3] http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html
diakses pukul 22.15 pada tanggal 20 juni 2014
[4] Muhammad Rasyid Ridha, jawaban
islam terhadap berbagai keraguan seputar
keberadaan wanita, Surabaya : Pustaka progresif, 1992, hlm 1
[5]
http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-2004-nurindarti-1565&q=wanita%20di%20dalam%20Islam di akses pukul 10.16
pada tanggal 04 juni 2014
[6] Hardjito Notopuro, SH, Masalah
Wanita, Kedudukan dan Perananya, (Jakarta
: Bina Cipta, 1977), hlm 3
[7] Fatima Mernissi, wanita
didalam Islam, (Bandung : Pustaka, 1994), hlm 12
[8] Syahrin Harahap,Islam Dinamis,
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), hlm
147
[9] Anasom dkk, membangun negara bermoral, (semarang : Pustaka Rizki Putra, 2004),
hlm 155-156.
[10] http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html
diakses pukul 22.15 pada tanggal 20 juni 2014
[11] Fatima Mernissi, wanita
didalam Islam, hlm. 147
[12] Cristina S. Handayani, Andrian
Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.26
[13] Cristina S. Handayani, Andrian
Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.
131
[14] Cristina S. Handayani, Andrian
Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.
139
[16] http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html
diakses pukul 22.15 pada tanggal 20 juni 2014
[17] Cristina S. Handayani, Andrian
Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.
119
[18] Cristina S. Handayani, Andrian
Novianto, kuasa wanita jawa,hlm.121
[20] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.79
[21] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, hlm.
80
[23] Sri
Suhandjati sukri dan Ridin sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi
Jawa, Gama Media, 2001. Hal. 63
DAFTAR PUSTAKA
Anasom dkk, membangun negara
bermoral, semarang : Pustaka Rizki Putra, 2004.
Fatima Mernissi, wanita didalam Islam, Bandung : Pustaka,
1994.
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997
http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl s1-2004-nurindarti-1565&q=wanita%20di%20dalam%20Islam di akses pukul 10.16 pada
tanggal 04 juni 2014
http://rudiindri.blogspot.com/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html diakses pukul 22.15
pada tanggal 20 juni 2014
http://sainswindow.blogspot.com/2013/10/wanita-dalam-budaya jawa.html#!/2013/10/wanita-dalam-budaya-jawa.html
di akses pukul 22.47 pada
tanggal 04 juni 2015
Izzat, Hibbah Rauf, Wanita
dan Politik Pandangan Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007.
Notopuro, Hardjito, Masalah Wanita, Kedudukan dan Perananya, Jakarta : Bina Cipta, 1977
Novia, Umi Chulsum, Windy, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Surabaya : Khasiko, 2006
Novianto,Cristina S. Handayani, Andrian, kuasa wanita
jawa, Yogyakarta : LKIS, 2004.
Ridha, Muhammad Rasyid, jawaban islam terhadap berbagai
keraguan seputar keberadaan wanita, Surabaya : Pustaka progresif, 1992.
Scribd.com/doc/23130284/Peran-Wanita-Dalam-Islamisasi-Jawa diakses pukul 22.22 pada tanggal 20 juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar