SISTEM
PEMILU
Dibuat
guna Memenuhi Tugas :
Mata
Kuliah : Sistem Politik di Indonesia
Dosen
Pengampu : Nur Syamsudin

Disusun
oleh:
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Ahmad
Haidar (132211076)
Nur
Faizah (132211088)
FAKULTAS
SYARI`AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum
dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu, dan dihargai sebagai
jembatan terhadap kedaulatan rakyat dan kekuasaan Negara. Hasil pemilihan umum
yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan
kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi
serta aspirasi masyarakat.[1]
Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika
masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.[2]
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa “kedaulatan
ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Kedaulatan ada ditangan rakyat artinya rakyat pada dasarnya memiliki kekuasaan
dalam kehidupan bernegara. Tetapi karena rakyat merupakan entitas yang sangat
kompleks maka tentu saja kedaulatan tersebut tidak secara langsung dilaksanakan
sendiri oleh rakyat, kedaulatan dilakukan melalui sistem perwakilan yang akan
dipilih oleh rakyat.[3]
Dalam melakukan pemilihan umum diperlukan sebuah sistem agar lebih efektif
dalam melaksanakannya, disini kami telah memaparkan bagaimana sistem pemilihan
umum yang diterapkan di beberapa negara termasuk Indonesia.
2. Rumusan masalah
a. Apa
definisi sistem?
b. Apa
dan bagaimana jenis-jenis pemilihan umum?
3. Tujuan
Mengetahui
jenis-jenis sistem pemilihan umum beserta varian-variannya.
II.
PEMBAHASAN
1. Definisi sistem
Kamus Besar Bahas Indonesia mengartikan sistem
sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk
suatu totalitas. Sedangkan pemilihan
umum diartikan sebagai proses, cara perbuatan memilih yang dilakukan serentak
oleh seluruh rakyat suatu Negara. Berdasarkan gabungan dari kata “sistem” dan
“pemilihan umum” secara bahasa merupakan perangkat beberapa unsur yang saling
berkaitan satu sama lain yang terdapat dalam proses pemilihan yang dilakukan
oleh rakyat suatu Negara. Sigit Pamungkas mendefinisikan sistem pemilu sebagai
seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu
lembaga perwakilan.[4]
Dalam ilmu politik sistem pemilihan umum diartikan
sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil
mereka. Manakala sebuah lembaga perwakilan rakyat dipilih, maka sistem
pemilihan mentransfer jumlah suara kedalam jumlah kursi. Sementara itu pemilihan
Presiden, Gubernur dan Bupati yang merupakan representasi tinggal dalam sistem
pemilihan, dasar jumlah suara yang diperoleh menetukan siapa yang menang dan
siapa yang kalah. Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka betapa pentingnya
sistem pemilihan dalam sebuah demokrasi.[5]
2. Jenis-jenis pemilihan umum
Pada dasarnya sistem pemilihan umum ada dua jenis
yaitu mekanis dan organis, pada sistem yang bersifat mekanis dilakukan dengan
dua cara yaitu sistem distrik (single-member constituency ) dan sistem
proporsional (multi-member constituency).
a.) Sistem
organis
Pandangan
organis menempatkan rakyat sebagai jumlah individu-individu yang hidup bersama
dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan genealogis (rumah tangga,
keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industry), lapisan-lapisan sosial (buruh,
tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok
dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ
yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme, seperti
komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian,
persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan
pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain persekutuan-persekutuan itulah yang
mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan
masyarakat. Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah
diuraikan diatas, pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem
perwakilan fungsional (function represenbtation) yang biasa dikenal
dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia.
Dalam
sistem pemilihan organis partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena
setiap pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup
itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
lembaga perwakilan rakyat mencerminkan perwakilan kepentingan–kepentingan
khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing-masing. Sistem organis
menghasilkan dewan korporsi (korporatif).[6]
b.) Sistem
mekanis
Sistem
pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat
rakyat sebagai masa individu-individu yang sama. baik aliran
liberalisme, sosialisme dan komunisme semuanya sama-sama mendasarkan diri pada
pandangan mekanis. Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai kesatuan
otonom dan memandang masyarakat sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan
individu yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme dan
khususnya komunisme lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dengan
mengecilkan peranan individu. Namun, individu tetap dilihat sebagai penyandang
hak pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai masa
individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap
pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.
Dalam
sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan
pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua partai ataupun
multi-partai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan
sistem satu partai menurut paham komunisme. Dalam sistem ini lembaga perwakilan
rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya. Sistem
mekanis menghasilkan parlemen. Berikut cara-cara yang digunakan dalam sistem
mekanis :
(a) sistem
distrik (single-member constituency)
Sistem
distrik merupakan sistem dimana satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan)
memilih satu wakil tunggal (single-member constituency) atas dasar
pulralitas (suara terbanyak). sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang
paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis
(yang biasanya disebut ditrik karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh
satu kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah
besar ditrik pemilihan kecil yang kira-kira sama jumlah penduduknya.[7]
Dalam
sistem distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik
hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak
menjadi Pemenang tunggal meraih satu kursi itu, hal ini sekalipun terjadi
selisih suara dengan partai lain kecil. Suara yang tadinya mendukung partai
lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk
menambah jumlah suara partainya diditrik lain.[8]
Sistem distrik memiliki lima varian yaitu :
·
first Past The
Post (FPTP)
Dimana satu distrik
menjadi bagian dari suatu daerah pemilihan, satu distrik hanya berhak atas satu
kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal.
·
Block Vote (BV)
Terdapat tiga ciri dari
sistem ini yaitu (a) berwakil majemuk, dimana satu distrik memiliki beberapa
anggota perwakilan (b) pemilihan akan memberikan pilihan sebanyak jumlah kursi
yang diberikan (c) kandidat yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang.
·
Party Block Vote
(PBV)
Sistem ini hamper sama
dan merupakan varian dari sistem BV, yang mebedakannya adalah pemilih memilih
partai bukan kandidat.
·
Alternative Vote
(AV)
Sigit Pmungkas
menjelaskan bahwa sistem ini mempunyai ciri umum dimana pemilih memiliki
preferensi untuk merangking sejumlah kandidat yang mereka sukai.
·
Two Round System
(TRS)
Sistem ini hamper sama
dan merupakan varian dari sistem BV, yang mebedakannya adalah pemilih memilih
partai bukan kandidat kedua.[9]
Kuntungan dari sistem distrik adalah :
ü partai-partai
terdorong untuk terintegrasi dan bekerjasama.
ü Fragmentasi
dan kecenderungan mendirikan partai baru dapat dibendung, sistem ini mendukung
penyederhanaan partai tanpa paksaan
ü Oleh
karena dalam suatu daerah pemilihan kecil (distrik) hanya ada satu pemenang,
wakil yang terpilih erat dengan konstituennya dan merasa accountable kepada
konstituen. Lagipula kedudukanya terhadap partai lebih bebas karena factor
kepribadian seseorang berperan besar dalam kemenanganya.
ü Lebih
mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas di perlemen.
Sekalipun demikian harus dijaga agar tidak terjadi elective dictatorship.
ü Terbatasnya
jumlah partai dan meningkatnya kerjasama mempermudah tercapainya stabilitas
politik.[10]
Kelemahan
dari sistem distrik adalah :
ü Terjadi
kesenjangan antara presentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi yang
diparlemen. Kesenjangan ini disebabkan oleh distorsi (distortion effect) partai
besar memperoleh keuntungan dari distorsi dan seolah-olah mendapat bonus. Hal
ini menyebabkan over-representation dari partai besar dalam parlemen.
ü Distorsi
merugikan partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika terpencar
dibeberapa distrik. Presentase kursi lebih kecil dari presentase suara sehingga
terjadi under-representation dari partai kecil. Sistem ini kurang
representative karena banyak suara yang hilang (wasted).
ü Sistem
ini kurang mengakomodasikan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang
heterogen dan pluralis sifatnya.
ü Wakil
rakyat yang dipilih cenderunglebih memperhatikan kepentingan daerah
pemilihannya dari pada kepentingan nasional.[11]
(b) sistem
proporsional (multi-member constituency).
Sistem
proporsional merupakan sistem dimana suatu wilayah besar (yaitu daerah
pemilihan) memilih beberapa wakil, dan suatu wilayah dianggap sebagai suatu
satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara
yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional tanpa menghiraukan
distribusi suara itu.[12]
Sistem proporsional memiliki dua variasi yaitu :
·
proporsional
representation
sistem ini memliki
beberapa ciri yaitu setiap distrik berwakil majemuk, setiap partai menyajikan
daftar kandidat dengan jumlah yang lebih banyak disbanding jumlah kursi yang
dialokasikan untuk satu daerah pemilihan, pemilih memilih satu kandidat, partai
memperoleh kursi sebanding dengan suara yang diperoleh, kandidat yang dapat
mewakili adalah yang berhasil melampauia ambang batas suara. Sistem ini
memiliki beberapa varian yaitu (a) daftar tertutup (b) daftar terbuka (c)
daftar bebas.
·
single
transverable vote
sistem ini mempunyai ciri:
menggunakan distrik-distrik bersuara banyak, pemilih melakukan ranking kandidat
secara preferensial, kandidat yang perolehan suaranya melebihi kuota suara
dinyatakan sebagai wakil terpilih, jika ada yang melebihi kuota kandidat yang
preferensinya paling sedikit disingkirkakan.[13]
Keuntungan
sistem proporsional :
ü Dianggap
lebih representative karena presentase perolehan suara setiap partai sesuai
dengan presentase perolehan kursinya diparlemen. Tidak ada distorsi antara
perolehan suara dan perolehan kursi.
ü Setiap
suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas
diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya diparlemen. Karena itu masyarakat
yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada sistem ini.[14]
Kelemahan
sistem proporsional :
ü Kurang
mendorong partai-partai untuk berintegrasi satu sama lain, malah sebaliknya
cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka. Bertambahnya jumlah
partai dapat menghambat proses integrasi diantara berbagai golongan
dimasyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini mempermudah fragmentasi dan
berdirinya partai baru yang pluralis.
ü Wakil
rakyat kurang erat hubunganya dengan konstituenya, tetapi lebih erat dengan
partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih menonjol
dari pada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya sistem ini memberi
kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya diparlemen
melalui stelsel daftar (list system).
ü Banyaknya
partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas
diparlemen. Dalam sistem pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit
terbentuknya pemerintahan yang stabil karena hrus mendasarkan pada koalisi.[15]
(c) Sistem
campuran
Sistem
campuran ini juga disebut sebagai sistem pemilihan semi proporsional. Dengan
pemilihan ini suara dikonfersi menjadi kursi dengan hasil yang berada diantara
sistem pemilihan proporsional dan sistem pluralitas-mayoritas. Tujuan dari
sistem campuran ini adalah untuk memadukan ciri-ciri positif dari sistem
mayoritas-pluralis dan sistem proporsional. Dengan demikian pada sistem ini
akan terdapat dua sistem pemilu yang berjalan beriringan meski masing-masing
menggunakan modenya sendiri.
Sistem ini memiliki dua
varian yaitu :
·
Sistem parallel distrik.
Dalam sistem parallel,
sebagian distrik memakai sistem proporsional representative daftar dan sebagian
yang lain memakai sistem distrik. Secara teknis operasional sistem ini akan
bekerja dengan cara menerapkan dua kotak suara (ballots). Pemilih
memilih (1) ballot pertama untuk pilihan distrik , (2) ballot kedua untuk
pilihan partai (proporsional). Dimana setiap pemilih akan menerima dua surat
suara terpisah , satu untuk kursi distrik dan satunya lagi untuk kursi
proporsional. Dalam hal ini komponen proporsional tidak mengkompensasikan sisa
suara bagi daerah pemilihan yang menggunakan sistem distrik
·
Sistem mixed
member proporsional
Dalam sistem mixed
member proporsional (MPP), sebagian anggota lelmbaga perwakilan dipilih
melalui sistem distrik (FPTP) dan sebagian lain berdasarkan sistem
proporsional. Sedangkan jumlah anggota perwakilan yang akan dipilih melalui
masing-masing sistem tersebut telah ditentukan sebelumnya. Bisa saja 60%
dipilih dengan sistem distrik dan 40% dipilih dengan sistem proporsional, atau
bisa saja 50:50 untuk masing-masing sistem yang diterapkan. Bagi partai yang
tidak mendapatkan kursi melalui sistem distrik maka partai tersebut akan
mendaatkan kursi berdasarkan perolehan suara melalui pemilu proporsioanal.
Sistem
campuran mempunyai kelemahan dimana akan terjadi kategorisasi wakil rakyat
dilembaga perwakilan. Sebagian wakil rakyat merupkan wakil distrik dn sebagian
lain wakil partai politik.[16]
III.
SIMPULAN
Dari paparan materi diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa sistem pemilu pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu sistem organis dan
mekanis, yang mana sistem mekanis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sistem
distrik dan sistem proporsional dan mempunyai variannya masing-masing.
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang sistem pemilu yang telah
kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Ikrar Mandiriabadi.
Ghaffar,
Affan .1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
asshiddiqie,
Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi
Press.
Fahmi, Khairul.
2012. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2012
[1] Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. (Jakarta : Ikrar Mandiriabadi, 2008 ) Hal. 461
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Pemilu 2014 . ( Bandung : Citra Umbara) Hal.3
[3] Affan Ghaffar. Politik Indonesia
Transisi Menuju Demokrasi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) Hal. 281
[4] Khairul Fahmi. Pemilihan Umum
dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012) Hal. 51
[5] Affan Ghaffar. Ibid. Hal, 255
[6] Jimly asshiddiqie. Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara. (Jakarta : Konstitusi Press, 2006) Hal. 178-181
[7] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 461
[8] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 462
[10] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal.
466-467
[11] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 467
[12] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal
462-463
[13] Khairul Fahmi. Ibid. Hal. 68-70
[14] Miriam Budiarjo.Ibid.
Hal.467-468
[15] Miriam Budiarjo.Ibid. Hal. 469
Tidak ada komentar:
Posting Komentar