MAKALAH
SYARAT-SYARAT PERIWAYATAN HADITS
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah:
ULUMUL HADITS
A.Fatah Idris
Dr. MSI.H

Oleh:
Sofiani Novi Nuryanti (132211078)
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Hadist dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan
dan ketetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. Penyandaran ini bisa
dilakukan secara lafdzi - ( dikutip kata perkata sebagaimana Rasulullah
mengucapkan pertama kali ) dan maknawi ( dikutip hanya menurut isinya saya
sedang redaksinya telah berubah ). Adapun periwayatan mengenai perbuatan dan
ketetapan ( bisa berupa diamnya atau bahasa isyarat lain dari Rasulullah yang
mempunyai arti tertentu ), bisa dipastikan bersifat maknawi. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa pada umumnya hadist – hadist Nabi diriwayatkan secara
maknawi.
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang penerimaan dan
periwatan hadist serta syarat – syarat menjadi periwayat hadist.
Hadist – hadist Nabi tersebut diterima oleh sahabat yang
terdiri dari berbagai kalangan yang diantaranya adalah anak – anak, orang kafir
dan orang fasik yang masih dianggap sah penerimaannya oleh jumhur hadist,
melalui berbagai macam metode penerimaan yang diantaranya adalah al-sima',
al-qira'ah dan sebagainya.
Setelah itu diriwayatkan oleh ahli – ahli hadist yang
memenuhi syarat – syarat menjadi perawi hadist. Itu semua dibuat hanya untuk
meminimalisir terjadinya hadist – hadist palsu yang beredar hanya untuk
kepentingan Pribadi, politik dan sebaginya.
2.
Rumusan masalah
a.
Apa pengertian periwayatan?
b.
Apa saja syarat-syarat periwayatan hadits?
c.
Apa saja cara-cara meriwayatkan hadits?
3.
Tujuan
a.
Mengetahui pengertian periwayatan
b.
Mengetahui syarat-syarat periwayatan hadits
c.
Mengetahui cara-cara meriwayatkan hadits
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian periwayatan
Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits, telah
terlebih dahulu melalui proses yang dinamakan dengan riwayat Al-Hadits atau Al
Riwayat.
Kata Al-Riwayat adalah masdar dari kata kerja Rawa dan dapat
berarti Al-Naql (penukilan) Al-Dzikr (penyebutan) Al-Fatl (pintalan) dan
Al-Istisqa (pemberian minum sampai puas)[1]
Menurut istilah ilmu hadits yang dimaksud dengan Al-Riwayat adalah kegiatan penerimaan atau
penyampaian suatu hadits serta penyandaran suatu hadits itu kepada rangkaian
para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima
hadits dari seorang periwayat tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada
orang lain maka dia tidak disebut sebagai orang yang telah meriwayatkan hadits.
Sekiranya orang tersebut telah menyampaikan hadits yang telah diterimanya
kepada orang lain, tetapi ia tidak menyampaikan rangakaian periwayatnya maka
orang tersebut juga tidak dinyatakan sebagai orang yang melakukan periwayatan
hadits. Jadi ada tiga unsur yang harus di penuhi dalam periwayatan hadits yaitu
menerima hadits dari periwayat hadits, kegiatan menyampaikan kepada orang
lain,dan ketika disampaikan susunan periwayatnya harus disebutkan. Kekurangan
pada salah satunya menyebabkan gugurnya kegiatan untuk disebut sebagai
periwayatan hadits.[2]
2.
Syarat-syarat periwayatan hadits
Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-ada’ adalah
menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya ia
mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut
pertanggung jawaban yang sangat berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits
juga tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits,
ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits
seperti yang disebutkan berikut ini:[3]
a.
Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus
muslim, dan menurut ijma’ periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya
seorang yang fasik saja, kita disuruh bertawaquf,maka lebih-lebih perawi yang
kafir. Kaitannya dengan masalah ini kita bias bandingkan dengan firman Alloh
SWT yang artinya:
“ hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu
orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui suatu keadaan
sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat: 6)
b.
Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika
ia meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh hal ii sesuai
dengan hadits Rosululloh SAW yang artinya “ hilang kewajiban menjalankan
syari’at islam dari tiga golongan yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang
yang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi” ( HR. Abu Dawud dan
Nasa’I )
Dan hadits ini diperkuat juga dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al Hakim yang artinya “ diangkat kalam dari tiga
orang : dari orang gila yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang
tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa”
Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena
anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak
kecil menjadi wali ehadap dirinya dalam urusan keduniaan maka dalam urusan
keakheratan tentulah lebih utama lagi. Sampai umur adalah dasar untuk
menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan pengertian maka dari itu baligh
merupakan salah satu dari syarat-syarat periwayatan hadits
c.
‘adalah
Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) disini adalah suatu sifat
yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat
tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri denag
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dari dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang merusak muru’ahnya seperti makan
sambil jalan, berkamih dijalan-jalan besar, menggauli orang-orang rendah
pekerti atau terlal suka bergurau dan selalu
d.
Dhabith
Dhabith ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan
pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu ia menerima hingga
menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke Dhabittan perawi dengan jalan I’tibar
terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan
keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana
disebutkan diatas, antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung,
hadits yang disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan
dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur’an.
3.
Cara penerimaan hadits
Para ulama hadits menggolongkan cara menerima suatu
periwayatan hadits menjadi delapan macam:[4]
a.
Al-Sama’
Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri
dari perkataan gurunya dengan cara didekatkan , baik dari hafalannya maupun
dari tulisannya, sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya
tersebut. Menurut jumhur ahli hadits, ini yang paling tinggi tingkatannya. Sebagian dari mereka adayang
mengatakan bahwa Al-Sama’ yang dibarengi dengan Al-Kitabah mempunyai nilai
lebih tinggi dan paling kuat karena tejamin kebenarannya dan terhindar dari
kesalahan disbanding dengan cara-cara lainnya, disamping para sahabat juga
menerima hadits Nabi SAW dengan cara seperti ini.
Termasuk kategori sama’ juga seorang yang mendengarkan hadits
dari syekh dari balik satar (semacam kain pembatas/ penghalang), jumhur ulama
membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal
demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits rosululloh melalui umahat al-mu’minin
(para istri Nabi )
b.
Al-Qira’ah ‘ala al-syaikh atau ‘aradh al-qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang
membacakan hadits dihadpan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun
orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru
hafal maupun tidak, tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya
atau tergolong tsiqqah.
Ajjaj Al-Khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad,
mensyaratkan orang membaca (qari’) itu mengetahui dan memahami apa yang diaca.
Sementara, syarat bagi syekh dengan mengutip pendapat Imam Haramain hendaknya
yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibaca oleh
qari’, sehingga tahrif maupun tashrif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian,
maka proses tahammul tidak sah.
c.
Al-munawalah
Seoarng guru memberi suatu hadits atau beberapa hadits atau
sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengetengahkan
bahwa Al-Munawalah adalah seorang guru memberi seoarng murid kitab asliyang
didengar dari guru memberi kepada seorang murid , kitab asli yang didengar dari
gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “ inilah
haits-hadits yang sudah saya dengar dari seseorang maka riwayatkanlah hadits
itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”. Al-Munawalah
mempunyai dua bentuk yaitu:
·
Al- munawalah yang dibarengi denga ijazah, misalnya
setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan lalu dia
katakana kepada muridnya “ini riwayat saya maka riwayatkanlah dariku”, kemudian
menyerahkannya kemudian sang murid menerima sambil sang guru berkata,” saya
telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”
·
Al-Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah,
seperti perkataan guru kepada muridnya “ ini hadits saya” dan tidak menyuruh
muridnya untuk meriwayatkan kepada orang lain.
d.
Al-Ijazah
Seorang guru memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid
tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya. Seperti :”
saya mengijazahkan kepaamu untuk meriwayatkan dariku”
Al-Qadhi ‘iyad membagi ijazah ini menjadi enam macam
sedangkan Ibnu Al-Shalah enambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujih macam
ijazah, yaitu sebagai berikut:
·
Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang sebuah
kitab atau beberapa kitab yang disebutkan kepada mereka.
·
Ijazah kepada ornag tertentu untuk meriwayatkan
sesuatu yang tidak tertentu. Seperti “ saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang
saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”
·
Bentuk ijazah secara umum seperti ungkapan “ saya
ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada”
·
Bentuk ijazah kepada orang-orang yang tidak tertentu
untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tentu. Cara seprti ini dianggap rusak
atau fasid
·
Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti
mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan bentuk ijazah seperti ini
tidak sah
·
Bentuk Al-Ijazah mengenai sesuatu yang belum
diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya
ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan ku dengarnya”
cra seperti ini dianggap batal
·
Bentuk Al-Ijazah Al-Mujaz seperti perkataan guru “saya
ijazahkan kepadamu Ijazahku” bentuk separti ini termasuk yang diperbolehkan.
e.
Al-mukatabah
Seorang guru menuliskan atau menyuruh orang lain untuk
menuliskan sebagian haditsnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya
atau yang dipercaya untuk menyampaikannya. Al-Mukatabah ada dua macam yakni:
·
Al-Mukatabah yag dibarengi dengan Ijazah yaitu sewaktu
sang guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan kepada muridnhya disertai
dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku maka riwayatkanlah”
·
Al-Mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah yakni
guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya tanpa menuliskan hadits
untuk meriwayatkan atau mengijazahkan.
f.
Al-I’lam
Pemberitahuan seorang guru kepada seorang muridnya bahwa
kitab atau hadits yang diriwayatkannya dia terima dari seorang guru,dengan
tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya.
Sebagian ulama hali ushul dan pendapat ini dipilih oleh ibnu Al-Shalah,
menetapkan tidak sah meriwayatkan hadits dengan cara ini, karene dimugkinkan
bahwa sang guru sudah menetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan
kebanyakan ulama ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ushul memperbolehkannya.
Contohnya seorang telah memberi tahu kepadaku “telah memberi tahu kepada kami…”
g.
Al-Wasiyah
Seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian,
meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan haits atau kitabnya,
ketika setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadits dengan
cara ini oleh jumhur dianggap lemah, sementara Ibnu Sirin membolehkan
mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh hadits atas jalan wasiat ini. Orang
yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadits dari sipemberi wasiat
dengan redaksi “ seseorang telah memberitahukan kepadaku begini..” karene si
penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
h.
Al-Wijadah
Yakni seseorang memperoleh hadits orang lain dengan
mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui cara Al-Sama’,Al-Ijazah,
atau Al-Munawalah.para ulama berselisih pendapat tentang cara ini, Imam syafi’I
dan segolongan pengikutnya mengakui cara ini, Ibnu Al-shahalah mengatakan bahwa
sebagian ulama Muhaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebnarannya.
III.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Periwayatan hadits adalah kgiatan
penerimaan dan penyampaian hadits, dalam hal periwayatan hadits ada beberapa
syarat untuk meriwayatkannya yaitu islam, baligh, ‘adalah, Dhabith, bersambung
dan tidak syadz.
Dan cara-cara untu meriwayatkan
hadits ada 8 yaitu Al-Sama’, Al-Qira’ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-Mukatabah,
Al-I’lam, Al-Wasiyah, dan Al-Wijadah.
2.
Saran
Demikianlah
makalah tentang syarat-syarat periwayatan hadis, Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu
kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah
ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Sahrani,Sohari.2010.Ulumul Hadits.Ghalia Indonesia: Bogor
Isma’il, Syuhudi.1995.Kaedah kesanadan Hadits.PT. Bulan Bintang: Jakarta
As-Shidieqy,Hasbi.1994.Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.PT.Bulan Bintang: Jakarta
Rahman,Fathur.1945.Mustthalahul
Hadits.Sunan Kalijaga:bandung
[1] Buthrush Al Bustaniy, kitab Kutur Al Muhith, Maktabah Libnan,jilid 1,hal. 289
[2]
Prof.Dr.H.M. Syuhudi Isma’il, kaedah
kesanadan hadits,1995,PT Bulan Bintang:Jakarta,Hal.23-24.
Prof.DR.H.M.Erfan Soebahar.M.AG.2012,Periwayatan
dan Penulisan Hadits Nabi. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,Hal.21
[3]
Drs.Sohari Sahrani,M.M,M.H,2010,Ulumul
Hadits, Ghalia Indonesia: Bogor, Hal.182-184
Prof.Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.1994.Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.PT Bulan Bintang: Jakarta,Hal.41-42
[4]
Drs Sahari Sahrani.M.M,M.H.2010.Ulumul
Hadits. Ghalia Indonesia.Hal:176-182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar