PUTUS
PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
SERTA
TATACARA PERCERAIAN
Dibuat
guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Hukum Perdata Islam Indonesia
Dosen
Pengampu : Drs. Rokhmadi, M.Ag.

Disusun
oleh:
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
FAKULTAS
SYARI`AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan
perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang
terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi
ibadah dalam perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik.[1]
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang
harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia
sepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan
lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri
sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun demikian kenyataan hidup
membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami
istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal
kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat
diwujudkan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan
kecenderungan, pandangan hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan
rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam
sendi-sendinya.[2]
Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami
dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya
kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah
tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi
pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang
harus ditampung dan diselesaikan.[3]
Mengenai hal tersebut, berikut penulis akan
memaparkan bagaimana putusnya perkawinan dan bagaimana penyelesaiannya.
2. Rumusan
masalah
a. Apa
yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
b. Bagaimana
akibat hukum putusnya perkawinan?
c. Bagaimana
tata cara perceraian?
3. Tujuan
Mengetahui bagaimana putusnya perkawinan, akibat
hukum dari putusnya perkawinan serta tata cara perceraian.
II.
PEMBAHASAN
1. Putus
perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria
dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara
keduanya meninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan
salah seorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada
beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah
meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat
putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang
diikat dengan tali perkawinan.[4]
Perceraian
dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang
oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَبْغَضَ
ْالحَلاَلِ إِلَى الّلهُ الطَّلاَقُ (رواه ابوداودوابن ماجه والحاكم)
“sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh
Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Al-Hakim).[5]
Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa
perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui
oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat
dipertahankan keutuhan dan kelanjutanya.
Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami,
mungkin pula atas inisiatif istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak
menceraikan istrinya yaitu dengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui
penguasa. Istri dapat memohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’
dengan mengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di Indonesia
mengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula karena tadinya suami
mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah tindakan sepihak, maka bentuk
acaranya ialah dengan mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan agama.
Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian meskipun bernama permohonan (bersifat
voluntair atau sepihak) menurut instruksi pihak termohon (istri) harus
didengar, bahkan berhak mohon banding bila keputusan tidak menyenangkan
baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan (bersifat contentious/dua
pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan sungguh artinya
mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia, kini tidak
demikian lagi.[6]
Dalam prakteknya penundaan-penundaan penyelenggaraan
perceraian sebagai suatu usaha agar talak dibatalkan bukan hanya dilakukan oleh
P.P.N./P3.N.T.R, BP 4 saja, melainkan lurah atau kepala kampung juga telah
banyak memberikan nasehat-nasehat. Bahkan sementara lurah (di daerah Jawa)
mempunyai kebiasaan, apabila ada suami/istri yang melaporkan diri hendak
bercerai maka yang bersangkutan itu dipersilahkan datang dilain hari, yakni
pada hari dan pasaran yang sama dengan waktu pernikahannya dulu, jadi kalau
pernikahannya rabu wage dengan demikian ada kemungkinan jika yang bersangkutan
harus menunggu harus lebih dari satu bulan. Dalam hal ini tidak jarang terjadi
bahwa yang bersangkutan itu membatalkan kehendak cerainya.[7]
Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi
dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu:
a. Terjadinya
nusyuz dari pihak istri
Nusyuz
bermakna kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Hal ini bisa
terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat
mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka dalam hal ini dapat diselesaikan
dengan (1) istri diberi nasihat dengan
cara yang ma’ruf, (2) pisah ranjang, apabila dengan cara ini tidak berhasil
maka langkah berikutnya adalah (3) memberi hukuman fisik dengan cara
memukulnya, penting untuk dicatat yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak
membahayakan si istri seperti betisnya.
b. Nusyuz
suami terhadap istri
Kemungkinan
nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi
kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, suami tidak
memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya
baik lahir maupun batin, fisik maupun mental. Jika suami melalaikan
kewajibannya berulang kali dan istrinya mengingatkanya namun tetap tidak ada
perubahan maka istri diminta untuk lebih bersabar dan merelakan hak-haknya
dikurangi untuk sementara waktu. Semua itu bertujuan agar perceraian tidak
terjadi.
c. Terjadinya
syiqaq
Tampaknya
alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq.
Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Untuk sampai pada
kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui beberapa
proses.
d. Salah
satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan saling
tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah dengan cara
membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.[8]
Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang disebutkan
bahwa :
Pasal
38
Perkawinan
dapat putus karena :
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Keputusan
pengadilan.[9]
Selain itu, KHI menjelaskan beberapa istilah yang
berkaitan dengan perceraian :
1.) Talak
Talak
adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Talak ada dua macam yaitu :
a. Talak
Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri dalam
masa iddah (pasal 188 KHI).
b. Talak
ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
a.) Talak
ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI ayat 1). Talak
ba’in sughra dapat dibagi menjadi :
-
Talak yang
terjdi qabla al-dukhul;
-
Talak dengan
tebusan atau khulu’;
-
Talak yang
dijatuhkan oleh pengadilan agama (pasal 119 KHI ayat 2).
b.) Talak
ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali apabila pernikahan
itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddah (pasal 120 KHI).
c. Talak
sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan kepada seorang
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (pasal 121
KHI).
d. Talak
bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri
dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi sitri dicampuri pada
waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)
2.) Khuluk,
merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk menebus dirinya dari
ikatan suaminya.[10]
3.) Li’an
menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (pasal
125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedang istri
menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal 126 KHI).[11]
Perceraian
harus berdasarkan alasan yang limitative, Alasan terjadinya perceraian
disebutkan dalam pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 KHI :
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara
suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[12]
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya
perceraian yang berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang
memeluk agama Islam, yaitu suami melanggar taklik talak, Peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[13]
2. Akibat
putusnya perkawinan
Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan
antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum,
baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam
KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima)
yaitu:
a. Akibat
talak
Ikatan
perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat
hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
Bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a.) Memberikan
mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b.) Memberi
nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada istri
selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c.) Melunasi
mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d.) Memberikan
biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai 21
tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut
bersumber dari surat Al-Baqarah ayat 235 dan 236 sebagai berikut :
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ
أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
(٢٣٥)
لَّا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ
وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى
ٱلْمُحْسِنِينَ (٢٣٦)
Artinya :
“dan tidak ada dosa
bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah
kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah
bahwa Allah maha pengampun, maha penyantun”
“Tidak ada dosa bagimu
jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau
belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah. Bagi yang
mampu menurut kemampuanya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya,
yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Baqarah :
235-236)
b. Akibat
perceraian (cerai gugat)
Cerai
gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan,
yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang dimaksud, sehingga
putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Cerai
gugat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَنَّ
امْرَأَةُ قَلَتْ يَارَسُوْلُالله إِنَّابْنِى هداكَانَتْ بَطْنِى
لَهُوِعَاءٌوَثَدْ بِى لَهُ سَقَاءٌوَحَجْرِى لَهُ حَوَاءُوَاِنَّ اَبَاهُ
طَلَّقْنِى وَاَرَادَاَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى فَقًالَ لَهَارَسُوْل الله صلعم
اَنْتَ اَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى (رواه احمدوابوداود)
Artinya :
“seorang perempuan
berkata pada Rasulullah SAW : wahai Rasulullah SAW. Saya yang mengandung anak
ini, air susuku yang diminumya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku),
ayahnya telah menceraikanku dan dia ingin memisahkannya dariku” maka Rasulullah
bersabda : “kamu lebih berhak (memeliharanya) selama kamu tidak menikah” (HR
Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim menshahihkanya)
Pasal
156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai
gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
a. Anak
yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :
1. Wanita-wanita
dalam garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita
dalam garis lurus keatas ayah
4. Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita
dari kerabat sedarah menrut garis samping ibu
6. Wanita-wanita
dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
b. Anak
yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadanah dari
ayah atau ibunya.
c. Apabila
pemegang hadanah ternyata tidak
dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan
hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang memiliki hak
hadanah pula.
d. Semua
biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun).
e. Bilamana
terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah memberi
putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f. Pengadilan
dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut kepadanya.
c. Akibat
khulu’
Perceraian
yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus
karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari
ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi
atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada
dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian
yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal
ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan khulu’
mengirangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk”
d. Akibat
li’an
Perceraian
yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus
selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh
istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162
KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut :
Bila mana li’an
terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi
nafkah.
e. Akibat
ditinggal mati suami
Kalau
perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka sitri menjalani masa
iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat
bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu pasal 157 KHI, harta bersama
dibagi menurut ketentuan sebagaimana disebut dalam pasal 96 dan 97. Pasal 96
KHI menjelaskan ikatan perkawinan yang putus karena salah seorag pasangan suami
istri meninggal sehingga pembagian harta bersama dibagikan oleh ahli waris
berdasarka proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup. Pembagian harta
bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun, bila
harta bersama belum ada, karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat singkat,
maka pihak yang masih hidup tidak dapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu
putus sebagai akibat cerai hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda
atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Selain
itu, perlu juga dijelaskan bahwa untuk mementukan hilangnya salah seorang suami
istri, baik istri atau suami yang hilang adalah pembuktian autentik yang dapat
diterima oleh berbagai pihak secara hukum.[14]
3. Tatacara
perceraian
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu
yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara
untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan
perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah
perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
(selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.[15]
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum
atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek
yaitu :
a. Cerai
talak (suami yang bermohon untuk cerai)
Apabila
suami yang mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian
sang istri menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA :
(1) Seorang
suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon.
(3) Dalam
hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam
hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
(5) Permohonan
soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan.[16]
Sesudah
permohonan cerai talak diajukan kepengadilan agama, pengadilan agama melakukan
pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan
tersebut, sebagai mana tersebut dalam :
Pasal 68
(1) Pemeriksaan
permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di
kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan
permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[17]
Pasal 131 KHI
(1) Pengadilan
agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk
meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud
menjatuhkan talak.
(2)
Setelah pengadilan
agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun
dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah
keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan
sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
(4) Bila
suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak
putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah
sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya
talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan
ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan
oleh pengadilan agama.[18]
b. Cerai
gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
Cerai
gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami)
menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh
karena itu khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian
yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad
kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam :
Pasal 73 UUPA
(1) Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam
hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam
hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[19]
Mengenai alasan
perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
a. Apabila
gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana
penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas
alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap
maka dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan
tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar
menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak
diterima.
b. Apabila
gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami,
maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal
75 UUPA).[20]
Pengadilan
setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri
dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun
orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76 ayat (2) UUPA ).[21]
Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggungat atau tergugat
atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat
mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah, Menurut
pasal 77 UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin dapat atas permohonan
istri atau pertimbangan pengadilan sendiri.[22]
Selama berlangsungnya
gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat :
a. Menerima
nafkah yang ditanggung suami.
b. Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menemukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).[23]
Gugatan
tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan
pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian,
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan
telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian
dimaksudkan memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum
pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya
bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup.[24]
Mengenai
pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan
dikepaniteraan (pasal 80 ayat (1) UUPA). untuk menghindarkan ketidak hadiran
pihak-pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat yang dijelaskan
dalam Pasal 82 UUPA yang merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9
Tahun 1975 sebagai berikut :
(1) Dalam
penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka.
(2) Apabila
tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam Pasal 20
ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6
bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.[25]
Kalau
sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan
mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap
terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang
berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran
pemeriksaan perkara dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah perkara perceraian
diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan keputusan dikirim
kepada pihak-pihak yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).[26]
Selain
salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84
UUPA :
(1) Panitera
pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada
pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan
tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang
disediakan untuk itu.
(2) Apabila
perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat
nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada
bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila
perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai
pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera
berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.[27]
Apabila
terjadi kelalaian pengiriman salinan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat
pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi
bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman
salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari bebagai pihak
yang membutuhkannya.[28]
Pencatatan
dan pengawasan talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping
pencatatan kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[29]
Adapun
pada BAB IV bagian kedua, paragraph 4 terdapat pada pasal 87 dan 88 UUPA
mengatur tata cara pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan zina. Tata cara
diatur dalam paragraph ini meliputi perkara cerai talak maupun cerai gugat dan
difokuskan pada tata cara pembuktian dalil zina dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Upaya pembuktian yang bagaimana dan cara bagaimana menerapkan
pembuktian tersebut oleh para pihak :[30]
Pasal 87 UUPA
(1) Apabila
permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan atau gugatan cerai diajukan atas
alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak
dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan
tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atas gugatan itu bukan tiada
pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi
diperoleh baik dari pemohon atau penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka
hakim karena jabatanya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak
termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya
dengan cara yang sama.[31]
Perceraian
berdasarkan zina tersebut merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan
perundang-undangan. Apabila diperhatikan Al-Qur’an, dijelaskan bahwa seorang
yang menuduh perempuan lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak
mendatangkan empat orang saksi maka dia diancam hukum had sebanyak 80 kali
cambuk, hal ini didasarkan surat An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا
لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinnya :
“Dan orang-orang yang
menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)[32]
Ketentuan yang terkandung dalam surat An-Nur mengandung asas in
flagrante Delicto, keterbuktian suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada
seseorang, pembuktiannya berupa alat bukti saksi. Supaya kesaksian tersebut
mempunyai nilai kekuatan pembuktian, para saksi yang bersangkutan harus
benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang didakwa
berada dalam keadaan “tertangkap basah” sedang berhubungan kelamin secara fisik
dan biologis.[33]
Apabila
ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sanksi hukum bagi orang yang
menuduh zina tanpa disertai saksi sangat tipis perbedaanya dengan pelaku zina
itu bila terbukti berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi. Namun
apabila tuduhan itu dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga
tergolong dalam pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak
dapat menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in
kubra yang antara keduanya tidak boleh menikah lagi untuk selama-lamanya.
Pembuktianya adalah mengucapkan sumpah empat kali, dan kelima ikrar yang
menyatakan kesediaanya untuk menerima laknat Allah, apabila tuduhannya itu
bohong. Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan untuk menyanggah
tuduhan suaminya itu dengan mengucapkan empat kali sumpah dan kelimanya
menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara inilah yang disebut
dengan li’an (mula’anah). Sanksi hukuman yang lain adalah hukuman moral
kepribadianya, yaitu persaksianya tidak diterima untuk selama-lamanya. Sebab ia
termasuk orang fasik, bila ia tidak membuktikan tuduhanya.[34]
III.
TEMUAN
(PARAPLASE)
Banyak kalangan yang mengkritik bahwa diskursus
tentang perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia sebenarnya masih
menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini disebabkan oleh besarnya peran yang
dimiliki lembaga peradilan untuk menentukan putus tidaknya sebuah perkawinan.
Sebagaimana yang diungkap dalam UUP No. 1/1974, UUPA No. 7/1989, PP No. 9/1975
dan KHI semunya menyatakan bahwa
“perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
Bagi umat Islam aturan mengenai
perceraian ini merupakan ganjalan yang relative masih besar atau
sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena
dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini berkembang yaitu
aturan fikih. Aturan fiqih mengizinkan perceraian atas dasar kerelaan kedua
belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara sepihak,
bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan. Aturan
perceraian yang tertera dalam UUP No. 1/1974 ini serta aturan pelaksanaan
lainya, semisal PP No.9/1975 dirasakan terlalu jauh perbedaanya dengan
kesadaran hukum yang ada ditengah masyarakat muslim sehingga menimbulkan
kesulitan lapangan.
Persoalan yang cukup krusial untuk di diskusikan
lebih lanjut adalah tentang posisi pengadilan agama dalam memutuskan
perkawinan. Jika kita cermati pasal-pasal yang menyangkut perceraian maka ada
empat kesimpulan yang dapat ditarik :
1. Perceraian
itu dilakukan oleh para pihak sendiri, dengan cara pengucapan ikrar talak oleh
suami. Pengadilan hanya berfungsi menyaksikan dan memberi keterangan tentang
telah terjadinya perceraian.
2. Perceraian
dan karena itu penyaksian pengadilan harus dilakukan didepan sidang pengadilan yang
diadakan untuk itu. Jadi penyaksian pengadilan diluar sidang atau sidang yang
tidak diadakan khusus untuk itu tampaknya tidak di izinkan.
3. Secara
implisit bisa dikatakan bahwa perceraian boleh dan baru sah apabila dilakukan
di depan pengadilan.
4. Perceraian
dianggap terjadi sejak talak diucapkan suami didepan pengadilan tersebut.
Dari ke empat hal ini tampaknya yang paling dominan
adalah izin (keputusan) pengadilan yang baru diberikan setelah ada keyakinan
terpennuhinya alasan-alasan perceraian. Kesimpulannya peran pengadilan dalam
persoalan ini pasif, artinya lebih dekat kepada mempersaksikan adanya
fakta-fakta dari pada peran memeriksa, apalagi memutus sengketa.
Tanggapan penulis dari berbagai persoalan diatas
dapat di tarik beberapa alasan tentang posisi peradilan agama dan undang-undang
yang menurut beberapa kalangan masih banyak persoalan-persoalan yang dipandang
tidak selaras dengan hukum Islam yaitu fiqih. Alasan-alasan tersebut secara
garis besar dapat kita kelompokkan yaitu :
1. Kehadiran
pengadilan adalah untuk meluruskan adalah untuk meluruskan segala tindakan yang
melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus talak seorang
suami sebelum menjatuhkan talak harus berfikir mendalam tentang dampak yang ditimbulkan
oleh keputusannya itu sehingga ia lebih hati-hati dan rasional.
2. Melalui
proses pengadilan diharap pengguna hak talak dilakukan secara benar dan
dilakukan secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
3. Pengadilan
sebenarnya hanya berfungsi sebagai hakam seperti yang dianjurkan oleh syari’at
Islam.
4. Pengadilan
diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat
dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak dan Mut’ah.
Dan untuk selanjutnya, menyatakan keharusan izin
dari pengadilan untuk talak berdasarkan pemikiran bahwa ada hukum yang
membolehkan tindakan tertentu. Hukum seperti ini harus dipertahankan kecuali
kalau ternyata kehadirannya bertentangan dengan maslahat. Keharusan adanya izin
dari pengadilan untuk talak bukan saja bersifat anjuran tetapi lebihdari itu
memberikan maslahah yang cukup besar bagi pihak-pihak yang terlibat perceraian.
IV.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan
antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Perkawinan dapat putus
karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika
putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat
beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun
yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak,
pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila
putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak. Tatacara
perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya
perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan oleh
pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng
diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan
diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA
menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan zina.
Banyak kalangan yang mengatakan
bahwa peran pengadilan pasif hanya bersifat pasif, hanya untuk melegalkan ikrar
talak. Tetapi pada dasarnya peran pengadilan sangatlah efektif untuk mencegah
adanya perceraian dan untuk meluruskan keluarga yang bertikai. Yang menarik
dari perkembangan hukum perceraian adalah diman Undang-Undang dalam kasus
perceraian apakah melalui talak atau cerai gugat telah menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan cerai, dan
pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya perceraian itu
terjadi dengan mempertimabngkan hal-hal tertentu.
2. Kritik
dan saran
Demikianlah makalah tentang putus perkawinan dan
akibat hukumnya serta tatacara perceraian yang telah penulis paparkan guna
memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna
maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita sem
[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI). ( Jakarta : Kencana, 2004)
Hal. 205
[2] Proyek pembinaan prasarana dan
sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta :
Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) Hal. 220
[3] Proyek pembinaan prasarana dan
sarana perguruan tinggi/IAIN. Loc.Cit. hal. 220
[4]
Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006) Hal. 73
[5] Zainuddin Ali. Loc.Cit. Hal. 73
[6] Andi Tahir Hamid. Beberapa
Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya. (Jakarta : Sinar Grafika,
1996) Hal. 28-29
[7] Sidik Soedarsono. Masalah
Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara,
1964) Hal. 91
[9] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 73
Achmad Roestandi dan Muchidin Efendi. Komentar
Atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum
Islam. ( Bandung : Nusantara Press, 1991). Hal 270
[10] Aris Bintania. Hukum Acara
Peradilan Agama dalam kerangka Fiqih Al-Qadha. ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012) hal.
135
[11] Abdurrahman. Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992) Hal. 141-142.
[12] Abdurrahman. Ibid. Hal. 141
Andi Tahir Hamid. Op.Cit Hal. 29-30
[13] Abdurrahman. Op.Cit. Hal.
123-124
[14] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal.
77-80
[15] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 80
[16] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan
Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991). Hal. 22-23
[17] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Ibid. Hal. 23
[19] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25
[20] Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 ). Hal.
240-241.
[21]Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25.
[22] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 256
[23] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 26
[24] Undang-undang Republik Indonesia
No. 7 TAHUN 1989 tentang Peradilan Pasal 79-80
[25] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[26]Abdurrahman. Op.Cit. Hal. 147-148
[27] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 27-28
[28] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Op.cit. Hal. 27
[29] Sidik Soedarsono. Masalah
Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara,
1964) Hal. 86
[30] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 289
[31]Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. 28-29
[32] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 80
[33] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 290
[34] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal.
80-87
blog yang mantab ulasan perkawinannya gan, thanks
BalasHapussama sama kak
Hapusmakalah yang bagus, sukses
BalasHapusmakasih.. amiin,, sukses jg buat kamu
Hapusterimakasiih banyak sangat membentu... minta tolong halalnya.. izin copy.. untuk sarannya,,nya
BalasHapusiya silahkan...
Hapusmau nya td mau ngutib dikit eh tau nya sama semua kayak di buku gua" makasih mbak jd gak perlu ngetik lg gua sekali lg makasih mbak
BalasHapusiya kak... sama-sama, ini ngutip dibuku semua soalnya. referensinya jg valid
BalasHapussemoga bermanfaat :)
mbake izin copy boleh?
BalasHapussilahkan kak :)
Hapusmbake izin copy ya
BalasHapussilahkan kak
Hapusmbake izin copy ya
BalasHapusagak beda dikit cara footnote nya gapapa ya
BalasHapusiya kak gak papa
Hapusizin copas,
BalasHapusIzin copas kak sov smoga brmnfaat
BalasHapusizin copas ya kak hehe, sukses selalu buat kaka nya Aamiin
BalasHapus