DELIK
HUKUM ADAT
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Hukum Adat
Dosen
Pengampu : Moh. Shoim

Oleh:
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
FAKULTAS
SYARI`AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
- Pendahuluan
1. Latar
belakang
Negara
Indonesia adalah Negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa, penduduk
yang berdiam di Pulau itu bermacam ragam adat budaya dan hukum adatnya. Pada
dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan
keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan
terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Ketentuan Delik adat antara masyarakat adat yang satu
berbeda dengan masyarakat adat yang lain. Jika terjadi konflik maka dalam
mencari jalan penyelesaianya bukanlah di tangani Pengadilan Agama atau
Pengadilan Negri, tetapi ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang
bersendikan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian.
2. Rumusan
masalah
a. Apa
pengertian dari delik adat ?
b. Kapan
lahirnya delik adat?
c. Dimana
delik adat dapat berlaku ?
d.
Sebutkan macam-macam delik adat
beserta pidananya!
3. Tujuan
a. Mengetahiu
definisi dari delik adat
b. Mengetahui
bagaimana munculnya delik adat
c. Mengetahui
macam-macam dari delik adat
- pembahasan
I.
Pengertian delik
adat
Teer
haar mengartikan suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan,
tiap-tiap gangguan dari barang-barang materiil dan immaterial milik hidup
seorang atau kesatuan (persatuan) orang-orang, yang menyebabkan timbulnya
reaksi adat, keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Macam serta
besarnya reaksi ditentukan oleh hukum adat yang bersangkutan, lazimnya wujud
reaksi tersebut adalah suatu pembayaran delik dalam uang atau barang.
Jadi menurut pengertian
Teer Haar untuk dapat disebut sebagai delik perbuatan harus mengakibatkan
kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak
hanya terdapat apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat
dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan dan sopan
santun dalam masyarakat dilanggar.
Van
Vollen Haven mengartikan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak
diperbolehkan.
Prof.
Soepomo mengemukakan bahwa juga didalam sistem hukum adat, segala perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan
hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum apabila hukum
itu diperkosa.
Apabila
diikuti para pendapat sarjana-sarjana tersebut diatas, kiranya ditarik sebagai
kesimpulan, bahwa pada dasarnya suatu adat delik merupakan suatu tindakan yang
melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehigga
menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang
bersangkutan guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu maka
terjadi reaksi-reaksi adat. Dan reaksi-reaksi adat ini merupakan
tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu
dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh
suatu pelanggaran adat demikian kata Lesquillier.[1]
II.
Lahirnya delik
adat
Lahirnya
delik adat itu tidak berbeda dengan lahirnya tiap peraturan hukum yang tidak
tertulis. Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat
sifat hukum, apabila pada suatu ketika petugas hukum yang bersangkutan
mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu, atau pada suatu
ketika petugas hukum yang bersangkutan bertindak untuk pelanggaran itu
bersamaan dengan saat peraturan itu memperoleh sifat hukum, maka pelanggaranya
menjadi pelanggaran hukum adat serta pencegahannya menjadi pencegahan
pelanggaran hukum adat itu, lahirlah sekaligus juga delik adat, sehingga
pencegahannya menjadi pencegahan delik adat.
Hukum
adat tidak mengenal sistem pengaturan statis, ini artinya suatu delik adat itu
tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat
timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat
yang baru, sedang peraturan yang baru sendiri berkembang juga, dan kemudian
akan lenyap juga dengan adanya perubahan perasaan keadilan rakyat yang dahulu
melahirkan peraturan itu. Dan proses ini berjalan terus.
Begitu
pula dengan delik adat, lahir, berkembang, dan kemudian lenyap. Ini berarti
bahwa perbuatan-perbuatan yang semula merupakan pelanggaran hukum, lambat laun
tidak lagi menjadi melanggar hukum oleh karena hukum yang dilanggar itu
berjalan sesuai dengan jalannya perubahan perasaan keadilan rakyat. Dan
perasaan keadilan rakyat ini bergerak maju terus berhubung dengan pertumbuhan
hidup masyarakat yang selalu dipenuhi oleh segala faktor lahir dan batin.[2]
Delik adat dapat
terjadi apabila :
a. Tata
tertib adat dilanggar
Tata
tertib adat adalah ketentuan-ketentuan adat yang bersifat tradisionil yang
harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Apabila semua ketentuan adat itu ada yang
dilanggar, maka terjadilah delik adat yang berakibat timbulnya reaksi dan
koreksi dari petugas hukum adat dan masyarakat. Apabila reaksi dan koreksi itu
tidak ada lagi, dan pihak yang melanggar itu sendiri tidak pula merasakan bahwa
perbuatannya itu merupakan pelanggaran, maka menurut ketentuan yang berlaku
peristiwa atau perbuatan itu bersifat pelanggaran. Ia tidak lagi merupakan delik,
oleh karena tidak ada lagi reaksi dan koreksi terhadapnya.
Terjadinya
delik adat tidak selamanya dikarenakan melanggar ketentuan adat yang
dipertahankan oleh petugas hukum adat. Dapat saja terjadi dikarenakan yang
bersangkutan sendiri merasa dirugikan. Sebagai contoh di lampung dimana
sebidang tanah digugat oleh penduduk asli atas dasar hak kerabat, sedangkan
tanah tersebut sudah dikerjakan dan dimiliki oleh transmigran berdasarkan ketentuan
pembagian dari kepala kampung. Masalahnya tidak lain adalah dikarenakan
pemuka-pemuka adat bersangkutan melakukan reaksi dan koreksi terhadap penguasa
yang tidak mengikut sertakan mereka dalam penyelesaian masalah tanah. Oleh
karena menurut hukum adat setiap bidang tanah yang pernah dibuka seorang warga
adat, maka untuk selamanya hak kekerabatannya tetap melekat.
Dengan
demikian delik adat itu akan selalu dapat timbul dikarenakan masyarakat adat
atau warga adatnya, merasa diperlakukan tidak adil, baik oleh sesama warga adat
mauun pihak luar.
b. Keseimbangan
masyarakat terganggu
Keseimbangan
dalam kehidupan masyarakat dapat terganggu dikarenakan peristiwa yang terjadi
bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat menurut waktu,
tempat, dan keadaanya. Keseimbangan itu dapat dibedakan antara keseimbangan
umum, keseimbangan masyarakat pada umumnya dan keseimbangan masyarakat
kelompok, keseimbangan kerabat atau keluarga.
Dalam
tatahukum masyarakat hukum kecil harus dianggap sebagai suatu delik adalah
setiap adanya gangguan keseimbangan sepihak setiap pelanggaran sepihak terhadap
kebendaan dalam hidup yang berwujud atau tidak berwujud dari orang seorang,
dalam bentuk kesatuan atau dari sejumlah orang (sekelompok).[3]
III.
Lapangan berlakunya
Lapangan
berlakunya hukum pidana adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu,
tidak ada hukum pidana adat yang berlaku diseluruh masyarakat Indonesia. Hukum
pidana adat setempat masih dapat berlaku, selama masyarakat itu ada, maka
selama itu ia akan tetap berlaku, hanya sejauh mana kekuatan berlakunya
tergantung pada keadaan waktu dan tempat.
Mengapa
ia dapat berlaku walaupun ia tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan
tidak ada penguasa yang mempertahankannya, karena masyarakat mempertahankannya,
oleh karena sifat dan sanksi hukum serta cara penyelesaiannya sesuai dengan
keadaan masyakat dan perkembangan zaman.
Terhadap
siapa berlakunya hukum pidana adat, ia berlaku terhadap anggota-anggota
masyarakat adat dan orang-orang didalamnya yang terkait akibat hukumnya.
Walaupun pengadilan adat (inheemsche rechtspraak) sudah tidak ada lagi, tetapi
peradilan adat atau peradilan perdamaian desa tetap hidup dan diakui oleh
undang-undang darurat No.1 Tahun 1951. Sebenarnya sekalipun tidak ada
undang-undang yang mengakuinya, namun didalam pergaulan masyarakat sehari-hari
peradilan perdamaian itu tetap berjalan sesuai dengan kesadaran hukum rakyat
dan rasa yang dihayati rakyat.
Memang
benar bahwa terhadap perbuatan kejahatan seperti pembunuhan, penganiayaan, dan
delik-delik harta benda, rakyat pada umumnya menerima KUHPidana, tetapi oleh
karena kemampuan hukum pidana umum itu terbatas dimeja pengadilan negri dan
tidak akan melayani setiap kepentingan rasa keadilan masyarakat, maka masih
dibutuhkan adanya upaya-upaya adat untuk dapat memulihkan kembali keseimbangan
masyarakat yang terganggu.
Sebenarnya
jika hakim resmi dapat memeriksa dan memutuskan kasus-kasus perkara pidana adat
berdasarkan hukum adat dihadapan pengadilan negri, masyarakat mungkin akan
menyambutnya dengan baik. Tetapi dalam kondisinya yang sekarang tentu belum mungkin.
Oleh karena itu walaupun hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara,
tetapi jika hakim masih tetap terikat pada aturan-aturan yang prae –existent,
begitu pula dalam cara pemeriksaan dan peradilannya didasarkan pada hukum acara
barat (RIB), maka hasilnya akan berarti hanya menelorkan keputusan bukan
penyelesaian.
Hakim
peradilan adat bekerja tanpa pamrih, tanpa upah atau balas jasa, tetapi bekerja
atas dasar sukarela dengan penuh kejujuran dan kebijaksanaan yang penuh
pengabdian guna dapat mewujudkan kerukunan dan keadilan guna keseimbangan hidup
masyarakat. Suatu keadaan yang jauh berbeda dari kepribadian dan peranan hakim
yang berdasarkan jiwa alam fikiran barat.
Dengan
demikian lapangan berlakunya hukum pidana adat mempunyai tempat tersendiri yang
jauh berbeda dari lapangan berlakunya hukum pidana barat. Hukum pidana adat
berlaku dilapangan hidup kemasyarakatan yang bertautan dengan keseimbangan
duniawi dan rokhani.[4]
IV.
Macam-macam
delik adat dan pidananya
Delik dalam lapangan
hukum adat beserta pidananya :
a. Delik
yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara
dunia lahir dan dunia ghaib serta segala pelanggaran yang memperkosa dasar
susunan masyarakat. Misalnya : berkhianat, bersekongakol dengan musuh, membuka
rahasia masyarakat, hukumannya sangat berat
dapat di bunuh atau dibuang seumur hidup dalam lingkungan masyarakatnya.
b. Delik
terhadap kepala persekutuan adat, dianggap sebagai delik terhadap masyarakat
seluruhnya, karena kepala adat adalah penjelmaan dari masyarakat. Ancaman
hukumannya atau reaksi adatnya tergantung berat ringannya perbuatan, yang
paling ringan adalah minta maaf dengan melakukan upacara tertentu.
c. Perbuatan
sihir atau tenung yang dalam KUHP tidak termasuk delik, Karena ada kepercayaan
bahwa dengan tenung dan sihir ini keseimbangan magis akan terganggu karenanya.
Orang yang terkenal sebagai ahli sihir yang biasanya menggunakan magis hitam (
black magic ) mengganggu dapat di bunuh.
d. Perbuatan
yang dianggap mencemarkan suasana batin masyarakat, yang menentang kesucian
masyarakat, dapat dianggap delik yang mencemarkan masyarakat seluruhnya. Misalnya,
orang yang mencemarkan tempat ibadah
atau tempat lainya, orang yang melakukan hubungan seks di kuburan, dsb. Reaksi
adat terhadap pelanggaran semacam ini berupa kewajiban untuk mengadakan upacara
adat, upacara pembersihan agar kesucian dalam suasana batin masyarakat dapat
dipulihkan kembali.
e. Hubungan
kelamin atau juga perkawinan antara orang-orang yang menurut adat tidak
dibenarkan, merupakan delik yang cukup berat. Larangan semacam ini (yang
biasanya disebut incest) mungkin belasan
berlalu dekatnya hubungan darah ( misalnya perkawinan anak dengan ibunya, kakak
dengan adiknya ), atau karena adanya larangan kawin dengan orang dari satu
clan/satu marga yang patrilineal, yang dianggap dapat mendatangkan malaetaka
atau menimbulkan kehidupan yang tidak sehat. Dapat disamakan dengan perbuatan
terlarang ini ialah antara perempuan bangsawan dengan laki-laki dari golongan
rakyat biasa atau dari kasta yang lebih rendah
yang dianggap mengganggu keseimbagan batin dalam masyarakat ( misalnya
pada masyarakat bugis dan Makassar, di Sulawesi selatan, masyarakat hindu
dibali dan sebagainya )
Mengenai reaksi adat
dalam hal semacam ini, ditiraja mendapatkan pidana yang berat yaitu dicekik
sampai mati, seperti yang pernah terjadi dibugis, Makassar, dan juga ambon.
f. Hamil
diluar nikah, juga merupakan delik pidana yang berat dan dianggap sebagai
menentang kepentingan hukum masyarakat setempat. Dibugis dan Makassar, gadis
yang hamil diluar nikah ini dapat dibunuh atau diasingkan selamanya dari
masyarakat.
g. Melarikan
wanita, juga dianggap delik yang cukup berat. Keluarga gadis yang mendapat malu
( pada zaman dahulu ) berhak membunuh orang yang melarikan gadis tersebut
kecuali kalau mereka berdua kemudian mencari perlindungan kepada kepada adat
atau keistana raja atau kepada kepala/pemuka agama yang mendamaikan kedua belah
pihak. Jika tercapai perdamaian, fihak laki-laki harus membayar uang antaran (
sunrong ) dan denda ( pappasala ) kepada fihak gadis, sebelum mereka
dikawinkan.
h. Perzinahan
juga merupakan pelanggaran terhadap kehormatan keluarga dan melanggar
kepentingan hukum seseorang sebagai suami serta merupakan perbuatan yang
menodai kesucian masyarakat. Dibatak orang yang diketahui berzina dengan istri
orang lain harus menyelenggarakan upacara pembersihan masyarakat yang disebut
pengurasion.
i.
Pembunuhan yang
merupakan perbuatan yang memperkosa jiwa seseorang, dalam hukum adat tidak
selamanya merupakan perbuatan pidana yang dapat dihukum, seperti pembunuhan terhadap
orang yang berzina, pada suku bangsa dayak budak belian dapat dikorbankan untuk
keperluan upacara kematian, juga didaerah ini dulu pernah terkenal dengan
kebiasaan mengayau (memenggal kepala orang dari lain suku) untuk menambah
kekuatan ghaib pada masyarakat dan keluarga yang bersangkutan, sehingga
pembunuhan semacam ini tidak akan mendapatkan hukuman.
j.
Melukai orang,
tidak merupakan perbuatan yang langsung memperkosa kepentingan hukum masyarakat
seluruhnya, melainkan hanya memperkosa kepentingan hukum orang yang dilukai
atau keluarganya. Reaksi adat yang biasanya dilakukan adalah timbulnya
kewajiban membayar denda oleh orang yang melukai kepada orang yang dilukai atau
keluarganya. Didaerah aceh ada pepatah yang berbunyi : darah ditimbang, luka di
ukur, cacad dibela, mati dibalas. Di minangkabau ada pepatah salah cangcang
mambari pampeh (melukai orang membawa denda)
k. Pencurian
dan perampokan merupakan delik yang tidak langsung memperkosa kepentingan hukum
masyarakat seluruhnya, melainkan kepentingan hukum orang seorang, yaitu fihak
orang yang mempunyai barang. berat ringannya reaksi adat terhadap pencurian ini
tergantung dari sifat barang yang dicuri. Biasanya orang yang mencuri menurut
hukum adat akan dihukum untuk mengembalikan atau membayar kembali harga barang
yang dicuri ditambah sejumlah denda kepada orang yang kecurian. Tetapi
perampokan yang telah berkali-kali dilakukan dapat menyebabkan seorang perampok
diasingkan dari masyarakat yang bersangkutan, bahkan dapat pula dibunuh.
l.
Pengrusakan
barang atau tanaman oleh ternak yang lepas, dapat mengakibatkan ternak itu
dibunuh, atau orang yang menderita kerugian karena ternak itu dapat menuntut
ganti rugi kepada sipemilik ternak tersebut.[5]
C. Penutup
a. Kesimpulan
Adat
delik merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan
yang hidup dalam masyarakat, sehigga menyebabkan terganggunya ketentraman serta
keseimbangan masyarakat yang bersangkutan guna memulihkan kembali ketentraman
dan keseimbangan itu maka terjadi reaksi-reaksi adat. Hukum adat lahir
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain dan hanya berlaku untuk
masyarakat yang ada dalam daerah tersebut, hukum adat tidak bersifat statis, namun
selalu mengalami perubahan. Hukum adat terjadi apabila adanya pelanggaran delik
adat dan terganggunya keseimbangan masyarakat.
b. penutup
Demikianlah makalah tentang delik
hukum adat yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna
maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
wigirjodipuho,
Surojo.1983. Pengantar Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Gunung Agung,
Efendi. 1985. Pokok-pokok Hukum Adat.
Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Hadikusuma,
Hilman.1989. Hukum Pidana Adat. Bandung : PT alumni
[1]
Surojo wigirjodipuho.
Pengantar Asas-asas Hukum Adat. ( Jakarta : PT. Gunung Agung, 1983 ) Hal.
228-229
[2]
Surojo wigirjodipuho.
Pengantar Asas-asas Hukum Adat. ( Jakarta : PT. Gunung Agung, 1983 ) Hal.
230-231
[4]
Ibid. Hal. 18-20
[5]
H.A.M. Efendi,SH. Pokok-pokok
Hukum Adat. ( Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1985 ) Hal.
257-267
Deadline ya? 😀
BalasHapus