PRAKTEK
POLITIK MASA BANI UMAYYAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Fiqih Siyasah
Dosen
Pengampu : Drs. H. Maksun, M.Ag

Oleh:
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Safar
Utomo (132211078)
Ali
Mashudi (132211090)
FAKULTAS
SYARI`AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Pemikiran
politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting,
sejak Rasulullah hijrah kemadinah dan setelah wafatnya Rasulullah muncul
peristiwa penting yang mempertemukan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang
membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya menjadi
perdebatan sengit dikalangan pemikir politik Islam tentang siapa yang berhak
menjadi pengganti Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik, hingga
akhirnya Abu Bakarlah yang menjadi pengganti Rasulullah sebagai pemimpin.
Berbagai peristiwa politik terjadi hingga akhirnya yang paling menegangkan
dalam sejarah islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali Bin Abi
Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan yang menjadi puncak perdebatan politik
dikalangan umat Islam, dan akhirnya masa kekuasaan Bani Umayah dimulai.[1]
Pada
masa awal-awal islam hingga masa Dinasti Bani Umayah (661-750 M), Pemikiran
politik Islam belum begitu kuat muncul dikalangan intelektual Islam, hal ini
disebabkan oleh konsentrasi Bani Umayah yang lebih banyak berorientasi pada
pengembangan kekuasaan, berikut makalah kami akan memaparkan bagaimana praktek
politik masa Bani Umayah.[2]
2. Rumusan
masalah
a. Bagaimana sejarah Munculnya Bani
Umayah?
b. Sebutkan
kebijakan-kebijakan Bani Umayah!
c. Bagaimana
sistem pemerintahan Bani Umayah ?
d. Sebutkan
ciri-ciri pemerintahan Bani Umayah !
e. Apa
yang menyebabkan runtuhnya Bani Umayah?
3. Tujuan
Mengetahui
sejarah munculnya Bani Umayah, serta berbagai kebijakan, praktek politik,
administrasi, struktur pemerintahan Bani Umayah, ciri-ciri pemerintahan Bani
Umayah serta sebab runtuhnya Bani Umayah.
II.
PEMBAHASAN
a. Pemerintahan
pasca Khulafaur Rasyidin
Pemerintahan
dinasti Bani Ummayah (41-132 M), Periode negara Madinah berakhir dengan
wafatnya khalifah ali bin abi thalib. Tokoh yang naik kepanggung politik dan
pemerintahan adalah Mu’awiyah Bin Abi
Sofyan, Gubernur wilayah Syam sejak zaman Khalifah Umar, ia adalah pendiri dan
khalifah pertama dinasti ini.
Terbentuknya dinasti ini, Muawiyah memangku jabatan Khalifah secara
resmi menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M/41 H. bukan pada pertengahan
tahun 660 M atau 40 H pada saat Umayah memproklamirkan diri menjadi khalifah di
Iliya (palestina). Sejak pihaknya dinyatakan oleh majlis tahkim sebagai
pemenang.[3]
Peristiwa
itu terjadi setelah Hasan Bin Ali yang di baiat oleh pengikut setia ali menjadi
khalifah sebagai pengganti ali mengundurkan diri dari gelanggang politik.
Sebab, ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan
menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada muawiyah. Langkah penting Hasan Bin Ali
ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah.
Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (amul
jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah
kekuasaan seorang khalifah. Rujuk perdamaian antara Hasan dan Muawiyah setelah
muawiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan, yaitu Muawiyah
harus menjamin keamanan keselamatan jiwa dan harta keturunan Ali dan
pendukungnya. Pernyataan ini disetujui oleh Muawiyah dan dibuat secara
tertulis. Persetujuan ini diimbangi oleh Hasan dengan membaiatnya.
Muawiyah
dikenal sebagai seorang politikus administrator yang pandai. Umar sendiri
pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan,
cerdas dan jujur. Ia juga dikenal sebagai seorang negarawan yang ahli dalam
bersiasat, piawai dalam merancang taklik dan strategi, disamping kegigihan dan
keuletan serta kesediaanya menempuh segala cara untuk berjuang, untuk mencapai
cita-citanya karena pertimbangan politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan
tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilai berhasil
merekrut para pemuka masyarakat, politikus, dan administrator bergabung kedalam
sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah
juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa bersifat toleran dan
lapang dada. hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai
prinsip yang ia terapkan dalam memimpin:
“aku tidak mempergunakan pedangku kalau
cambuk saja sudah cukup, dan tidak kupergunakan cambuk ku kalau perkataan saja
sudah memadai, andai kata aku dan orang lain memperebutkan sehelai rambut,
tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengancangkannya aku
mengendorkannya, dan bila mereka mengendorkannya akan aku kencangkan”.[4]
Nama-nama
khalifah ada masa Bani Umayah:
1. Mu’awiyah bin Abi Sofyan, 19 th 3
bln (41 H / 661 M sampai 60 H / 681 M)
2. Yazid bin Mu’awiyah, 3 th 6 bln (60
H / 681 M sampai 64 H / 683 M)
3. Mu’awiyah bin Yazid, 6 bln (64 H /
683 M sampai 64 H / 684 M)
4. Marwan bin Hakam, 9 bl 18 hari (64 H
/ 684 M sampai 65 H / 685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan, 21 th 8 bln
(65 H / 685 M sampai 86 H / 705 M)
6. Walid bin Abdul Malik, 9 th 7 bln
(86 H / 705 M sampai 96 H / 715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik, 2 th 8 bln
(96 H / 715 sampai M 99 H / 717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz, 2 th 5 bln (99
H / 717 M sampai 101 H / 720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik, 4 th 1 bln
(101 H / 720 M sampai 105 H / 724 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik, 19 th 9 bln
(105 H / 724 M sampai 125 H / 743 M)
11. Walid bin Yazid, 1 th 2 bln (125 H /
743 M sampai 126 H / 744 M)
12. Yazid bin Walid, 6 bln (126 H / 744
M sampai 126 H / 744 M)
13. Ibrahim bin Yazid, 4 bln (126 H /
744 M sampai 127 H / 744 M)
b. Kebijakan-kebijakan
pemerintahan Bani Umayah
Sejalan
dengan watak dan prinsip muawiyah, serta pemikirannya yang perspektif dan
inovatif, dia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan
luar negri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan
menyempurnakannya, kebijaksanaan dan keputusan politik tersebut adalah :
1. Pemindahan
pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada
pertimbangan politis dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat
kaum Syi’ah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani
Hasyim dan Bani Umayah, sehingga dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam
antara dua Bani itu dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus
yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada dibawah
genggaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menjadi Guberbur
di Distrik sejak zaman khalifah Umar Bin Khattab.
2. Muawiyah
memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam pejuangannya mencapai
puncak kekuasaan. Seperti Amr Bin Ash ia angkat kembai menjadi Gubernur di
Mesir, Al-Mughirah Bin Syu’bah juga ia angkat menjadi Gubernur diwilayah Pers.
Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil hati para sahabat terkemuka
yang bersifat netral terhadap berbagai kasus yang timbul pada waktu itu,
sehingga mereka berpihak kepadanya.
3. Menumpas
orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk
dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum Khawarij yang merongrong wibawa
kekusaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menuduhkannya tidak mau berhukum
kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian perang Ali diperang Shiffin
melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
4. Membangun
kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan darat, laut, dan kepolisian
yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup dua kali lebih besar dari
pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas
menjamin stabilitas keamanan dalam negri dan mendukung kebijaksanaan politik
luar negri yaitu memperluas wilayah kekuasaan.
5. Meneruskan
perluasan wilayah kekuasaan Islam baik ketimur maupun kebarat. Perluasan
wilayah ini di teruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti khalifah Abdul
Malik ketimur, Khalifah Al Walid kebarat, dan ke Prancis dizaman khalifah Umar
Bin Abdul Aziz. Perluasan wilayah dizaman dinasti ini merupakan ekspansi besar setelah dizaman Umar Bin
Khotob. Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam pada zaman ini adalah Spanyol,
Afrka Utara, Suria, Palestina, Semananjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia
kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmania,
Uzbek, dan Kirgis di Asia tengah dan pulau-pulau yang terdapat dilaut tengah.
Sehingga dinasti ini berhasil membangun negara besar dizaman itu. Bersatunya
berbagai suku bangsa dibawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban
baru yang bercorak Islam sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya
kepada pengembangan kebudayaan arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak
berkembang pesat dizaman dinasti abbasiyah sehingga dunia Islam menjadi pusat
peradaban dunia selama berabad-abad.
6. Muawiyah
maupun penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafaur
Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebagai pejabat-pejabat dalam
pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter, dan kesatuan-kesatuan
tentara. Tetapi dizaman khalifah Umar Bin Abdul Aziz kebijaksanaan itu di
hapuskan. Karena orang-orang non muslim yang memperoleh privilege didalam
pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah
mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan
orang-orang Mukmin merekrut orang-orang Non-Muslim sebagai teman kepercayaan
didalam mengatur urusan orang-orang mukmin, tetapi ada ayat-ayat lain yang
membolehkannya.
7. Muawiyah
mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya
dengan jabatan-jabatan baru yang di pengaruhi oleh kebudayaan Byzantium.
8. Kebijaksanaan
dan keputusan politik penting yang dibuat oleh khalifah Muawiyah adalah
mengubah sistem pemerintahan dari khilafah yang bercorak Demokratis menjadi
sistem monarki dengan mengangkat putranya, Yazid menjadi putra mahkota untuk
menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi
kepemimpinan berlangsung secara turun temurun. Yang diikuti oleh para pengganti
Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi dizaman khulafaur
Rasyidin dimana khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat.[6]
Karena
itu keputusan politik muawiyah itu terdapat protes dari umat Islam golongan
syiah, pendukung ali, Abd Al Rahman Bin Abi Bakar, Husain bin Ali dan Abdullah
Bin Zubair. Bahkan kalangan tokoh madinah mengadakan dialog dengan muawiyah,
mereka menyarankan agar mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar atau Umar
dalam urusan khalifah, tidak mendahulukan kabilah dari umat, muawiyah tidak
menggubris masalah ini. Alasan yang ia kemukakan karena ia khawatir timbulnya
kekacauan dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat
purtra mahkota sebagai penggantinya. Keputusan itu direkayasa oleh muawiyah
seolah-olah mendapat dukungan dari pejabat penting pemerintah. Ia memangggil
para gubernur ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad”
mendukung keputusannya. Ia mendukung salah seorang gubernur yang bernama
Al-Dhahhak Bin Qais Al Fahri agar
setelah muawiyah berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta
izin berbicara dengan memuji Allah dan menyatakan Yazid adalah orang yang lebih
pantas memangku jabatan Khalifah setelah Muawiyah. Kepada gubernur lain diminta
oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak, mereka memenuhi permintaan itu,
kecuali Gubernur Ahnaf Bin Qais. Walaupun muawiyah mengubah sistem pemerintahan
menjadi Monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan
muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir Al-Mu’minin. Dan status jabatan khalifah
diartikan sebagai wakil Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannnya kepada
Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah ayat 30). atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa
keputusan-keputusan khalifah didasarkan perkenan Allah siapa yang menentangnya
adalah kafir.[7]
c. Sistem
pemerintahan Bani Umayah
Pengelolaaan
administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah
merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diciptakan
oleh khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana pada periode
Madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah Propinsi, setiap Propinsi di kepalai oleh Gubernur dengan gelar Wali
atau Amir yang diangkat oleh Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau
beberapa Katib (sekretaris). Seorang Hajib (pegawai) dan pejabat-pejabat
penting lain yaitu shahib Al Kharajj (pejabat pendapatan), Shahib Al-Syurihar
(pejabat kepolisian), dan Qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat
pendapatan dan Qadhi diangkat oleh khalifah dan betanggung jawab kepadanya.
Ditingkat
pemerintahan pusat di bentuk bebrapa lembaga dan departemen, Al-Katib,
Al-Hajib, dan Diwan.
Lembaga Al-Katib
terdiri:
1. Katib Al-Rasail (sekretaris negara)
2. Katib Al-Kharij (sekretaris pendapatan negara)
3. Katib Al-Jund (sekretaris militer)
4. Katib Al-Syurtat (sekretaris kepolisian)
5. Katib Al-Qadhi (panitera)
Katib Al Rasail dianggap paling penting
posisinya karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari
keluarga kerajaan. Para Katib bertugas mengurus administrasi negara secara baik
dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan negara.
Al-Hajib (pengawal dan kepala rumah tangga
istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan
khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah karenanya siapa saja
boleh bertemu dan berbicara langsung dengan Khalifah tanpa melalui birokrasi. Ada
tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa Hajib yaitu Muazin
untuk memberitahukan waktu sholat kepada khalifah, Shahib Al-Barid (pejabat
pos) yang membawa berita-berita penting untuk Khalifah, dan Shahib Al-Tha’am,
petugas yang mengurus hal ihwal makanan di Istana. Lembaga Al-Syurthat yang
dipimpin oleh Shahib Al-Syurtat bertugas memelihara keamanan masyarakat dan
negara.
Lembaga lain
adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham Al-Qadzaf terdiri dari tiga
bagian yaitu Al-Qadha, Al-Kisbat dan Al-Mazhalim. Badan Al-Qadha dipimpin oleh
seorang Qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali
langsung dari Al-Qur’an, Sunnah Rasul atau Ijma dan berdasarkan Ijtihad. Badan
ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para
pejabat, pegawai negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan Al-Kisbat
disebut Al-Muhtasib, tugasnya menangani criminal yang perlu penyelesaian segera.
Pejabat badan Al-Mazalim disebut Qadhi Al-Mazalim atau Shahib Al-Mazalim.
Kedudukan badan ini lebih tinggi dari al-Qadha dan Al-Hisbat. Karena badan ini
bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum
yang dibuat oleh Qadhi dan Muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang
keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun
pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan Mahkamat
Al- Mahzalim yang mengambil tempat di masjid. sidang ini dihadiri oleh lima
unsur lengkap yaitu oleh pembantu
sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi yang dipimpin
oleh Qadhi Al-Mazhalim. Berarti pemerintahan bani Umayah sebagaimana pada
periode negara madinah, peradilan bebas tetap dilaksanakan.
Didalam
tubuh oraganisasi pemerintahan dinasti Bani Umayah juga dibentuk beberapa Diwan
atau departemen :
1.) Diwan
Al Rasail ( departemen yang mengurus surat-surat negara dari Khalifah kepada
para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen ini memiliki
dua secretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab dan untuk daerah
menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi pada masa Khalifah Abdul Al Malik
diarabisasi, yaitu hanya menggunakan bahasa arab dalam surat-surat negara.
Politik arabisasi ini sampai berlanjut pada masa putranya, Khalifah Al-Walid
yaitu bahasa arab digunakan sebagai bahasa lungua franca dan bahasa ilmu
pengetahuan untuk semua wilayah pemerintahan. hal ini mendorong ulama Sibawaih
untuk menyusun al-kitab yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata
bahasa arab)
2.) Diwan
Al Khatim (departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua
keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada
pemerintahan di daerah)
3.) Diwan
Al Kharaj (departemen pendapatan negara yang diperoleh dari al-kharaj, usyur,
zakat, jizyah, fa’I, dan ghanimah, dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan
yang diperoleh dari sumber-sumber itu diperoleh dari baetul mal (kantor
perbendaharaan negara)
4.) Diwan
Al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas
melayani informasi tentang berita-berita penting didaerah kepada
pemerintah pusat dan sebaliknya. Sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang
terjadi didaerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan
daerah
5.) Diwan
Al Jund depertemen pertahanan yang bertugas mengorganisasi militer. Personilnya
mayoritas orang arab.[8]
d. ciri-ciri
pemerintahan Bani Umayah
Pembahasan tentang pemerintahan Dinasti
Bani Umayah, dikemukakan ciri-ciri khususnya yang membedakannya dari praktek
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Abbasiyah. Ciri-cirinya antara
lain:
1. Unsur
pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi, khalifah
adalah jabatan secular dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif.
2. kedudukan
khalifah masih menggunakan tradisi syaikh (kepala suku) arab, dan karenanya
siapa saja boleh bertemu langsung khalifah unutk mengadukan haknya.
3. Dinasti
ini lebih mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan
wilayah kekuasaan negara.
4. Dinasti
ini bersifat eksekutif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah arab
duduk dalam pemerintahan.
5. Orang-orang
non-arab tidak mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya seperti orang arab,
dan qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara
6. Formalitas
agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang
Islam
7. Ciri
lain dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah, karenanya kekuasaan khalifah
mulai berkekuasaan absolut walaupun belum begitu menonjol. Dengan demikian
tampilnya pemerintahan Dinasti Bani Umayah yang mengambil babak Monarki
merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan umat islam dalam sejarah.[9]
e. Masa kemunduran dan keruntuhan
Dinasti Bani Umayah
Masa kemunduran Dinasti Umayah
sepeninggal Umar Bin Abdul Aziz kekuasan Bani Umayah dilanjutkan oleh Yazid bin
Abdul Malik. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian,
pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan
etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid
bin Abd al-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan
rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya,
Hisyam bin Abd al-Malik (724-M-743-M). Bahkan pada masa ini muncul satu
kekuatan baru yang di kemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan
Dinasti Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung
oleh golongan Mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abd al-Malik adalah seorang
khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini
semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Akhirnya, masa keemasan Dinasti
Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (724 – 743 M),
anak keempat Abd al-Malik. Sejarawan Arab sangat memuji Hisyam bin Abd
al-Malik. Empat penggantinya, kecuali Marwan bin Muhammad yang menjadi khalifah
terakhir Dinasti Umayyah, terbukti tidak cakap, atau bisa dikatakan tidak
bermoral dan bobrok. Bahkan para khalifah sebelum Hisyam bin Abd al-Malik pun,
yang dimulai oleh Yazid-bin Mu’awiyah, lebih suka berburu, pesta minum,
tenggelam dalam alunan musik dan puisi, ketimbang membaca Al-Qur’an atau
mengurus persoalan negara.
Mengalir dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa banyak sekali hal-hal yang memberikan kontribusi terhadap
keruntuhan Dinasti Umayyah. Namun secara garis besar dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Potensi perpecahan antara suku,
etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama
terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang mengganggu stabilitas negara.
2. Adanya permasalahan suksesi
kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan
kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat negara.
3. Sisa-sisa kelompok pendukung
Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah dan kelompok
Khawarij terus aktif menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka maupun secara
tersembunyi. Tentu saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh sekali terhadap
stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.[10]
4. Sebagian besar golongan Mawali (non
Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas
dengan kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah. Karena status tersebut
menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka
tidak mendapat fasilitas dari penguasa Dinasti Umayyah sebagaimana yang
diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
5. Sikap hidup mewah di lingkungan
istana merupakan salah satu faktor lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah,
sehingga keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
ketika mereka mewarisi kekuasaan.
6. Terakhir, penyebab langsung
tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib. Gerakan ini
sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah serta golongan
Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh pemerintahan
Dinasti Umayyah.
III.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pada waktu wafatnya khalifah ali bin abi
thalib, Tokoh yang naik kepanggung politik dan pemerintahan adalah Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, gubernur
wilayah Syam sejak zaman Khalifah Umar, ia adalah pendiri dan khalifah pertama
dinasti ini. Pengelolaaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan
Dinasti Bani Umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khalifah Umar Bin
Khattab. ciri-ciri pemerintahan Bani Umayah Unsur pengikat bangsa lebih
ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi, kedudukan khalifah masih menggunakan
tradisi syaikh (kepala suku) arab, Dinasti ini lebih mengarahkan kebijaksanaan
pada perluasan kekuasaan, bersifat eksekutif, Orang-orang non-arab tidak
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya seperti orang arab, dan qadhi
(hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara, Formalitas agama tetap
dipatuhi, Ciri lain dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah. Keruntuhan Bani
Umayah sendiri di dukung oleh banyak factor baik dari dalam (internal) maupun
dari luar (eksternal).
b. Penutup
Demikianlah
makalah tentang praktek politik masa Bani Umayah yang telah kami paparkan. Kami
menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah,
semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.
[1]
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. (Jakarta : Gelora Aksara Pratama, 2007) Hal. 25-26
[2]
Ibid. Hal. 27
[3]H.M.H.
Al Hamid. Imamul Muhtadin Sayyidina Ali bin Abi Thalib. ( Semarang :
Toha Putra, 1989) Hal. 578-607
[4]
Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A. Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah. (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 162-164
[5]
Prof. Dr. A. Syalabi. Sejarah dan kebudayaan Islam 2. ( Jakarta :
Al-Husna Zikra, 1995) Hal. 29
[6]
Dr. Badri Yatim, M. A. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2010) Hal. 42
[7]
Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A. Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah. (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 164-167
[8]
Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A. Fiqih Siyasah Ajaran dan Sejarah. (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1994) Hal. 168-171
[9]
Ibid. Hal. 171
[10]
Rasul Ja’fariyan. Sejarah Para Pemimpin Islam dari gerakan karbala sampai
runtuhnya Bani Marwan. ( Jakarta : Al Huda, 2010) Hal 248-249
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan, Suyuti ,1994, Fiqih Siyasah Ajaran dan
Sejarah, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ibnu Syarif, Mujar, Khamami Zada, 2007, Fiqih
Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Gelora Aksara
Pratama.
Yatim, Badri, 2010, Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syalabi, 1995, Sejarah dan kebudayaan
Islam 2, Jakarta : Al-Husna Zikra.
Al Hamid, 1989, Imamul Muhtadin
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Semarang : Toha Putra.
Ja’fariyan, Rasul, 2010, Sejarah Para
Pemimpin Islam dari gerakan karbala sampai runtuhnya Bani Marwan. Jakarta :
Al Huda.
terimah kasih
BalasHapus