RUKUN
DAN SYARAT SAH PERNIKAHAN
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Fiqih Munakahat
Dosen
Pengampu : Miftah AF

Oleh:
Aprilia
Ambarwati (132211075)
Ahmad
Haidar (132211076)
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Safar
utomo (132211079)
FAKULTAS
SYARI`AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Pernikahan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia.
Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan
syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara ringkas akan membahas
tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan tentang
apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan bagai mana pula rukun dan syarat
pernikahan itu sendiri.
2. Rumusan
masalah
a. Apa
pengertian rukun, syarat, dan sah?
b. Apa
sajakah rukun nikah itu?
c. Apa
sajakah syarat sah nikah?
d. Apa
saja syarat sah dari rukun nikah?
3. Tujuan
a. Mengetahui
pengertian rukun, syarat dan sah
b. Mengetahui
apa saja yang menjadi rukun dalan pernikahan
c. Mengetahui
syarat-syarat dari pernikahan
d. Mengetahui
syarat dari rukun pernikahan
I.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
rukun, syarat, dan sah
Dalam
melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus di penuhi. Menurut
bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan
syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan
dilakukan.[1]
Secara
istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu
perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. sedangkan syarat adalah
sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’I dan ia berada diluar
hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun tidak ada. Dalam syari’ah rukun dan syarat
sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Perbedaan rukun dan
syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum itu sendiri,
sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum
tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah)
yang memenuhi rukun dan syarat. [2]
B. Rukun
nikah
Jumhur ulama sepakat
bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :
1.) Adanya
calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2.) Adanya
wali dari pihak wanita
3.) Adanya
dua orang saksi
4.) Sighat
akad nikah[3]
Tentang jumlah rukun para ulama
berbeda pendapat :
a.) Imam
malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :
-
Wali dari pihak
perempuan
-
Mahar (mas
kawin)
-
Calon pengantin
laki-laki
-
Calon pengantin
perempuan
-
Sighat aqad
nikah[4]
b.) Imam
syafi’I mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :
-
Calon pengantin
laki-laki
-
Calon pengantin
perempuan
-
Wali
-
Dua orang saksi
-
Sighat akad
nikah[5]
c.) Menurut
ulama khanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d.) Menurut
segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat :
Pendapat yang
mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon pengantin laki-laki dan
calon pengantin perempuan di gabung satu rukun
:
-
Dua orang yang
saling melakukan akad perkawinan
-
Adanya wali
-
Adanya dua orang
saksi
-
Dilakukan dengan
sighat tertentu[6]
C. Syarat
sahnya perkawinan
Syarat-syarat
perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat
terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban
sebagai suami istri.
Pada garis besarnya
syarat sah perkawinan itu ada dua :
a. Calon
mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri (
UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 )
b. Akad
nikahnya dihadiri oleh para saksi.[7]
D. Syarat-syarat
rukun nikah
Secara
rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :
1.) Syarat-syarat
kedua mempelai
a. Calon
mempelai laki-laki
Syari’at
islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami
berdasarkan ijtihad para ulama yaitu :
-
Calon suami
beragama Islam
-
Terang ( jelas )
bahwa calon suami itu betul laki-laki
-
Orangnya
diketahui dan tertentu
-
Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan
calon istri
-
Calon laki-laki
tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya
-
Calon suami
rela untuk melakukan perkawinan itu ( UU
RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
-
Tidak sedang
melakukan ihram
-
Tidak mempunyai
istri yang haram dimadu dengan calon istri
-
Tidak sedang
mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 ) [8]
b. Calon
mempelai perempuan
Syarat
bagi mempelai perempuan yaitu :
-
Beragama Islam.
-
Terang bahwa ia
wanita
-
Wanita itu tentu
orangnya
-
Halal bagi calon
suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)
-
Wanita itu tidak
dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
-
Tidak
dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
-
Tidak dalam
ihram haji atau umrah[9]
2.) Syarat-syarat
ijab Kabul
Ijab
adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali.
Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk
mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Qabul adalah
pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn
perempuan. Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata
yang jelas yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas
ijab perempuan.[10] Perkawinan
wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah.
Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa
difahami.
Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul
dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Menurut pendapat khanafi boleh
juga dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak
perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal
dan boleh sebaliknya.
Ijab
dan Kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara
ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak
dan dua orang saksi. Khanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal
masih dalam satu majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang
menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.
Lafadz
yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat
didalam kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali.
Sedangkan khanafi membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an
misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya. bahasa
sastra atau biasa yang artinya perkawinan.[11]
3.) Syarat-syarat
wali
Wali
hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan
tanpa wali tidaklah sah.[12]
Berdasarkan sabda Nabi SAW :
لَا
نِكَاحَ اِلَّابِ اْلوَلِيىِّ (رواه الخمسى)
“tidak sah pernikahan tanpa wali”
اَيّمَاامْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِإِدِ نِ وَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلٌ
فَنِكَا حُهَابَاطِلُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَااْالمَهْرُ بِمَاسْتَحَلَّ مِنْ
فرْجِهَافَإِنِ اسْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىٌّ لَهُ (رواه
الخمسة الا النسا ئى)
“perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin walinya perkawinannya itu batal, perkawinannya itu
batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami telah melakukan hubungan
seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah
ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan, sultanlah
yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah kecuali
An-Nasaiy)[13]
Khanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan
yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri
tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan malik berpendapat, wali
adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan bukan untuk mengawinkan
perempuan awam.
Anak
kecil, orang gila, dan budak tidak mendapat wali. Bagaimana mereka akan menjadi
wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.
Abu khanifah dan abu
yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal dan sudah dewasa
sebagai berikut :
“sesungguhnya
seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya
sendiri, baik ia gadis ataupun janda,… akan tetapi yang disukai adalah apabila
ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang
merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad nikahnya.
Akan tetapi bagi
walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia
melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak kufu’ (tidak
sepadan) atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil
Bahkan apabila ia
mengawini diri sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak sepadan) dan
tanpa keridhoan walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah dan
abu yusuf adalah ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan
dapat mengajukan pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan
keputusan dengan adil, karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan
yang demikian itu untuk mencegah adanya perselisihan.
Menurut riwayat yang
lain wali juga berhak menghalangi
perkawinan yang demikian itu dengan cara meminta kepada hakim agar
memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi si istri itu belum
melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab apabila sudah
demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta perceraiannya dengan maksud
agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga kandungan.
Dan apabila suaminya
kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar mitsil, apabila wali dapat
menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat menerima ia
dapat mengajukan kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan tersebut.
Akan tetapi apabila si
perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak mempunyai wali sama
sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib siapapun tidak berhak
menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan akadnya, baik itu ia
kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar
mitsil ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab
dengan keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada
tanggung jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan
tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu tersebut,
dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari kewenangan wali-walinya
(fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet. 1968/1388)[14]
Wali hendaknya menanyakan
calon mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut ini :
عَنْ
اِبْنُ عَبَّاسْ اَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ : اَلثَيِّبٌ اَحَقُّ
بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَاوَاْلبِكْرُ تُسْتَأْدَ نُ فِيْ نَفْسِهَا وَإِدْنُهَا
صُمَاتُهَا (رواه الجماعة الا البخاروفي رواية لااحمد وابى داود والنسا ئى)
اْلبِكْرٌيَسْتَأْمِرُهَا
“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah
SAW berkawa : janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis
hendaklah diminta izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan oleh
jam’ah kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad,
Muslim, Abu Dawud dan An Nasaiy dikemukakan :
وَاْلبِكْرُيَسْتأْمِرُهَاأَبُوْهَا
“dan gadis hendaklah ayahnya meminta
izin kepadanya”
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :
a. Bapak
b. Kakek
dan seterusnya keatas
c. Saudara
laki-laki sekandung/seayah
d. Anak
laki-laki dari paman sekandung/seayah
e. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah
f. Paman
sekandung/seayah
g. Anak
laki-laki dari paman sekandung/seayah
h. Saudara
kakek
i.
Anak laki-laki
saudara kakak[15]
Dalam pernikahan ada
beberapa macam wali yaitu :
a.) Wali
mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhoan yang
dikawinkan itu.
b.) Wali
nasab yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin
perempuan. wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta
keturunnnya menurut garis patrilineal.
c.) Wali
hakim.[16]
4.) Syarat-syarat
saksi
Saksi
yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh,
melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.[17]
Menurut
golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua
orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik.
Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.
Sebagian
besar ulama berpendapat saksi merpakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu
perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat
syafi’I, khanafi, hanbali.
Bagaimana
kalau saksi seorang, lalu datang seorang saksi lagi?
Menurut kebanyakan
ulama dua orang saksi itu wajib ada bersama, demikian pendirian ulama khuffah.
Sedang menurut ulama madinah , termasuk imam malik, akad nikah sah apabila
didatangi oleh seorang saksi, kemudian datang lagi seorang saksi, jika
perkawinan itu diumumkan.[18]
II.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rukun
adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat
adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.
Menurut jumhur ulama rukun pernikahan sendiri ada lima yaitu adanya calon suami
dan istri yang akan melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak wanita, adanya
dua orang saksi, sighat akad nikah ( yang masing-masing rukun memiliki
syarat-syarat tertentu ). Dan syarat sah pernikahan pada garis besarnya ada dua
yaitu calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadiknnya istri, akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
B. Kritik
dan saran
Demikianlah makalah tentang Rukun dan
Syarat sah pernikahan yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh
dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, Abdul Rahman.2010.
Fiqih Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media
Sudarsono .1922. Pokok-Pokok
hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta
Proyek pembinaan prasarana dan
sarana perguruan tinggi/IAIN. 1983. Ilmu Fiqih Jilid II. Jakarta :
Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam
Abdullah, Abdul
Ghani.1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press
Undang-Undang Republik
Indonesia Tahun 1994
[1]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2010)Hal.45-46
[2]
Gemala dewi SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta : kencana,
2005) Hal.49-50
[3]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2010) Hal.46
Dr. Abdul Ghani Abdullah,SH.
Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. ( Jakarta :
Gema Insani Press, 1994 ) Hal. 81
[4]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Op.cit. Hal.48
[5]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Op.cit. Hal.48
[6]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2010) Ha.46-48
[7]
Ibid. Hal.49
[8]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2010)Hal.50
[9]
Ibid.Hal.55
[10]
Gemala dewi, SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta :
kencana, 2005) Hal.63
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok
hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992) Hal.602
[11]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2010)Hal. 56-59
Proyek pembinaan prasarana
dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta :
Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal. 98
[12]
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta,
1992). Hal.602
[13] Prof. Dr. Abdul Rahman
Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media,
2010)Hal.59
Proyek
pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II.
( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983)
hal.100-101
[14]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2010)Hal.59-64
Proyek pembinaan prasarana
dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta :
Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal.100-108
[15]
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta,
1992). Hal.602
[16] Ibid. Hal.603
Proyek pembinaan prasarana dan sarana
perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat
jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal. 107
Dr. Abdul Ghani Abdullah,SH.
Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. ( Jakarta :
Gema Insani Press, 1994 ) Hal. 83
[17]
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta,
1992). Hal.604
[18] Proyek pembinaan
prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. (
Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983)
hal.108-109
Prof. Dr. Abdul Rahman
Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media,
2010)Hal.64-65
Menyediakan souvenir pernikahan unik murah dan elegan
BalasHapusKunjungi : SOUVENIR PERNIKAHAN