Rabu, 25 Januari 2017

PENGERTIAN HUKUM DALAM PARADIGMA POSITIVISME DAN HUKUM ISLAM



PENGERTIAN HUKUM DALAM PARADIGMA
POSITIVISME DAN HUKUM ISLAM
Makalah
Di buat Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah    : Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Abu Hapsin, Ph. D
Di susun oleh :
Iqoatur Rizkiyah         (132211100)
Inna Syaukah              (132211038)
Mochamad Sabidin     (132211056)
M. Agus Prasetyo       (122211051)
M. Fahmi Afif             (132211…)

Siyasah Jinayah
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016


I.            PENDAHULUAN
Positivis merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Positivisme merupakan suatu  aliran  filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber  pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari suatu  filosofis  atau  metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif artinya peristiwa-peristiwa  yang  dialami  oleh manusia.[1]
Jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan kepada pengadilan yang unfair jelaslah hukum di suatu negara tidak akan pernah bersentuh dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide kepastian hukum yang sering digaungkan oleh kaum positivisme tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Oleh sebab itu perlu kiranya menghapus pemikiran yang selalu mengindentikkan hukum sebagai undang-undang saja. Secara ilmiah dapat dikatakan tidak benar bahwa kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad ke 18. Sebelumnya masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law. Sebaliknya, positivisme kental dengan ide pendokumenan dan pemformalan hukum.

II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu paradigma positivisme, sejarah dan perkembangannya?
2.      Bagaimana hukum dari sudut pandang positivisme dan Islam?
3.      Bagaimana hukum sebagai kesepakatan sosial?
4.      Hukum islam, paduan antara kesepakatan sosial yang partikular/lokal dalam firman Allah yang universal/etrenal!

III.            PEMBAHASAN
A.    Definisi Paradigma Positivisme, Sejarah dan Perkembangannya
Positifisme berasal dari kata “positif”. Kata positif ini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan dengan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Positivitisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun lebih mengutamakan pada pengalaman.[2]
Positivisme diartikan sebagai campuran dari berbagai sikap seperti:
a.       Saintisme, bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang berharga
b.      Naturalisme, bahwa ada satu kesatuan metode ilmiah yang berlaku untuk ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam
c.       Kausalitas atau hubungan sebab akibat, berasumsi bahwa hubungan antara x dan y secara umum adalah keduanya perlu dan cukup untuk membicarakan tentang kausalitas.
d.      Suatu asumsi bahwa penjelasan menurun rangkaian kebutuhan untuk prediksi (dan sebaliknnya),
e.       Suatu penolakan terhadap penjelasan-penjelasan berkaitan dengan keadaan-keadaan mental atau subjektif (seperti niat atau motif-motif tindakan),
f.       Suatu kecenderungan untuk lebih menyukai kuantifikasi dan analisis statistic yang canggih dan rumit, dan terakhir, pembedaan yang tajam antara fakta-fakta dan nilai.[3]
Ø  Sejarah Paradigma Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Setidaknya ada tiga tahapan kunci dalam sejarah positivisme:
1.      Pada abad ke-19, tempat utama dalam positivism pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori perngetahuan yang diungkakan oleh Comte dan tentang logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, Saint Simon E.Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.      Pada awal abad ke-20, mengacu pada positivisme logis seperti yang dikembangkan di Vienna (Wina) dan Cambridge.
3.      Pada pertengahan abad ke-20, mengacu pada model deduktif-nomologisnya Ernest Negel dan Carl Hempel.
Positivisme abad ke-19 berkait sangat erat dengan kemunculan dan kemapanan sosiologi sebagai satu disiplin ilmiah yang otonom dan seperti yang diindikasikan dengan menyerap berbagai pertanyaan tentang sifat metode ilmiahnya dan kekhasan upaya kajian sosiologis. J.S. Mill, Herbert Spencer, dan Durkheim adalah beberapa diantara intelektual abad ke-19 yang bersimpati terhadap proposal artikel-artikel utama Comte meski tetap mempertahankan jarak kritis terhadap cara Comte menghasilkan proposal itu.
Sebagian besar tokoh positivis abad ke-19 percaya bahwa penjelasan yang non-spekulatif dan ilmiah mengenai dunia sosial dan akan membantu mewujudkan suatu masyarakat yang lebih teratur dan adil. Seperti positivisme awal, salah satu perhatian utamanya mengenai positivisme yang muncul diVienna dan Cambridge pada awal abad ke-20 adalah untuk membedakan filsafat dari metafisikan, tetapi, tidak seperti pendahulunya, positivisme berusaha melakukannya dengan bantuan analisis logis yang rumit dan canggih. Sebagian besar positivis logis mengikuti teori pengetahuan fenomenalis yang menyatakan bahwa basis dari ilmu pengetahuan terletak pada pengamatan-pengamatan indrawi.
Sementara positivisme abad ke-19 terkait sangat erat dengan sosiologi, positivisme logis yang muncul pada awal abad ke-20 di Vienna dan di Cambridge hampir-hampir tidak mempunyai kaitan semacam itu.[4] Diantara kalangan Vienna, hanya Otto Neurath yang memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu pengetahuan sosial, komitmennya terhadap “fisikalisme” (yang menyatakan bahwa berbagai fenomena sosial atau psikologis pada akhirnya harus dijelaskan kembali dalam bahasa fisika) melahirkan satu pandangan yang aneh tentang sosiologi (karena hanya mempelajari mengenai perilaku) dan mengenai penjelasan-penjelasan sosial (karena mengenyampingkan beberapa acuan-acuan keadaan-keadaan mental atau subjektif), sehingga dengan demikian pengaruh Neurath terhadap ilmu-ilmu sosial tetap terbatas (Neurath 1944, 1973, 1983:  58-90).
Model deduktif nomologis Negel dan Hempel, memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan sosial, menyajikan suatu pandangan yang rapi dan langsung tentang pembentukan dan penguraian teori ilmiah, yang bisa diterapkan baik untuk ilmu-ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu-ilmu pengetahuan alam. Seperti rekan zamannya Karl Popper (tetapi tak seperti positivisme awal), mereka memandang teori-teori ilmiah sebagai upaya-upaya deduktif, yang dengannya hipotesis-hipotesis empiris disimpulkan dari hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal (misalnya, Hempel 1965).[5]
Positivisme Sosiologis
Akar dari pemikiran positivisme ini dapat ditemukan dalam ajaran filsafat Yunani, misalnya ajaran Epicurus. Namun aliran positivis di dalam ilmu hukum mendapat inspirasi dari positivitas sosiologis, baik dari filosofi Prancis Auguste Comte (1798-1857) maupun dari Herbert Spencer (1820-1903). Olehnya itu sebelum membicarakan tentang positivitas Yuridis di dalam ilmu hukum, terlebih dahulu membicarakan positivistis sosiologis. Comte sebagai bapak sosiologi modern melihat bahwa di antara semua ilmu, masih dibutuhkan adanya ilmu baru mengenai manusia dan masyarakat manusia. Itulah yang dikenal sebagai : sosiologi atau sering juga disebutnya filsafat positif.
Inti ajaran comte adalah bahwa, terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan yang menguasai roh manusia dan segala gejala hidup bersama, dan itulah secara mutlak.
Menurut Comte hukum-hukum itu tampak dalam tiga tahap perkembangan yang dilalui oleh semua masyarakat:
a.       Tahap teologis di mana manusia percaya pada kekuatan-kekuatan Illahi dibelakang gejala-gejala alam.
b.      Tahap metafisis dimulainya kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran teologis. Ide-ide telogis diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika.
c.       Tahap positif dimana gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu ide alam yang abstrak. Di situ satu gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapatkan hukum-hukum antar mereka, hukum-hukum itu tidak lain suatu relasi yang kontans di antara gejala-gejala.[6]
Menurut Comte, manusia merupakan makhluk sosial yang berkembang mengikuti hukum-hukum sosial dalam sejarah. Comte melihat, positivisme sebagai tahap perkembangan yang terakhir.
Tetapi pada akhir hidupnya, Comte berubah pendapat, bahwa sosiologi ilmiah membutuhkan perlengkapan, yaitu agama universal. Bagi Comte, agama yang akan mengantarkan umat manusia ke dalam suatu solidaritas internasional antar semua bangsa.
Conte mengemukakan bahwa:
“a priori, metaphysical speculation had no validity and that knowledge can be acquired solely as the result of the use of scientific method based on observation. Theories should be subjected to a rigorous process or empirical investigation . science could provide humanity with ideals and moral guidance.”
Herbert Spencer, mengikuti ajaran evolusi Darwin, tetapi diterapkannya ke dalam masyarakat. Menurut Spencer, prinsip-prinsip evolusi yang berlalu bagi perkembangan biologis, juga berlaku bagi perkembangan hidup manusia di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Spencer melihat bahwa seperti organisme-organisme alam yang semakin berkembang hingga timbul makhluk-makhluk dari berbagai jenis yang berbeda, maka demikian juga organisme-organisme masyarakat manusia yang semakin berkembang hingga timbullah suatu kehidupan bersama yang semakin berkembang hingga timbullah suatu kehidupan bersama yang heterogen (berbeda jenis) dan penuh diferensiasi. Oleh karena itu teori Spencer disebut juga Darvinisme Sosial.

Baik Comte maupun Spencer, tidak mengakui adanya hukum selain yang dibuat oleh negara (hukum positif).
1.      Esensi Positivistis Yuridis
Esensi Positivisme Hukum menurut H.L.A Hart (1986: 253) adalah :
a.       That laws are commands of human beings (hukum adalam perintah)
b.      That there is no necessary connection between law and morals or law as it is and it ought to be (tidak ada keutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan).
c.       That the analysis or study o meaning of legal concepts is an important study to be distinguished from (ghough in now way hostile to) hstorical inquires, sociological in quiries and the critical apparaisal of law iin terms or morals, social ims, function (analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu study yang penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologi dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial).
d.      That a legal system is a closed logical system in which correct decisions can be duduced from predetermined legal rules by logical means alone. (sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya).[7]
e.       That moral judgments cannot be established, as statements of fact can, by rational argument , evidence or proof (non congnitivism in ethics). (penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti.)
Menurut Hart, Bertham dan Austin menganut pandangan yang sama tentang esensi positivisme untuk huruf a, b, dan c tetapi tidak pada butir d dan e. Sedangkan Kelsen menganut pandangan yang sama untuk butir b, c, dan e, tetapi tidak butir a dan d. Jadi Hart memasukan Betham ke dalam penganut positivisme, demikian juga Hans Kelsen.   
2.      Ajaran Jhon Austin
Penganut aliran positivis yang terpenting adalah Jhon Austin (1790-1859). Inti ajaran Jhon Austin dapat penulis ikhtisarkan dalam beberapa butir berikut:

a.       Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau dalam bahasa aslinya: law... was the command of sovereign. Bagi Austin: No, low, no sovereign ; and no sovereign, no law.
b.      Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.
c.       Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovereignty) mewarnai hampir keseluruhan dari ajaran Austin. Hal mana dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1)      Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal
2)      Sifat eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif
3)      Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap kedaulatan negara itu berbeda-beda sesuai kebutuhan subyeknya
4)      Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara dengan ketaatan terhadap ancaman penodong misalnya. Hal tersebut membedakan di antara keduanya adalah legimitasi. Kedaulatan negara berdasarkan legimitasi (di dasarkan pada undang-undang) yang berlaku dan diakui secara sah. Pada ketaatan terhadap kedaulatan negara, subyeknya merasakan a moral duty to obey (ada kewajiban moral untuk mentaatinya).[8]  

B.     Definisi Hukum Dalam Sudut Pandang Positivisme dan Islam
Untuk memahami bagaimana sudut pandang dalam positivime dan Islam. Terlebih dahulu kita perlu tahu mengenal istilah atau pengertian dari hukum itu sendiri.
Hukum mempunyai arti yang sangat luas. Adapun tokoh hukum yang memberikan statement keluasan hukum adalah Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. (1) Ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) Disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi; (3) Norma, yakni pedoman atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) Tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer); (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi; (7) Proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari system kenegaraan; (8) Sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian; (9) Jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.[9]
·         Hukum dalam sudut pandang positivisme
Dalam kaitannya dengan positivisme hukum maka perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, yang seterusnya. Antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lewgvers). Bahkan, bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama Legisme, undang-undang lebih tegas, bahwa hukum itu identic dengan undang-undang.[10]
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum Positif Analistis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh Jhon Austin  dan (2) Aliran Hukum Murni (reine Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.
1.      Aliran Positivisme Sosiologis : Jhon Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum itu sendiri, menurut Austin terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu system yang tetap, logis, dan tertutup.[11]
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: (1) hukum dari Tuhan untuk manusia (The divine laws), dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan lagi dalam:
(1)   Hukum yang sebenarnya, disebut juga hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya
(2)   Hukum yang tidak sebenarnya, hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu : (1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), (4) kedaulatan (sovereignty)[12]
2.      Aliran Positivisme Yuridis: Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang kemudian dikenal dengan teori hukum murni. Jadi hukum adalah suatu sollens kategorie, bukan seins kategorie. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme yang menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk dan isi. Suatu hukum berurusan dengan bentuk bukan isi. Jadi keadilan sebagai isi hukum berada diluar hukum. Selain teori hukum murni, Kelsen juga mengambangkan teori jenjang. Teori ini melihat hukum sebagai suatu system yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Dimana norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebuh dengan nama groundnorm (norma dasar) atas urpsprungnorm.[13]
·         Hukum dalam sudut pandang Islam
Hukum Islam merupakan serangkaian kesatuan dan bagian integral dari ajaran agama Islam yang memuat seluruh ketentuan yang mengatur perbuatan manusia, baik yang manshush dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, maupun yang terbentuk lewat penalaran. Hukum Islam mempunyai dua sifat; Pertama, bersifat stabil (ats-tsabat) yaitu berupa wahyu Allah yang tetap dan tidak berubah sepanjang masa. Kedua, yang dapat berkembang (at-tathawwur) yaitu yang dapat berkembang, tidak kaku dalam berbagai situasi dan kondisi sosial.[14]
Untuk mempermudah uraian tentang hukum dalam perspektif Islam, kami akan menguraikannya dari dua sudut pandang, yaitu dari al-Qur’an dan fuqaha’:
1.      Al-Qur’an
Prof. K.H Ali Yafie dalam hal konsepsi hukum dalam al-Qur’an berpendapat bahwa, secara garis besar, di dalam al-Qur’an memuat tiga hukum: a. hukum alam, b. hukum sejarah, c. hukum syaiah.
a.       Hukum alam, yakni ketentuan-ktentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang mengatur segala makhluk di alam raya ini.
b.      Hukum sejarah, hukum sejarah sebetulnya masih termasuk kategori sunnatullah. Karena sunnatullah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an tidak terbatas ketentuan-ketentuan yang mengatur akan kematian saja, tetapi juga menjangkau alam non materi yang oleh ilmu pengetahuan disebut dengan hukum sejarah. Hal ini sebagaimana al-Qur’an menyebutkan sunnatullah dengan formulasi sunnatul awwaliin, sunnata man qad arsalna, sunnatulladzina min qablikum, yang semuanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami para Nabi/ Rasul, para pelaku sejarah, umat dan tempat-tempat bersejarah dari umat terdahulu. Kaitan antara hukum sejarah dan hukum syariah nampak jelas, dimana hukum sejarah sangat membantu proses terbentuknya suatu hukum, dan juga latar belakang sejarah yan mendorong kehadiran hukum tertentu.
c.       Hukum syari’ah, hukum syari’ah secara garis besar ada tiga bagian. Pertama al ahkam al syra’iyah al ittiqodiyah (teologi islam), al ahkam as syar’iyah al huluqiyah (tasawuf atau akhlak) al ahkam as syar’iyah al amaliyah (ilmu fiqh).
Dari uraian tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa Al Quran memberikan definisi hukum dengan konsepsi yang integral. Karena terpadu hukum-hukum syariah dengan hukum-hukum kauniyah, sebagaimana terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral dengan hukum amaliyah.
Selanjutnya definisi hukum dalam Al quran akan dikaji dari sisi etimologisnya, hukum itu sendiri berasal dari bahas arab ‘’hukm’’ mempunyai makana yang lebih luas. makna hikmahyang mengarah pada pengertian ‘’wisdom’’ dalam bahasa inggris. Hali ini dapatdilihat dari firman Allah yang menggambarkan tugas seorang nabi atrau utusan Allah.
Qs. Al-Imran : 79
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã
Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ  
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.


Dan juga pada ayat lain difirmankan, Qs. Al-Baqarah : 129
$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4
 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ  
“Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Dari kedua ayat di atas ditarik pemahaman bahwa hukum adalah peraturan tentang kehidupan sosial manusia yang mengandung ‘’wisdom’’.
2.      Fuqaha’
Para fuqaha dalam merumuskan definisi hukum tidak ada keseragaman. Adapun hukum secara etimologis didefinisiskan.
اثبات شي ء على شيء او نفيه عنه
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau meniadakan sesuatu dari padanya”
Sedang ulama ushul fiqih mndifinisikan sebagai berikut:
خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين بالاقتضا اوالتخيير اوالوضع
“Firman Allah yang behubungan dengan perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan,menerangkan kebolehan,atau menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.”

C.    Hukum Sebagai Kesepakatan Sosial
Ketika hukum sebagai suatu kesepakatan adakalanya hal tersebut mengarah kepada kehidupan sosial. Maka, berangkat dari situlah terdapat pada aliran sosiologi. Aliran sosiologi ini memandang hukum sebagai kenyataan sosial bukan sebagai suatu kaidah. Untuk membandingkan persamaan dan perbedaan antara pandangan kaum positivis dengan kaum sosiologis di bidang hukum. Persamaan antara positivism dan sosiologisme adalah keduanya terutama memusatkan perhatian pada hukum tertulis atau perundang-undangan. Kemudian, untuk perbedaanya adalah sebagai berikut:
a.       Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah-kaidah yang tercantum dalam perundang-perundangan, sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan sosial. Dengan kata lain, kaum positivis melihat “law in books” sedang kaum sosilogis memandang “law in action”.
b.      Positivism memandang hukum sebagai sesuatu yan gotonom atau mandiri, sedangkan sosiologis hukum memandang hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang ada dalam masyarakat, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, sosial dan sebagainya.
c.       Positivism hanya mempersoalkan hukum sebagai “das sollen” sedang sosiologisme sebagai “das sein”
d.      Positivism cenderung berpandangan yuridis-godmatik, sedang sosiologisme hukum berpandangan empiris.
e.       Metode yang digunakan kaum positivistis adalah preskriptif, yaitu menerima hukum positif dan penerapannya. Sedang metode sosiologisme hukum adalah deskriptif.[15]
Menurut Durkheim kontrol sosialis dapat dibayangkan mungkin untuk bisa dicapai secara sukarela apabila sosialisme itu sendiri dipaami secara lebih tepat sebagai sesuatu yang berasal dari kumpulan keputusan para individu dalam sebuah masyarakat.[16]
Di dalam suatu masyarakat yang oleh maclever (the web of goverment, 1954) digambarkan sebagai sarang laba-laba, terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang bertujuan untuk tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Pola pikir manusia mempengaruhi sikapnya yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan.
Dan dalam masyarakat pasti terdapat adanya kebutuhan yang tidak setiap individu dapat menerima, karna kebutuhan yang tidak selalu sama, oleh karan itu diperlukan adanya kaidah-kaidah atas suatu aturan agar segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Ciri yang menonjol dari hukum mulai tampak pada penciptaan norma-norma hukum yang “murni”, yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan pembuatan hukum itu.seringkali para ahli hukum menganggap bahwa perbedaan yang pokok anatra kaidah hukum di satu pihak dengan kaidah-kaidah sosial lainya dan kaidah agama terletak pada bahwa kaidah hukum itu dapat dipaksakan berlakunnya karna didukung oleh suatu kekuasaan (negara), semakin besar terdapatya perbedaan antara kaidah hukum dengan peri kelakuan yang nyata, makin besar pula kekuasaan yang diperlukan untuk memaksakan berlakunya kaidah tersebut.[17]
Dalam masyarakat pada umumnya memiliki baik lembaga hukum maupun maupun lembaga non hukum. Tedapat dua ukuran untuk memebedakan lembaga hukum dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan lainya, pertama, lembaga hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang cara-cara menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Kedua, lembaga hukum mencakup dua jenis ketentuan, yaitu penetapan kembali aturan-aturan lembaga non hukum dan aturan yang mengatur akivtas lembaga-lembaga hukum itu sendiri.[18]
Dalam sebuah kasus hukum kita pasti kan mengenal adanya pemutusan hukuman, dan dalam putusan hukuma itu menutut john stuart mill, sumber dari kesadran keadilan itu bukan terletak pada kegunaan untuk memepertahankan diri dan persaan simpati:
“Menurut mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan kaan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya tas dasar kepentingan individual, melainkanlebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakandengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.” (satjipto rahardjo, 1982:241; bodenheimer, 1974:86).[19]
Konsepsi hukum sebagai “sarana” yang menjadi kesepakatan sosial (masyarakat) yang dituangkan dalam undang-undang, dan supaya pelaksanaan perundang-undang yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran sosiological jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[20]

D.    Hukum Islam Paduan Antara Kesepakatan Sosial Yang Partikular dan Firman Allah Yang Universal
1.      Hukum Islam dan Sosial
Fiqih tidak hanya kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga masih gagap mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut. [21]
Dalam persepektif umum setidaknya ada tiga level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi fiqih. Pertama, level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi terhadap teks-teks fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab secara metodologis; dan verifikasi ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu‘). Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu dekonstruksi (al-qat’iyah al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rifi). Kedua, pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari upaya formalisasi dan legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika sosial. Ketiga, pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih sebagai yang selalu terbuka terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori sosial kontemporer.
Sebagai langkah awal upaya rekonstruksi fiqih, tulisan berikut menjelaskan sebuah tawaran solusi metode fiqih, yaitu a univied approach to shari’ah and social inference.
Secara sederhana, metode ini berusaha menjembatani dan memadukan pendekatan tekstual (normatif) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara simultan dalam model penelitian ilmiah yang Islami.
2.      Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis).[18] Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa.
Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks.
Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking, metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer.
Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Namun, upaya ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan diminatinya metode ini. Upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal dilakukan mampu memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.
Kemudian pola ijtihad ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat muj tahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf). Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas dengan sendiri menjauhkannya dari nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, suigeneris, dan ngawang-ngawang, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik). Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial.
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh tersebut adalah kalimat هنأدلتهاالتفصيليت. Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks. definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup (living law) kurang mendapatkan tempat dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.
Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual. Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu. Kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam dalam merespon perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah.
Adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam.
3.      Pendekatan Terpadu Hukum Islam Dan Sosial
Krisis metodologi keilmuan Islam, yang berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas dianggap sebagai persoalan yang harus segera mendapatkan terapi intelektual. Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata ditutup atau diganti dengan menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal itu disebabkan karena metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis epistemologis yang tidak kalah akutnya.
Yang perlu dicatat bahwa integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik[34] dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagai reorientasi seluruh bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar Islam. Apa yang coba diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards A Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference dan tokoh lain, [35] adalah dalam kerangka tersebut di atas. bagaimana wahyu juga mengandung suatu rasionalitas tertentu dan bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan.[36]
Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah akibat dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu sosial adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.
Lebih jauh bagaimana upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah metodologis dari upaya mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas (empirisitas) itu menjadi mungkin dilakukan? Kedua inferensi tersebut dilakukan dengan suatu prosedur inferensi yang khas, sebagaimana dijelaskan Safi sebagai berikut:
1)      Prosedur Inferensi Tekstual
Prosedur inferensi tekstual ini dimaksudkan untuk menderivasi aturan-aturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati dalam prosedur ini, yaitu:
·         Mengindentifikasi teks (al-Qur‘an dan Sunnah) yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas, mencakup pula analisis dan pendalaman linguistik secara tematis.
·         Memahami (menafsirkan) makna teks secara memadai dan relevan baik secara individual (leksikal) maupun dengan yang lain (secara kontekstual).
·         Menjelaskan (ta’lil) terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efisien (‘illah) yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks.
·         Membangun suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai dengan proses abstraksi terus-menerus, sehingga hasil derivasi dari teks itudimasukkan ke dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi.
Sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan konsep yang berhasil diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup memadai untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan.
Pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal, aplikasinya terhadap kasus partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi lebih lanjut. Kedua, aplikasi aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada. Aplikasi aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis dari suatu aksi bersesuaian dengan kondisi aktualnya. Berdasarkan hal itu diperlukan suatu studi terlebih dahulu terhadap aksi dan interaksi manusia sebelum suatu aturan wahyu diimplementasikan.
2)      Prosedur Inferensi Historis
·         Menganalisis aksi individu yang termasuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Maksud yang ingin diketahui di sini adalah tujuan, motif dan aturan aksi tersebut. Tujuan adalah seluruh obek yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah dorongan psikologis aktor. Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis (hukum-hukum sosial) yang harus diikuti untuk mencapai tujuan.
·         Mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya (tujuan, motif dan aturannya).
·         Mengidentifikasi aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah kedua.
Sistematisasi aturan universal didapatkan dari langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang dihasilkan.
·         Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan (wacana) dan aksi (fenomena).
·         Pengelompokkan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori.
·         Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori.
·         Identifikasi aturan dan tujuan general membangun interaksi berbagai kategori.[22]

IV.            KESIMPULAN
Positivisme adalah paham atau aliran filsafat ilmu pengetahuan modern yang memicu pesatnya perkembangan sains di satu sisi dan menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat di sisi lain.  Aliran ini menyatakan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Paham ini memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma yang diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala sesuatu yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan jika mengikuti paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris.
Aliran positivisme mengidentikkan hukum dengan undang undang. Satu satunya sumber hukum adalah undang undang. Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi. Hukum dianggap sebagi sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system) Hukum secara tegas dipisahakan dari moral. Jadi berkaitan dengan keadialan dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai –nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum mencerminkan nilai-nilai hidup dalam masyarakat.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan tertinggal di belakang sejarah.
V.            PENUTUP
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan dalam bentuk makalah ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Aburaera, Sukarno. dkk. 2014. Filsafat Hukum: Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana. 
Anshari, Endang Saifudin. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu Surabaya.
Anshari, Ari dan Slamet Warsidi. 1991. Fiqih Indonesia Dalam Tantangan. Surakarta: FIAI-UMS.
Coulson, Noel James. 1969. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Nasution, Muhammad Syukri Albani. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Prenada. Jakarta: Media Jakarta.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2011. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung : Mandar Maju.
Rudyansjah, Tony. 2015. Emile Durkheim. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.
Tumer, Bryan S. 2012. Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Internet :


[1] Endang  Saifuddin  Anshari,  Ilmu  Filsafat  dan  Agama,  ( Surabaya: Bina  Ilmu  Surabaya,  1987),  hlm. 99
[2] Juhaya S Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Prenada, (Jakarta: Media Jakarta, 2003), hlm. 133
[3] Bryan S. Turner,  Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmodern, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2012), hlm. 76
[4] Ibid, hlm 77
[5] Ibid, hlm78
[6] Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 95
[7] Ibid, hlm 96-97
[8] Ibid, hlm. 97-99
[9] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 27
[10] Kajian hukum yang klasik ini disebut positive jurisprudence dalam bahasa Inggris, atau yang secara lebih ekstrem pernah disebut eine reine rechtslehre di dalam bahasa Jerman oleh Hans Kelsen. Dalam perkembangannya, khususnya di Amerika Serikat sepanjang abad ke -20, the classical positive jurisprudence yang berkonsentrasi pada kajian tentang norma-norma hukum as it written in the book.
[11]  Dalam bukunya The province of lurisprudence Determinal, Austin menyatakan “A law is a command which obliges a persons… Laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”. Lebih jauh Austin menjelaskan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan orang lain pada keinginannya.
[12] Sukarno Aburaera, dkk. Filsafat Hukum: Teori dan Praktik. (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 108
[13] Ibid, hlm. 110
[14] Ari Anshori dan Slamet Warsidi, Fiqih Indonesia Dalam Tantangan (Surakarta: FIAI-UMS, 1991) hlm 23
[15] Teguh Prasetyo, Ibid, hlm. 121
[16] Tony Rudyansjah, Emile Durkheim, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2015), hlm 29.
[17] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum. (Bandung : Mandar Maju, 2007).  Hlm 40-45.
[18] Ibid. hlm 49
[19] Ibid. hlm. 61
[20] Ibid, hlm. 81
[21] Noel James Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), hlm 58-76

[22] Untuk poin (D. Hukum Islam Hukum Islam Paduan Antara Kesepakatan Sosial Yang Partikular dan Firman Allah Yang Universal) mengutip pada makalah Nihayatul Ifadhoh dkk yang di ambil dari internet file:///D:/Neha%20Iefaza%20%20HUKUM%20dalam%20PARADIGMA%20POSITIVISME%20dan%20HUKUM%20ISLAM.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar