MUSTAFA
KEMAL AT-TATURK
Dibuat
guna Memenuhi Tugas :
Mata
Kuliah : Fiqih Siyasah 2
Dosen Pengampu : Nursyamsudin

Disusun
oleh:
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Ahmad
Haidar (132211075)
Aprilia
Ambarwati (132211074)
FAKULTAS
SYARI`AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Akhir perang dunia I menandai runtuhnya Dinasti
Utsmani dan berkurang wilayah kekuasaanya. Mustafa Kemal tidak lama kemudian
dengan sukses memimpin revolusi perlawanan terhadap rezim Utsmani lama dan pada
1922 republik barupun didirikan. Republik baru ini melakukan proses reformasi
yang sangat cepat yang ditujukan untuk mengubah kehidupan politik dan sosial
bangsa dengan melakukan sekularisasi dan westernisasi serta membatasi dan
mengontrol peran agama dan juga institusinya.[1]
Dibandingkan tokoh pemikir politik seperti Thaha Husein
dan Ali Abdurraziq, Mustafa Kemal adalah tokoh yang paling kontroversial dan paling
berpengaruh. Ia tidak hanya berbicara pada tataran wacana, tetapi juga bergerak
pada lapangan praktis mengembangkan ide-ide sekularisasinya dalam berbagai
kebijakan politiknya. Dialah yang menjadikan Turki sebagai negara nasional yang
modern dan menyelamatkan kerajaan Turki Utsmani dari kekalahan total atas
bangsa-bangsa Eropa.[2]
Untuk mengetahui bagaimana tindakan-tindakan Mustafa Kemal mengenai ide-ide
sekularisasinya di Turki, berikut akan penulis paparkan.
B. Rumusan
masalah
1. Bagaimana
biografi Mustafa Kemal Attaturk?
2. Bagaimana
pemikiran politik Mustafa Kemal Attaturk?
3. Bagaimana
kritik dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk tersebut?
4. Bagaimana
relevansi pemikiran politik Mustafa Kemal Attaturk di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui
Biografi Mustafa Kemal Attaturk
2. Mengetahui
pemikiran politik Mustafa Kemal Attaturk.
3. Mengetahui
relevansi pemikiran politik Mustafa Kemal Attaturk di Indonesia.
4. Mengetahui
kekurangan dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk.
II.
PEMBHASAN
A. Biografi
Mustafa Kemal Attaturk
Mustafa
dilahirkan pada 1881 di Kota Salonika, Yunani sekarang. Orang tuanya berasal
dari keluarga religious dan menginginkan supaya Mustafa besar dalam suasana
religious pula. Ayahnya, Ali Riza adalah pegawai rendahan dikantor pemerintah
kota tersebut, sementara ibunya Zubayda adalah seorang perempuan yang memiliki
rasa keberagamaan yang dalam. Semula ibunya mengirim Mustafa ke Madrasah,
tetapi ia tidak merasa betah dan melawan gurunya. Orangtuanya pun kemudian
memindahkannya kesekolah dasar modern di Salonika. Selanjutnya karena tertarik
dengan lapangan militer atas usahanya sendiri. dilapangan militer inilah agaknya jalur hidup Mustafa. Berturut-turut
kemudian ia melanjutkan pendidikan pada sekolah latihan militer di Manstir dan
sekolah tinggi militer di Istanbul. Pada 1905 ia menyelesaikan pendidikan pada
sekolah latihan militer dengan pangkat kapten.[3]
Karena
kecerdasannya Mustafa mendapatkan gelar tambahan “Kemal” (yang sempurna)
dibelakang namanya, sehingga namanyapun menjadi Mustafa Kemal. Ini karena
kemampuannya yang luarbiasa dalam bidang matematika disekolah tinggi tersebut.
Atas jasanya pula membawa Turki menjadi bangsa yang modern ia memperoleh gelar
“Ataturk” (Bapak Turki).[4]
Setelah
menyelesaikan pendidikan militernya, Mustafa mengalihkan perhatian totalnya
pada lapangan politik. Untuk menambah wawasan keilmuan dan mengasah naluri
politiknya ia belajar bahasa perancis dan banyak membaca karya-karya pemikir
politik perancis seperti Volteire, J.J rosseou, dan August Comte.[5]
Pada
masa studinya, Kemal menghadapi kenyataan penguasa Turki ketika itu, Sultan
Abdul Hamid, yang despotik dan absolut serta cenderng anti pembaruan. Sultan
mengekang kebebasan berpendapat. Para Mahasiswa diawasi secara ketat. Demikian
juga Mustafa Kemal yang saat itu tidak senang dengan pemerintahan Sultan Hamid.
Namun demikian, tekanan ini tidak membuat Kemal gentar. Ia malah membentuk
gerakan tanah dan menerbitkan surat kabar rahasia yang ditulis tangan. Gerakan
ini mendukung kritikan terhadap penguasa dan menolak absolutisme sultan, namun
akhirnya akibat gerakannya Kemal ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Selanjutnya
diasingkan ke Suriah.[6]
Sebagai
orang politik, naluri politiknya tidak pernah hilang ketika dipengasingan ia membentuk
perkumpulan Vatan (tanah air) bersama dengan teman-temannya. Perkumpulan
ini diharapkan menjadi motor bagi revolusi di Turki. Karena itu ia terus mengembangkan
perkumpulan ini dan membuka cabang dikota-kota Timur Tengah seperti Jaffa,
Beirut, dan Yerusalem. Dalam perkembangannya Kemal selanjutnya mendirkan vatan
di Salonika, kota kelahirannya. Nama perkumpulan ini kemudian
disempurnankan menjadi Vatan Ve Hurriyet Cemiyeti (perkumpulan tanah air
dan kemerdekaan).[7]
Dalam
lapangan militer Kemal memperlihatkan sosoknya sebagai komandan perang yang
tangguh ia membawa tentara Turki memenangkan pertempuran perang melawan Italia
(1911-1912), perang Dardanella (1915), perang kaukasus (1916), dan perang
Palestina (1917). Pada 1917, Kemal diangkat menjadi panglima devisi ke-19 dan
insektur tentara di Erzurrum.[8]
Kemal
meninggal tanggal 10 November 1938 dengan membawa perubahan signifikan bagi
bangsa Turki dan sekaligus meninggalkan kontroversi didunia islam. Ia dipuji
oleh bangsa Turki sebagai bapak Turki yang membebaskan Turki dari belenggu
Depotisme penguasa kerajaan Turki Utsmani dan sekutu. Namun sebaliknya, ia
dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas sekularisasi di dunia
Islam.[9]
B. Pemikiran
Mustafa Kemal Attaturk
Mustafa
Kemal melihat bahwa pemerintahan Turki utsmani bukan type ideal pemerintahan
modern. Sultan berkuasa mutlak dan tidak dibatasi oleh hukum. Tidak ada
parlemen yang mengontrol kekuasaan sultan. Selain itu dalam hubungan dengan
barat (sekutu) sultan juga tidak berdaya menghadapi kekuatan barat yang sedikit
demi sedikit menguasai kekuasaan Turki Utsmani.[10]
Untuk
masalah yang pertama Kemal melakukan gerakan anti pemerintah melalui
perkumpulan Vatan-nya. Adapun untuk yang kedua Kemal dengan berani
melawan barat (sekutu) dan berhasil merebut kembali wilayah kekuasaan Turki
dari sekutu. Kemal pun menjadi terkenal di kalangan masyarakat Turki dan
dianggap sebagai pahlawan. Ia mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat Turki.[11]
Pada
1920 Kemal dan kawan-kawan membentuk Majelis Nasional Agung. Dalam sidangnya di
Ankara, Majelis sepakat memilih Kemal menjadi ketuanya. Inilah awal langkah
Kemal menjadi seorang Presiden untuk melakukan upaya-upaya pembaruan yang telah
lama dicita-citakannya. Posisi Kemal semakin kuat dan akhirnya dunia
internasional pun mengakui eksistensi Kemal sebagai penguasa Turki. Dalam
sidangnya yang pertama, Majelis Nasional Agung memutuskan hal-hal penting,
yaitu:
1.) Kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat Turki.
2.) Perwakilan
rakyat tertinggi berada ditangan majlis Nasional Agung.
3.) Majlis
Nasional Agung berfungsi sebagai lembaga legislative dan eksekutif sekaligus.
4.) Tugas
pemerintahan dilakukan oleh Majelis Negara yang anggotanya dipilih dari Majelis
Nasional Agung.
5.) Ketua
Majlis Nasional Agung merangkap jabatan sebagai ketua Majlis Negara.[12]
Dalam
pemikiran Kemal, Turki Utsmani tidak maju karna terdapat hubungan yang erat
antara Islam dan negara. Penguasa Utsmani waktu itu menggunakan dua gelar
sekaligus untuk kekuasaannya, yaitu gelar khalifah untuk kekuasaan agama dan
gelar sultan untuk kekuasaan politik (duniawi). Bagi Kemal, ikut campurnya Islam
dalam berbagai lapangan publik, termasuk politik, telah membawa kepada
kemuduran Islam. Kemal membandingkan bahwa barat berani meninggalkan agama dari
lapangan politik dan melakukan sekularisasi sehingga melahirkan peradaban yang
tinggi. Karena itu, kalau Turki mau maju dan modern, tidak ada jalan lain
kecuali meniru barat dengan melakukan sekularisasi juga. Masyarakat Turki harus
diubah menjadi Barat.[13]
Kemenangan
tentara Mustafa Kemal pada Agustus 1922 menandai berakhirnya perang Turki dan
berdirinya republik. Sebagai realisasi dari gagasannya, dibawah
kepemimpinan Kemal, republik baru memulai serangkaian reformasi radikal yang
berfungi untuk mengubah Turki menjadi negara sekular modern. Dengan mengikuti
model laicite Perancis (laiklik dalam bahasa Turki), para pendukung
gerakan Kemal berusaha untuk membatasi peran agama hanya sebagai peran
keagamaan privat yang terpisah dari ruang publik. Ideologi ini dipromosikan
melalui serangkaian kebijakan dan hukum antara tahun 1922 dan 1935. Diantara
perubahan radikal itu adalah penghapusan sistem kekhalifahan, penutupan
sekolah-sekolah Islam tradisional (madrasah) dan pembubaran pengadilan
agama pada 1924.
Seperti
yang telah disebutkan diatas, hal pertama yang dilakukan oleh Kemal adalah
menghapus jabatan Sultan sebagai pemegang kekuasaan politik pada 1922, dan ini
disetujui oleh Majlis Nasional Agung. Selanjutnya pada Oktober 1923, terjadi
perubahan mendasar dalam pemerintahan Turki. Majelis Nasional Agung memutuskan
Turki sebagai negara republik, meskipun masih tetap mencantumkan Islam sebagai
agama negara. Namun demikian, konsep ini menjadikan dualisme kepemimpinan dalam
negara Turki yaitu Presiden sebagai penguasa eksekutif tertinggi dan khalifah
sebagai pemegang kekuasaan spiritual. Masalahnya adalah bahwa khalifah disini
masih dipahami sebagai pengertian lama, yakni kepala negara juga. Ini yang menimbulkan
kerancuan, sehingga akhirnya Kemal berpendapat bahwa jabatan Khalifah juga
harus dihapuskan.[14]
Mustafa
Kemal, memandang bahwa keberadaan khalifah yang menjadi peninggalan sejarah
seperti itu akan mengancam kedaulatan nasional republik yang baru berdiri.
Kelompok ini menganggap usulan untuk menjadikan khalifah sebagai pemimpin agama
internasional sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Karena menurut kelompok ini,
institusi kekhalifahan bukanlah institusi yang benar-benar Islami melainkan
penyesuaian dari pemerintahan kesultanan. Kelompok ini tidak menerima
kemungkinan pendefinisian ulang institusi kekhalifahan dalam konteks Islam dan
juga tidak percaya bahwa pendefinisian ulang itu adalah sesuatu yang
diinginkan. Mereka bahkan melihatnya sebagai mimpi yang tidak berguna, yang mungkin
tidak bisa dicapai oleh republik baru.[15]
Pada
Februari 1924, dibicarakanlah di Majlis Nasional Agung tentang masalalah ini.
Akhirnya pada 3 Maret 1924, disetujuilah penghapusan Khalifah. Khalifah Abdul
Majdid sebagai penguasa terakhir dinasti Turki Utsmani beserta keluarganya diperintahkan
untuk meninggalkan Turki. Iapun pergi ke Swiss. Inilah akhir riwayat Turki
Utsmani yang pernah Berjaya sejak 1300 M dan digantikan dengan Republik Turki
Modern oleh Mustafa Kemal.[16]
Penghapusan
khilafah Utsmani merupakan awal bagi pemberlakuan sekularisme dalam kenegaraan
di Turki. Pada 3 Maret 1924, Majelis Nasional Agung menghapus Kementrian
Syari’ah dan awqaf dan menyatukan sistem pendidikan dibawah kementrian
pendidikan. Mustafa juga menghapus jabatan Syekh Al-Islam, pembantu
utama khalifah Utsmani dalam masalah-masalah agama. Selanjutnya sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi agama juga ditutup. perubahan drastis dan radikal ini
bukan tidak menimbulkan pertentangan dari masyarakat Turki. Beberapa kawan
Kemal selama ini berusaha melakukan kudeta. Kampanye anti Kemal digerakkan
dimana-mana. gerakan oposisi muncul dengan mendirikan partai republik
progresif. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat gerakan Kemal
ini, ia mengangkat temannya Fethy Bey sebagai perdana mentri menggantikan Ismed
Pasha.[17]
Meskipun
mendapatkan tantangan yang sangat kuat, Kemal tetap bersikukuh menjalankan
gerakan sekularisasinya. Pada tahun-tahun berikutnya rezim baru mulai
membubarkan sejumlah tarekat (1925), melarang pemakaian tutup kepala khas
dinasti Utsmani (fez) bagi laki-laki, menghalangi perempuan untuk
memakai kerudung, dan mengadopsi kalender Gregorian sebagai satu-satunya
kalender resmi. Pada 1926, hukum pidana baru yang berdasarkan model Swiss mulai
diadopsi (1926). Pengadopsian ini menandai berakhirnya hubungan negara dengan
syari’ah sekaligus dimulainya pengenalan undang-undang pernikahan dan sipil.
Pada 1928 negara mulai mendeklarasikan diri sebagai negara sekular, Islam tidak
lagi dianggap sebagai agama resmi negara (1928) dan alphabet Turki yang sudah
dilatinkan pun mulai diadopsi. Hari minggu ditetapkan sebagai libur mingguan
resmi pada 1935.[18] Menghapus
tugas parlemen dalam menerapkan hukum Islam (1928), menggantikan aksara Arab
dengan Aksara Latin (1928), menetapkan sumpah sekular untuk Anggota Majlis
Nasional Agung (1928).[19]
Bentuk
sekularisme kemalian ini dirancang agar negara bisa mengontrol agama, bukan semata-mata
menyingkirkannya dari ruang publik.[20]
Menurut Harun Nasution, sekularisasi yang dilakukan oleh Kemal tidak sampai
menghilangkan agama dan Kemal tidak berhasil membuat Turki lepas sama sekali
dari ikatan Agama karena rakyatnya masih memegang teguh Islam. Semangat
religiositas masyarakat Turki yang begitu dalam tidak serta merta dapat
dihapuskan dengan sekularisasi Kemal. Disisi lain negara juga membutuhkan
lembaga-lembaga Islam. Penting untuk dicatat bahwa gerakan ini tidak dimotifasi
oleh ateisme maupun oleh pandangan anti-islam. Mustafa Kemal selalu menekankan
kesetiaannya pada Islam. Pada 1923, misalnya ia menyatakan “Agama kita
adalah agama yang paling masuk akal dan alami. Karena itulah agama kita menjadi
agama yang terakhir. Agama yang alami harus sesuai dengan akal, ilmu
pengetahuan, dan logika. dan agama kita memang memenuhi persyaratan itu”. Jadi
usaha Kemal untuk mensekularkan Turki lebih dimotifasi oleh pragmatisme dan
keinginan untuk menghilangkan model negara Dinasti Utsmani termasuk
menghapuskan penerapan syariah yang telah digunakan oleh Eropa sebagai alasan
untuk melakukan intervensi terhadap urusan dalam negri Turki. Ia melihat bahwa
penghapusan symbol-simbol lama itu merupakan langkah yang penting bagi Turki
agar bisa menjadi negri yang benar-benar independen dari hegemoni dan campur
tangan Barat. Ia bahkan menganggap reformasi yang dilakukannya sebagai upaya
untuk melindungi Islam, untuk memisahkan agama yang suci dari politik yang kotor.
Kemal dan pendukungnya beranggapan bahwa pengadopsian norma dan institusi
modern memang mengharuskan dikorbankannya beberapa pemahaman Agama
tradisioanal. Dan hanya itulah cara bagi umat Islam agar terus bertahan secara
terhormat dalam dunia modern ini.[21]
Satu
langkah penting yang diambil dari proses ini adalah mengontrol ulama dan
tarekat sufi melalui berbagai cara termasuk menetapkan undang-undang mengenai
penyatuan sistem undang-undang, mengenai penyatuan sistem pendidikan yang
menjadi landasan hukum bagi penutupan seluruh madrasah dan pelimpahan seluruh
urusan pendidikan pada kekuasaan kementrian pendidikan. Pemakaian baju
tradisional ulama juga dilarang, dan mereka tidak lagi diperbolehkan untuk
memakai gelar yang melambangkan otoritas keagamaan seperti “alim” atau “syekh”.
Pada 1928, pengadopsian alfabet Roma dan pelarangan pengajaran bahasa Arab dan
Persia dilakukan untuk menghancurkan hubungan kultural dan intelektual antara
Dinasti utsmani lama dan Dunia Islam modern.[22]
Usaha-usaha
ini juga menandakan bahwa ulama tidak lagi memainkan peran signifikan dalam
masyarakat. Pengetahuan yang mereka kuasai dan wakili dipandang tidak lebih
sebagai peninggalan masalalu dan hambatan bagi usaha negara untuk menghadirkan modernitas
dalam masyarakat Turki. Kesempatan mereka untuk bekerja dengan pengetahuan dan
pengalaman pendidikan yang mereka miliki kini terbatas pada masjid dan
institusi-institusi keagamaan. Karena institusi-institusi itupun dikontrol dan
dibiayai oleh negara, independensi ulama pun dilumpuhkan secara efektif. Kelas
intelektual lama tergantikan oleh kelas intelektual baru yang berusaha untuk
memutuskan ikatan masalalu dan membangun negara dengan budaya sekular baru. Sebagai
contoh institut negara Turki mulai menulis sejarah Turki dan Institut bahasa
Turki menyusun ulang bahasa Turki.[23]
Perubahan
yang dilakukan oleh Kemal sangat radikal. Ia melakukan pembaruan bagi Turki
modern diatas pijakan westernisasi, sekularisasi, dan nasionalisme.
Westernisasi, karena dalam perkembangannya ia ingin menjadikan Turki modern
seperti barat. Ia membuang symbol-simbol tradisi masyarakat Turki yang telah
mengakar sebelumnya. Ia juga melarang pemakaian torbus (topi tradisional Turki)
dan menggantikannya dengan topi ala Barat. Musikpun harus digantikan, dari
aliran timur menjadi music Barat dan radio-radio Turki harus menyiarkan
lagu-lagu Barat. Ia hendak menerapkan nilai-nilai Barat dalam segala aspeknya,
karena baratlah barometer kemajuan peradaban modern abad ke20. Kemal ingin
memutuskan bangsa Turki dari sejarah masalalunya agar Turki dapat masuk kedalam
lingkungan peradaban Barat.[24]
Dalam
prinsip sekularisme jelas bahwa Kemal tidak menginginkan Agama masuk kedalam
wilayah publik. Pranata sosial yang berbau Agama dihapuskannya dan digantikan
dengan pranata sekular. Pendeknya negara harus netral dari agama.[25]
Sementara
dalam prinsip nasionalisme, Kemal ingin agar bangsa Turki modern mempunyai
kebanggaan dengan nasionalitasnya. Pada 1931 ia memerintahkan menggantikan
adzan dari bahasa arab kedalam bahasa Turki sebagai wujud nasionalisme
tersebut. Ia juga memerintahkan penerjemah Al-Qur’an kedalam bahasa Turki.
Pendek kata, Kemal menginginkan pemahaman dan pengamalan Islam oleh rakyat Turki
sesuai dengan identitas keturkian dan tidak terikat pada peradaban Arab.[26]
Demikianlah
Mustafa Kemal melakukan sekularisasi besar-besaran dalam berbagai aspek
kehidupan negara. Tujuannya tidak lain adalah untuk melepaskan negara dari
ikatan-ikatan Agama. Prinsip-prinsip sekularisme Kemal ini dengan setia dikawal
oleh angkatan bersenjata Turki. Bila ada upaya-upaya untuk memasukkan Islam
kedalam wilayah publik, maka angkatan bersenjata merupakan pihak yang paling
depan berusaha menggagalkannya.[27]
Dengan
keyakinan bahwa modernisasi dan mewesternisasi Turki merupakan jalan yang
terbaik bagi negri itu, pendukung gerakan Kemal bertujuan untuk mendidik,
membimbing bahkan jika perlu memaksa, masyarakat Turki menjadi masyarakat yang
sekular dan modern. Kharisma dan posisi Mustafa Kemal sebagai “penyelemat” dan
“bapak” bangsa setelah kemenangannya dalam perang kemerdekaan digunakan untuk
mempromosikan dirinya sebagai sosok yang bebas dari kesalahan, pemurah, dan
sangat berkuasa. Pertanyaan, kritik, dan perdebatan apapun yang ditujukan pada
gerak reformasi Kemal dianggap sebagai gangguan bagi perkembangan negara.
Aturan atau kebijakan apapun yang dianggap oleh negara sebagai karakter
peradaban modern harus sesegera mungkin diadopsi di Turki, hingga justifikasi
publik tidak lagi diperlukan. Institusi-institusi negara biasanya
mengimplementasikan kebijakan terlebih dahulu, barulah kemudian kalangan
intelektual dan jurnalis mencari pembenaran atas kebijakan tersebut. Karena
khawatir akan gangguan kekuatan oposisi dan pemikiran kritis terhadap jalannya
reformasi, negara membungkam dan mengasingkan siapapun yang tidak setuju atau
mempertanyakan upaya reformasi atas dasar ideology atau perspektif apapun.[28]
Politik
sekularisasi yang dipelopori oleh Mustafa Kemal di Turki yang hampir seluruh
penduduknya beragama Islam itu ternyata tidak sepenuhnya berhasil, dan tidak
pula sanggup mempertahankan keutuhannya. Meskipun diktum pasal 1 undang-undang
dasar tahun 1924 tetap utuh, tetapi pemimpin-pemimpin Turki sepeninggal Kemal
terpaksa harus mengambil berbagai kebijaksanaan politik yang bersifat korektif
terhadap tindakan-tindakan yang diambil sebagai implementasi dari paham
sekularis terutama seusai perang dunia II.[29]
Salah
satunya adalah politik sekularisasi dalam bidang pendidikan. Dengan disahkannya
undang-undang “penyatuan pendidikan”, maka pelajaran agama (islam) disekolah
secara berangsur-angsur dikurangi sampai kemudian dihapuskan sama sekali pada
tahun 1935 sampai dengan tahun 1948, dan pendidikan agama menjadi tanggung
jawab masing-masing orang tua murid. Pada tahun 1931 lembaga-lembaga pendidikan
imam dan khatib (negri) ditutup, dan pada tahun 1933 fakultas teologi di
Istanbul juga ditutup. Tetapi tindakan-tindakan yang drastis itu ternyata
menimbulkan masalah yang serius. Dengan dihapuskannya pelajaran agama
disekolah-sekolah, dan ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan imam dan khatib
(negri) itu bermunculan secara liar lembaga-lembaga pendidikan imam dan khatib
dan juga madrasah-madrasah swasta. Selain itu, politik yang tidak memperhatikan
kehidupan keagamaan rakyat itu berakibat timbulnya vakum atau kekosongan
agama/budaya pada masyarakat, sehingga memberikan peluang kepada gerakan
ekstrem dibawah islam untuk mengisi kekosongan itu. Dalam hubungan ini dapat
dikemukakan bahwa meskipun dengan gigih berusaha menyisihkan Islam dari
kehidupan politik Turki tetapi Kemal tidak memperkenalkan ideologi lain sebagai
alternative. Sementara itu dengan dihapuskannya islam, sedangkan tidak tersedia
ideology pengganti timbullah kerawanan akan bahaya infiltrasi paham komunisme.[30]
Oleh
karena itu sejak tahun 1946 terjadilah perubahan-perubahan yang cukup mendasar
dalam sikap pemerintah Turki terhadap pemerintah agama (Islam). Satu demi satu diambil
kebijaksanaan politik yang memberi konsensi kepada semangat keislaman rakyat
Turki. Pada tahun 1948 terjadi perubahan sikap terhadap pendidikan agama
disekolah. Pada tahun itu di Universitas angkara dibuka fakultas Teologi,
diikuti oleh pembukaan kembali lembaga-lembaga pendidikan imam dan khatib (negri)
dan delapan lembaga tinggi Islam, tempat mendidik ulama-ulama Sunni. Pelajaran
agama Islam kembali di berikan disekolah-sekolah rendah sebagai mata pelajaran
fakultatif dan dalam kenyataanya antara 93 sampai 100 persen dari murid-murid
mengikutinya. Sejak saat itu pemerintah demi pemerintah berusaha memperlihatkan
hormat dan perhatiannya kepada tradisi-tradidi keislaman rakyat. Pada thuan
1950 untuk pertama kali pembacaan Al-Qur’an dikumandangkan di radio. Pada tahun
1960 jumlah kursus pengajian Al-Qur’an yang didirikan pemerintah mencapai
10.000 buah dibandingkan dengan yang didirikan oleh masyarakat sendiri yang
berjumlah 40.000 buah. Pada tahun 1956 pelajaran agama (Islam) mulai diajarkan
disekolah menengah. Jumlah pendidikan Imam dan Khatib (negri) dari tahun
ketahun terus meningkat, dan lulusan dari lembaga itu berhak mengikuti
ujianmasuk ke Universitas negri. Pada tahun 1985 tercatat sebanyak 375 madrasah
berada dibawah pengawasan pemerintah dengan 83.157 murid dan 10.975 guru. Pada
jenjang perguruan tinggi saat ini terdapat sembilan fakultas teologi diseluruh
turki.[31]
C. Kritik
pemikiran Mustafa Kemal At-Tatruki
Reformasi sekularisme telah berjalan
terlalu jauh, pandangan sekularime kemalian yang masih dominan di Turki
sesungguhnya didasarkan pada control penuh negara atas agama. Negara mengatur
pendidikan agama, praktik keagamaan, mengontrol keuangan masjid, memasukkan
imam kedalam golongan orang yang harus digaji negara, mengatur cara berpakaian
disekolah dan tempat bekerja, terutama bagi perempuan. Model ini benar-benar
problematis karena ia berusaha mengontrol dan memanipulasi peran islam dalam
kebijakan publik dan politik atas nama sekularisme sambil menolak warga negara
yang mengambil islam sebagai kekuatan dasar dalam hidupnya serta hak dan
kesempatan mereka untuk hidup dalam keyakinannya. Model ini juga benar-benar
paradoks karena ia tidak bisa menjalankan control penuh atas agama atau
institusi agama tanpa melanggar hakasasi manusia warga negara. Dengan kata lain
model ini memang melemahkan konstitusionalisme dan hakasasi manusia dengan
mengatasnamakan usaha untuk memegang prinsip-prinsipnya. Dalam reformasi
sekularisme yang dilakukan oleh Kemal perlu ditanyakan, bagaimana kewajiban
Negara untuk menghormati pilihan pribadi dan kebebasan beragama dengan
keharusannya mengatur peran politik agama.
Pelanggaran
Hakasasi Manusia dalam sekularisasi Kemal diantaranya adalah Pelarangan memakai
jilbab, dimana hal tersebut melanggar hak kebebasan beragama, prinsip kesamaan
kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan. Karena bagi perempuan
yang memakai kerudung akan dikeluarkan dari pendidikan yang dijalaninya dan di
keluarkan dari pekerjaan yang digelutinya. Selain itu juga, Ada beberapa
perempuan yang tidak diperkenankan mendapatkan perawatan dari pusat layanan
kesehatan Negara karena memakai jilbab.
Banyak
pelanggaran Hakasasi Manusia yang terjadi dalam sekularisasi Mustafa Kemal
seperti dilarangnya memakai fez.
Maka dari itu hemat pemakalah, dalam reformasi sekularisme yang
dilakukan oleh Kemal perlu ditanyakan, bagaimana kewajiban Negara untuk
menghormati pilihan pribadi dan kebebasan beragama dengan keharusannya mengatur
peran politik agama.
Disamping
pelanggaran Hakasasi manusia dalam sekularisasi, Tidak ada pembatasan
intervensi militer terhadap kekuatan politik pun turut serta mewarnai
pelaksanaan sekularisasi, karena jelas sekularisme sudah sedemikian mapan di
Turki sehingga tidak harus terus bergantung pada perlindungan dari militer.
Kontradiksi sekularisme otoritarian di Turki dimungkinkan karena politik
militer memang malah memperlemah sekularisme di negri ini dan bukan melindungi
/ mempromosikan persepsi umum bahwa militer adalah penjaga sekularisme tidak
hanya melemahkan legitimasi prinsip ini tetapi juga melanggar dasar prinsip ini
yang berakar dalam pemerintahan yang demokratis dan konstitusional.
Sekularisme
yang dilakukan oleh Mustafa berdampak pada meningkatkan pluralisme agama dan
kebebasan individu apakah ia akan melaksanakan ajaran islam atau tidak. Memaksa
perempuan untuk tidak berjilbab dengan menempatkan kewajiban agama dengan
undang-undang negara hingga menghilangkan prinsip fundamental mengenai
pertanggungjawaban individu dihadapan
tuhan jelas merupakan tindakan yang salah. Sama pula salahnya jika negara
membuat perempuan sulit dan tidak memiliki pilihan antara memegang terguh
ajaran agamanya atau kehilangan hak atas hak pendidikan, pekerjaan, dan otonomi
personanya secara umum. Pandangan ini tidak mengasumikan bahwa intervensi
negara sebagai satu-satunya pembatasan atas kebebasan perempuan dan laki-laki
untuk memilih karena tekanan dari keluarga atau komunitas pun bahkan lebih kuat
dan mengikat.
D. Relevansi
pemikiran Mustafa Kemal At-Tatruki di Indonesia
Pemikiran
politik Mustafa Kemal dengan sekularisasinya merupakan perubahan yang radikal
terhadap sistem pemerintahan yang berlaku di Turki pada saat itu. Agama tidak
berperan sama sekali terhadap negara, bahkan hal-hal kecil yang bersifat privat dilarang meskipun itu merupakan aturan agama
yang dianut oleh warga negara. Seperti kebijakan tidak diperbolehkannya
menggunakan jilbab, larangan pemakaian fez, dihapuskannya simbol-simbol
keagamaan, bahkan adzan pun menggunakan bahasa Turki.
Indonesia
merupakan negara bermasyarakat plural yang memiliki berbagai macam ragam
budaya, bahasa, dan termasuk didalamnya adalah agama. Seperti halnya pemikiran
dari Mustafa Kemal bahwa sekularisasi dalam sebuah negara penting, maka
Indonesia pun demikian akan tetapi dalam beberapa hal tertentu saja. Hal ini
untuk menghindari konflik antar penganut agama jika salah satu agama di Indonesia ditetapkan sebagai Agama Negara.
Hal ini tercermin dalam beberapa kali sidang pengembalian tujuh kata dalam sila
pertama yaitu sila ketuhanan yang diikuti dengan klausul : “… dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Upaya
pengembalian tujuh kata lewat parlemen, setidaknya telah terjadi tiga kali
yaitu Sidang Majelis konstituante tahun 1956-1959, MPRS tahun 1966-1968, Sidang
Tahunan MPR (ST MPR) tahun 2000. Namum upaya pengembalian tujuh kata tersebut
selalu gagal. Tujuan pengembalian tujuh kata ini sendiri adalah untuk
terbukanya pelaksanaan syari’at Islam terbuka pada masa mendatang. Dan ini juga
menunjukkan untuk digunakannya agama Islam sebagai agama negara, akan tetapi
dalam realisasinya tidak mungkin dan banyak perlawanan dari berbagai pihak
termasuk kubu sekular pada saat itu.
Hemat
penulis Indonesia bukanlah Negara sekular, walaupun tidak menggunakan salah
satu dari agama yang hidup didalamnya sebagai Agama Negara. Karena dilihat dari
definisi negara sekular itu sendiri bahwa Negara sekuler adalah negara yang
tidak mengikutsertakan agama dalam menjalankan roda pemerintahannya, dengan
kata lain, tidak mendasarkan Undang-undang pada agama, tidak mendasarkan
kebijakan, peraturan pemerintah, dan produk perundang-undangan pada agama.
Sedangkan Indonesia sendiri mengadopsi aturan-aturan yang agama yang ada,
seperti dalam pengadilan agama ada beberapa peraturan yang merujuk pada kitab
fiqih. Akan tetapi Indonesia tidak termasuk juga dalam Negara Agama, kembali
pada definisi dari Negara Agama itu sendiri bahwa Negara agama adalah negara
yang menjalankan roda pemerintahan dan mengeluarkan berbagai kebijakan
berdasarkan agama. Sedangkan roda pemerintahan Indonesia dan berbagai kebijakan
yang dikeluarkan tidak seluruhnya berdasarkan pada agama.
Indonesia
bukan negara agama, juga bukan negara sekular, Indonesia adalah negara yang
tidak menjurus ke dalam kedua bentuk tersebut. Pemerintahan dijalankan
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Inilah yang membuat
Indonesia bisa tetap bersatu sampai sekarang, bila salah satu bentuk di atas
diterapkan, sangat tidak cocock dengan Indonesia. Ketika akan menerapkan
sekulerisme, hal ini bertentangan dengan kebudayaan Indonesia sejak jaman
dahulu yang tak terlepas dari keilahian dan tradisi-tradisi religius. Jika
menetapkan negara agama, maka akan timbul perang besar antar agama, karena
sejak awal memang bukan hanya ada 1 agama atau kepercayaan saja di bumi
pertiwi, melainkan banyak keyakinan dan kepercayaan.
III.
PENUTUP
A. Simpulan
Mustafa
dilahirkan pada 1881 di Kota Salonika, Yunani sekarang. Ayah bernama Ali Riza
dan Ibunya Zubayda. Mustafa merupakan alumnus dari pendidikan militer, yang
tertarik dengan dunia politik. Pemikirannya dilator belakangi oleh penguasa
Turki, Sultan Abdul Hamid, yang despotik dan absolut serta cenderng anti
pembaruan. Sultan mengekang kebebasan berpendapat. Para Mahasiswa diawasi
secara ketat. Yang pada akhirnya mengantarkanMustafa mengalami masa tahanan.
Mustafa dijuluki Kemal karena ia merupakan murid yang pintar dalam bidang
matematika dan di juluki At-Taturk karena jasa beliau di Turki. Pemikiran
Mustafa Kemal sendiri adalam memisahkan negara dengan agama, dimana agama tidak
boleh ikut campur dalam kancah politik. Dan menganggap bahwa peran agama islam
dalam Turki yang menyebabkan negara Turki tidak mengalami kemajuan. Dari sisi
inilah Mustafa dalam kesempatan emas yang ia peroleh melakukan sekularisasi
yang sangat radikal terhadap negara Turki diantaranya : penghapusan jabatan
khalifah, penghapusan madrasah-madrasah, pelarangan memakai jilbab, dan
aturan-aturan lain yang menekan agama agar tidak berperan sama sekali di Turki.
Sekularisasi
yang dilakukan oleh Mustafa sendiri melupakan bahwa HAM setiap warga negaranya
untuk melaksanakan aturan agama perlu. Dan negara Indonesia bukan negara
sekular ataupun negara agama, melainkan negara Indonesia adalah negara yang
tidak menjurus ke dalam kedua bentuk tersebut. Pemerintahan dijalankan
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila.
B. Kritik
dan saran
Demikianlah
makalah tentang Mustafa Kemal At-Tatturk yang telah penulis paparkan. Kami
menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun
dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua
[1]
Abdullahi Amed An-Na’im. Islam
dan Negara Sekular. (Bandung : Mizan Pustaka, 2007). Hal. 363.
[2] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia
Kontemporer. (Jakarta : Kencana,2010). Hal. 107
[3] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 108
[4] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution.. Loc.Cit.
[5] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution.. Loc.Cit.
[6] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 108-109
[7] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid.Hal. 109
[8] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Loc.Cit.
[9] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Loc.Cit.
[10] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid.Hal. 109-110
[11] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 110
[12] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Loc.Cit.
[13] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 110-111
[14] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 111
[15] Abdullahi Amed An-Na’im. Ibid.
Hal. 361.
[16] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid.Hal. 111
[17] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 111-112
[18] Abdullahi Amed An-Na’im. Ibid.
Hal. 358.
[19] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 112
[20] Abdullahi Amed An-Na’im. Ibid.
Hal. 358.
[21] Abdullahi Amed An-Na’im.Ibid.
Hal. 359.
[22] Abdullahi Amed An-Na’im.Ibid.Hal.
358.
[23] Abdullahi Amed An-Na’im.Ibid..
Hal. 358-359
[24] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 112-113
[25] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Ibid. Hal. 113
[26] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Loc.Cit
[27] Muhammad Iqbal, Amin Hasan
Nasution. Loc.Cit
[28] Abdullahi Amed An-Na’im. Ibid.
Hal. 359-360.
[29] Munawir Sjadzali. Islam dan
Tata Negara. (Jakarta : Universitas Indonesia, 1933). Hal. 226.
[30] Munawir Sjadzali. Ibid.Hal.
226-227.
[31] Munawir Sjadzali. Ibid. Hal.
227.
DAFTAR
PUSTAKA
Amed An-Na’im, Abdullahi, 2007, Islam
dan Negara Sekular, Bandung : Mizan Pustaka.
Iqbal, Muhammad, Amin Hasan Nasution,
2010, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,
Jakarta : Kencana.
Munawir Sjadzali, Munawir, 1933, Islam
dan Tata Negara, Jakarta : Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar