PONDOK PESANTREN
I.
Pendahuluan
Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam, ternyata memiliki sebuah sistem pendidikan yang khas dan unik
bernama pesantren. Dikatakan khas karena pendidikan model pesantren hanya
berkembang pesat di Indonesia. Sementara di negara lain akan sulit model
pendidikan seperti ini. Selain khas dan unik, pesantren juga merupakan
pendidikan Islam asli produk Indonesia. Bahkan ada yang mngatakan bahwa
pesantren adalah “bapak” pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena khas dan unik itulah maka sudah banyak ragam perpektif
yang mengkaji pesantren. Mulai dari yang bersifat general sampai spesifik.
Diantaranya, tentang sejarah, materi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian ini, maka pemakalah mencoba menguraikan sedikit
tentang pesantren dilihat dari aspek sejarah, tujuan, materi, metode pendidikan
serta hubungannya dengan kebudayaan Jawa.
II.
Rumusan Masalah
Untuk
mempermudah pembahasan makalah ini, pemakalah susun rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Pengertian dan sejarah pondok pesantren
2.
Tujuan pendidikan dalam pondok pesantren
3.
Karakteristik pondok pesantren
4.
Materi pendidikan dalam pondok pesantren
5.
Metode pendidikan dalam lingkungan pondok pesantren
6.
Interelasi pendidikan dalam pondok pesantren dengan budaya Jawa
III.
Pembahasan
1.
Pengertian dan Sejarah Pondok Pesantren
Pengertian pondok pesantren terdapat berbagai variasi, antara lain:
Secara
etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Pondok,
berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam pesantren
Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam
bentuk kamar sebagai asrama bagi para santri. Sedangkan pesatren merupakan
gabungan dari kata pe-santri-an yang berarti tempat santri.[1] Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah tempat atau asrama bagi santri
yang mempelajari agama dari seorang Kyai atau Syaikh.
Sedang dari pendapat para ilmuan, antara lain:
a.
Ridlwan Nasir dalam bukunya mengatakan bahwa pondok pesantren
adalah lembaga keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
b.
Nurcholish Madjid menegaskan bahwa pondok pesantren adalah artefak
peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan
bercorak tradisional, unik, dan indigenous (asli).[2]
c.
Zamakhsyari Dhofier, bahwa pesantren berasal dari kata santri
dengan awalan pe di depan dan akhiran an yang berarti tempat
tinggal para santri.[3]
Sejarah pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari peran para Wali
Sembilan atau lebih dikenal dengan Walisongo yang menyebarkan Islam di pulau
Jawa pada khususnya. Pada masa Walisongo inilah istilah pondok pesantren mulai
dikenal di Indonesia.[4]
Ketika itu Sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat
pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk
menuntut ilmu agam. Padepokan Sunan Ampel inilah yang dianggap sebagai cikal
bakal berdirinya pesantren-pesantren yang tersebar di Indonesia.
Apabila diteliti mengenai silsilah ilmu para Walisongo, akan
ditemukan bahwa kebanyakan silsilahnya sampai pada Sunan Ampel.[5]
Misalnya, Sunan Kalijaga, beliau adalah santri dari Sunan Bonang yang merupakan
putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yang banyak menuntut ilmu dari Sunan
Kalijaga.
Setelah periodesasi perkembangan pesantren yang cukup maju pada
masa Walisongo, masa-masa suram mulai terlihat ketika Belanda menjajah
Indonesia. Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan yang politik pendidikan
dalam bentuk Ordonansi Sekolah Liaratau Widle School Ordonanti yang
sangat membatasi ruang gerak pesantren.[6]
Tujuannya, pihak Belanda ingin membunuh madrasah dan sekolah yang tidak
memiliki izin dan juga bertujuan melarang pengajaran kitab-kitab Islam yang
menurut mereka berpotensi memunculkan gerakan subversi atau perlawanan di
kalangan santri dan muslim pada umumnya. Hal seperti ini akhirnya membuat pertumbuhan dan
perkembangan Islam menjadi tersendat.
Sebagai respon penindasan Belanda tersebut,
kaum santri mulai melakukan perlawanan yakni, antar tahun 1820-1880 kaum santri
memberontak di belahan Nusantara. Akhirnya, pada akhir abad ke-19 Belanda
mencabut resolusi tersebut, sehingga mengakibatkan pendidikan pesantren sedikit
lebih berkembang.
Setelah penjajahan Belanda berakhir,
Indonesia dijajah kembali oleh Jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini,
pesantren berhadapan dengan kebijakan Saikere yang dikeluarkan
pemerintahan Jepang.[7]
Hal ini ditentang keras oleh Kyai Hasyim Asy’ari sehingga ditangkap dan
dipenjara selama 8 bulan. Berawal dari sinilah terjadi demonstrasi besar-besaran
yang melibatkan ribuan kaum santri menuntut pembebasan Kyai Hasyim Asy’ari dan
menolak kebijakan Seikere. Sejak itulah pihak Jepang tidak pernah
mengusik dunia pesantren.
Pada masa awal kemerdekaan, kaum sanri
kembali berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan.[8]
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, pondok
pesantren kembali diuji, karena pemerintahan Soekarno yang dinilai sekuler itu
telah melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional.
Pada masa Orde Baru, bersamaan dengan
dinamika politik umat Islam dan negara, Golongan Karya (Golkar) sebagai
kontestan Pemilu selalu membutuhkan dukungan dari pesantren. Dari sinilah kemudian
ada usaha timbal balik dari pemerintahan dan pesantren. Kondisi nyata seperti
itu mengakibatkan pesantren mengalami pasang surut hingga pada era pembangunan.
2.
Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang
dirumuskan dengan jelas sebagai acuan progam-progam pendidikan yang
diselenggarakannya.
Profesor Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama pesantren adalah
untuk mencapai hikmah atau wisdom (kebijaksanaan) berdasarkan pada
ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan
serta realisasi dari peran-peran dan tanggung jawab sosial.[9]
Setiap santri diharapkan menjadi orang yang bijaksana dalam menyikapi kehidupan
ini. Santri bisa dikatakan bijaksana manakala sudah melengkapi persyaratan
menjadi seorang yang ‘alim (menguasai ilmu, cendekiawan), shalih (baik,
patut, lurus, berguna, serta cocok), dan nasyir al-‘ilm (penyebar ilmu
dan ajaran agama).
Secara spesifik, beberapa pondok pesantren merumuskan beragam
tujuan pendidikannya kedalam tiga kelompok; yaitu pembentukan
akhlak/kepribadian, penguatan kompetensi santri, dan penyebaran ilmu.[10]
a.
Pembentukan akhlak/kepribadian
Para pengasuh pesantren yang notabene sebagai ulama pewaris para nabi,
terpanggil untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam membentuk kepribadian
masyarakat melalui para santrinya. Para pengasuh pesantren mengharapkan
santri-santrinya memiliki integritas kepribadian yang tinggi (shalih).
Dalam hal ini, seorang santri diharapkan menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu
mendalami ilmu agama serta mengamalkannya dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat.
b.
Kompetensi santri
Kompetensi santri dikuatkan melalui empat jenjang tujuan, yaitu:[11]
1)
Tujuan-tujuan awal (wasail)
Rumusan wasail dapat dikenali dari rincian mata pelajaran
yang masing-masing menguatkan kompetensi santri di berbagai ilmu agama dan
penunjangnnya.
2)
Tujuan-tujuan antara (ahdaf)
Paket pengalaman dan kesempatan pada masing-masing jenjang (ula,
wustha, ‘ulya) terlihat jelas dibanyak pesantren. Di jenjang dasar (ula)
pengalaman dan tanggung jawab terkait erat dengan tanggung jawab sebagai
pribadi. Di jenjang menengah (wustha) terkait dengan tanggung jawab
untuk mengurus sejawat santri dalam satu kamar atau beberapa kamar asrama. Dan
pada jenjang ketiga (‘ulya) tanggung jawab ini sudah meluas sampai
menjangkau kecakapan alam menyelenggarakan musyawarah mata pelajaran, membantu
pelaksanaan pengajaran, dan menghadiri acara-acara di masyarakat sekitar
pesantren guna mengajar di kelompok pengajian masyarakat.
Lebih jauh lagi rumusan tujuan pendidikan dalam tingkat
aplikasinya, santri diberi skill untuk membentuk insan yang memiliki
keahlian atau kerampilan, seperti ketrampilan mengajar atau berdakwah.[12]
3)
Tujuan-tujuan pokok (maqashid)
Tujuan pokok yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan dilembaga
pesantren adalah lahirnya orang yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam.
Setelah santri dapat bertanggung jawab dalam mengelola urusan kepesantrenan dan
terlihat kemapanan bidang garapannya, maka dimulailah karir dirinya. Karir itu
akan menjadi media bagi diri santri untuk mengasaha lebih lanjut kompetensi
dirinya sebagai lulusan pesantren. Disinilah ia mengambil tempat dalam hidup,
menekuni, menumbuhkan, dan mengembangkannya.
4)
Tujuan-tujuan akhir (ghayah)
Tujuan akhir adalah mencapai ridla Allah SWT. Itulah misteri
kahidupan yang terus memanggil dan yang membuat kesulitan terasa sebagai
rute-rute dan terminal-terminal manusiawi yang wajar untuk dilalui.
c.
Penyebaran ilmu
Penyebaran ilmu menjadi pilar utama bagi menyebarnya ajaran Islam.
Kalangan pesantren mengemas penyebaran ini dalam dakwah yang memuat prinsip al-amru
bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Perhatian pesantren terhadap
penyebaran ilmu ini tidak hanya dibuktikan denga otoritasnya mencetak da’i,
akan tetapi juga partisipasinya dalam pemberdayaan masyarakat.
3.
Karakteristik Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai karakteristik
yang sangat kompleks.
Ciri-ciri secara umum ditandai dengan adanya:
a.
Kyai, sebagai figur yang biasanya juga sebagai pemilik
b.
Santri, yang belajar dari kyai[13]
c.
Asrama, sebagai tempat tinggal para santri dimana Masjid sebagai
pusatnya
d.
Adanya pendidikan dan pengajaran agama melalui sistem pengajian (weton,
sorogan, dan bandongan), yang sekarang sebagian sudah berkembang
dengan sistem klasikal atau madrasah.
Sedangkan ciri
secara khusus ditandai dengan sifat kharismatik dan suasana kehidupan keagamaan
yang mendalam.
Kedua
ciri ini masuk kedalam lima klasifikasi pondok pesantren. Kelima klasifikasi
pesantren ini adalah:[14]
1)
Pondok pesantren salaf/klasik: yaitu pondok yang didalamnya
terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan sistem
klasikal (madrasah) salaf.
2)
Pondok pesantren semi berkembang: yaitu pesantren yang didalamnya
terdapat sistem pendidikan salaf, sistem klasikal swasta dengan kurikulum 90%
agama dan 10% umum.
3)
Pondok pesantren berkembang: yaitu pesantren yang kurikulum
pendidikannya 70% agama dan 30% umum.
4)
Pondok pesantren khalaf/modern: yaitu pesantren yang sudah lengkap
lembaga pendidikannya, antara lain adanya diniyah, perguruan tinggi, bentuk
koperasi, dan dilengkapi takhasus (bahasa arab dan inggris).
5)
Pondok pesantren ideal: yaitu pesantren modern yang dilengkapi
dengan bidang ketrampilan meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankan.
Dengan harapan alumni pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardli.
Secara umum, pesantren dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yakni pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf
(modern). Pembedaan ini didasarkan atas dasar materi-materi yang disampaikan
dalam pesantren.
Dalam sistem dan kultur pesantren dilakukan
perubahan yang cukup drastis:[15]
a) Perubahan sistem pengajaran dari perorangan
atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan istilah madrasah
(sekolah).
b) Pemberian pengetahuan umum disamping masih
mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab.
c) Bertambahnya komponen pendidikan pondok
pesantren, misalnya ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan
agama, kesehatan dan olahraga serta kesenian yang Islami.
d) Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah
(ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut. Biasanya ijazah
bernilai sama dengan ijazah negeri.
e) Lembaga pendidikan tipe universitas sudah
mulai didirikan di kalangan pesantren.
Modernisasi dalam pendidikan Islam merupakan
pembaharuan yang terjadi dalam pondok pesantren. Setidak-tidaknya dapat
menghapus image sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pondok
pesantren hanyalah sebagai lembaga pendidikan tradisional. Kini pesantren
disamping berkeinginan mencetak para ulama juga bercita-cita melahirkan para
ilmuwan sejati yang mampu mengayomi umat dan memajukan bangsa dan negara.
4.
Materi Pendidikan dalam Pondok Pesantren
Materi pendidikan atau yang lebih dikenal dengan kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
dalam mencapai tujuan pendidikan.[16]
Materi pendidikan pesantren ditentukan oleh pondok pesantren itu sendiri, oleh
karenanya isi dan tujuan materi pesantren ini harus dinamis, fleksibel, terbuka
dan sesuai dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat.
Sebagai bagian dari pendidikan, pesantren mempunyai watak utama
yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan tersendiri. Salah satu
ciri utama pesantren adalah adanya pengajaran kitab kuning sebagai
kurikulumnya. Kitab kuning dapat dikatakan menempati posisi yang istimewa dalam
tubuh kurikulum di pesantren.
Ditinjau dari segi materi, secara umum isi kitab kuning yang
dijadikan rujukan sebagai kurikulum pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua.[17]
Pertama, kelompok ajaran dasar sebagaimana terdapat pada al-Qur’an dan
al-Hadits serta ajaran dari penafsiran ulama terhadap keduanya. Kedua, kelompok
kitab kuning yang tidak termasuk dalam ajaran agama Islam akan tetapi kajian
yang masuk kedalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah.
Bagi pesantren, kitab kuning sangatlah penting untuk menfasilitasi
proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan
yang segar tetapi tidak berlawanan dengan sejarah mengenai ajaran Islam,
al-Qur’an, dan Hadits Nabi. Kitab kuning yang dijadikan referensi kurikulum
begi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu
dipertanyakan lagi.
5.
Metode Pendidikan dalam Lingkungan Pondok Pesantren
Metode pendidikan membicarakan cara-cara yang ditempuh guru untuk
memudahkan murid memperoleh ilmu pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan kedalam
diri penuntut ilmu, dan menerapkannya dalam dalam kehidupan.[18]
Untuk memahami cara-cara itu, maka tidak dapat mengabaikan pengertian ilmu
pengetahuan dan cara memperolehnya.
Metode pengajaran di pesantren adalah bandhongan atau wetonan
dan sorogan.[19] Kedua
sistem itu digunakan setelah para santri dianggap telah mampu membaca dengan lancar
dan menguasai al-Qur’an.[20]
Dalam metode bandhongan ini dilakukan dengan cara kyai/guru
membacakan teks-teks kitab yang berbahasa Arab, menerjemahkannya kedalam bahasa
lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut.
Aspek kognitif yang semua santri menjadi aktif adalah metode
pengajaran yang juga menjadi ciri khas pesantren; yaitu sorogan. Metode sorogan
adalah semacam metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang santri aktif
memilih kitab kuning, membacanya, kemudian menerjemahkannya di hadapan kyai,
sementara itu kyai mendengarkan bacaan santrinya dan mengoreksi bacaan atau
terjemahannya jika diperlukan.
Penguasaan kitab kuning juga diasah melalui forum yang biasa
disebut musyawarah. Dalam forum ini, para santri membahas atau
mendiskusikan suatu kasus didalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk
kemudian dicari pemecahannya secara fiqh (yurisprudensi Islam).
6.
Interelasi Pendidikan dalam Pondok Pesantren dengan Budaya Jawa
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di Jawa,
tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang
tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk
mentransisikan Islam tradisional,[21]
karena disitulah anak-anak muda akan mengaji lebih dalam kitab-kitab klasik
berbahasa Arab yang ditulis berabad-abad yang lalu. Di Jawa kitab-kitab ini
dikenal sebagai kitab kuning.
Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan agama
pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum Majapahit dan
berfungsi sebagai pusat pendidikan (semacam sekolah) dan keagamaan.[22]
Mandala adalah tempat yang dianggap suci karena disitu tinggal para pendeta
atau pertapa yang memberikan kehidupan yang patut dicontoh masyarakat sekitar
karena keshalehannya, atau para pendeta yang memberikan pengajaran keagamaan
Hindu-Buddha untuk masyarakat.
Tokoh sejarawan menyebutkan bahwa pesantren adalah kelanjutan dari
lembaga pendidikan masa pra-Islam, yaitu mandala. Pendapat ini didasarkan atas
adanya persamaan antara pesantren dengan mandala, yaitu:[23]
a.
Sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang
kosong.
b.
Lembaga pendidikan keagamaan Hindu mandala dan lembaga pendidikan
keagamaan Islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru-murid.
c.
Menjalin komunikasi antardharma yang juga dilakukan antarpesantren
dengan perjalanan rohani atau lelana.
d.
Metode pengajaran dengan sistem melingkar (halaqah)[24]
Memang ada banyak persamaan antara mandala
dengan pesantren, tetapi belum berarti bahwa ada hubungan antara keduanya yang
terjadi secara paralel melalui status daerah yang ditempati.[25]
Pesantren tidak
dapat disimpulkan mengambil alih begitu saja dari sistem mandala. Ada beberapa
pesantren pada abad ke-18 (Tegalsari di Panarag, Banjarsari dan Sewulan di
Madiun) dan ke-19 (Maja Pajang dekat Surakarta dan Melangi dekat Yogyakarta)
yang berdiri diatas tanah pemberian raja,[26]
namun hal ini bukan berarti penerusan lembaga pendidikan mandala ke pesantren.
Pada masa
kerajaan-kerajaan Islam Jawa masih berjaya didaerah pesisir, seperti Gresik,
Kudus, Jepara, dan Demak, kemajuan pendidikan Islam memperoleh perhatian
penguasa muslim dengan kemajuan perdagangannya. Setelah runtuhnya daerah pantai
utara Jawa Tengah dan Jawa Timur ke tangan penguasa Mataram, penyelenggaraan
pendidikan tidak memperoleh perhatian dari penguasa lagi. Ditambah dengan
kemerosotan ekonomi perdagangan muslim di pesisir yang berpindah menjadi petani
di pedalaman.[27]
Oleh karena itu, tanggung jawab pendidikan keagamaan Islam memunculkan
sumbangan, pembayaran zakat, dan wakaf dari masyarakat, dan lahirlah
pesantren-pesantern yang berawal dari upaya ulama bebas yang tergerak pada
pendidikan Islam yang lepas dari Keraton Mataram dengan dukungan masyarakat.
Diantaranya adalah beliau para ulama yang dahulunya belajar di Makkah dan
Madinah. Hal ini memberikan pengaruh pada model penyelenggaraan pendidikan
pesantren di Indonesia.
IV.
Penutup
a.
Kesimpulan
Pengertian pondok pesantren secara etimologis, adalah gabungan dari
pondok dan pesantren. Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang
berarti hotel, yang dalam pesantren Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan
padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar sebagai asrama bagi para
santri. Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang
berarti tempat santri. Menurut para ilmuwan dapat disimpulkan menjadi lembaga
keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan
menyebarkan ilmu agama Islam.
Sejarah pondok pesantren memiliki kaitan erat dengan peran
Walisongo, yakni mengenai silsilah ilmu para Walisongo, bahwa kebanyakan
silsilahnya sampai pada Sunan Ampel. Misalnya, Sunan Kalijaga, beliau adalah
santri dari Sunan Bonang yang merupakan putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan
Kudus yang banyak menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga.
Secara spesifik,
beberapa pondok pesantren merumuskan beragam tujuan pendidikannya kedalam tiga
kelompok; yaitu pembentukan akhlak/kepribadian, penguatan kompetensi santri,
dan penyebaran ilmu.
Ciri-ciri secara umum pesantren ditandai dengan adanya: Kyai, Santri,
Asrama, Adanya pendidikan dan pengajaran agama melalui sistem pengajian.
Materi pelajaran di pesantren menggunakan acuan dari kitab kuning
dengan menggunakan metode pembelajaran bandhongan dan sorogan.
Pesantren memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan pra-Islam,
mandala, dikarenakan memiki beberapa kesamaan. Namun dalam penyampaian isi
kajian pendidikannya sangat berbeda.
b.
Penutup
Demikianlah yang dapat pemakalah sampaikan, pemakalah sadar sebagai
manusia biasa, tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan dan
kekurangan. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sekalian sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, HA. Mukti, Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan
Nasional: dalam Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam, (Surabaya:
IAIN sunan ampel, 1986).
Dhofier, zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).
gembelite.blogspot.com/2011/10/makalah-perkembangan-pendidikan.html?m=1.
Diakses pada tanggal 27 Juni 2014 pukul 01.10 WIB.
Haedari, HM Amin, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD press, 2004).
Indra, hasbi, Pesantren dan Tranformasi Sosial: Studi Atas
Pemikiran KH. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta:
penamadani, 2003).
Madjid, nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997).
Mahdi, adnan, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset
dan Kajian Keislaman, (Pati: Staimafa press, 2013).
Nafi’, M. Dian, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren,
(Yogyakarta: Instite for training and development (ITD) Amherst, 2007).
Nasir, ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005).
Sofwan, ridin, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa,
(Yogyakarta: Gama media, 2004).
[1] Ridlwan Nasir,
Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), Hlm: 80
[2] Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), Hlm: 10
[3] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982), Hlm: 82
[4] Adnan Mahdi,
dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman,
(Pati: Staimafa press, 2013), Hlm: 10
[5] Adnan Mahdi,
dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Hlm:
11
[6] Adnan Mahdi,
dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Hlm:
11
[9] M. Dian Nafi’,
dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for training
and development (ITD) Amherst, 2007), Hlm: 49
[10] M. Dian Nafi’,
dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Hlm: 50
[11] M. Dian Nafi’,
dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Hlm: 57
[12] Hasbi Indra, Pesantren
dan Tranformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran KH. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang
Pendidikan Islam, (Jakarta: penamadani, 2003), Hlm: 170, dan M. Dian Nafi’,
dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Hlm: 60
[13] HA. Mukti Ali,
Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional: dalam Pembangunan
Pendidikan dalam Pandangan Islam, (Surabaya: IAIN sunan ampel, 1986), Hlm:
73-74
[14] Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan
Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Hlm: 87-88
[15] gembelite.blogspot.com/2011/10/makalah-perkembangan-pendidikan.html?m=1.
Diakses pada tanggal 27 Juni 2014 pukul 01.10 WIB.
[16] Adnan Mahdi,
dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman,
Hlm: 29
[17] Adnan Mahdi,
dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman,
Hlm: 32
[18] M. Dian Nafi’,
dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Hlm: 66
[19] M. Dian Nafi’,
dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Hlm: 67
[20] HM Amin
Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD press, 2004), Hlm: 41
[21] Ridin Sofwan,
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama media,
2004), Hlm: 95
[22] Ridin Sofwan,
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 95-96
[23] Ridin Sofwan,
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 98
[24] Ridin Sofwan,
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 103
[26] Ridin Sofwan,
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 112
[27] Ridin Sofwan,
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Hlm: 113
Kak kalau boleh tau kakak dapet semua bukunya dari mana ya??
BalasHapusbukunya ada di kampus UIN Walisongo kakak
Hapusdi perpustakaan wilayah semarang juga ada
maaf ya baru bisa balas,,,
sampean emang jozzz mbak suwun nggeh...
BalasHapusKa' referensinya ada yang online gak ya?
BalasHapusTerimakasih, tulisannya menginspirasi Mas Muslim
BalasHapus