PEMBAHASAN
A. Pengertian Interelasi
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama
lain. Jadi yang dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara
nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari berbagai aspek kepercayaan dan ritual.
Agama
di dalam memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi
keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek
keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan
orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas
penting, yaitu ritual dan ketaatan. Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci
dan gaib itu dinamakan kepercayaan.
Sebelum
Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada
ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci,
orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum
karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Disamping itu juga ada yang
bersumber pada ajaran Budha yang
ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme
dan dinamisme.
Setelah
kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang
salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada
dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara
berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa arab
menjadi fenomena Jawa[1].
B. Interelasi antara nilai-nilai Islam
dengan nilai Jawa
1. Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
Islam
di Jawa tidak lepas dari peranan Walisongo. Walisongo adalah tokoh-tokoh
penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan
aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut
adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam
bahasa Inggris pada umumnya diartikan saint, sementara songo dalam
bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan,
tetapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri
yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa walisongo adalah
pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius
mereka, bumi Jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar
terang.
Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang
Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan siapapun.
Termasuk ketika pedagang dan alim ulama` yang bertubuh tinggi besar, hidung
mancung dan berkulit putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama` dari
tanah timur tengah. kedatangan mereka ternyata membawa sejarah baru yang hampir
merubah Jawa secara keseluruhan.
Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana
Islam datang ke Malaka, Sumatra dan Kalimantan. Bukti berupa adanya nisan
raja-raja Aceh yang beragama Islam menunjukkan bahwa Islam telah
barkembang di Kesultanan Aceh pada abad ke13 M, jadi bisa diperkirakan mungkin
Islam telah datang ke Indonesia sejak abad itu atau sebelumnya[2]
Agama tauhid ini telah berkembang di Jawa, kaum pedagang dan
nelayan banyak terpikat oleh ajaran yang mengenalkan tuhan Allah swt ini. Salah satu benda yang baru bagi
orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di Leran,
Gresik dimana pada batu nisan ini tertulis nama Fatimah binti Maimun wafat
tahun 1082 M. Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang memberi petanda
batu nisan bagi orang ynag meninggal, apalagi yang mewah. Islam di Jawa semakin
meluas lagi seiring dengan para ulama yang selalu giat menyebarkan agama Islam[3]
Bagi orang Jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik
upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Hidup manusia sejak dari
keberadaannya dari rahim ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai saat
kematiannya atau upacara-upacara dalam kegiatan sehari-hari dalam mencari nafkah.
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu, di antaranya
kenduren atau kenduri atau selametan, mitoni, sunatan dll.[4]
Di Jawa penyebaran agama Islam harus
berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya
istana yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan
budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animisme dan
dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme, dari
perjalanan sejarah pengalaman di Jawa tampak bahwa Islam sulit diterima dan
menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Namun ternyata Islam diterima secara
penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.
2. Respon Islam
terhadap Budaya Jawa
Agama Islam mengajarkan agar para
pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistis tertentu, yang dimaksud
kegiatan ritualistis adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang
tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa
wajib di bulan Ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah.
Intisari dari shalat adalah do’a oleh karena arti harfiah shalat juga do’a yang
ditujukan kepada Allah swt., sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu
dalam rangka penyucian rohani.
Islam adalah agama damai yang tidak mengenal sistem kasta
seperti pada masa Hindu-Budha. Namun pada realitanya terdapat beberapa golongan
yaitu golongan santri, abangan dan priyayi. Walaupun sebenarnya golongan
ini tidaklah untuk membedakan status sosial seseorang, namun penggolongan ini
ada berdasarkan pemahaman mana yang lebih baik diantara mereka tentang Islam
yang dianut di Jawa dahulu dan sekarang atau tingkat kekuatan mereka
menjalankan ibadah agama Islam. Sebenarnya penggunaan istilah abangan,
santri, dan priyayi dalam klasifikasi masyarakat Jawa dalam golongan agama
adalah tidak tepat, karena ke tiga golongan yang disebutkan tadi tidak
bersumber pada sistem klasifikasi yang sama karena hanya abangan dan priyayi
yang termasuk dalam penggolongan dalam ibadah agama Islam, sedangkan priyayi
adalah suatu penggolongan sosial.
Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun
terdapat beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam. Mereka mengaku orang
Islam tetap dalam kategori umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan
jelas membedakan antara para santri yaitu para orang Muslim yang taat menjalankan syariat
dengan sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan
ajaran-ajaran Islam, sementara cara hidupnya lebih dipengaruhi oleh tradisi
Jawa pra Islam.
Sedangkan priyayi menurut Robert Van Niel, terjadi dari para
administrator, para pegawai sipil (birokrat) serta orang Indonesia yang agak
baik pendidikannya dan agak berada, termasuk orang Jawa, baik di kota maupun di
desa. Sampai ukuran tertentu mereka memimpin, mempengaruhi, mengatur atau membimbing massa rakyat yang luas.
Ia menyebut golongan ini elit. Adapun golongan priyayi mencakup para anggota
dinas administratif yaitu birokrasi pemerintah serta para cendikiawan yang
berpendidikan akademis. Mereka menempati kedudukan pemerintah dan tersusun
menurut heirarki birokrasi mulai dari priyayi rendahan (seperti, juru tulis,
guru sekolah, pegawai dll) sampai priyayi tinggi.
Berbeda dengan stratifikasi horisontal, adapula klasifikasi
masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama
Islamnya atau ukuran
kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariat. Pertama, terdapat
santri yakni orang Muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh
dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang
diketahuinya sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat
di daerahnya. Kedua, terdapatlah abangan yang secara harfiah berarti
”yang merah”, yang diturunkan dari pangkal ke atas abang (merah). Istilah ini
mengenai orang Muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah
agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban- kewajiban agama. Cara
hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi pra Islam Jawa.
Jadi perbedaan antara santri dan abangan adalah diadakan
bila orang digolongkan dengan mengarah kepada perilaku religiusnya, pengertian
santri dan abangan dalam arti ini, dapat dianggap sebagai dua subkultur dengan
pandangan dunia, nilai dan orientasi yang berbeda dalam kebudayaan Jawa.
C. Cakupan Interlasi Islam Jawa
Interelasi antara Islam dan
Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir seluruh aspek-aspek kehidupan
jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat
dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1. Interelasi Islam Jawa dalam aspek
kepercayaan
Setiap agama dalam arti
seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau
keyakinan, terutama kepercayaan teradap sesuatu yang sakral, yang suci, atau
yang gaib. Dalam agama Islam aspek fundamentalitu terumuskan dalam istilah aqidah
atau keimanan sehingga terdapat rukun iman, yang didalamnya terangkum hal-hal
yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim. Yang termasuk dalam rukun iman
adalah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, para nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya,
hari akhir (hari kiamat, surga, dan neraka), dan percaya terhadap qodla
dan qodar, yakni ketentuan tentang naib baik atau buruk dari Allah Swt.
Unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai seperti percaya
adanya Setan, Iblis, syafaat Nabi Muhammad Saw dan lain-lain.
Agama primitif sebagai agama orang
Jawa sebelum kedatangan agama Hindu ataupun Budha, inti kepercayaanya adalah
percaya kepada daya-daya kekuatan gaib yang menempati pada suatu benda (dinamisme),
serta percaya terhadap roh-roh ataupun makhluk-makhluk halus yang menempati
pada suatu benda ataupun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, baik
benda hidup ataupun benda mati (animisme).
Kepercayaan-kepercayaan
dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang
dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan
dalam Islam[5].
Berkaitan
dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan
Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan pemenuhan
terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda
hidup. Arti keramat disini bukan hanya sekedar berarti mulia, terhormat,
tetapi memiliki daya magis, sebagai sesuatu yang sakral bersifat
illahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan.
Ada yang disebut azimat, pusaka, dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala,
cincin, batu akik dan lain-lain. Barang-barang peninggalan para raja Jawa yang
disebut benda pusaka dan pada umumnya
dipandang sebagai benda-benda keramat.
2. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam Aspek Ritual
Menurut R. Stark dan C.Y. Glock
yang dikutip Chalifah Jama’an, mereka mengatakan bahwa ritual mengacu pada
seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang
diwujudkan dalam kebaktian, persekutuan suci, baptis, perkawinan dan
semacamnya. Ketaatan
dan ritual bagaikan ikan dengan air. Apabila aspek ritual adalah komitmen
formal dan khas publik, maka ketaatan merupakan perangkat tindakan persembahan
dan kontemplasi personal, informal dan khas peribadatan yang diwujudkan melalui
sembahyang, membaca kitab suci dan ekspresi lain bersama-sama.
Menurut orang Jawa, mempercayai bahwa ada hubungan antara
manusia yang tinggal di alam nyata ini dengan dunia ghaib yang tidak kasat
mata, agar tidak saling mengganggu perlu adanya ritual. Pada dasarnya kehidupan
orang Jawa penuh dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia,
upacara itu dilaksanakan untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan
ghaib yang tidak dikehendaki dan sesaji atau korban yang disajikan kepada daya
kekuatan ghaib (roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa) tertentu.
Dengan
seiringnya waktu, Islam memberikan warna baru dalam upacara yang hakikatny
merupakan upaya pendidikan budi pekerti terhadap orang Jawa. Seperti halnya
upacara “sedekah bumi” yang masih ada hampir merata di desa-desa
terutama di pulau Jawa. Upacara ini biasanya diadakan setelah panen sebagai
bentuk terima kasih kepada “Dewi Sri”. Meskipun bentuknya berubah
menjadi selametan dengan membaca do’a secara Islam. Selametan di sini
merupakan bentuk sinkretisme ajaran Agama Islam dengan nilai Jawa. Demikian
juga dengan bancakan dan kenduren.
Sedangkan
bancakan merupakan upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur yang
berkaitan dengan masalah pemerataan terhadap kenikmatan, kekuasaan dan
kekayaan, dengan tujuan menghindari terjadinya konflik yang disebabkan
pembagian yang tidak adil. Biasanya dilakukan dalam acara bagi waris,
keuntungan usaha dan sebagainya. Dan yang dimaksud kenduren adalah upacara
sedekah makan, karena seseorang telah memperoleh anugerah atau kesuksesan
sesuai yang dicita-citakan, yang bersifat personal. Biasanya dilaksanakan pada
kenaikan pangkat, lulus ujian dan kesuksesan yang lain.
3. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam
Aspek Politik
imbol sinkretisme politik Jawa-Islam tampak menyolok pada
gelar raja-raja Jawa Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin
Panatagama, Tetunggul Kalifatul Mu’minin, Susuhanan dan sebagainya. Gelar
Ratu Tetunggul Khalifatullah dipakai oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada
masa transisi antara dari kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak.[6] Sunan
giri berkuasa dalam keadaan vakum.
Pada masa ini tidak ada pemimpin
yang berdaulat, baik dari raja hindu maupun islam. Kerajaan majapahit yang
hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang nantinya Demak belum berdiri.
Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan majapahit tahun
1478M oleh serangan seorang raja Grindera wardhanadan Keling Kediri. Setelah
masa peralihan 40 hari ini, sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam
yang permanen yaitu raden fatah, dialah raja dari kerajaan islamDemak.[7]
4. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam
Pendidikan
Dalam aspek
pendidikan interelasi islam dan budaya jawa terdapat dalam pendidikan
pesantren. Sebagai
suatu lembaga pendidikan jelas sekali bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
berada diluar sistem persekolahan. Pesantren tidak terikat dengan sistem
kurikulum, perjenjangan, kelas-kelas, atau jadwal pembelajaran terencana secara
ketat. Pesantren merupakan sistem pendidikan diluar sekolah yang berkembang di
masyarakat. Oleh sebab itu, dalam banyak hal, lembaga penddikan ini bersifat
merakyat.[8]
5. Interelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Ekonomi
Dalam
masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai istilah-istilah atau
konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh, ngirit, dan
lain-lain. Sementara itu, istilah Jawa yang memiliki arti berlawanan dari
istilah diatas antara lain boros, tanpa pethung, awur-awuran, dan
lain-lain. Disamping itu, dengan mendalami secara sungguh-sungguh kebudayaan
Jawa telah tinggi sifat-sifat rasional atau prinsip ekonomi dapat ditemukan
dalam kata kunci yang digunakam masyarakat Jawa. Diantaranya ora
ilok, kuwalat, buak dasar, tuna sanak, ora lumrah, ora umum, lali jawane dan
sebagainya.
Dalam
aspek ekonomim interrelasi nilai Islam dan Jawa dapat dilihat dari tradisi
seperti pesuguhan dan selametan. Pesugihan merupakan kegiatan untuk mencapai
kebutuhan yang biasanya dilakukan ditempat yang dikeramatkan dengan tujuan
untuk mencari ketenangan agar mendapat inspirasi. Sedangkan selametan merupakan
upacara yang telah disentuih dengan ajaran Islam, seperti masuknya unsur dzikir,
penentuan waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan hari besar
Islam yang terkadang mampu menimbulkan getaran emosi keagamaan.
5. Interelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Sastra
Maksud keterkaitan antara Islam
dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau
mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan
puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai
petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang
bersumber pada ajaran Islam.Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas
beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda
dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa
pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang
ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri
dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal
yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya,
munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa,
yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu.
Dengan kata lain, Islam
mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta
sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk
tembang/sekar Macapat. Istilah
‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa
di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian interelasi
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama lain.
Jadi yang dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran
atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari berbagai
aspek
kepercayaan dan ritual.
2. Interelasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai Jawa
a. Respon Budaya Jawa Terhadap Islam
Islam
di Jawa tidak lepas dari peranan Walisongo. Walisongo adalah tokoh-tokoh
penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan
aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut
adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam
bahasa Inggris pada umumnya diartikan saint, sementara songo dalam
bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan,
tetapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri
yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa walisongo adalah
pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius
mereka, bumi Jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar
terang.
b. Respon Islam terhadap Budaya Jawa
Agama Islam mengajarkan agar para
pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistis tertentu, yang dimaksud kegiatan
ritualistis adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul
dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa
wajib di bulan Ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah.
Intisari dari shalat adalah do’a oleh karena arti harfiah shalat juga do’a yang
ditujukan kepada Allah swt., sedangkan puasa adalah suatu pengendalian nafsu
dalam rangka penyucian rohani.
3. Cakupan Interlasi Islam Jawa
Interelasi antara Islam dan Jawa
mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir seluruh aspek-aspek kehidupan jawa
berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam
berbagai aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
a. Interelasi nilai jawa Islam dalam
aspek kepercayaan
b. Interelasi nilai jawa Islam dalam
Aspek Ritual
c. Interelasi nilai jawa Islam dalam
aspek pendidikan
d. Interelasi nilai jawa islam dalam
aspek ekonomi
e. Interelasi nilai jawa Islam dalam
aspek sastra
B. Penutup
Demikian
makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mangharap kritik dan saran yang
membangun penulis untuk membuat makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hariwijaya,
Islam Kejawen,Yogjakarta: Gelombang Pasang, 2006.
Amin,
Darori, Islam dan Budaya jawa, Yogyakara: Gama Media, 2000.
Sufwan,
Ridin, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogjakarta: Gama Media,
2004.
Muthohar,
Abdul Hadi, Pengaruh Madzhab Syafi,i di Asia Tenggara, Semarang: Aneka
Ilmu, 2003.
Saksono,Widji, Meng-islamkan Tana Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995,
Abdul Jamil,Darori Amin, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
The Benefits of Playing Betting on NFL Money Online
BalasHapusBetting on NFL Money Online. In most cases, if you're 랭크 카지노 looking 온카지노 먹튀 to make งานออนไลน์ money from betting, you have to make 포커 고수 some quick 샌즈 bucks in order to make money.