I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akad merupakan bagian dari macam-macam tasharruf,
yaitu segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’
menetapkan beberapa haknya. Akad mempunyai arti menyimpulkan atau mengikatkan.
Sedangkan menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, akad adalah kesepakatan
dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan hukum tertentu.[1]
Dalam Fiqih Mu’amalah terdapat berbagai macam akad, hal itu terjadi karena
berlainan obyek, masyarakat atau Agama sendiri telah memberikan nama-nama itu
untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Berbagai macam akad tersebut
dibagi dalam dua kelompok yaitu Uqudun musammatun dan Uqud ghoiru
musammah.
Selanjutnya mengenai macam-macam akad yang terdapat
dalam Fiqih Mu’amalah penulis akan mengerucut pada akad syirkah, jenis
akad ini termasuk dalam uqud musammatun, dimana akad-akad yang termasuk
didalamnya merupakan akad yang diberikan namanya oleh syara dan ditetapkan
untuknya hukum-hukum tertentu.
Islam membenarkan seorang muslim berdagang dan
berusaha secara perseorangan, membenarkan juga penggabungan modal dan tenaga
dalam bentuk syarikat dagang dengan
berbagai bentuk. Betapa banyak proyek dan perusahaan tidak cukup ditangani oleh
seorang diri, melainkan harus bergabung dan bekerjasama dengan orang lain. Pada
prinsipnya setiap usaha dan pekerjaan yang menguntungkan seseorang dan
masyarakat, yang dapat dikategorikan sebagai halal dan mengandung kebaikan ditekankan
adanya bentuk kerjasama dan gotong royong brdasarkan firman Allah dalam surat
Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Hendaklah kalian saling tolong menolong dalam
kebaikan”.[2]
Mengenai hal tersebut, Berikut penulis akan memaparkan bentuk kerjasma berupa
syarikat.
B. Rumusan masalah
a. Apa
definisi syirkah?
b. Apa
dasar hukum syirkah?
c. Apa
saja rukun dan syarat syirkah?
d. Apa
dan bagaimana macam-macam syirkah?
e. Bagaimana
metode transaksi syirkah ‘uqud?
f. Bagaimana
cara mengakhiri syirkah?
g. Bagaimana
contoh pengaplikasian syirkah, problematika, dan cara penyelesaiannya?
C. Tujuan
a. Mengetahui
definisi syirkah
b. Mengetahui
dasar hukum syirkah
c. Mengetahui
rukun dan syarat syirkah
d. Mengetahui
macam-macam syirkah
e. Mengetahui
metode transaksi syirkah ‘uqud
f. Mengetahui
cara mengakhiri syirkah
g. Mengetahui
salah satu contoh pengaplikasian syirkah, problematika yang mungkin
terjadi dan cara menyelesaikan.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi syirkah
Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya,
salah satu dari akad tersebut adalah akad syirkah atau perkongsian yang
menurut bahasa ikhtilath berarti campur atau percampuran.[3]
Akad percampuran ialah akad yang mencampurkan aset menjadi satu kesatuan dan
kemudian kedua belah pihak menanggung resiko dari kegiatan usaha yang dilakukan
dan membagi keuntungan/pendapatan sesuai kesepakatan. Dalam definisi lain, akad
percampuran adalah akad persekutuan antara dua orang atau lebih dalam
menjalankan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Melalui akad percampuran
masing-masing pihak yang bersekutu akan saling memberikan modal untuk
menjalankan usaha. Kemudian pembagian keuntungan yang diperoleh dari hasil
usaha didasarkan atas nisbah.[4]
Syirkah juga dapat didefinisikan sebagai :
اَلْاِخْتِلَاطُ
أَىْ خَلْطُ أَحَدِاْلمَالَيْنِ بِاْلَا خَرِبِحَيْثُ لَا يَمْتَزَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا
“percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan
harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya”[5]
عَقْدٌبَيْنَ شَخْصَيْنِ
فَأَكْثَرَعَلَى التَّعَاوُنِ فِيْ عَمَلٍ اِكْتِسَا بِيٍّ وَاقْتِسَامِ
اَرْبَاحِهِ
“akad yang berlaku untuk dua orang atau lebih untuk kerjasama
dalam suatu usaha dan membagi keuntungannya”[6]
Menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah,
para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut :
a. Menurut
Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah akad antara dua orang
berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
b. Menurut
Muhammad Al-Syarbani Al-Khatib, yang dimaksud dengan syirkah adalah
ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur
(diketahui).
c. Menurut
Syihab Al-Din Al-Qalyubi wa Umaira, yang dimaksud dengan syirkah adalah
penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.
d. Menurut
Imam Taqiyyudin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husain yang dimaksud syirkah adalah
ibarat penetapan suatu hak kepada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih
dengan cara yang telah diketahui.
e. Menurut
Hasbi Ash-Shiddieqie bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah akad yang
berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu
usaha dan membagi keuntungannya.
f. Idris
Ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarkat dagang yakni dua orang
atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan
menyerahkan modal masing-masing dimana keuntungan dan kerugiannya
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.[7]
g. Menurut
Malikiyah, perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta
yang dimiliki orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharuf.
h. Menurut
Syafi’iyah ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan
cara yang masyhur (diketahui).
i.
Menurut
Hanafiyah ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang
bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.[8]
Setelah diketahui definisi-definisi syirkah
menurut pada ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah
adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang
keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Teori percampuran terdiri dari dua pilar, yaitu
objek percampuran dan waktu percampuran. Sebagaimana dalam teori pertukaran
yaitu objek percampuran dan waktu percampuran. Sebagaimana dalam teori
pertukaran, fiqih juga membedakan dua jenis percampuran yaitu ayn (real
asset) berupa barang dan jasa dan dayn (financial asset) berupa uang
dan surat berharga. Dari segi waktunya : Naqdan (immediate delivery)
yakni penyerahan saat itu juga dan gehoiru naqdan (deferred delivery)
yakni penyerahan kemudian. Dan dapat di identifikasi tiga jenis percampuran :
(1) percampuran ‘ayn dengan áyn; (2) percampuran ‘ayn dengan dayn;
(3) percampuran dayn dengan dayn. [9]
B. Dasar hukum syirkah
Landasan syirkah terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan
Ijma’, berikut ini:[10]
a. Al-Qur’an
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
“mereka yang bersekutu
dalam yang sepertiga” (Qs. An-Nisa’: 12).
وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا
هُمْ
“Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian dari mereka kepada
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, dan amat sedikitlah mereka itu” (Qs. Shad : 24).[11]
b. As-Sunah
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ اِلَى النَّبِيِّ ص م قَا لَ : اِنَّ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ يَقُوْلُ : أَنَاثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُ
هُمَاصَحِبَهُ فَاِدَاخَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (رواه ابوداودوالحاكم
وصححه إسناد)
“Dari Abu Hurairah yang
dirafa’kan kepada Nabi Muhammad, bahwa Nabi SAW bersabda “sesungguhnya Allah
SWT berfirman “Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama
salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannya, aku akan keluar dari
persekutuan tersebut apabila salah seorang mengkhianatinya” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan
sanadnya).
يَدُاللهِ
عَلَى لشَّرِكَيْنِ مَالَمْ يَتَخَاوَنَا
“Kekuasaan Allah senantiasa berada pada
dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat”. (HR. Bukhari
dan Muslim).[12]
c. Al-Ijma’
Umat
Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja mereka berbeda
pendapat tentang jenisnya.
C. Rukun dan Syarat syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan para ulama,
menurut para ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan
Kabul sebab ijab Kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun
yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar
pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah
menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian berikut ini :
a.) Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu: (a) yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwakilan, (b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga dan
lainnya.
b.) Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi yaitu (a) bahwa model yang dijadikan akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal, dan rupiah;
(b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan,
baik jumlahnya sama maupun berbeda.
c.) Sesuatu
yang berkaitan dengan syarikat mufawadhah, bahwa didalam mufawadhah disyaratkan
(a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama; (b) bagi
yang bersyirkah ahli untuk kafalah; (c) bagi yang dijadikan objek akad
disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
d.) Adapun
syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadhah
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian
dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd).
Menurut Malikiyah syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan,
sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abdurrahman Al-Jaziri rukun syirkah
adalah dua orang (pihak) yang berserikat, sighat dan objek akad syirkah
baik harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh Idris
Ahmad berikut ini:
1. Mengeluarkan
kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang
akan mengendalikan harta itu.
2. Anggota
serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang
lainnya.
3. Mencampurkan
harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing , baik berupa mata uang
ataupun yang lainnya.[13]
D. macam-macam syirkah
Perkongsian atau syirkah terbagi atas dua
macam yaitu perkongsian amlak (kepemilikan) dan perkongsian uqud (kontrak).
Perkongsian amlak adalah perkongsian yang bersifat memaksa dalam hukum positif,
sedangkan perkongsian uqud adalah perkongsian yang bersifat ikhtiyariyah
(pilihan sendiri).
1. perkongsian
amlak
perkongsian
amlak adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya
akad. Perkongsian ini ada dua macam :
a.) perkongsian
sukarela (ikhtiyar)
perkongsian
ikhtiyar ialah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua
orang yang bersekutu. Contohnya dua orang yang membeli atau memberi atau berwasiat tentang sesuatu
dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang berwasiat
bersekutu antara keduanya, yaitu perkongsian milik.
b.) perkongsian
paksaan (ijbar)
perkongsian
ijbar ialah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang
ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan
keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi
sekutu mereka.
Hukum
kedua jenis perkongsian ini adalah salah seorang yang bersekutu seolah-olah sebagai
orang lain dihadapan yang bersekutu lainnya.oleh karena itu, salah seorang
diantara mereka tidak boleh mengolah (tasharruf) harta perkongsian
tersebut tanpa izin dari teman sekutunya, karena keduanya tidak mempunyai
wewenang untk menentukan bagian masing-masing.
2. perkongsian
uqud
perkongsian
ini merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk
bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Pengertian ini sama dengan pengertian
perseroan yang telah dikemukakan oleh ulama Hanafiyah diatas.
Menurut ulama
Hanabilah, perkongsian ini dibagi lima yaitu :
a.) perkongsian
‘inan
b.) perkongsian
mufawidah
c.) perkongsian
abdan
d.) perkongsian
wujuh
e.) perkongsian
mudharabah
Ulama Hanafiyah
membaginya menjadi enam macam yaitu :
a.) perkongsian
amwal
b.) perkongsian
a’mal
c.) perkongsian
wujuh
masing-masing dari
ketiga bentuk ini terbagi menjadi mufawidhah dan ‘inan.
Secara
umum fuqaha mesir, yang kebanyakan terdiri dari madzhab Syafi’I dan Maliki,
berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam yaitu :
a.) perkongsian
‘inan
b.) perkongsian
mufawidhah
c.) perkongsian
abdan
d.) perkongsian
wujuh.[14]
E. Metode transaksi syirkah ‘uqud
1. Syirkah ‘inan
Perkongsian
‘inan adalah persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk
berdagang secara bersama-sama, dan membagi laba atau kerugian bersama-sama. Ulama
fiqih sepakat membolehkan perkongsian ini, hanya saja mereka berbeda dalam
menentukan persyaratannya, sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam memberikan
namanya. Perkongsian ini banyak dilakukan oleh manusia karena didalamnya tidak
disyaratkan ada kesamaan dalam modal dan
pengolahan (tasaharruf) boleh saja modal satu orang lebih banyak
dibandingkan dengan yang lainnya sebagaimana dibolehkan juga seseorang
bertanggung jawab sedangkan yang lain tidak. Begitu pula dalam bagi hasil boleh
sama dan juga tidak. Bergantung pada persetujuan yang mereka buat sesuai dengan
syarat transaksi. Hanya saja kerugian didasarkan pada modal yang diberikan.
2. Syirkah muwafidhah
Arti
dari mufawidhah menurut bahasa adalah persamaan dinamakan mufawidhah
antara lain sebab harus ada kesamaan dalam modal, keuntungan, serta bentuk
kerjasama lainnya.
Menurut
istilah perkongsian mufawidhah adalah transasksi dua orang atau lebih
untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan
keuntungan, pengolahan, serta agama yang dianut. Dengan demikian setiap orang
akan menjamin pihak yang lain baik dalam penjualan maupun pembelian. Orang yang
bersekutu tersebut saling mengisi hak dan kewajibannya, yakni masing-masing
menjadi wakil yang lain atau menjadi orang yang diwakili oleh lainnya.
Selain
itu dianggap tidak sah jika modal salah satu orang lebih besar dari pada yang
lainnya, antara seorang anak kecil dengan orang dewasa, juga antara muslim
dengan kafir, dan lain-lain. Apabila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi,
perkongsian ini berubah menjadi perkongsian ‘inan karena tidak adanya
kesamaan.
Ulama Maliki
membolehkan jenis perkongsian ini, mereka membolehkan perkongsian ini dengan
pengertian bahwa masing-masing yang melangsungkan akad memiliki kewenangan atau
kebebasan dalam mengolah modal tanpa membutuhkan pendapat sekutunya.
Adapun
jika didasarkan bahwa salah seorang yang bersekutu tidak berhak mengolah
modalnya sendiri tetapi harus dilakukan secara bersama-sama, perkongsian
seperti ini menurut ulama Malikiyah disebut perkongsian ‘inan. Perkongsian
mufawidhah sebagaimana dipahami oleh ulama Malikiyah tidak diperdebatkan
oleh ulama fiqih lainnya. Akan tetapi ulama Syafi’iyah, hanabilah, dan
kebanyakan ulama fiqih lainnya menolaknya. Dengan alasan, perkongsian semacam
itu tidak dibenarkan oleh syara’. Disamping itu untuk merealisasikannya
adanya kesamaan sebagai syarat dalam perkongsian ini sangat sulit, dan
mengundang unsur penipuan (gaharar). Oleh karena itu dipandang tidak sah
sebagaimana jual beli gharar.
3. Syirkah wujuh
Perkongsian
wujuh adalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa
modal, untuk membeli barang secara tidak kontan, kemudian keuntungan yang
diperoleh dibagi diantara mereka dengan syarat tertentu. Penamaan wujuh
karena tidak terjadi jual beli secara
tidak kontan jika keduanya tidak dianggap pemimpin dalam pandangan manusia
secara adat. Perkongsian ini pun dikenal sebagai bentuk perkongsian karena
adanya tanggung jawab bukan karena modal atau pekerjaan.
Ulama
Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah membolehkan perkongsian jenis ini sebab
mengandung unsur adanya perwakilan dari seseorang kepada partner-nya
dalam penjualan dan pembelian. Selain itu, banyak manusia yang mempraktekkan
perkongsian jenis ini diberbagai tempat tanpa ada yang menyangkal.
Adapun
ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, Imamiyah, Laits, Abu Sulaiman, dan Abu
Tsun berpendapat bahwa perkongsian semacam ini tidak sah (batal) dengan alasan
bahwa perkongsian semacam ini tidak memiliki unsur modal dan pekerjaan yang
harus ada dalam suatu perkongsian. Selain itu, akan mendekatkan pada munculnya
unsur penipuan sebab perkongsian mereka tidak dibatasi oleh pekerjaan tertentu.
Berdasarkan
pendapat yang pertama membolehkan perkongsian ini, keduanya dibolehkan
mendapatkan keuntungan masing-masing setengah atau lebih dari setengah sesuai
dengan persyaratan yang disepakati.
Dalam
segi keuntungan, hendaklah dihitung berdasarkan perkiraan bagian mereka dalam
kepemilikan, tidak boleh lebih dari itu sebab perkongsian ini didasarkan pada
kadar tanggung jawab pada barang dagangan yang mereka beli, baik dengan harta
maupun pekerjaan. Dengan demikian keuntunganpun harus diukur berdasarkan
tanggung-jawab, tidak boleh dihitung melebihi kadar tanggungan masing-masing.
4. Syirkah ‘amal atau abdan
Perkongsian
a’mal adalah persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan yang akan
dikerjakan secara bersama-sama. kemudian keuntungan dibagi diantara keduanya
dengan menetapkan persyaratan tertentu. Perkongsian jenis ini terjadi, misalnya
diantara dua orang penjahit, tukang besi, dan lain-lain. Perkongsian ini
disebut juga dengan perkongsian shana’I dan taqabbul.
Perkongsian
jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan
alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan
keuntungan. Selain itu perkongsian tidak hanya terjadi pada harta, tetapi dapat
juga pada pekerjaan, seperti dalam mudharabah.
Namun
demikian ulama Malik menganjurkan syarat untuk keshahihan syirkah itu, yaitu
harus ada kesatuan usaha. Mereka melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan
keduanya berbeda, kecuali masih ada kaitannya satu sama lain, seperti usaha
penenunan dan pemintalan. Selain itu, keduanya harus ada ditempat yang sama.
jika berbeda tempat, syirkah ini tidak sah. Persyaratan lainnya hendaklah
pembagian keuntungan harus sesuai dengan kadar pekerjaan dari orang yang
bersekutu.
Ulama
hanabilah membolehkan perkongsian jenis ini sampai pada hal-hal yang mubah
seperti pengumpulan kayu bakar, rumput, dan lain-lain. Hanya saja mereka
dilarang kerjasama dalam hal mencari makelar.
Ulama
Syafi’iyah, Imamiyah, Zafar dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa syirkah
semacam ini batal karena syirkah ini dikhususkan pada harta dan tidak
pada pekerjaan. Mereka beralasan antara lain bahwa perkongsian dalam pekerjaan
mengandung unsur penipuan sebab salah seorang sekutu tidak mengetahui apakah
temannya bekerja atau tidak. Selain itu, kedua orang tersebut berbeda dalam
segi postur tubuh, aktivitas, dan kemampuannya.
Begitu
pula dilarang bahkan mubah menurut Hanafiyah perkongsian dalam pekerjaan,
seperti mencari kayu, berburu, dan lain-lain, sebab perkongsian ini mengandung
unsur perwakilan padahal perwakilan tidak sah dalam perkara mubah sebab
kepemilikannya dengan penguasaan.
F. Mengakhiri syirkah
Syirkah
akan
berakhir apabila terjadi hal-hal berikut :
1. Salah
satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan yang lainnya sebab syirkah
adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak
yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya
lagi. Hal ini menyebutkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu
pihak.
2. Salah
satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (keahlian mengelola
harta), baik karena gila ataupun Karena alasan lainnya.
3. Salah
satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari
dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan
terus hanyalah untuk anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris
angota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka
dilakukan perjanjian baru bagi ahli warisyang bersangkutan.
4. Salah
satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada
waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
5. Salah
satu pihak jatuh yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’I
Hanbali. Hanafi berpandapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan
perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
6. Modal
para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat
dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri.
apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa
dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah
masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.[15]
Berakhirnya syirkah dapat dikarenakan oleh hal-hal
yang dapat membatalkannnya, perkara yang membatalkan syirkah terbagi
atas dua ha. Ada perkara yang membatalkan syirkah secara umum dan
adapula yang membatalkan sebagian yang lainnya.
1. Pembatalan
syirkah secara umum
a. Pembatalan
dari salah seorang yang bersekutu
b. Meningalnya
salah seorang syarik
c. Salah
seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
d. gila
2. Pembatalan
secara khusus sebagian syirkah
a. Harta
syirkah rusak.
b. Tidak
ada kesamaan modal.[16]
G. Pengaplikasian syirkah
1. Pengaplikasian
syirkah dalam perbankan syari’ah
1.) Pembiayaan
proyek
Syirkah
atau
musyarokah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek ldimana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah
proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang
telah disepakati untuk bank.
2.) Modal
ventura
Pada
lembaga keuangan khusus yang diperbolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan, musyarokah atau syirkah diterapkan dalam
skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untukk jangka waktu tertentu dan
setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara
singkat maupun bertahap.
2. Problematika
Pengaplikasian
syirkah dalam perbankan syari’ah mengenai pembiayaan proyek dan
modal ventura tidak menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dimana salah
satu pihak melakukan kesalahan dalam perkongsian. Seperti dalam pembiayaan
proyek dimana nasabah mengembalikan dana tidak sesuai dengan yang telah
disepakati sebelumnya atau bahkan tidak mengembalikan sama sekali, begitupun
halnya dengan modal ventura.
3. Penyelesaian
Penulis
akan menjelaskan alternatif penyelesaian sengketa dalam perikatan atau
perjanjian syari’ah, menurut penjelasan pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syari’ah, yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut :
1.) Musyawarah
2.) Mediasi
perbankan
3.) Melalui
badan arbitrase
4.) Melalui
pengadilan dalam lingkup pengadilan umum
Dalam
pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 dan pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008, pada prinsipnya
persoalan ekonomi syari’ah merupakan kompetensi absolute peradilan agama, namun
menurut asas kebebasan berkontrak yang dibuat oleh para pihak, yaitu dapat
diselesaikan secara musyawarah mediasi perbankan, arbitrase syari’ah atau
arbitrase lain (misalnya Badan Arbitrase Nasional/BANI) atau melalui pengadilan
umum.
Untuk
itu asas kebebasan berkontrak yang merupakan asas utama dalam hukum perjanjian
berlaku dalam hal ini. Kebebasan berkontrak mengandung arti bahwa para pihak
bebas untuk menentukan isi perjanjian, bentuk perjnjian, dan mekanisme
penyelesaian sengketa. Walaupun penyelesaian sengketa perbankan termasuk dalam
ranah hukum perjanjian namun dengan diundangkannya UU pebankan syari’ah forum penyelesaian
sengketa yang dapat dijadikan alternative bagi para pihak sudah diatur.
Mengenai
penyelesaian sengketa melalui bada arbitrase di Indonesia ada beberapa lembaga
arbitrase yang ada yaitu Badan Arbitrase Nasional (BANI), Badan Arbitrase
Mu’amalah Indonesia (BAMUI), yang kemudian diganti menjadi Badan Arbitrase Syari’Ah Nasional
(BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).[17]
III. PENUTUP
A. Simpulan
Syirkah atau perkongsian
merupakan bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu
usaha tertentu, dimana ada pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan
kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak yang terkait. Syirkah dibagi
menjadi dua macam yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud. Dimana syirkah
amlak dibagi menjadi dua bentuk yaitu syirkah amlak ikhtiyar dan syirkah
amlak ijbar. Sedangkan mengenai pembagian syirkah uqud ulama berbeda
pendapat mengenai bentuknya. Akan tetapi, menurut jumhur ulama pembagian dari syirkah
uqud yaitu perkongsian ‘inan, perkongsian mufawidhah,
perkongsian abdan, perkongsian wujuh. Suatu kerjasama dapat
dikatakan syirkah apabila telah memenuhi rukun dari syirkah tersebut
yaitu adanya para pihak dan ijab qabul.
Pengaplikasian syirkah sendiri mengalami
kemajuan seiring semakin majunya perkembangan zaman. Pengaplikasian tersebut
dapat ditemukan di ranah perbankan seperti pembiayaan proyek dan modal ventura.
Kendala dalam kerjasama yang dilakukan antara Bank dan nasabah tidak menutup
kemungkinan terjadi. Maka alternative yang dapat dipakai untuk menyelesaikan
kendala atau sengketa adalah dengan musyawarah, mediasi perbankan, melalui
badan arbitrase, melalui pengadilan dalam lingkup pengadilan umum.
B. Kritik dan saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai syirkah.
kami menyadari banyak kekurangan penulisan, maka dari itu kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan sebagai referensi kami dalam
penulisan makalah kedepan. Harapan penulis, semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca.
[1] Mardani. Hukum Perikatan
Syari’ah di Indonesia. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2013). Hal. 52
[2] Hamzah Ya’qub. Kode Etik
Dagang Menurut Islam. ( Bandung :Diponegoro, 1984). Hal. 259
[3] Hendi suhendi. Fiqih
Mu’amalah. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011). Hal. 125
[4] Mardani. Ibid. Hal. 160
[5] Rahmat syafei. Fiqih
Muamalah. (Bandung : Pustaka Setia, 2001). Hal. 183
[6] Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar
Fiqih Muamalah. (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001). Hal. 99
[7] Hendi suhendi. Ibid. Hal.
125-126
[8] Rahmat syafei. Ibid Hal. 183-185
[9] Mardani. Ibid. Hal. 161
[10] Rahmat syafei. Ibid. Hal.
155-156
Hendi
suhendi. Ibid. Hal. 127
[11] Qamarul Huda. Fiqih
Mu’amalah. ( Yogyakarta : Teras, 2011). Hal. 101
[12] Rahmat syafei. Ibid. Hal. 186
[13] Hendi suhendi. Ibid. Hal.
127-129
[14] Rahmat syafei. Ibid. Hal.
186-188
[15] Hendi suhendi. Ibid. Hal.
133-134
[16] Rahmat syafei. Ibid. Hal. 201
[17] Mardani. Hukum Perikatan
Syari’ah di Indonesia. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2013). Hal. 249-274.
DAFTAR
PUSTAKA
Mardani, 2013, Hukum
Perikatan Syari’ah di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
Hendi suhendi, 2011, Fiqih
Mu’amalah, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rahmat syafei, 2001, Fiqih
Muamalah, Bandung : Pustaka Setia.
Teungku Muhammad Hasbi,
2001, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Hamzah Ya’qub, 1984, Kode
Etik Dagang Menurut Islam, Bandung :Diponegoro.
izin copas
BalasHapusBISA BUATKAN MAKALAH MENGENAI ITLAF KAH
BalasHapusTERIMAKASIH kak. atas ke baik kan kakak
BalasHapusTERIMA KASIH
BalasHapus