PENGERTIAN
HUKUM DALAM PARADIGMA
POSITIVISME DAN HUKUM ISLAM
Makalah
Di buat Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat
Hukum Islam
Dosen Pengampu : Abu Hapsin, Ph. D
Di susun oleh :
Iqoatur Rizkiyah (132211100)
Inna Syaukah (132211038)
Mochamad Sabidin (132211056)
M. Agus Prasetyo (122211051)
M. Fahmi Afif (132211…)
Siyasah Jinayah
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
Positivis merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang
menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Positivisme
merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar dan menolak nilai kognitif dari suatu filosofis
atau metafisik. Dapat pula
dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu hendaknya
semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif artinya
peristiwa-peristiwa yang dialami
oleh manusia.[1]
Jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan kepada pengadilan yang unfair
jelaslah hukum di suatu negara tidak akan pernah bersentuh dengan keadilan yang
sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide kepastian hukum yang sering digaungkan
oleh kaum positivisme tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab
kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Oleh sebab itu perlu kiranya
menghapus pemikiran yang selalu mengindentikkan hukum sebagai undang-undang
saja. Secara ilmiah dapat dikatakan tidak benar bahwa kepastian hukum segera
muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat. Pemikiran positivisme hukum
lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad ke 18. Sebelumnya
masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau
customary law. Sebaliknya, positivisme kental dengan ide pendokumenan
dan pemformalan hukum.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
itu paradigma positivisme, sejarah dan perkembangannya?
2.
Bagaimana
hukum dari sudut pandang positivisme dan Islam?
3.
Bagaimana
hukum sebagai kesepakatan sosial?
4.
Hukum islam, paduan
antara kesepakatan sosial yang partikular/lokal dalam firman Allah yang
universal/etrenal!
III.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Paradigma Positivisme, Sejarah dan Perkembangannya
Positifisme berasal dari kata “positif”. Kata positif ini sama artinya
dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan dengan fakta-fakta. Menurut positivisme,
pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Positivitisme
berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun lebih
mengutamakan pada pengalaman.[2]
Positivisme
diartikan sebagai campuran dari berbagai sikap seperti:
a.
Saintisme,
bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang berharga
b.
Naturalisme,
bahwa ada satu kesatuan metode ilmiah yang berlaku untuk ilmu-ilmu sosial
maupun ilmu-ilmu alam
c.
Kausalitas
atau hubungan sebab akibat, berasumsi bahwa hubungan antara x dan y secara umum
adalah keduanya perlu dan cukup untuk membicarakan tentang kausalitas.
d.
Suatu
asumsi bahwa penjelasan menurun rangkaian kebutuhan untuk prediksi (dan
sebaliknnya),
e.
Suatu
penolakan terhadap penjelasan-penjelasan berkaitan dengan keadaan-keadaan
mental atau subjektif (seperti niat atau motif-motif tindakan),
f.
Suatu
kecenderungan untuk lebih menyukai kuantifikasi dan analisis statistic yang
canggih dan rumit, dan terakhir, pembedaan yang tajam antara fakta-fakta dan
nilai.[3]
Ø Sejarah Paradigma Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857).
Setidaknya ada tiga tahapan kunci dalam sejarah positivisme:
1.
Pada
abad ke-19, tempat utama dalam positivism pertama diberikan pada Sosiologi,
walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori perngetahuan yang diungkakan
oleh Comte dan tentang logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, Saint Simon E.Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.
Pada
awal abad ke-20, mengacu pada positivisme logis seperti yang dikembangkan di Vienna
(Wina) dan Cambridge.
3.
Pada
pertengahan abad ke-20, mengacu pada model deduktif-nomologisnya Ernest Negel dan
Carl Hempel.
Positivisme abad ke-19 berkait sangat erat dengan kemunculan dan kemapanan sosiologi sebagai satu disiplin ilmiah yang otonom dan
seperti yang diindikasikan dengan menyerap berbagai pertanyaan tentang sifat
metode ilmiahnya dan kekhasan upaya kajian sosiologis. J.S. Mill, Herbert
Spencer, dan Durkheim adalah beberapa diantara intelektual abad ke-19 yang bersimpati terhadap proposal artikel-artikel utama Comte meski tetap
mempertahankan jarak kritis terhadap cara Comte menghasilkan proposal itu.
Sebagian besar tokoh positivis abad ke-19 percaya bahwa penjelasan yang non-spekulatif dan
ilmiah mengenai dunia sosial dan akan membantu mewujudkan suatu masyarakat yang lebih teratur dan adil. Seperti positivisme awal, salah satu perhatian
utamanya mengenai positivisme yang muncul diVienna dan Cambridge pada awal abad ke-20 adalah untuk membedakan filsafat dari
metafisikan, tetapi, tidak seperti pendahulunya, positivisme berusaha
melakukannya dengan bantuan analisis logis yang rumit dan canggih. Sebagian
besar positivis logis mengikuti teori pengetahuan fenomenalis yang menyatakan
bahwa basis dari ilmu pengetahuan terletak pada pengamatan-pengamatan indrawi.
Sementara positivisme abad ke-19 terkait sangat erat dengan sosiologi,
positivisme logis yang muncul pada awal abad ke-20 di Vienna dan di Cambridge hampir-hampir
tidak mempunyai kaitan semacam itu.[4]
Diantara kalangan Vienna, hanya Otto Neurath yang memberi perhatian khusus pada
ilmu-ilmu pengetahuan sosial, komitmennya terhadap “fisikalisme” (yang
menyatakan bahwa berbagai fenomena sosial atau psikologis pada akhirnya harus
dijelaskan kembali dalam bahasa fisika) melahirkan satu pandangan yang aneh
tentang sosiologi (karena hanya mempelajari mengenai perilaku) dan mengenai
penjelasan-penjelasan sosial (karena mengenyampingkan beberapa acuan-acuan
keadaan-keadaan mental atau subjektif), sehingga dengan demikian pengaruh
Neurath terhadap ilmu-ilmu sosial tetap terbatas (Neurath 1944, 1973,
1983: 58-90).
Model deduktif nomologis Negel dan Hempel, memiliki pengaruh yang lebih
signifikan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan sosial, menyajikan suatu pandangan
yang rapi dan langsung tentang pembentukan dan penguraian teori ilmiah, yang
bisa diterapkan baik untuk ilmu-ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu-ilmu
pengetahuan alam. Seperti rekan zamannya Karl Popper (tetapi tak seperti positivisme
awal), mereka memandang teori-teori ilmiah sebagai upaya-upaya deduktif, yang
dengannya hipotesis-hipotesis empiris disimpulkan dari hukum-hukum umum dan
kondisi-kondisi awal (misalnya, Hempel 1965).[5]
Positivisme Sosiologis
Akar dari pemikiran positivisme ini dapat ditemukan dalam
ajaran filsafat Yunani, misalnya ajaran Epicurus. Namun
aliran positivis di dalam ilmu hukum mendapat inspirasi dari positivitas
sosiologis, baik dari filosofi Prancis Auguste Comte (1798-1857) maupun dari
Herbert Spencer (1820-1903). Olehnya itu sebelum membicarakan tentang positivitas
Yuridis di dalam ilmu hukum, terlebih dahulu membicarakan positivistis
sosiologis. Comte sebagai bapak sosiologi modern melihat
bahwa di antara semua ilmu, masih dibutuhkan adanya ilmu baru mengenai manusia
dan masyarakat manusia. Itulah yang dikenal sebagai : sosiologi atau sering
juga disebutnya filsafat positif.
Inti ajaran comte adalah bahwa, terdapat kepastian adanya
hukum-hukum perkembangan yang menguasai roh manusia dan segala gejala hidup
bersama, dan itulah secara mutlak.
Menurut Comte hukum-hukum itu tampak dalam tiga tahap
perkembangan yang dilalui oleh semua masyarakat:
a. Tahap teologis di mana manusia percaya pada kekuatan-kekuatan Illahi
dibelakang gejala-gejala alam.
b. Tahap metafisis dimulainya kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran
teologis. Ide-ide telogis diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika.
c. Tahap positif dimana gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu ide
alam yang abstrak. Di situ satu gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapatkan
hukum-hukum antar mereka, hukum-hukum itu tidak lain suatu relasi yang kontans
di antara gejala-gejala.[6]
Menurut Comte, manusia merupakan makhluk
sosial yang berkembang mengikuti hukum-hukum sosial dalam sejarah. Comte
melihat, positivisme sebagai tahap perkembangan yang terakhir.
Tetapi pada akhir hidupnya, Comte berubah pendapat, bahwa
sosiologi ilmiah membutuhkan perlengkapan, yaitu agama universal. Bagi Comte,
agama yang akan mengantarkan umat manusia ke dalam suatu solidaritas internasional
antar semua bangsa.
Conte mengemukakan bahwa:
“a priori, metaphysical speculation had no validity and
that knowledge can be acquired solely as the result of the use of scientific
method based on observation. Theories should be subjected to a rigorous process
or empirical investigation . science could provide humanity with ideals and
moral guidance.”
Herbert Spencer, mengikuti ajaran evolusi
Darwin, tetapi diterapkannya ke dalam masyarakat. Menurut Spencer,
prinsip-prinsip evolusi yang berlalu bagi perkembangan biologis, juga berlaku
bagi perkembangan hidup manusia di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Spencer melihat bahwa seperti
organisme-organisme alam yang semakin berkembang hingga timbul makhluk-makhluk
dari berbagai jenis yang berbeda, maka demikian juga organisme-organisme
masyarakat manusia yang semakin berkembang hingga timbullah suatu kehidupan
bersama yang semakin berkembang hingga timbullah suatu kehidupan bersama yang
heterogen (berbeda jenis) dan penuh diferensiasi. Oleh karena itu teori Spencer
disebut juga Darvinisme Sosial.
Baik Comte maupun Spencer, tidak mengakui adanya hukum
selain yang dibuat oleh negara (hukum positif).
1. Esensi Positivistis Yuridis
Esensi Positivisme Hukum menurut H.L.A Hart
(1986: 253) adalah :
a. That laws are commands of human beings (hukum adalam perintah)
b. That there is no necessary connection between law and morals or law as it
is and it ought to be (tidak ada keutuhan untuk menghubungkan hukum dengan
moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan).
c. That the analysis or study o meaning of legal concepts is an important
study to be distinguished from (ghough in now way hostile to) hstorical
inquires, sociological in quiries and the critical apparaisal of law iin terms
or morals, social ims, function (analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum
adalah suatu study yang penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari
studi sejarah, studi sosiologi dan penilaian kritis dalam makna moral,
tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial).
d. That a legal system is a closed logical system in which correct decisions
can be duduced from predetermined legal rules by logical means alone. (sistem hukum adalah sistem tertutup yang
logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara
logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya).[7]
e. That moral judgments cannot be established, as statements of fact can, by
rational argument , evidence or proof (non congnitivism in ethics). (penghukuman secara moral tidak lagi dapat
ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun
pembuktian dengan alat bukti.)
Menurut Hart, Bertham dan Austin menganut
pandangan yang sama tentang esensi positivisme untuk huruf a, b, dan c tetapi
tidak pada butir d dan e. Sedangkan Kelsen menganut pandangan yang sama untuk butir
b, c, dan e, tetapi tidak butir a dan d. Jadi Hart memasukan Betham ke dalam penganut
positivisme, demikian juga Hans Kelsen.
2. Ajaran Jhon Austin
Penganut aliran positivis yang terpenting adalah Jhon Austin (1790-1859). Inti ajaran Jhon Austin dapat penulis
ikhtisarkan dalam beberapa butir berikut:
a. Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau dalam bahasa aslinya: law...
was the command of sovereign. Bagi Austin: No, low, no sovereign ; and no
sovereign, no law.
b. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, yaitu yang
diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.
c. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovereignty) mewarnai
hampir keseluruhan dari ajaran Austin. Hal mana dapat diikhtisarkan sebagai
berikut:
1) Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut
negara yang bersifat internal maupun eksternal
2) Sifat eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional,
sedangkan sifat internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif
3) Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap kedaulatan
negara itu berbeda-beda sesuai kebutuhan subyeknya
4) Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara dengan ketaatan
terhadap ancaman penodong misalnya. Hal tersebut membedakan di antara keduanya
adalah legimitasi. Kedaulatan negara berdasarkan legimitasi (di dasarkan pada
undang-undang) yang berlaku dan diakui secara sah. Pada ketaatan terhadap
kedaulatan negara, subyeknya merasakan a moral duty to obey (ada
kewajiban moral untuk mentaatinya).[8]
B.
Definisi Hukum Dalam Sudut Pandang Positivisme dan Islam
Untuk memahami bagaimana sudut pandang dalam positivime dan Islam.
Terlebih dahulu kita perlu tahu mengenal istilah atau pengertian dari hukum itu
sendiri.
Hukum mempunyai arti yang sangat luas. Adapun tokoh hukum yang
memberikan statement keluasan hukum adalah Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. (1) Ilmu pengetahuan,
yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran; (2) Disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi; (3) Norma, yakni pedoman atau perikelakuan yang
pantas atau diharapkan; (4) Tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat
norma-norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk
tertulis; (5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer); (6)
keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi; (7) Proses pemerintahan, yaitu
proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari system kenegaraan;
(8) Sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang
diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian;
(9) Jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang
apa yang dianggap baik dan buruk.[9]
·
Hukum dalam sudut pandang positivisme
Dalam kaitannya dengan positivisme hukum maka perlu dipisahkan
secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, yang
seterusnya. Antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata positivis, tiada
hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lewgvers). Bahkan,
bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama Legisme, undang-undang
lebih tegas, bahwa hukum itu identic dengan undang-undang.[10]
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum
Positif Analistis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut
positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh Jhon Austin dan (2) Aliran Hukum Murni (reine
Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme yuridis yang dikembangkan oleh
Hans Kelsen.
1.
Aliran
Positivisme Sosiologis : Jhon Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum itu
sendiri, menurut Austin terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang
sebagai suatu system yang tetap, logis, dan tertutup.[11]
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: (1) hukum
dari Tuhan untuk manusia (The divine laws), dan (2) hukum yang dibuat
oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan lagi
dalam:
(1)
Hukum
yang sebenarnya, disebut juga hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh
penguasa dan hukum yang disusun secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya
(2)
Hukum
yang tidak sebenarnya, hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur,
yaitu : (1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3)
kewajiban (duty), (4) kedaulatan (sovereignty)[12]
2.
Aliran
Positivisme Yuridis: Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang
nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran
inilah yang kemudian dikenal dengan teori hukum murni. Jadi hukum adalah suatu sollens
kategorie, bukan seins kategorie. Kelsen mendasarkan pemikirannya
pada Neokantianisme yang menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk
dan isi. Suatu hukum berurusan dengan bentuk bukan isi. Jadi keadilan sebagai
isi hukum berada diluar hukum. Selain teori hukum murni, Kelsen juga
mengambangkan teori jenjang. Teori ini melihat hukum sebagai suatu system yang
terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Dimana norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Norma yang paling
tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebuh dengan nama groundnorm (norma
dasar) atas urpsprungnorm.[13]
·
Hukum dalam sudut pandang Islam
Hukum Islam merupakan serangkaian kesatuan dan bagian integral dari
ajaran agama Islam yang memuat seluruh ketentuan yang mengatur perbuatan
manusia, baik yang manshush dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, maupun yang
terbentuk lewat penalaran. Hukum Islam mempunyai dua sifat; Pertama, bersifat
stabil (ats-tsabat) yaitu berupa wahyu Allah yang tetap dan tidak
berubah sepanjang masa. Kedua, yang dapat berkembang (at-tathawwur) yaitu
yang dapat berkembang, tidak kaku dalam berbagai situasi dan kondisi sosial.[14]
Untuk mempermudah uraian tentang hukum dalam perspektif Islam, kami
akan menguraikannya dari dua sudut pandang, yaitu dari al-Qur’an dan fuqaha’:
1.
Al-Qur’an
Prof.
K.H Ali Yafie dalam hal konsepsi hukum dalam al-Qur’an berpendapat bahwa,
secara garis besar, di dalam al-Qur’an memuat tiga hukum: a. hukum alam, b.
hukum sejarah, c. hukum syaiah.
a.
Hukum
alam, yakni ketentuan-ktentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang
mengatur segala makhluk di alam raya ini.
b.
Hukum
sejarah, hukum sejarah sebetulnya masih termasuk kategori sunnatullah. Karena sunnatullah
yang diperkenalkan oleh al-Qur’an tidak terbatas ketentuan-ketentuan yang
mengatur akan kematian saja, tetapi juga menjangkau alam non materi yang oleh
ilmu pengetahuan disebut dengan hukum sejarah. Hal ini sebagaimana al-Qur’an
menyebutkan sunnatullah dengan formulasi sunnatul awwaliin, sunnata
man qad arsalna, sunnatulladzina min qablikum, yang semuanya berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami para Nabi/ Rasul, para pelaku
sejarah, umat dan tempat-tempat bersejarah dari umat terdahulu. Kaitan antara
hukum sejarah dan hukum syariah nampak jelas, dimana hukum sejarah sangat
membantu proses terbentuknya suatu hukum, dan juga latar belakang sejarah yan
mendorong kehadiran hukum tertentu.
c.
Hukum
syari’ah, hukum syari’ah secara garis besar ada tiga bagian.
Pertama al ahkam al syra’iyah al ittiqodiyah (teologi islam), al
ahkam as syar’iyah al huluqiyah (tasawuf atau akhlak) al ahkam as
syar’iyah al amaliyah (ilmu fiqh).
Dari uraian tersebut kita bisa menarik kesimpulan
bahwa Al Quran memberikan definisi hukum dengan konsepsi yang integral. Karena
terpadu hukum-hukum syariah dengan hukum-hukum kauniyah, sebagaimana terpadunya
antara aqidah/keimanan dan moral dengan hukum amaliyah.
Selanjutnya definisi
hukum dalam Al quran akan dikaji dari sisi etimologisnya, hukum itu sendiri berasal
dari bahas arab ‘’hukm’’ mempunyai makana yang lebih luas. makna
hikmahyang mengarah pada pengertian ‘’wisdom’’ dalam bahasa inggris.
Hali ini dapatdilihat dari firman Allah yang menggambarkan tugas seorang nabi
atrau utusan Allah.
Qs. Al-Imran : 79
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7–Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã
’Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»/u‘ $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqß™â‘ô‰s? ÇÐÒÈ
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al
Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi
(dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena
kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Dan juga pada ayat lain difirmankan, Qs. Al-Baqarah : 129
$uZ/u‘ ô]yèö/$#ur öNÎg‹Ïù Zwqß™u‘ öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.t“ãƒur 4
y7¨RÎ) |MRr& Ⓝ͕yèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
“Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan
Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Dari kedua ayat di atas ditarik pemahaman bahwa hukum adalah peraturan
tentang kehidupan sosial manusia yang mengandung ‘’wisdom’’.
2. Fuqaha’
Para fuqaha dalam
merumuskan definisi hukum tidak ada keseragaman. Adapun hukum secara etimologis
didefinisiskan.
اثبات شي ء على شيء او نفيه عنه
“Menetapkan sesuatu
atas sesuatu, atau meniadakan sesuatu dari padanya”
Sedang ulama ushul
fiqih mndifinisikan sebagai berikut:
خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين بالاقتضا
اوالتخيير اوالوضع
“Firman Allah yang
behubungan dengan perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan,menerangkan
kebolehan,atau menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang bagi
sesuatu hukum.”
C. Hukum Sebagai Kesepakatan Sosial
Ketika hukum sebagai suatu kesepakatan adakalanya hal tersebut mengarah
kepada kehidupan sosial. Maka, berangkat dari situlah terdapat pada aliran
sosiologi. Aliran sosiologi ini memandang hukum sebagai kenyataan sosial bukan
sebagai suatu kaidah. Untuk membandingkan persamaan dan perbedaan antara
pandangan kaum positivis dengan kaum sosiologis di bidang hukum. Persamaan
antara positivism dan sosiologisme adalah keduanya terutama memusatkan
perhatian pada hukum tertulis atau perundang-undangan. Kemudian, untuk perbedaanya
adalah sebagai berikut:
a. Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah-kaidah yang tercantum dalam
perundang-perundangan, sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan
sosial. Dengan kata lain, kaum positivis melihat “law in books” sedang
kaum sosilogis memandang “law in action”.
b. Positivism memandang hukum sebagai sesuatu yan gotonom atau mandiri,
sedangkan sosiologis hukum memandang hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor non
hukum yang ada dalam masyarakat, seperti faktor ekonomi, politik, budaya,
sosial dan sebagainya.
c. Positivism hanya mempersoalkan hukum sebagai “das sollen” sedang
sosiologisme sebagai “das sein”
d. Positivism cenderung berpandangan yuridis-godmatik, sedang sosiologisme
hukum berpandangan empiris.
e. Metode yang digunakan kaum positivistis adalah preskriptif, yaitu menerima
hukum positif dan penerapannya. Sedang metode sosiologisme hukum adalah
deskriptif.[15]
Menurut Durkheim
kontrol sosialis dapat dibayangkan mungkin untuk bisa dicapai secara sukarela
apabila sosialisme itu sendiri dipaami secara lebih tepat sebagai sesuatu yang
berasal dari kumpulan keputusan para individu dalam sebuah masyarakat.[16]
Di dalam suatu masyarakat yang oleh maclever (the
web of goverment, 1954) digambarkan sebagai sarang laba-laba, terdapat
berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang bertujuan untuk
tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Pola pikir manusia
mempengaruhi sikapnya yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan.
Dan dalam masyarakat pasti terdapat adanya kebutuhan
yang tidak setiap individu dapat menerima, karna kebutuhan yang tidak selalu
sama, oleh karan itu diperlukan adanya kaidah-kaidah atas suatu aturan agar
segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Ciri yang menonjol dari hukum
mulai tampak pada penciptaan norma-norma hukum yang “murni”, yaitu yang dibuat
secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus
ditugasi untuk menjalankan pembuatan hukum itu.seringkali para ahli hukum
menganggap bahwa perbedaan yang pokok anatra kaidah hukum di satu pihak dengan
kaidah-kaidah sosial lainya dan kaidah agama terletak pada bahwa kaidah hukum
itu dapat dipaksakan berlakunnya karna didukung oleh suatu kekuasaan (negara),
semakin besar terdapatya perbedaan antara kaidah hukum dengan peri kelakuan
yang nyata, makin besar pula kekuasaan yang diperlukan untuk memaksakan
berlakunya kaidah tersebut.[17]
Dalam masyarakat pada umumnya memiliki baik lembaga
hukum maupun maupun lembaga non hukum. Tedapat dua ukuran untuk memebedakan
lembaga hukum dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan lainya, pertama, lembaga
hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang cara-cara menyelesaikan
perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Kedua, lembaga hukum
mencakup dua jenis ketentuan, yaitu penetapan kembali aturan-aturan lembaga non
hukum dan aturan yang mengatur akivtas lembaga-lembaga hukum itu sendiri.[18]
Dalam sebuah kasus hukum kita pasti kan mengenal
adanya pemutusan hukuman, dan dalam putusan hukuma itu menutut john stuart
mill, sumber dari kesadran keadilan itu bukan terletak pada kegunaan untuk
memepertahankan diri dan persaan simpati:
“Menurut mill, keadilan bersumber pada naluri manusia
untuk menolak membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun
oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan kaan
memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya tas dasar kepentingan
individual, melainkanlebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang
kita samakandengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian
mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat
manusia.” (satjipto rahardjo, 1982:241; bodenheimer, 1974:86).[19]
Konsepsi hukum sebagai “sarana” yang menjadi
kesepakatan sosial (masyarakat) yang dituangkan dalam undang-undang, dan supaya
pelaksanaan perundang-undang yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat
berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu
sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran sosiological jurisprudence yaitu
hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Kaitan
yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata
bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.[20]
D. Hukum Islam Paduan Antara Kesepakatan Sosial Yang Partikular
dan Firman Allah Yang Universal
1. Hukum Islam dan Sosial
Fiqih tidak hanya
kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga
masih gagap mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan
metode hukum yang viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah
tersebut. [21]
Dalam persepektif umum
setidaknya ada tiga level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi
fiqih. Pertama, level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi
terhadap teks-teks fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab
secara metodologis; dan verifikasi ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu‘).
Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu dekonstruksi (al-qat’iyah
al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rifi). Kedua,
pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari upaya formalisasi dan
legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika sosial. Ketiga,
pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih sebagai yang selalu terbuka
terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori sosial kontemporer.
Sebagai langkah awal
upaya rekonstruksi fiqih, tulisan berikut menjelaskan sebuah tawaran solusi
metode fiqih, yaitu a univied approach to shari’ah and social inference.
Secara sederhana,
metode ini berusaha menjembatani dan memadukan pendekatan tekstual (normatif)
dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara simultan dalam model
penelitian ilmiah yang Islami.
2. Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam perspektif ushul
fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad,
yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi) dan
istislahi (teleologis).[18] Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini,
merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban
fiqih dari masa ke masa.
Pola ijtihad bayani
adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Usaha ini
mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya
bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks.
Sebagai pengembangan,
sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking, metode ini
dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan
produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi
produktif yang dikemukakan oleh Gadamer.
Interpretasi produktif
sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya
interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Namun, upaya ini sepertinya tidak
begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya
mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan
diminatinya metode ini. Upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian
status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal dilakukan mampu
memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam
ranah terbatas.
Kemudian pola ijtihad
ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke
kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dasar rasional aplikasi pola ini
adalah adanya keyakinan kuat muj tahid yang melakukan qiyas mengenai adanya
suatu atribut (wasf). Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala
persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas
(asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas dengan sendiri menjauhkannya dari
nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach bagi sebuah metode,
yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, suigeneris, dan
ngawang-ngawang, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode
penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan
tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik). Upaya
penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada
pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis
sosial.
Istilah yang tidak
pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh tersebut adalah
kalimat هنأدلتهاالتفصيليت. Ini memberi kesan sekaligus
membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih
dari pada analisis teks. definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum
dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in
book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup (living law) kurang
mendapatkan tempat dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya analisis
sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak
menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode
penemuan hukum Islam selama ini. Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih
berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat
sui-generis.
Menurut sebagian
pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi
dalam praktek tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) merupakan
karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi
kajian tertentu. Kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode
penemuan hukum seperti ini telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan
hukum Islam dalam merespon perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik
yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai
akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan
akan selalu tertinggal di belakang sejarah.
Adanya upaya metodologi
baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani
problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan
hukum Islam.
3. Pendekatan Terpadu Hukum Islam Dan Sosial
Krisis metodologi
keilmuan Islam, yang berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas dianggap sebagai
persoalan yang harus segera mendapatkan terapi intelektual. Akan tetapi,
kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata ditutup atau diganti dengan
menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal itu disebabkan karena metode dan
pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis epistemologis
yang tidak kalah akutnya.
Yang perlu dicatat
bahwa integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik[34] dari Islam klasik
dan Barat modern, tetapi lebih sebagai reorientasi seluruh bidang pengetuhuan
kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar Islam.
Apa yang coba diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards A Unified Approach to
Shari’ah and Sosial Inference dan tokoh lain, [35] adalah dalam kerangka
tersebut di atas. bagaimana wahyu juga mengandung suatu rasionalitas tertentu
dan bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber
pengetahuan.[36]
Menurutnya, ilmu dan
aktifitas ilmiah adalah akibat dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya
ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar
motivasional. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika,
wahyu) dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu sosial adalah pendapat yang
tidak dapat dibenarkan.
Lebih jauh bagaimana
upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah metodologis dari
upaya mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas (empirisitas) itu
menjadi mungkin dilakukan? Kedua inferensi tersebut dilakukan dengan suatu
prosedur inferensi yang khas, sebagaimana dijelaskan Safi sebagai berikut:
1) Prosedur Inferensi Tekstual
Prosedur inferensi
tekstual ini dimaksudkan untuk menderivasi aturan-aturan dan konsep-konsep dari
wahyu secara sistematis dan memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati
dalam prosedur ini, yaitu:
·
Mengindentifikasi teks
(al-Qur‘an dan Sunnah) yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas, mencakup
pula analisis dan pendalaman linguistik secara tematis.
·
Memahami (menafsirkan)
makna teks secara memadai dan relevan baik secara individual (leksikal) maupun
dengan yang lain (secara kontekstual).
·
Menjelaskan (ta’lil)
terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efisien (‘illah) yang menjadi dasar
adanya perintah atau petunjuk dalam teks.
·
Membangun suatu aturan
dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai dengan proses
abstraksi terus-menerus, sehingga hasil derivasi dari teks itudimasukkan ke
dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi.
Sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan
konsep yang berhasil diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup memadai
untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan.
Pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal,
aplikasinya terhadap kasus partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi
lebih lanjut. Kedua, aplikasi aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang
syarat-syarat yang ada. Aplikasi aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis
dari suatu aksi bersesuaian dengan kondisi aktualnya. Berdasarkan hal itu
diperlukan suatu studi terlebih dahulu terhadap aksi dan interaksi manusia
sebelum suatu aturan wahyu diimplementasikan.
2) Prosedur Inferensi Historis
·
Menganalisis aksi
individu yang termasuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Maksud
yang ingin diketahui di sini adalah tujuan, motif dan aturan aksi tersebut.
Tujuan adalah seluruh obek yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah
dorongan psikologis aktor. Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis
(hukum-hukum sosial) yang harus diikuti untuk mencapai tujuan.
·
Mengklasifikasi
berbagai bentuk atau tipe aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya
(tujuan, motif dan aturannya).
·
Mengidentifikasi
aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompok yang
diidentifikasi pada langkah kedua.
Sistematisasi aturan
universal didapatkan dari langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk
menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang dihasilkan.
·
Analisis teks atau
fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan (wacana) dan
aksi (fenomena).
·
Pengelompokkan
pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori.
·
Mengidentifikasi
aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori.
·
Identifikasi aturan dan
tujuan general membangun interaksi berbagai kategori.[22]
IV.
KESIMPULAN
Positivisme adalah paham atau aliran filsafat ilmu
pengetahuan modern yang memicu pesatnya perkembangan sains di satu sisi dan
menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat di sisi lain. Aliran
ini menyatakan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar. dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Paham ini
memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma yang
diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala
sesuatu yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu
pengetahuan jika mengikuti paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan
ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris.
Aliran positivisme mengidentikkan hukum dengan undang
undang. Satu satunya sumber hukum adalah undang undang. Aliran hukum positif
yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver
(perintah dari pembentuk undang undang atau penguasa), yaitu suatu perintah
dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi. Hukum dianggap sebagi sistem
yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system) Hukum
secara tegas dipisahakan dari moral. Jadi berkaitan dengan keadialan dan tidak
didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk. Kaitan yang erat antara
hukum dan nilai –nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang
baik tidak lain adalah hukum mencerminkan nilai-nilai hidup dalam masyarakat.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of
empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan
mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam
selama ini. Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam
metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan
dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut
gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in
book oriented kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat
dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan
tertinggal di belakang sejarah.
V.
PENUTUP
Alhamdulillah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam
pembuatan tulisan dalam bentuk makalah ini. Dan juga pemakalah sadar akan
banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap
kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para
pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun
bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah
kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Aburaera, Sukarno. dkk. 2014. Filsafat Hukum: Teori dan Praktik. Jakarta:
Kencana.
Anshari, Endang Saifudin. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya:
Bina Ilmu Surabaya.
Anshari, Ari dan Slamet Warsidi. 1991. Fiqih Indonesia Dalam Tantangan. Surakarta:
FIAI-UMS.
Coulson, Noel James. 1969. Conflict and Tension in Islamic
Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Nasution, Muhammad Syukri Albani. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Prenada. Jakarta:
Media Jakarta.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2011. Ilmu Hukum dan
Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung
: Mandar Maju.
Rudyansjah, Tony. 2015. Emile Durkheim. Jakarta
: PT Kompas Media Nusantara.
Tumer, Bryan S. 2012. Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmodern. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
Internet :
[1] Endang Saifuddin
Anshari, Ilmu Filsafat
dan Agama, ( Surabaya: Bina Ilmu
Surabaya, 1987), hlm. 99
[2] Juhaya S
Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Prenada, (Jakarta: Media
Jakarta, 2003), hlm. 133
[3] Bryan S. Turner, Teori Sosial
dari Klasik Sampai Postmodern, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2012), hlm.
76
[6] Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 95
[9] Muhammad
Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2013), hlm. 27
[10] Kajian hukum
yang klasik ini disebut positive jurisprudence dalam bahasa Inggris, atau yang
secara lebih ekstrem pernah disebut eine reine rechtslehre di dalam bahasa
Jerman oleh Hans Kelsen. Dalam perkembangannya, khususnya di Amerika Serikat
sepanjang abad ke -20, the classical positive jurisprudence yang berkonsentrasi
pada kajian tentang norma-norma hukum as it written in the book.
[11] Dalam bukunya The province of lurisprudence
Determinal, Austin menyatakan “A law is a command which obliges a persons… Laws
and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige
inferiors”. Lebih jauh Austin menjelaskan. Kekuasaan dari superior itu memaksa
orang lain untuk taat. Dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan orang lain
pada keinginannya.
[12] Sukarno
Aburaera, dkk. Filsafat Hukum: Teori dan Praktik. (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 108
[13] Ibid, hlm.
110
[14] Ari Anshori
dan Slamet Warsidi, Fiqih Indonesia Dalam Tantangan (Surakarta:
FIAI-UMS, 1991) hlm 23
[15] Teguh
Prasetyo, Ibid, hlm. 121
[16] Tony
Rudyansjah, Emile Durkheim, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2015),
hlm 29.
[17] Lili Rasjidi Dan Ira
Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum. (Bandung : Mandar Maju,
2007). Hlm 40-45.
[18] Ibid. hlm
49
[19] Ibid. hlm.
61
[20] Ibid, hlm.
81
[21] Noel James Coulson, Conflict
and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University
of Chicago Press, 1969), hlm 58-76
[22] Untuk poin (D.
Hukum Islam Hukum Islam Paduan Antara Kesepakatan Sosial Yang Partikular dan Firman
Allah Yang Universal) mengutip pada makalah Nihayatul Ifadhoh dkk yang di ambil
dari internet file:///D:/Neha%20Iefaza%20%20HUKUM%20dalam%20PARADIGMA%20POSITIVISME%20dan%20HUKUM%20ISLAM.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar