‘URF
Dibuat
guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu : Ahmad Munif

Disusun
oleh:
Ahmad
Haidar (132211076)
Amin
Mukhlisin (132211077)
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
Safar
Utomo (132211079)
FAKULTAS
SYARI`AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Islam merupakan agama
wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga
tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan
lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam
al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S.Waqar Ahmed Husaini
mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk
dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan
batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad
SAW. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam
sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para
sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah
penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode
Ushul Fiqh untuk meng-Istinbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
Berikut dalam makalah ini penulis akan memaparkan salah satu dari metode Ushul
Fiqih untuk mengistinbathkan hukum yaitu ‘Urf.
2. Rumusan masalah
1. Apa
pengertian ‘Urf ?
2. Bagaimana dasar hukum ‘Urf ?
3. Apa
saja syarat-syarat ‘Urf ?
4. Bagaimana
kedudukan ‘Urf dalam hukum Islam?
5. Sebutkan
macam-macam ‘Urf dan bagaimana penjelasannya?
6. Apa
saja permasalahan ‘Urf ?
3. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan makalah ini adalah :
1. Mengetahui
pengertian ‘Urf
2. Mengetahui
dasar hukum ‘Urf
3. Mengetahui
syarat-syarat ‘Urf
4. Mengetahui
kedudukan ‘Urf
5. Mengetahui
macam-macam ‘Urf beserta penjelasannya
6. Mengetahui
permasalahan ‘Urf
II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian
dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, diterima
oleh pikiran yang sehat.[1]
pengertian
‘urf menurut ahli fiqih ialah
مَا تَعَارَفَهُ النَّاسُ
وَسَارُواعَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْتَرْكٍ وَيُسَمَّى اْلعَا دَةُ
“sesuatu yang telah
saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik
berupa perkataan, perbuatan, ataupun sikap meninggalkan sesuatu. Disebut juga
adat kebiasaan”.[2]
‘Urf
merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan
dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama
ushul fiqih, ‘Urf disebut adat (adat kebiasaan).[3]
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nasafi dari kalangan Khanafi, Ibnu Abidin,
Al-Rahawi dalam Syarh Kitab Al-Manar dan Ibnu Nujaim dalam kitab Al-Asyibah
Wa Al-Nazhair berpendapat bahwa ‘Urf sama dengan adat tidak ada perbedaan
antara keduanya, namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan Al-Bazdawi
membedakan antara adat dengan ‘Urf dalam kedudukannya sebagai suatu dalil untuk
menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘Urf adalah kebiasaan
mayoritas kaum, baik dalam perkataan aaupun perbuatan. Dalam pengertian ini
adat lebih luas dibandingkan ‘Urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘Urf, tetapi
tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam
makan, berpakaian, tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut
‘Urf. Tetapi dari sisi yang lain ‘Urf lebih umum disbanding adat, sebab, adat
hanya mencakup perbuatan, sedangkan ‘Urf mencakup perbuatan dan ucapan
sekaligus.[4]
Seperti dalam salam (jual-beli dengan pesanan) yang
tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli adalah pada saat jual
beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak
penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang
akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual-beli dilakukan, baru ada
dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu
dibolehkan.[5]
2. Dasar hukum ‘Urf
Para ulama memandang ‘Urf sebagai salah satu dalil
untuk mengistinbathkan hukum Islam hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan
ulama. Ada juga sebagian ulama yang memperkuat kehujjahan ‘Urf dengan dalil
Al-Qur’an dan Hadits. Mereka mengemukakan ayat 199 surat Al-A’raf sebagai
dalilnya :
خذ العفو امر بالعرف واعرض عن
الجاهلين
“jadilah
enkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh”.
Diantara hadits yang dijadikan kehujjahan ‘urf
adalah hadits yang diriwayatkan jama’ah selain Tirmidzi yang menceritakan kisah
pengaduan hindun perihal sifat bakhil suaminya, Abu Sufyan dalam pemberian
nafkah, beliau bersabda :
خذي
ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambillah
(ambillah dari harta suamimu) kadar yang cukup untukmu dan anakmu menurut
ukuran yang cukup”
Nafkah yang ma’ruf dari hadits ini adalah kadar
nafkah yang biasa berlaku pada masyarakat arab pada saat itu. Dan juga hadits
mauquf dari Ibnu Abbas :
ماراه المسلمون حسنا فهوعندالله حسن
“apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dipandang baik pula disisi Allah”[6]
Abdul karim Zaidan mengkritik penggunaan ayat dan
hadits diatas bagi kehujjahan ‘Urf, dan mengatakan sebagai dalil yang lemah.
Sebab kata Al-‘Urf dalam ayat diatas berarti kebaikan yang diperintahkan oleh
syara’ dan wajib mengamalkannya. Sementara hadits diatas adalah hadits mauquf,
dan hanya berhenti pada Ibnu Mas’ud yang lebih tepat dijadikan sebagai argument
kehujjahan ijma’ bukan kehujjahan ‘Urf. Disamping dalil-dalil tersebut, para
ulama menggunakan ‘Urf sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan
‘Urf :
a. Kita
mendapati Allah dan meresipir ‘Urf-‘Urf orang arab yang dipandang baik.
b. ‘Urf
pada dasarnya disandarkan pada salah satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah.
c. Para
ulama dari masa kemasa telah menggunakan ijma’ sebagai dalil atau hujjah hukum
Islam. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama mengakuinya sebagai dalil.[7]
3. Syarat-syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru
dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila
memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
a.
‘Urf tersebut harus benar-benar merupakan
kebiasaan mayarakat.
b.
‘Urf tersebut masih tetap berlaku pada saat
hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut ditetapkan. Jika ‘Urf telah berubah,
maka hukum tidak dapat dibangun diatas ‘Urf tersebut.
c.
Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak
memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
d.
‘Urf tidak
bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut
tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan
dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila
tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.[8]
4. Kedudukan ‘Urf
Disamping memiliki kedudukan penting dalam penetapan
hukum ‘Urf juga memiliki kedudukan penting dalam penerapan suatu hukum,
sebagaimana diketahui hukum Islam memiliki dua sisi yaitu, sisi penetapan
(istinbath) dan sisi penerapan (tathbiq). Keduanya bisa berjalan parallel bisa
juga tidak. Artinya suatu produk hukum adakalanya dapat diterapkan secara
langsung tanpa mempertimbangkan kemaslahatan lokus dimana hukum terebut
diterapkan, dan ada kalanya tidak dapat diterapkan, karena tidak sesuai dengan
kemaslahatan masyarakat ditempat dimana hukum Islam tersebut akan diterapkan.
Dalam kaitan ini’Urf menjadi dasar bagi penerapan suatu hukum.
Segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah
tidak menjelaskan kadarnya, maka ukurannya dikembalikan kepada ‘Urf, seperti
ukuran besarnya mahar, besarnya mut’ah bagi istri yang dicerai suaminya, upah
bagi buruh atau pembantu rumah tangga disuatu tempat dan lain-lain.[9]
5. Macam-macam ‘Urf
Para
ulama fiqih membagi ‘Urf menjadi tiga macam :
a. Dari
segi objeknya, ‘urf dibagi kepada: Al ‘Urf Al-Lafzhi (kebiasaaan yang
menyangkut ungkapan dan Al ‘Urf Al- Amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan)
·
Al-‘Urf
Al-Lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna ungkapan
itulah yang dipahami dan terlintas dalam pemikiran masyarakat. Misalnya
ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata-kata daging mencakup
seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan
penjual itu memiliki berbagai macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya
membeli daging satu kilogram,” pedagang itu langsung membelikan daging sapi,
karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaaan kata
daging pada daging sapi.
Apabila
dalam memahami ungkapan itu diperlukan indicator lain, maka tidak dinamakan ‘urf.
Misalnya seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya ada tongkat
kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat
ini.” Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh
tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti ini menurut Abdul
Aziz Al-Khayyath (guru besar fiqih dari Universitas Aman, Yordania), tidak
dinamakan ‘urf, tetapi termasuk dalam Majaz (metafora).
·
Al-‘Urf
Al-‘Amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan yang dimaksud “perbuatan biasa”
adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait
dengan kepentingan orang lain seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu
minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum
minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam
acara khusus.
Adapun
yang berkaitan dengan mu’amalah perdata ialah kebiasaan masyarakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat
dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu dilantarkan pembeli oleh
penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar seperti lemari es dan peralatan rumah tangga
lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat
dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang tanpa adanya
akad secara jelas, seperti yang berlaku dipasar-pasar swalayan. jual beli
seperti ini dalam fiqih Islam disebut dengan bay’u al-mu’athah.
b. Dari
segi cakupannya, ‘Urf dibagi dua yaitu Al-‘Urf Al-Am (kebiasan
yang bersifat umum) dan Al-‘Urf Al-Khash (kebiasaan yang bersifat
khusus)
·
Al-Urf Al-Am
adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan
diseluruh daerah. misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang digunakan
untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk
dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
·
Al-‘Urf Al-Khash
adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu. Misalnya
dikalangan pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli
dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya
dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut.
Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.
Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku dikalangan pengacara hukum bahwa jasa
pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh
kliennya. ‘urf khas seperti ini menurut Musthafa Ahmad Al-Zarqa, tidak
terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan situasi
dan kondisi masyarakat.
c. Dari
segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi menjadi dua yatu Al-Urf
Al-Shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan Al-‘Urf Al-Fasid (kebiasaan
yang dianggap rusak)
·
Al-Urf Al-Shahih
adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula memberikan mudlarat kepada mereka. Misalnya
dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita
dan hadiah ini tidak dianggap sebagi mas kawin.
·
Al-‘Urf Al-Fasid
adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara’. Misalnya kebiasaan yang berlaku dikalangan
pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjamam uang antara sesama
pedagang. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat
tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis,
menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan (H.R Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad
Ibnu Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku
dizaman jahiliayah yang dikenal dengan sebutan Riba’ Al-Nasi’ah (riba
yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini,
menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam kategori Al-‘Urf Al-Fasid.[10]
6. Permasalahan ‘Urf
‘Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan
dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli
ushul fiqh merincinya sebagai berikut:
a. Pertentangan ‘Urf dengan
nash yang bersifat khusus.
Apabila pertentangan ‘Urf dengan nash yang bersifat
khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘Urf
tidak dapat diterima. Misalnya,
kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi
itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila
ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat
diterima.
b. Pertentangan ‘Urf
dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila ‘Urf telah ada
ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘Urf
al-lafzhi dengan ‘Urf al-‘amali, apabila ‘Urf tersebut adalah
‘Urf al-lafzhi, maka’Urf tersebut bias diterima. Sehingga nash
yang umum itu dikhususkan sebatas ‘Urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut,
dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di
khususkan oleh ‘Urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual
beli, diartikan dengan makna ‘Urf, kecuali ada indikator yang
menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
c. ‘Urf yang terbentuk
belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘Urf tersebut.
Apabila suatu ‘Urf terbentuk setelah datangnya nash yang
bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama
fiqih sepakat menyatakan ‘Urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi
(ucapan ) maupun yang bersifat amali (praktik), sekalipun ‘Urf tersebut
bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’,
karena keberadaan ‘Urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum
secara umum.[11]
III.
SIMPULAN
‘Urf adalah salah satu metode Ushul
Fiqih untuk mengistinbathkan hukum, dan merupakan sesuatu yang telah saling
dikenal oleh manusia yang mana mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik
berupa perkataan, perbuatan, atau pun sikap meninggalkan sesuatu. ada yang
mengatakan bahwa ‘Urf adalah adat dan ada pula yang membedakannya dalam hal
penerapan hukum. Suatu ‘Urf dapat dijadikan hukum apabila ia memenuhi beberapa
syarat yaitu Urf
tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan mayarakat, ‘Urf tersebut masih
tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut ditetapkan,
Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang
terlibat didalamnya, ‘Urf tidak bertentang dengan nash.
Urf
dibagi menjadi beberapa macam yaitu dari segi objeknya : Al
‘Urf Al-Lafzhi (kebiasaaan yang menyangkut ungkapan dan Al ‘Urf Al-
Amalil (kebiasaan yang berbentuk perbuatan), Dari segi cakupannya : ‘Urf
dibagi dua yaitu Al-‘Urf Al-Am (kebiasan yang bersifat umum) dan Al-‘Urf
Al-Khash (kebiasaan yang bersifat khusus), dan dari segi keabsahannya dari
pandangan syara’‘urf dibagi menajadi dua yaitu Al-Urf Al-Shahih (kebiasaan
yang dianggap sah) dan Al-‘Urf Al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang ‘Urf yang telah penulis
paparkan. Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan
pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat
bagi kita semua
DAFTAR
PUSTAKA
A
Hanafi, Ahmad, 1970, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Abdul
Salam, Zarkasji, Oman Fathurohman SW, 1994, pengantar Ilmu Fiqih Usul Fiqih
1, Yogyakarta : Lembaga Studi Filasafat Islam.
umar,
Mu’in Dkk. Ushul Fiqih 1, 1986, Jakarta : Direktorat Jendral Pembianaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.
Suwarjin,
2012, Ushul Fiqih, Yogyakarta : Penerbit Teras.
Haroen,
Nasrun, 1997, Ushul Fiqih 1, Jakarta :Logos Wacana Ilmu.
Khalaf,
Abdul Wahab, 1996, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Gema Risalah Press.
Khalaf,
Abdul Wahab, 1972, Kaidah-kaidah
Hukum islam, Bandung : Risalah.
[1]
A Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta : Bulan Bintang,
1970). Hal. 77
[2]
Zarkasji Abdul Salam, Oman Fathurohman SW. pengantar Ilmu Fiqih Usul Fiqih
1. ( Yogyakarta : Lembaga Studi Filasafat Islam, 1994). Hal. 118-119
[3]
Mu’in umar Dkk. Ushul Fiqih 1. ( Jakarta : Direktorat Jendral Pembianaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986 ). Hal. 150
[4]
Suwarjin. Ushul Fiqih. (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2012) Hal. 148-149
[5]
Mu’in umar Dkk. Op. Cit. Hal. 150
[6]
Suwarjin. Op. Cit. Hal. 151-152
[7]
Suwarjin. Ushul Fiqih. (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2012) Hal. 152-153
[8]
Suwarjin. Ibid. Hal. 154
[9]
Suwarjin. Ibid. Hal. 154-155
[10]
Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1. (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 1997). Hal.
139-141.
Zakarsji Abdussalam, Oman Fathurrahman. Op. Cit. Hal. 119
Mu’in umar Dkk. Op. Cit. Hal. 151-152
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqih. ( Bandung
: Gema Risalah Press, 1996). Hal. 149-150
Abdul wahab khalaf. Kaidah-kaidah Hukum islam.
( Bandung : Risalah, 1972). Hal. 132-133
Suwarjin. Op. Cit. Hal. 149-151
[11]
http://rasyidakbarsuryawan.blogspot.com/2012/11/hukum-urf.html.
Diakses tanggal 20 April 2015 pukul 11.50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar