PENGAKUAN DALAM PEMBUNUHAN
MAKALAH
Dibuat
guna Memenuhi Tugas :
Mata
Kuliah : Hadits Ahkam Pidana dan Politik
Dosen Pengampu : A.
Fatah Idris

Disusun
oleh:
Sofiani
Novi Nuryanti (132211078)
FAKULTAS
SYARI`AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Pembunuhan adalah tindakan yang
dilakukan manusia untuk menghilang kan nyawa, atau hilangnya nyawa manusia
akibat tindakan manusia lainnya, baik disengaja atau tidak, baik menggunakan
alat atau tidak. Dalam islam perilaku pembunuhan diharamkan dalam
agama, dan mendapat sanksi yang sesuai dengan pembunuhannya. Dalam islam ada
tiga jenis pembunuhan yaitu Pembunuhan
yang dilakukan dengan sengaja, yaitu
merencanakan pembunuhan dalam keadaan jiwa sehat dan penuh kesadaran; pembunuhan yang
terjadi tanpa sengaja dengan alat yang tidak mematikan; pembunuhan
karena kesalahan atau kekhilafan semata-mata tanpa direncanakan dan tidak ada
maksud sama sekali, misalnya kecelekaan. Setiap jenis
pembunuhan mempunyai sanksi
masing-masing, baik dia pembunuhan sengaja, tidak sengaja, ataupun tersalah.
Islam turun dengan menyiapkan
paket-paket hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan pembunuhan. Walaupun
relitanya kejahatan ini tidak dapat sepenuhnya hilang dari muka bumi, minimal
hukum islam mengurangi kejahatan yang merebak. Mengenai pembunuhan sendiri ada
tiga jenis yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan tanpa sengaja dan pembunuhan
karena kesalahan. Dalil tentang pembunuhan dapat dilihat dalam firman
Allah yang artinya “Dan tidak layak
bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa yang membunh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada pembunuhnya yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (siterbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (sipembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana” (Qs. An-Nisa : 92-93).
Akan tetapi tidak semua pelaku pembunuhan mengakui
perbuatannya. Berikut penulis akan memaparkan mengenai pelaku pembunuhan yang mengakui
perbuatannya serta sanksi yang dapat dijatuhkan.
B. Rumusan
masalah
- Sebutkan hadits tentang pengakuan dalam pembunuhan!
- Bagaimana isi kandungan hadits tentang pengakuan dalam pembunuhan?
C. Tujuan
Mengetahui hadits tentang pengakuan
dalam pembunuhan, serta mengetahui isi kandungan hadits agar dapat menentukan hukuman
yang dijatuhkan untuk seseorang yang mengaku sebagai pembunuh.
II.
PEMBAHASAN
A. Hadits
tentang pengakuan dalam pembunuhan
Wail
ibn Hujur ra. Menerangkan :
اِنِّي لَقَاعِدٌ مَعَ
النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذْ جَاءَ رَجُلٌ
يَقُوْدُاَخَرَبِنِسْعَةَ, فَقَالَ يَارَسُوْلُ اللهِ , هَذَاقَتَلَ أَخِيْ ,
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَتَلْتَهُ ؟ فَقَالَ :
اِنَّهُ لَوْلَمْ يَعْتَرِفْ اَقُمْتُ عَلَيْهِ اْلبَيّنَةَ. قَالَ: نَعَمْ ,
قَتَلْتُهُ ؟ قَالَ كُنْتُ اَنَا
وَهُوَيَحْتَطِبُ مِنْ شَجَرَةٍ فَسَبَّنِى , فَأَغْضَبَنِى فَضَرَبْتُهُ بِالْفَأٌسِ عَلَى قَرْنِهِ, قَتَلْتُهُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَلْ لَكَ مِنْ شَيْءٍ تُؤَدِّيْهِ عَنْ نَفْسِكَ ؟ قَالَ : مَلِى
مَالٌ, إِلاَّ كِسَا نِي وَفأْسِى قَالَ فَنَرَى قَوْمَكَ يَشْتَرُوْنَكَ ؟ قَالَ
: أَنَا اَهْوَنُ عَلَى قَوْمِى مِنْ ذَلِكَ. فَرَمَى اِلَيْهِ بِنِسْعَتِهِ, وَ
قَالَ : دُوْنَكَ صَا حِبَكَ قَالَ : فَانْطَلَقَ بِهِ الرَّجُلُ, فَلَمَّاوَلِىَّ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْ قَتَلَهُ
فَهُوَمِثْلُهُ فَرَجَعَ, فَقَالَ : يَارَسُوْلُ
اللهِ, بَلَغَنِى أَنَّكَ قُلْتَ : اِنْ قَتَلَهُ فَهُوَمِثْلُهَ وَاَخَذْ تُهُ
بِاَمْرِكَ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَمَاتُرِيْدُاِنْ يِبُوْءَ بِاثْمِكَ وَإِثْم
صَا حِبَكَ ؟ فَقَالَ : يَانَبِىَّ اللهِ,
لَعَلَّهُ, قَالَ : بَلَى, قَالَ فَاِنَّ ذَلِكَ كَذَلِكَ قَالَ : فَرَمَى
بِنِسْعَتِهِ, وَخَلَّى سَبِيْلَهُ.
“Dikala
saya sedang duduk dimajlis Nabi SAW datang seorang laki-laki dengan menghela
seorang laki-laki lain, yang diikatnya dengan tali kulit. Orang itu berkata :
ya Rasulullah, orang ini telah membunuh saudara saya. Nabi bertanya :apakah
benar engkau telah membunuhnya? Laki-laki yang menuduh menjawab :jika ia tidak
mengaku saya akan menghadirkan saksi. Si tertuduh menjawab : benar saya telah membunuh.
Nabi bertanya :bagaimana cara engkau membunuh? si tertuduh menjawab : saya dan
si korban tengah mengumpulkan kayu bakar dari sebatang pohon. Dia memaki saya
yang menimbulkan amarah saya, dan saya pukul dia dengan kampak dibatang
lehernya, dan dia tewas. Nabi bertanya : apa engkau mempunyai sesuatu sebagai
diat? Dia menjawab : saya tak memiliki apa-apa selain sehelai kain dan kampak
ini. Nabi bertanya : apa kaum engkau mau (membeli engkau) membayar diat? Dia
menjawab : saya tidak berharga dimata mereka. Maka Nabi pun melemparkan tali
kulit kepada si penuduh dengan mengatakan : bawalah temanmu ini . orang itupun
dibawanya. Dikala dia telah pergi Rosulullah : jika dia membunuhnya maka dia
sama seperti sipembunuh. Mendengar itu sipenuduh kembali kepada Nabi dan
berkata : ya Rasulullah saya mendengar anda mengatakan jika dia membunuhnya
maka dia sama seperti si pembunuh. Padahal aku membawanya atas perintah anda ya
Rasulullah. Nabi bersabda :apakah engkau tidak menginginkan dia kembali membawa
dosa engkau dan dosa teman engkau. Orang itu menjawab : mudah-mudahan demikian.
Maka orang itu melemparkan tali kulit dan membebaskan si tertuduh.[1]
وَحَدَّ
ثَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّ ثَنَاسَعِيْدُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّ ثَنَاهُشَيْمٌ
أَخْبَرَنَاإِسْمَاعِيْلُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ
اَبِيْهِ قَالَ اُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجٌلٍ
قَتَلَ رَجُلاً فَأَقَدَ وَلِيَّ اْلمَقْتُوْلِ مِنْهُ فَانْطَلَقَ بِهِ وَفِي
عُنُقِهِ نِسْعَةٌ يَجُرُّهَا فَلَمَّاأَدْبَرَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلقَتِلُ وَاْلمَقْتُوْلُ فِي النَّارِفَأَتَى
رَجُلٌالرَّجُلَ فَقَالَ لَهُ مَقَالَةَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَخَلَّى عَنْهُ. قَالَ إِسْمَاعِيْلُ بْنُ سَالِمٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِحَبِيْبِ بْنِ أَبِيْ ثَابِتٍ فَقَالَ حَدَّثَنِيْ ابْنُ أَشْوَعَ اَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّمَا سَأَلَهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ فَأَبَى.
“Dan
Muhammad bin Hatim telah memberitahukan kepadaku, Sa’id bin Sulaiman telah
memberitahukan kepada kami, Husyaim telah memberitahukan kepada kami, Isma’il
bin Salim telah mengabarkan kepada kami, dari Alqamah bin Wail, dari ayahnya
(Wail)berkata, seorang laki-laki yang telah membunuh orang lain dihadapkan
kepada Rasulullah SAW. Pihak ahli waris bersikukuh untuk mengqishashnya, maka
iapun diseret dengan tambang yang diikatkan dilehernya. Ketika ia menjauh maka
Rasulullah SAW bersabda, “pembunuh dan orang yang dibunuh akan mesuk neraka.”
Seorang laki-laki bergegas menemui pihak ahli waris tdi dan menyampaikan sabda
Rasulullah SAW kepadanya. Maka iapun membebaskannya. Isma’il bin Salim berkata
“aku menuturkan hadits ini kepada Habib bin Tsabit. Dan iapun berkata Ibnu Sywa
telah memberitahukan kepadaku saat itu Nabi Muhammad SAW meminta kepadanya
(ahli waris) agar memaafkannya, tetapi ia menolak”[2]
B. Isi
kandungan hadits
Dalam
hadits yang pertama terdapat hadits yang semakna dengan hadits ini yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Al-Mundziry
menyandarkan riwayat Abu Dawud itu kepada Muslim dan An-Nasaiy, berdasarkan
maknanya yang mirip. Pernyataan ikrar (pengakuan) yang diberikan oleh
sipelaku, sudah cukup untuk membebaskannya dari hukuman qishash. Tak ada
perbedaan pendapat diantara pendapat ulama tentang masalah ikrar (pengakuan)
ini. Ikrar dipandang cukup dilakukan oleh si tertuduh, apabila pengakuan itu
dianggap benar dan tak ada halangan apapun dalam dia memberikan pengakuan.[3]
Perkataannya
“datang seorang laki-laki dengan menghela seorang laki-laki lain, yang
diikatnya dengan tali kulit. Orang itu berkata : ya Rasulullah, orang ini telah
membunuh saudara saya. Nabi bertanya :apakah benar engkau telah membunuhnya?
Laki-laki yang menuduh menjawab :jika ia tidak mengaku saya akan menghadirkan
saksi. Si tertuduh menjawab : benar saya telah membunuh. Nabi bertanya
:bagaimana cara engkau membunuh?si tertuduh menjawab : saya dan si korban
tengah mengumpulkan kayu bakar dari sebatang pohon. Dia memaki saya yang
menimbulkan amarah saya, dan saya pukul dia dengan kampak dibatang lehernya,
dan dia tewas.”
Dalam
hadits ini terdapat beberapa faidah diantaranya :
1. Kecaman
yang keras diantara para pelaku tindak kriminal
2. Bolehnya
memborgol para pelaku tindak kriminal dan menghadapkan mereka pada hakim
3. Menginterogasi
terdakwa agar mengakui perbuatannya, sehingga pendakwa dan hakim tidak bersusah
payah mendatangkan saksi. Alasan lainnya karena ketetapan hukum berdasarkan
pengakuan pihak terdakwa itu menghukumi dengan dasar yang bersifat pasti,
sedangkan yang bersifat saksi itu hukum dengan persangkaan kuat saja.
4. Hakim
boleh meminta ahli waris korban agar memaafkan pihak terdakwa.
5. Boleh
memaafkan pelaku tindak kriminal meskipun perkaranya sudah dilimpahkan kepada
hakim.
6. Boleh
meminta diyat dalam kasus yang
dilakukan dengan sengaja dan terencana. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW didalam hadits ini “apakah kamu memiliki sesuatu yang dapat kamu
serahkan sebagai tebus dirimu?”
7. Menerima
pengakuan pelaku dalam kasus disengaja dan terencana.
Perkataanya
“lelaki itupun mengikutinya. Ketika itu Raulullah SAW bersabda “jika lelaki
itu membunuhnya maka ia juga pembunuh sepertinya. Sementara aku membunuhnya
atas perintahmu” Rasulullah SAW bersabda “maukah dosamu dan dosa saudaramu yang
terbunuh itu gugur?” lelaki itu berkata “wahai Nabiyullah” barangkali ia
mengatakan “tentu” beliau bersabda “begitulah seharusnya” perawi berkata
“kemudian lelaki membuang tambang yang melilit leher sipembunuh dan
membebaskannya”. Dalam riwayat lain disebutkan,” maka iapun diseret
dengan tambang yang diikatkan dilehernya. Ketika iamenjauh maka Rasulullah SAW
bersabda, “ pembunuh dan orang yang dibunuh akan masuk neraka”.
Rasulullah
SAW bersabda “jika lelaki itu membunuhnya maka ia juga pembunuh sepertinya”.
Takwil yang benar adalah bahwa ahli waris tidak berbeda dengan orang yang
membunuh saudaranya itu, keduanya tidak ada kesamaan dalam hal kebaikan, jika
membalasnya dengan membunuh pelaku. Berbeda jika ahli waris itu memberinya
ampunan, maka ia akan mendapatkan kebaikan, pahala yang banyak diakhirat kelak
dan pujian atas kebaikannya didunia. Ada yang mengatakan bahwa keduanya
sama-sama sebagai pembunuh, meskipun berbeda dalam segi hukumnya (pembuhuhan
yang pertama hukumnya haram, sedangkan pembunuhan yang kedua hukumnya boleh
karena merupakan bentuk qishash), tetapi keduanya sama dalam hal
menuruti amarah dan hawa nafsunya, apalagi sebelumnya Rasulullah SAW memintakan
ampunan kepadanya. Rasulullah SAW mengatakan perkataan ini secara jujur dan
benar dengan menyelipkan tujuan yang baik, yaitu agar ahli waris bersedia
memberi ampunan, karena hal itu memberi manfaat bagi hali waris sendiri dan
saudaranya yang terbunuh, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “maukah dosamu
dan dosa saudaramu yang terbunuh itu gugur?” dan juga bermanfaat bagi
pembunuh karena ia selamat dari hukuman mati. Sebab, pemberian ampunan ini
hanya dapat dicapai dengan cara ta’ridh (sindiran), maka beliaupun
menggunakan cara ini. Adh-Dhamri dan
ulama lainnya dari madzhab kami menyatakan, bahwa sangat dianjurkan bagi
seorang mufti (pemberi fatwa) untuk menggunakan cara sindiran yang benar dan
jujur jika ia memang melihat kemaslahatan bagi sipeminta fatwa. Seperti
seseorang yang bertanya tentang nasib seorang pembunuh, apakah ada kesempatan
taubat baginya? Sementara mufti memahami gelagat kurang baik dalam diri
sipenannya, jika si mufti menjawab “ ia memiliki kesempatan untuk bertaubat”
maka akan terjadi pembunuhan berikutnya. Artinya ia telah membuka lebar pintu
pembunuhan, karena setiap pembunuh akan menemukan jalan keluar dari perbuatan
kejinya. Dalam kondisi seperti ini seorang mufti harus mengutip pernyataan Ibnu
Abbas tiada kata taubat bagi seorang pembunuh. Ia berkata jujur dan benar bahwa
itu adalah ucapan Ibnu Abbas, meskipun mufti tidak sejalan dan juga tidak
sependapat dengan Ibnu Abbas dalam masalah ini. Tetapi saat mendengar jawaban
itu pihak penannya akan memahami bahwa mufti sejalan dengan Ibnu Abbas,
sehingga iapun mengurungkan niatnya untuk membunuh.
Dalam
hadits kedua, Rasulullah SAW bersabda “pembunuh dengan orang yang dibunuh
akan masuk neraka”. Pernyataan ini tidak ditujukan kepada mereka berdua
yang disebutkan dalam hadits. Bagaimana mugkin pernyataan ini menyinggung
mereka berdua, padahal lelaki tersebut mengikuti pelaku untuk membunuhnya atas
perintah Rasulullah SAW? Tetapi pernyataan ini ditujukan untuk selain mereka
berdua, yaitu jika dua orang muslim bersenjata berkelahi dalam peperangan yang
haram seperti tawuran dan yang lainnya, maka orang yang membunuh dan terbunuh
akan masuk neraka. Berarti, perkataan ini adalah sindiran sebagaimana
penjelasan diatas. Faktor yang mendorong beliau SAW menggunakan pernyataan ini
sudah saya sebutkan disana. Yaitu agar sang ahli waris memahami bahwa dirinya
masuk dalam pernyataan itu, sehingga ia mengurungkan niat untuk membunuhnya dan
itulah yang diharapkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah
SAW bersabda “maukah dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh itu gugur?”ada
beberapa kemungkinan tentang arti pernyataan ini, salah satunya bahwa orang
yang membunuh menanggung dosa-dosa orang yang ia bunuh, karena ia telah
menghilangkan nyawanya, dan ia juga menanggung dosa-dosa ahli warisnya, sebab
ia telah kehilangan saudaranya. Dalam hal ini pernyataan Rasululah SAW ini
berdasarkan wahyu yang telah ia terima. Kemungkinan lain, artinya ialah bahwa
ampunanmu kepada orang yang telah membunuh saudaramu adalah penyebab dosa
saudaramu dan dosamu diampuni oleh Allah. Dosa-dosa teesebut adalah dosa-dosa
yang lalu sebab kemaksiatan yang mereka kerjakan, bukan yang berhubungan dengan pembunuhan. Al- Qadhi berkata, “hadits
ini menunjukkan bahwa hukuman mati sesorang tidak dapat menghapus semua
dosa-dosanya, meskipun Allah telah menjamin dosa orang itu dihapus sebagaimana
dalam hadits lain, tetapi masih tetap ada dosa yang berhubungan dengan orang
yang dibunuh.[4]
Pemberian
maaf dari ahli waris terbunuh tidak lantas membebaskan pembunuh dari sanksi.
Apabila ahli waris tidak menuntut hukuman Qishash ataupun ta’zir kepada
pembunuh maka hakim yang menentukan hukuman bagi pelaku pembunuhan. Hal ini
dilakukan untuk melindungi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[5]
III.
PENUTUP
A.
Simpulan
Menetapkan
hukuman Pengakuan dalam pembunuhan merupakan menghukumi seseorang dengan dasar yang bersifat pasti. Kedua hadits
tersebut menunjukkan bahwa sebaiknya keluarga korban memaafkan pembunuh dan
tidak mengqisasnya. Selain itu, hadit tersebut juga mengandung makna bahwa
bolehnya memborgol para pelaku tindak kriminal dan menghadapkan mereka pada
hakim, menginterogasi terdakwa agar mengakui perbuatannya, hakim boleh meminta
ahli waris korban agar memaafkan pihak terdakwa, boleh memaafkan pelaku tindak
kriminal meskipun perkaranya sudah dilimpahkan kepada hakim, boleh meminta diyat
dalam kasus yang dilakukan dengan
sengaja dan terencana, menerima pengakuan pelaku dalam kasus disengaja dan
terencana.
B.
Kritik dan saran
Demikian yang dapat penulis paparkan
mengenai pengakuan dalam pembunuhan, penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat di harapkan
sebagai referensi kami dalam penulisan makalah kedepan. Harapan penulis, semoga
makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan pembaca.
[1] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shidieqy. Koleksi Hadits-Hadits Hukum jilid 4. ( Semarang : Pustaka
Riski Putra, 2002). Hal. 312
Imam
An-Nawawi. Syarah Shahih Muslim jilid 8.( Jakarta : Darus Sunnah Press,
2013). Hal. 319-320.
[2] Imam An-Nawawi. Ibid. Hal. 322
[3] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shidieqy. Ibid. Hal. 313
[4] Imam An-Nawawi. Ibid. Hal.
322-325.
[5]
Masukan presentasi makalah
pengakuan dalam pembunuhan oleh Bapak A. Fatah idris pada Selasa, 3 Mei 2016.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, 2002, Koleksi Hadits-Hadits Hukum jilid 4,
Semarang : Pustaka Riski Putra.
Imam
An-Nawawi, 2013, Syarah Shahih Muslim jilid 8, Jakarta : Darus Sunnah
Press, 2013).